CAIRO - ”Angkatan bersenjata Mesir pertama-tama menyatakan, dan tetap menyatakan dan selalu akan menyatakan bahwa dirinya menjaga jarak dari kekuatan-kekuatan politik.” Demikian kata-kata pembuka yang diucapkan Menteri Pertahanan sekaligus Panglima Angkatan Bersenjata Mesir Abdul Fattah Khalil al-Sisi saat mengumumkan pengambilalihan kekuasaan dari Presiden Muhammad Mursy, Rabu malam (3/7/2013).
Kelompok penentang Mursy bersorak-sorai karena tujuan mereka tercapai, yaitu berakhirnya pemerintahan Mursy yang dipilih lewat pemilu demokratis pertama pascarezim Husni Mubarak pertengahan 2012 lalu.
Kelompok penentang menyebut hal itu sebagai revolusi kedua dan kemenangan rakyat.
Namun, sebagian pihak yang mencermati gejolak politik Mesir menyebutnya sebagai kudeta.
Beberapa hal mengindikasikan bahwa kudeta oleh militer yang dipimpin oleh Jenderal Al-Sisi memang direncanakan dengan baik.
Dalam pidatonya ketika mengumumkan pengambilalihan kekuasaan dari Mursy, Al-Sisi mengatakan bahwa Mursy gagal untuk memenuhi tuntutan rekonsiliasi persatuan nasional. Dan mengatakan bahwa militer sebelumnya sudah meminta Mursy untuk melakukan dialog rekonsiliasi tetapi selalu ditolak pihak kepresidenan.
Sebagaimana diketahui, Angkatan Bersenjata Mesir mengumumkan ke publik pada hari Senin (01/07/2013) tentang ultimatum 48 jam agar perpecahan politik diselesaikan, sebelum akhirnya militer bertindak.
Secara logika, tidak ada satupun negara di dunia ini yang memiliki latar belakang beragam dengan masalah ekonomi, sosial dan politik yang begitu berat, bisa mewujudkan sebuah rekonsiliasi nasional dalam kurun waktu 48 jam. Tengat waktu yang begitu sempit ini, menjadi senjata yang akan membunuh pemerintahan manapun.
Klaim militer yang mengatakan Mursy menolak untuk melakukan dialog terbantah jika melihat beberapa ungkapan dan laporan media sebelumnya.
Dalam pidato panjang hari Rabu (26/6/2013) di Cairo International Conference Center, Mursy menyampaikan 7 keputusan baru, di antaranya tentang pembentukan komite yang akan mengkaji masukan dari semua kelompok oposisi dan seluruh partai tentang amandemen konstitusi –masalah yang kerap menjadi pertikaian politik. Mursy mengatakan, mulai esok hari Kamis proposal itu sudah bisa dimasukkan.
Selain itu, Mursy juga membuat keputusan tentang pembentukan komisi rekonsiliasi yang berisi perwakilan dari partai poltik, Al-Azhar, Gereja Koptik, kelompok gerakan revolusi, serta LSM, guna menjembatani perbedaan di antara mereka.
Beberapa bulan sebelumnya --menyusul keributan soal dekrit Mursy yang memberikan kekuasaan legislatif kepada presiden, yang menjadi cikal bakal penentangan besar-besaran terhadap Mursy-- beberapa kali istana kepresidenan mengundang berbagai pihak untuk bertemu membahas isu yang menjadi keluhan dan kritikan terhadap pemerintahan Mursy. Namun, berulang kali itu pula oposisi menolak menghadiri pertemuan tersebut, dengan alasan Al-Ikhwan (organisasi asal Mursy) akan mendominasi pembicaraan.
Ajakan dialog itu diulangi kembali oleh Mursy setelah militer mengumumkan ultimatum 48 jam, dan diakhir masa berakhirnya ultimatum. Namun, tidak satupun yang ditanggapi oposisi maupun militer.
Ultimatum 48 jam itu sendiri diklaim kepresidenan tidak diketahui sebelumnya, dan baru diketahui setelah militer mengumumkannya kepada publik.
Beberapa jam setelah tengat ultimatum itu berakhir, militer Mesir belum memberikan suara apapun. Namun, pada saat yang sama personel militer perlahan tapi pasti diterjunkan ke lapangan untuk membarikade kelompok massa pendukung Mursy.
Melihat pergerakan militer itu, Essam el-Haddad, penasehat presiden bidang keamanan nasional, sebagaimana dilansir Guardian (3/7/2013) mengatakan, “Demi Mesir dan akurasi sejarah, mari kita sebut apa yang terjadi ini dengan nama yang sebenarnya: kudeta militer.”
Menyusul demonstrasi besar menentang Mursy pada 30 Juni kemarin, kantor pusat Al-Ikhwan di Kairo dibakar massa setelah dikepung selama 12 jam tanpa ada tindakan pencegahan dari pihak kepolisian. Dan hari Selasa (2/7/2013), Kementerian Dalam Negeri yang membawahi kepolisian Mesir, mengaku mendukung sikap militer.
Menjelang kudeta, kantor-kantor lima stasiun televisi berlatar belakang Islam dikepung militer dan dihentikan siarannya. Termasuk kantor berita yang dikepung adalah milik Aljazeera di Kairo. Pertanyaan yang mengemuka: mengapa hanya kantor media yang berlatar belakang Islam saja yang dikepung, sementara media sekuler dan pro-oposisi tidak? Layaknya penyerbuan militer di manapun di dunia ini, selalu dilakukan berdasarkan perencanaan secara matang guna menentukan target dan pergerakan operasi di lapangan.
Pada hari Rabu menjelang penggulingan Mursy, dilansir Guardian, Jenderal Al-Sisi menghabiskan sebagian besar waktu hari itu untuk melakukan pertemuan tertutup dengan para pejabat kunci militer, tokoh-tokoh agama dan oposisi.
Sebelumnya pada hari Selasa (02/07/2013) pemimpin Kristen Koptik Paus Tawadros II menyatakan dukungannya terhadap gerakan Tamarod, pemberontakan terhadap Presiden Mursy. Tamarod yang dimotori berbagai kelompok oposisi mengklaim berhasil mengumpulkan 15 juta tanda tangan rakyat penentang Mursy.
“Sungguh menakjubkan melihat rakyat Mesir mengambil kembali revolusi yang dicuri dari mereka secara damai, melalui ide Tamarod dan para pemudanya,” kata Paus Tawadros lewat akun Twitter dikutip Al-Ahram.
Pada hari yang sama sebelumnya, Tawadros menyatakan penghargaannya kepada tiga komponen utama Mesir: “rakyat, tentara dan pemuda.”
Sejak Mursy terpilih, kelompok Kristen Koptik senantiasa mengkritik pemerintahan Mursy yang disebutnya hanya berpihak kepada kelompok Islam.
Setelah Jenderal Al-Sisi menyampaikan pengumuman pelengseran Mursy, tokoh oposisi El Baradei dan Tawadros II langsung muncul di layar televisi, mengatakan bahwa mereka telah menyetujui “roadmap” buatan militer untuk masa depan Mesir.
El Baradei mengatakan, roadmap itu ditujukan untuk rekonsiliasi nasional dan menjadi awal yang baru bagi revolusi Mesir.
“Roadmap ini telah dirancang oleh orang-orang terhormat yang memikirkan kepentingan, pertama dan utama, untuk negara,” imbuh pemimpin Kristen Koptik Paus Tawadros II, dikutip BBC (3/7/2013).
Sementara Amr Moussa kepada AFP mengatakan bahwa konsultasi pembentukan pemerintahan baru dan rekonsiliasi “akan dimulai dari sekarang.”
Jenderal dan Hakim
Saat Mursy menunjuk Jenderal Abdul Fattah al-Sisi sebagai menteri pertahanan dan pimpinan militer Agustus 2012, dia dipandang sebagai generasi baru militer Mesir pengganti generasi tua Muhammad Hussein Tantawi yang menggulingkan rezim Husni Mubarak.
Namun penunjukannya tidak lepas dari tudingan bahwa dia punya keterkaitan dengan Al-Ikhwan.
Dalam wawancara dengan situs asal Amerika Serikat pembentuk opini The Daiy Beast (1/7/2013), seorang pakar militer Mesir di US Naval Postgraduate School, Robert Springborg, mengatakan bahwa Al-Sisi sudah dibidik dan berhubungan dengan Al-Ikhwan untuk menjadi menteri pertahanan selama berbulan-bulan sebelum diangkat.
Steve Gerras pensiunan kolonel bekas profesor Al-Sisi di US Army War College di Pennsylvania, dalam wawancaranya dengan Daily Star, menilai Al-Sisi sebagai sosok Muslim yang relijius.
Banyak orang menilai, Al-Sisi tidak cemerlang karirnya saat berada di bawah rezim Husni Mubarak karena dicurigai terkait dengan Al-Ikhwan.
Meskipun demikian, Robert Springborg meragukan bahwa Al-Sisi adalah seorang loyalis Al-Ikhwan. Menurutnya, Al-Sisi justru punya keterkaitan erat dengan Amerika Serikat, yang menjadi pendonor tahunan terbesar bagi militer Mesir. Yang mana hal itu menjadi aset tersendiri bagi militer Mesir maupun AS.
Pucuk pimpinan militer Mesir pernah dirombak beberapa kali oleh Mursy, terutama setelah terjadi gangguan kemanan beruntun di wilayah Semenanjung Sinai, yang mengakibatkan sejumlah personel keamanan Mesir tewas.
Tidak seperti pendahulunya Jenderal Muhammad Hussein Tantawi, yang mengangkat dirinya menjadi penguasa sementara setelah Husni Mubarak digulingkan militer, Al-Sisi justru menunjuk Adly Mansour yang baru dua hari menjabat ketua Mahkamah Konstitusi sebagai presiden sementara.
Tidak adanya penolakan dari kelompok oposisi terhadap sosok Adly Mansour menunjukkan bahwa hakim karir itu sudah direstui sebelumnya oleh para penentang Mursy.
Hakim-hakim di Mesir memiliki dendam tersendiri terhadap Mursy dan pendukungnya.
Kelompok pendukung Mursy pernah menuding para hakim membuat keputusan yang dicampuri dengan politik. Hal itu terkait dengan berbagai keputusan mereka mulai dari pembebasan sejumlah bekas pejabat rezim Mubarak dalam kasus korupsi, hingga penolakan berbagai rancangan undang-undang dan pembubaran parlemen yang didominasi kelompok Islam hasil pemilu tahun 2012.
Jajaran kehakiman Mesir bertambah sakit hati sebab pada bulan Nopember 2012 presiden tiba-tiba mencopot Abdul Majid Mahmoud dari jabatan jaksa agung dan menggantikannya dengan Talaat Abdullah. Para hakim dan aparat kehakiman lainnya menyatakan keputusan Mursy itu ilegal dan mencampuri wilayah kehakiman.
Berdasarkan hukum di Mesir, presiden tidak bisa mencopot jaksa agung, tetapi boleh memintanya untuk mundur.
Menjelang penggulingan Mursy, pada hari Selasa (2/7/2013) pengadilan kasasi membatalkan keputusan Mursy tentang pemberhentian Abdul Majid Mahmoud dan memerintahkan jabatannya sebagai jaksa agung dikembalikan.
Sedangkan sehari sebelumnya, Senin (1/7/2013), hari yang sama dengan dikeluarkannya ultimatum 48 jam oleh militer, pengadilan banding mengabulkan dakwaan terhadap Perdana Menteri Hisham Qandil dan memvonisnya satu tahun penjara karena tidak melaksanakan putusan pengadilan.
Qandil didakwa tidak melakukan keputusan pengadilan, yang memerintahkan dipekerjakannya kembali staf Tanta Flax and Oil Company –yang menolak penjualan perusahaan itu ke pengusaha Saudi.
Ketika keputusan pengadilan itu dibuat, sudah tersiar kabar bahwa pemerintahan Mursy akan digulingkan.
Sesaat setelah Al-Sisi mengumumkan penggulingan Mursy, militer bergerak cepat dan sudah terlihat menyebar di berbagai tempat di ibukota Mesir.
Jurubicara media Al-Ikhwan Gehad el-Haddad kepada BBC mengatakan, Mursi sudah ditempatkan dalam tahanan rumah dan “seluruh tim kepresidenan” ditahan.
Ayah Haddad yang merupakan penasehat keamanan Mursy, Essam el-Haddad, dan pimpinan sayap politik Al-Ikhwan Saad al-Katani termasuk orang-orang yang ditahan.
Koran pemerintah Al-Ahram melaporkan (3/7/2013), surat penangkapan atas 300 pemimpin dan anggota Al-Ikhwan sudah dikeluarkan.
Gehad al-Haddad mengatakan, kerumuman pendukung Mursy yang terdiri dari sekitar 2.000 orang ditembaki oleh sejumlah pria berpakaian sipil dengan senapan mesin.
Lewat laman Facebook Mursy, kelompok pendukung presiden yang meraup 13,2 juta suara dalam pemilihan umum 2012 itu, mengencam apa yang mereka sebut sebagai “Kudeta Militer”.*
0 comments:
Post a Comment