Sunday 27 April 2014

Jalal Ingin Liberalkan Muslim Indonesia Lewat PDIP

Ketua Dewan Syuro IJABI Jalaludin Rahmat

KETUA Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Amin Djamaludin mengungkapkan bahwa Jalaludin Rakhmat menghendaki adanya Islam liberal di Indonesia.

“Dalam seminar berjudul “Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia” di kantor Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Politik (Menkopulhukam), Jalal mengatakan bahwa karena adanya penindasan mayoritas kepada minoritas yaitu Sunni kepada Syiah di Sampang, maka Islam di Indonesia harus liberal,” terangnya di Dewan Dakwah Jakarta, Ahad (27/4).

Lolosnya tokoh syiah Jalaluddin Rakhmat menjadi Anggota DPR periode 2014-2019, juga ditanggapi secara serius oleh Tengku Zulkarnaen, Wakil Sekjen MUI Pusat.

“Bila Jalaluddin Rakhmat bicara soal agama, maka aktivis dakwah yang berada di dalam parlemen wajib membungkamnya. Sebab dia telah melanggar UUD 1945 yaitu menghina aqidah umat Islam,” tegasnya kepada Islampos, Ahad, (27/4).

“Namun bila dia bicara soal negara, silakan saja karena itu haknya sebagai warga negara,” tambahnya.

Ketua MUI bidang Dakwah dan Ukhuwah Islamiyah ini mengaku agak kecewa dengan umat Islam yang memilih PDIP, partai pengusung Jalaludin Rakhmat sebagai salah satu calon parlemen.

“Ini kebodohan umat Islam, jelas-jelas PDIP itu partai yang anti Islam. Semua UU berbau Islam pasti ditolak PDIP, diantaranya UU pendidikan, UU perbankan syariah, UU ekonomi syariah, UU pornografi, dan UU Jaminan Produk Halal untuk Obat dan Makanan,” paparnya. “Saya menasihati umat Islam, lain kali harus hati-hati dalam memilih, jangan pilih partai yang anti Islam seperti PDIP dan juga jangan coblos orang syiah,” tutupnya.

Saturday 19 April 2014

Ketika 'Jokowi Effect' Gak Ngefek


Seperti yang bisa diduga, Megawati telah meneken jalan kehancuran bagi PDIP dengan deklarasi pencapresan Jokowi. Pada pemilu legislatif 9 April 2014, rakyat memberikan pelajaran telak kepada Lembaga Survei, pengamat dan tokoh-tokoh politik seperti Luhut Pandjaitan, yang selama ini mendorong PDIP segera mencapreskan Jokowi untuk suara 30%-35%. PDIP memang pemenang pemilu, tapi 19% jelas bukan 35%.

Sesaat setelah Quick Count dimulai dan posisi PDIP segera ketahuan, diberitakan bahwa Jokowi duduk termenung-menung di teras. Saat ditanya wartawan, yang pertama keluar dari mulutnya adalah menyalahkan Bappilu, caleg PDIP dan Puan Maharani. Semua, kecuali dirinya. Strategi marketing internal yang tak baik. Caleg-caleg kurang bekerja di akar rumput. Jatah beriklannya yang cuma 3 hari.

Seolah-olah dengan tambahan beriklan 3 hari, seminggu atau 2 minggu, akan menaikkan 19% menjadi 35%. Sementara Nasdem yang sudah beriklan 2 tahun saja hanya 7%. Jokowi sendiri acapkali melakukan hal yang tidak efektif saat berkampanye. Misalnya, kampanye ke Solo, ibarat kampanye di rumah sendiri, buat apa…? Atau saat ditunggu masyarakat Trenggalek sampai 8 jam, begitu remote control dipencet Megawati, langsung balik Jakarta mengecewakan pendukungnya. Atau berkampanye ke Papua, selain perjalanannya menghabiskan waktu, jumlah pemilihnyapun tak seberapa.

Yang menarik adalah ketika Jakarta Post, koran berbahasa Inggris milik Jusuf Wanandi CSIS, yang bersama Cyrus adalah promotor ‘Jokowi Effect’, pada 2 hari yang lalu memuat kisah ‘Infighting Could Ruin Jokowi’s Bid’. Alkisah, Puan, yang sangat kesal karena tidak terjadinya Jokowi Effect, sementara Jokowi di luaran sibuk menyalahkan Bappilu yang dipimpinnya dan PDIP, mengusir Jokowi dari Teuku Umar. Pertengkaran pun pecah antara Puan dan Prananda yang membela Jokowi, sehingga Mega menangis. Tidak terlalu terkejut mendengar Mega menangis, karena saat konpers Quick Count pun sudah tampak berkali-kali menyusut hidung.

Kutipan :

“Puan then told Jokowi to leave. She was very disappointed, as she had expected Jokowi’s popularity to help the PDI-P win at least 30 percent of the vote, paving the way for her to become the party’s vice presidential candidate later on,” the source said, adding that Megawati had broken down in tears during the debate.

“Megawati cried, not because she was sad to see Jokowi ousted from her home by her own daughter, but because she was witnessing a growing gap between Puan and her second son, Prananda Prabowo, who backs Jokowi.”

Artikel tersebut diikuti artikel lain pada hari berikutnya ‘Jokowi Shrugs Off Infighting’, yang isinya adalah kurang lebih sama.

Sejak artikel tersebut terbit, PDIP dan Jokowi mati-matian membantah terjadinya pertengkaran tersebut. Yang lucunya, tampaknya tak ada koordinasi yang baik dalam menjawab. Menurut Eriko Sotarduga, Puan ada di Kebagusan. Sementara Jokowi mengatakan bahwa dirinya tak bertemu Puan Maharani sama sekali sampai hari ini, karena setelah mencoblos, Puan berangkat ke Hong Kong.

Bau kebohongan amat tajam dalam pernyataan Jokowi ini. Karena jelas-jelas Puan mendampingi Megawati saat konpers setelah Quick Count, petang tanggal 9 April. Pada pertemuan evaluasi itu, Puan disebut orang-orang PDIP tidak ada di situ, tapi suaminya Happy Hapsoro hadir. Puan juga ditunjuk bersama Tjahjo Kumolo untuk memimpin negosiasi koalisi. Apakah mungkin, Puan yang merupakan kepala Bappilu, pemimpin negosiasi koalisi, akan meninggalkan partai saat yang demikian genting, pergi sendirian entah untuk urusan apa ke Hong Kong…?

Pada hari Jumat tanggal 11 April, kita menyaksikan aksi safari politik Jokowi ke tiga partai. Pagi bersama Nasdem, yang menghasilkan keputusan mendukung pencapresan Jokowi dengan catatan, cawapres akan diajukan dalam 2-3 hari untuk dibicarakan dengan Megawati. Ini merupakan kelanjutan dari kunjungan Tjahjo Kumolo dan Hasto Kristiyanto sehari sebelumnya.

Dalam safari berikutnya ke Golkar, Jokowi terpaksa menelan kekecewaan. ARB yang tampak santai sehabis berolah-raga, menolak berkoalisi dan menyebut akan tetap capreskan dirinya. Meskipun Luhut Pandjaitan sudah hadir untuk memuluskan, tetap tidak ada kesepakatan.

Sebuah media menyebutkan, Jokowi adalah satu-satunya capres yang sedemikian sibuk berkeliling sana-sini melobby. Sementara capres lain adem-ayem, mengirimkan lapis dua atau tiganya melakukan pendekatan. Kata Jokowi, saya butuh kepastian. Mukanya seribu persen galau, sudah pelit tersenyum, guraupun hambar dan dibuat-buat. Sungguh berat, seorang capres harus berusaha keras memperjuangkan sendiri kepastiannya nyapres, datang seperti salesman door to door, lalu ditolak oleh ARB dan digantung oleh Cak Imin.

Isu perpecahan internal PDIP yang diangkat oleh Jakarta Post, sebenarnya senada dengan tulisan Jeffrey Winters ‘What Went Wrong with the PDI-P and Jokowi?‘ di Financial Times. Tulisan Winters ini bahkan lebih awal dari Jakarta Post, karena dimuat tanggal 10 April 2014 lalu. Jeffrey Winters menggambarkan hubungan Jokowi dan Megawati tidak saling menyukai dan mempercayai : ‘The core problem is that Jokowi and Megawati Sukarnoputri, don’t really like or trust each other’ dan Megawati seperti ditodong senapan yang tidak kelihatan saat mendeklarasikan Jokowi : ‘Megawati sat subdued at a table and held up a hand-written note to the cameras stating, in tortured prose, that Jokowi would be the presidential candidate. She looked as if she had an invisible gun to her head’.

Winters, yang dikenal anti Orba dan pada awal reformasi dekat dengan Megawati, juga menceritakan bagaimana Jokowi tidak mendapat alokasi dana kampanye, juga dibatasi untuk memakai pesawat jet ‘Indonesia Hebat’ yang selalu dibooking Megawati dan Puan. Dan bagaimana seorang kandidat cawapres dari partai lain yang diundang ke studio dimana Jokowi shooting iklan, kaget disodori bonnya.

Menurut Winters, PDIP meminta agar donasi dari para sponsor harus masuk ke Bendahara PDIP, partai-lah yang mengalokasikannya, termasuk ke Timses bentukan Jokowi. Dengan alasan tidak kebagian dana tersebut, timses Jokowi meminta para cukong, yang disebut Winters sebagai ‘tycoons’ alias pengusaha kelas kakap, agar tidak memberikan dana kepada PDIP, dan langsung memberikannya kepada mereka : ‘Some tycoons have been warned by Jokowi’s camp not to donate to the PDI-P and instead give directly to the Jokowi machine’. Apabila membaca semua indikator ini, tampak jelas upaya kudeta yang sedang dilakukan Jokowi dan timsesnya terhadap PDIP dan Megawati.

Pertama, soal Puan. Jokowi digambarkan para promotornya seperti Cyrus sebagai capres setengah dewa. Apabila mencapreskan Jokowi, PDIP akan mendapat suara sampai 35%. Ini yang disebut ‘Jokowi Effect’. Efek-efek yang banyak disebut berhari-hari setelah Pileg oleh pembela Jokowi adalah efek definisi ngga-ngga mereka sendiri untuk membela Jokowi. Dengan mempercayai Jokowi Effect itu, Megawati, Puan dan PDIP setuju deklarasi pencapresan, dengan harapan suara minimum 27% akan mantap untuk memajukan duet Jokowi-Puan. Karena itu pula, tentu tidak ada salahnya Puan mulai menonjolkan diri di billboard dan di iklan, sebagai seseorang yang segera akan menjadi cawapres. Toh selama ini dia setia mendampingi bundanya membangun partai. Itu tak ada artinya dibandingkan penggorengan image Jokowi selama 1,5 tahun terakhir oleh media.

Ternyata Puan dan Megawati tertipu. Hasil pileg jauh di bawah 35%, bahkan jauh di bawah target Puan yang digambarkannya gede-gede di paving block dengan kapur. Tiba-tiba saja, Jokowi Effect jadi banyak syarat. Karena cuma beriklan 3 hari jadi tidak effect. Karena jarang pakai pesawat jet jadi tidak effect. Tetap perlu caleg PDIP untuk kerja keras, bukan seperti yang dikira selama ini : asal memajang foto bersama Jokowi yang nyengir lebar sudah cukup. Lebih mengenaskan lagi, Jokowi selalu ngotot atas kelebihan dirinya dengan menyalahkan Puan dan PDIP.

Kedua, meskipun ditunjuk menjadi pemimpin negosiasi, sejak pengusiran dan pecahnya berita tersebut di Jakarta Post, tiba-tiba saja Puan raib. Ada banyak opini yang ditulis di media, seperti Wimar Witoelar, yang menyebut bahwa sebaiknya Jokowi yang didapuk untuk menego koalisi. Tiba-tiba saja Jumat itu Jokowi yang bersafari ke sana kemari. Pertanyaannya, apakah semudah itu menyisihkan Puan…? Apakah Megawati memang memilih mengesampingkan anak biologis dan ideologisnya, demi si anak angkat dan boneka yang kian hari kian terbongkar topeng ambisi dan ketamakannya…?

Titik saat ini merupakan titik paling kritis baik untuk Megawati maupun Jokowi. Jokowi mungkin berpikir, dengan jebakan deklarasi itu, Megawati telah disudutkan pada ‘point of no return’, tetap mendukung pencapresannya atau beresiko semakin dimusuhi rakyat. Itu bisa terjadi, kalau dia pintar mengelola persepsi publik agar tetap positif terhadapnya, dibantu media-media yang didanai sponsornya. Gerah manut dan dijuluki boneka, pembangkangannya terhadap Megawati meningkat. Seiring dengan kegalauan dan kepanikannya untuk menekan Megawati memastikan tiket pencapresannya. Andaikan pada Jumat itu, Jokowi telah mengamankan dukungan 3 partai : NasDem, Golkar dan PKB, berarti telah memastikan definitif pencapresannya dengan 39%-40% suara. Apa lacur, yang dia dapat hanya 7% dari Paloh, penolakan ARB dan tarik-ulur Cak Imin.

Di pihak lain, Megawati bukan tak punya pilihan. Bahkan kecenderungan untuk membatalkan pencapresan Jokowi itu sudah sangat kencang. Mungkin inilah tujuan Jakarta Post membocorkan pengusiran itu. Untuk memancing reaksi publik, supaya Jokowi tidak dibuang diam-diam. Berita itu juga sukses mencoreng dan mengandangkan Puan, setidaknya untuk sementara.

Sampai dengan batas pendaftaran ke KPU, kendali sebenarnya tetap di tangan Megawati. Manuver dari kader yang menurut Winters, tidak disukainya dan tidak menyukainya ini, sudah semakin tidak terkendali. Boneka sudah hendak memakan tuannya. Sebelum deklarasi, sudah membibitkan ProJo melawan ProMeg. Dan kini berani menyabot donasi cukong agar langsung ke dirinya bukan ke kas partai. Begitu namanya didaftarkan resmi ke KPU, Jokowi tak butuh Megawati lagi. Melihat yang terjadi pada Puan, ini bisa jadi awal pemunahan trah Soekarno di PDIP.

Di tengah kemelut ini, Jokowi boleh dibilang sudah bukan lagi capres setengah dewa tapi capres setengah ronin. Mitos capres setengah dewa sudah rontok oleh hasil pemilu. Jokowi ternyata bukan cukup dengan sandal jepit bisa menang, tapi butuh cawapres yang kuat, butuh babysitter yang bagus, butuh koalisi dengan partai lain. Sementara dengan segala pembangkangan dan manuvernya yang makin telanjang, upayanya memarginalisasi Puan, juga kepanikan dan kegalauan yang merupakan tanda-tanda dari ketidak-matangan berpolitik dan mental yang tidak kuat; bisa semakin menguatkan resolusi Megawati untuk membatalkan pencapresannya.

Ronin artinya samurai tanpa shogun, tanpa tuan, tanpa rumah. Capres ronin artinya capres tanpa partai, yang mengaku punya puluhan juta pendukung sekalipun. Capres setengah ronin artinya apabila tidak hati-hati, selangkah lagi bernasib ronin. Capres ronin akan berkelana sendiri mencari-cari partai yang masih percaya mitos kekuatan dan popularitasnya. Pertanyaannya, siapa yang mau beli barang yang sudah dibuang tuannya…?

Thursday 17 April 2014

Libatkan Vatikan, Blunder Fatal Jokowi di Istana Jacob


Kesalahan pertama adalah terlibatnya Amerika Serikat, melalui duta besarnya Robert O. Blake dalam pertemuan itu. Dalam pandangan saya, kalau pun PDI Perjuangan memandang faktor AS itu begitu signifikan, sikap ‘sumerah’ tersebut tidaklah harus dibuat setelanjang itu ke publik.

Menjadikannya hanya sebagai ‘rahasia dapur’ tentu saja lebih elok untuk nama besar PDIP yang biasa menampilkan retorika-retorika kemandirian dan anti-asing khas Bung Karno itu di mata public.

Bagi saya, sebagaimana ‘faktor militer’, ‘faktor AS’ hanyalah mitos yang entah mengapa tanpa reserve kita pertahankan. Seolah, tanpa dukungan AS, tak mungkin seseorang bisa menjadi presiden Indonesia.

Mungkin ada benarnya, mengingat fakta sejarah seputar penurunan Bung Karno, naiknya Soeharto dan seterusnya yang selalu melibatkan pembicaraan tentang ‘faktor AS’ itu. Bahkan tak kurang yang terbuka, seperti terungkap dalam biografi mantan Menteri Luar Negeri AS, Condoleeza Rice.

Dalam ‘No Higher Honor: A Memoir of My Years in Washington’ itu Rice tanpa sungkan menilai para presiden Indonesia yang sempat dikenalnya. Misalnya, sebagai tanda persetujuannya atas kemenangan SBY dalam Pemilu 2014--Rice tak satu kata pun menyebut mitra SBY, Jusuf Kalla, Rice mengatakan SBY telah membawa era baru bagi Indonesia.

Tetapi sukar untuk menolak bahwa dalam politik Indonesia, ‘faktor AS’ pun tak lebih dari sekadar mitos. Sama halnya dengan ‘militer’ yang dianggap lebih kapabel, yang dalam banyak hal hanya merujuk Soeharto. Yang lain, maaf kata, justru membuktikan sebaliknya.

Sementara sebaliknya, yang faktual adalah bahwa kepemimpinan mana pun yang mengedepankan mitos, bukanlah kepemimpinan yang cocok untuk dinamis dan tak terprediksinya masa depan. Ia telah menjadi masa lalu yang seharusnya ditinggalkan. Sudah tidak masanya lagi melibatkan ‘wahyu keprabon’ atau mitos minum air kelapa pemberi nasib baik ala Sutawijaya dalam Babad Tanah Jawi untuk urusan kepemimpinan saat ini.

Tetapi tentu saja, yang kedua, yakni melibatkan Vatikan ke dalam pertemuan itu jauh lebih fatal. Orang masih bisa memaklumi terlibatnya AS dengan ke dalam pertemuan, mengingat negara adidaya itu faktor penting dalam percaturan dunia saat ini. Apalagi kalau kita membuka data statistik tentang ketergantungan Indonesia, yang tak hanya melulu soal ekonomi, melainkan juga kebudayaan, sosial, hukum dan demokrasi.

Tetapi Vatikan? Nyaris bisa dikatakan, tak ada kepentingan strategis apa pun yang bisa dijadikan alasan pembenar hadirnya dubes Vatikan pada pertemuan itu. Sebaliknya, hadirnya Dubes Vatikan justru memberi ‘noda’ pada pertemuan.

Yang paling jelas, ia menjadi alasan pembenar (justifikasi) bagi banyak kalangan untuk mengorek rumors lama di sekitar pencalonan Jokowi. Isu yang muncul sejak ia mengincar kursi gubernur DKI Jakarta: isu sektarian keagamaan. Isu yang tak juga lekang di masa Pileg kemarin.

Bukankah kita pun tahu, dengan gampang kita bisa menemukan pamflet, selebaran, baik itu dalam bentuk cetakan maupun yang berseliweran di dunia maya lewat internet dan telepon seluler kita? Bukanlah kita tahu betapa repot Jokowi dan PDI Perjuangan menepis isu primordial yang mengembalikan kita ke tahun-tahun awal kemerdekaan, setidaknya era 1950-60-an itu?

Lalu untuk apa isu tidak cerdas yang membawa bangsa kepada sentimen sempit primordial itu justru dihadirkan kembali secara telanjang dengan terlibatnya Vatikan dalam pertemuan?

Unsur PDI Perjuangankah yang alpa memikirkan akibatnya, dan sengaja mengundang Vatikan ke dalam pertemuan? Jujur saja, saya ragu. Jokowi dan PDI Perjuangan tahu betapa kerasnya isu primordial itu menghantam mereka. Mereka juga tahu betapa sulitnya berkelit.

Tetapi begitu saja menunjuk inisiator pertemuan, Jacob Soetoyo, sebagai pengundang pihak Vatikan pun kurang memiliki alasan kuat. Bagaimana mungkin, Jacob, seorang yang sempat menjadi anggota Dewan Pengawas CSIS dan anggota lembaga terkemuka dunia, Trilateral Commision, semudah itu silap memperhitungkan dampak negatif keterlibatan Vatikan ?
Ada dua blunder yang merugikan PDI Perjuangan dalam pertemuan Permata Hijau yang digelar Senin (14/4/2014) malam lalu. Tetapi yang paling fatal adalah terlibatnya Vatikan dalam pertemuan itu.

Atau justru semua telah tertata dalam rencana?



Monday 7 April 2014

Bungkam Soal Freeport, Jokowi Takut AS ?


JAKARTA - Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Taufik Bahauddin menilai calon presiden dari PDI Perjuangan Joko Widodo alias Jokowi tidak punya nyali melawan kepentingan Amerika Serikat (AS). Hal ini terlihat dari Jokowi untuk menanggapi isu renegosiasi kontrak PT Freeport.

Bahkan dalam hal ini, menurut Taufik, Jokowi kalah telak dari rival beratnya, Prabowo Subianto.

"Saya dengar Prabowo juga ditanya masalah ini oleh salah satu kamar dagang di AS dan langsung dijawab, hormati perjanjian jangan ambil yang jadi hak bangsa ini," kata Taufik kepada wartawan di Jakarta, Senin (7/4).

Taufik mensinyalir Jokowi belum punya konsep tentang kedaulatan ekonomi. Ia yakin mantan Wali Kota Surakarta itu juga tidak mengerti tentang isu-isu perusahaan asing yang merugikan negara lainnya.

"Strateginya mungkin menang (pemilu legislatif) dulu lah," imbuhnya.

Taufik khawatir jika Jokowi dipercaya memimpin pemerintahan nanti, perusahaan asing akan semakin sewenang-wenang di Indonesia. Apalagi mengingat tahun 2015 nanti Indonesia mulai memberlakukan ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) yang akan membuka pintu masuk perdagangan seluas-luasnya bagi pihak asing. "Coba tanya (Jokowi) bagaimana bank-bank asing di Indonesia bisa suka-suka, padahal bank-bank nasional kita dihambat di negara mereka. Bayangkan tahun 2015 AFTA berlaku, itu perang ekonomi. Bagaimana menekan impor sayur dan buah dari RRC? Kita jadi pengimpor terbesar," tandas Taufik.

Thursday 3 April 2014

Mega Diprediksi Tetap Dikte Jokowi Jika Jadi Presiden


Sikap Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang selalu manut kepada Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri dinilai menunjukkan bahwa mantan Wali Kota Solo itu tak akan pernah lepas dari titah Megawati.

Belum lama ini, Jokowi juga membela kebijakan Megawati yang menjual aset negara seperti Indosat, kapal tanker VLCC Pertamina, atau gas Tangguh dengan harga murah ke China saat menjabat sebagai Presiden.

Mengenai hal tersebut, pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing mengatakan tak ada jaminan bila Jokowi jadi Presiden maka akan lepas dari pengaruh Megawati Soekarnoputri.

Sebab menurutnya, Jokowi dibesarkan dari kultur budaya Jawa dan menjunjung tinggi ewuh pakewuh (sungkan).

"Saya berpendapat bahwa aspek budaya mempengaruhi perilaku manusia, termasuk perilaku pengambilan keputusan bila Jokowi jadi Presiden. Jokowi dibesarkan oleh budaya-budaya Jawa dan sungkan terhadap sesuatu, terlebih Megawati," ujar Emrus saat dihubungi, Kamis (3/4/2014).

Ditegaskannya, tak ada jaminan bila Jokowi jadi capres maka saat mengambil kebijakan bisa lepas dari bayang-bayang Megawati. Terlebih, kata Emrus, Jokowi sering mengulang-ulang kata-kata terserah ibu atau terserah Ketua Umum.

"Sangat besar kemungkinan Jokowi tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh Megawati. Andaikan Megawati tak memberikan mandat, Jokowi tak akan jadi capres," paparnya.

"Megawati akan menjadi orang yang mendikte. Tetapi untuk menjaga itu, Megawati menggunakan pendekatan komunikasi yang high konteks. Pendekatan level tinggi. Tetapi apapun yang dikatakan Megawati, amat sulit bagi Jokowi untuk menolak," imbuhnya.

Andai Semua Pemimpin seperti Jokowi, Bagaimana Nasib Bangsa?


Ada beberapa pertanyaan menarik terkait pencapresan Jokowi, setidaknya pernah disampaikan Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus. Di beberapa media ia menilai pencapresan Jokowidinilai minus etika atau fatsun politik karena baik Megawati maupun Jokowi tidak lebih dulu meminta persetujuan rakyat Jakarta atau DPRD DKI sebelum memberi atau menerima mandat sebagai Capres.

Jokowi dan Ahok dinilai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang dipilih oleh mayoritas pemilih DKI Jakarta untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI periode 2012-2017. Karena itu, pencalonannya tidak bisa sembarangan tanpa meminta persetujuan warga DKI.

Menurut Petrus, pasangan Jokowi-Ahok telah didaulat menjadi gubernur DKI Jakarta dan kontrak itu harus diselesaikan, tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Jika Jokowi meninggalkan tugas itu sama saja tidak mendahulukan kepentingan rakyat.

Karena itu menurut Petrus, tindakan Jokowi masuk wanprestasi atau ingkar janji karena tidak bisa menyelesaikan kontrak politiknya dengan rakyat. Tentu pernyataan Petrus ada benarnya.

Sebab secara hukum pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah kontrak politik, kontrak sosial yang bersumber dari dan menjadi konsensus bersama antara pemilih dengan pasangan calon yang prosesnya melalui Pilkada di mana waktunya harus selesai selama waktu lima tahun.

Dengan demikian selama lima tahun ke depan (2012-2017) baik Jokowi-Ahok maupun PDIP-Gerindra harusnya tidak bisa sepihak/seenaknya mencalonkan diri atau dicalonkan Capres/Cawapres 2014-2019 atau jabatan lain. Karena itu sama halnya mengabaikan amanah. Orang yang abai terhadap amanah lawannya adalah khianat.

Jokowi tentusaja orang baik dan reputasinya juga diakui sebagaian orang. Namun dalam soal khianat dalam urusan amanat soal lain. Jika semua orang bersikap sebagaimana PDI-P atau Jokowi, bagaimana nasib bangsa?

Apakah tidak mungkin saat jadi presiden juga bisa ditinggal sewaktu-waktu sebelum masanya habis?

Karena Jokowi itu orang Islam, saya menyampaikan ini dalam pandangan Islam. Suatu ketika Ali r.a duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam, lalu muncul seorang daripada keluarga al-Aliyah dan bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Beritahulah kepadaku apakah sesuatu yang palling berat dalam agama dan apakah yang ringan?”. Maka jawab Rasulullah: “Yang paling ringan dan mudah adalah mengucap dua kalimah syahadat,dan yang paling berat ialah amanah. Sesungguhnya tidak ada agama bagi orang yang tidak amanah.” (Hadis Riwayat al-Bazar at-Tabrani)

Hadis tersebut menunjukkan betapa beratnya tanggungjawab untuk melaksanakan amanah, hingga baginda menyatakan tidak ada agama bagi orang yang tiada amanah.Tanggungjawab amanah itu menjadi serangkai atau bergandingan dengan agama.

Al-Quran mengatakan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS 8:27).

Seterusnya dari Insan r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda maksudnya : “Tidak sempurna iman bagi sesiapa yang tiada amanah pada dirinya dan tiada agama bagi orang yang tidak dipercayai janjinya”. (Hadis Riwayat Imam Ahmad,al-Bazar at-Tabrani).


Wallahu ‘alam bishowab.

Tuesday 1 April 2014

KH Cholil Ridwan :"Kita Jadi Muslim Dzimmi di Indonesia"



Pendiri Pengajian Politik Islam (PPI), KH Cholil Ridwan menyatakan bahwa saat ini kaum Muslim Indonesia menjadi “Muslim Dzimmi”. “Kalau dulu ada istilah kafir dzimmi. Yaitu orang-orang kafir yang dilindungi umat Islam dan bebas menjalankan ibadahnya dengan membayar kewajiban tertentu, maka kini ada–mengutip ungkapan tokoh FPI, Munarman, sebagai Muslim Dzimmi. Di mana umat Islam wajib membayar pajak dan lain-lain tapi tidak bebas menjalankan agamanya. Contohnya jilbab Polwan yang dilarang Kapolri,” terangnya di hadapan ribuan jamaah yang memadati Masjid Al Azhar pada Ahad 30 Maret 2014.

Cholil menjelaskan bahwa beberapa polisi wanita menangis dan mengadu kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena pelarangan jilbab ini.

“Bahkan kini ada perwira wanita AU yang mengundurkan diri karena mempertahankan jilbabnya”ungkap Ketua MUI Pusat ini.
Menurutnya, ini menjelaskan bahwa hal seperti ini mirip zaman Belanda. Di mana umat Islam dibebaskan untuk membentuk majelis taklim, majelis dzikir dan semacamnya, tapi urusan politik dihambat.

“Tapi kalau umat Islam bergerak di politik, maka dilarang,”terangnya dengan semangat.

Tapi biasanya, akan datang para pahlawan yang bergerak di dalam politik mempertahankan negeri ini. Sebut seperti Diponegoro, Imam Bonjol, Cut Nyak Dien, Cut Mutiah dan lain-lain. Atau selanjutnya tampil KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyari, Mohammad Natsir dan seterusnya.

Karena itu, pimpinan Pesantren Husnayain ini mengritik pernyataan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah final.

“NKRI belum final selama NKRI belum bersyariah,”tegasnya. Ia menegaskan bahwa Al-Quran telah jelas mewajibkan bagi kaum Muslim untuk menjalankan syariat Islam.

Cholil merasa resah dengan perkembangan politik saat ini. Di mana di daerah-daerah yang merupakan mayoritas Muslim mulai dipimpin oleh Gubernur atau Bupati bukan Muslim. Ia mencontohkan Kalimantan Barat, , Kalimantan Tengah, dan DKI.

“DKI Jakarta yang 85% Muslim, dipimpin Gubernur Islam dan Wakil Gubernurnya bukan Islam,”terangnya.

Pengajian Politik Islam

Melihat perkembangan itulah maka Cholil kemudian berinisiatif mengajak beberapa sahabatnya untuk mengadakan Pengajian Politik Islam (PPI) secara rutin di Masjid Al Azhar.

Pengajian ini telah dimulai sejak Juli 2013 lalu. Selain berisi ceramah-ceramah politik tokoh atau intelektual/ulama Islam, pengajian ini juga rutin mengkaji kitab Al Ahkam al Sulthaniyah Imam Mawardi, Siyasatus Syariyyah Ibnu Taimiyah dan Muqaddimah Ibnu Khaldun.

Pengajian yang dihadiri ratusan dan kadang ribuan jamaah ini berlangsung dua kali sebulan, yaitu pada minggu kedua dan keempat tiap bulan. Tokoh-tokoh Islam dari berbagai partai Islam atau partai bervisi Islam telah hadir memberikan ceramah. Di antaranya : Prof Dr Amien Rais, Dr Fuad Amsyari, MS Kaban, Imron Pangkapi, Munarman, Dr Hidayat Nur Wahid, Kivlan Zein dan lain-lain. Bulan April 2014 ini libur dan akan dimulai lagi pada Mei 2014.

Tahun Politik, Tahunnya Caleg Gila


TIDAK ada yang gratis di dunia ini, lebih – lebih dalam dunia politik. Ongkos menjadi calon anggota legislatif (caleg) besarnya bisa sampai miliaran rupiah, kisarannya adalah Rp 75 juta hingga Rp 1,5 miliar. Jika rata-rata biaya yang harus dikeluarkan setiap caleg adalah ratusan juta rupiah, maka untuk pencalegan DPR akan menghabiskan biaya triliunan rupiah. Dana tersebut digunakan paracaleg untuk kebutuhan kampanye, selain itu seorang caleg juga mengeluarkan dana untuk keperluan lainnya, seperti membangun jaringan politik, simpul-simpul masyarakat, tim kampanye, sumbangan kepada pemilih, biaya akomodasi, serta termasuk juga di dalamnya adalah untuk money politics.

Semakin lama masa pengenalan dan sosialisasi tentunya semakin besar dana politik yang akan dikeluarkan. Sebagian lagi dibelanjakan uangnya digunakan untuk membayar paranormal. Baik sistem ranking (nomor urut) maupun sistem suara terbanyak, tidak bisa dilepaskan dari faktor pendanaan. Saat sistem nomor urut masih berlaku, nomor urut dua di kebanyakan partai dipatok dengan harga Rp 1 miliar, sedangkan nomor urut lima Rp 500 juta.

Terhadap kebutuhan dana yang besar tersebut, bermacam-macam cara caleg menyediakannya. Ada yang menjual warisan tanah, berhutang, ada yang menggadaikan barang-barangnya, dan masih banyak lagi caranya. Selain itu ada juga yang mencari sponsor, sebab banyak orang yang mau menjadi sponsor para caleg baik untuk mendapat nomor urut di partai maupun untuk dana kampanye.

Harapannya, begitu mereka terpilih, mereka bisa mengamankan kepentingan para sponsor itu, bahkan bisa mencari proyek untuk sponsor tersebut. Meskipun biaya politik yang harus dikeluarkan cukup besar, kenyataannya menjadi anggota DPR/DPRD tetap saja menjadi impian banyak orang.

Kursi empuk ‘Wakil Rakyat’ memang masih dianggap banyak orang dapat menjanjikan banyak hal. Bukan hanya kader tulen partai politik namun juga kader pendatang yang mencoba peruntungan untuk dapat masuk bursa caleg.

Yang Lolos ke Senayan Besarnya ongkos politik yang dikeluarkan oleh caleg tidak berbanding lurus dengan pendapatan resmi yang bakal diperoleh caleg DPR nantinya. Oleh karenanya memunculkan pertanyaan kritis atas independensi politik para caleg yang nanti terpilih.

Berdasarkan Surat Edaran Setjen DPRRI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 tentang Gaji Pokok dan Tunjangan Anggota DPR RI 2004-209, total penghasilan (take home pay), yang dibawa pulang seorang Anggota DPR-RI, yang merangkap sebagai Ketua Alat Kelengkapan adalah Rp 54,9 juta. Sedangkan penghasilan untuk seorang Anggota DPR-RI, yang merangkap sebagai Anggota Alat Kelengkapan adalah Rp 51,5 juta.

Sebagai bahan perbandingan, seorang Anggota DPR-RI periode 2004-2009 menerima gaji bulanan sebesar Rp 46,10 juta. Namun, masih ditambah dengan biaya tunjangan, biaya reses, dan gaji ke-13. Sehingga, setiap anggota DPR RI, diperkirakan dapat membawa pulang penghasilan mencapai Rp 1 miliar pertahun.

Bahkan ironisnya, mungkin seorang anggota legislatif hanya akan sempat menikmati gaji utuh sebagai anggota legislatif selama dua bulan saja, sedangkan untuk bulan-bulan berikutnya ia ”tidak menerima gaji” sama sekali. Hal ini karena untuk gaji bulan ketiga dan seterusnya harus dipotong angsuran pinjaman ke bank, iuran ke partai, sumbangan ke konstituen dan potongan lainnya.

Terdapat jarak yang cukup lebar antara uang yang dikeluarkan dengan gaji yang mereka terima. Hal ini akan membuka peluang seluas – luasnya bagi munculnya budaya korupsi atau pun suap, yang mana akan menguasai secara mutlak setiap proses politik dalam kaitannya dengan jabatan legislatif di parlemen. Sudah berapa orang mantan anggota DPRD/DPR maupun anggota aktif yang dipenjara karena terlibat korupsi dan suap.

Sejarah perjalanan para anggota DPR, memberikan bukti begitu maraknya praktik penumpukan pendapatan tak resmi dan korup yang menimpa anggota parlemen. Yang gagal ke Senayan habis Rp 200 juta sampai 1,5 miliar bukan jaminan seorang caleg akan berhasil meraih kursi di parlemen.

Ganguan jiwa

Dengan besarnya biaya yang dikeluarkan dan peluang kemenangan yang kecil, tidak tertutup kemungkinan mereka yang kalah dalam pemilu akan stress, depresi, tekanan jiwa hingga sakit jiwa.

Menurut psikolog terkenal Dadang Hawari, “Bisa saja gangguan jiwa terjadi, kalau harapannya terlalu tinggi tapi tidak tercapai”. Ada beberapa penyebab lain yang dapat mengancam kondisi kejiwaan para caleg yang tidak terpilih. Harta yang sudah terkuras habis, lalu janji dari pihak-pihak yang memberikan harapan, semuanya itu dapat menimbulkan kekecewaan mendalam bagi batin sang caleg.

Gangguannya bisa dari yang paling ringan hingga sakit jiwa. Tingkat stres calon legislatif kemungkinan akan bertambah ketika partai yang menaunginya ternyata juga tidak mampu meraih electroral threshold partai politik.

Artinya, pada pemilu 2014, partai tersebut tidak lagi ikut berkompetisi. Para caleg yang sebelum hari pencoblosan gemar mendatangi paranormal, bukan mustahil setelah pemilu legislatif berganti mendatangi psikiater.

Bagi caleg yang kalah atau tidak terpilih, eskalasi dan prevalensi kejadian gangguan kejiwaan diprediksi akan meningkat tajam. Jenis gangguan jiwanya pun lebih bervariasi. Melihat pelaksanaan Pilkada beberapa waktu lalu, terbukti tidak sedikit bakal calon bupati atau walikota yang kalah dalam pertarungan mengakhiri derita kekalahannya di Rumah Sakit Jiwa atau minimal mondok di rumah sakit karena serangan jantung, stroke, tekanan darah tinggi, gangguan dispepsia (nyeri lambung) bahkan ada yang mengalami kelumpuhan mendadak. Menurut seorang psikolog, permintaan konsultasi di ruang praktik psikolog, psikiater dan dokter meningkat cukup signifikan pasca-pilkada, termasuk pemilihan kepala desa dan perangkat desa. Kasus-kasus psikosomatic disorder meningkat hampir 100 persen dibanding sebelum Pilkada.

Penderitanya pun tidak hanya sang bakal calon, tetapi juga anggota keluarga, pendukung fanatik dan sponsor setia. Bahkan panitia pelaksana (anggota KPU dan aparatnya) juga tidak sedikit yang mengalami gangguan kejiwaan meski sebatas stres temporatif, belum mengarah pada depresif karena tingginya tuntutan dan tekanan pekerjaan. Prediksi tingginya prevalensi gangguan atau kesakitan jiwa seusai Pemilu 2014 lebih banyak disebabkan karena tingginya ekspektasi atau penghargaan caleg terhadap kedudukan sebagai anggota legislatif yang tidak tercapai. Jika kalah, mereka sangat kecewa. Kekecewaan yang terlampau mendalam akan menjadi awal stres, depresi bahkan psikotik dan skizofrenia akut.

Yang paling baik adalah harus lebih mendekatkan diri pada agama serta harus bisa menerima kekalahan dan berbesar hati. Kalah menang adalah hal lumrah dalam kehidupan, yang terpenting adalah jangan sampai kita kalah terhadap hawa nafsu kita.
Caleg harus bertawakal sepenuhnya kepada Allah, ketika lolos ke senayan mereka harus dapat membuktikan janji-janjinya.

Sedangkan apabila mereka belum ditakdirkan Allah lolos ke senayan berarti Allah masih memberi kesempatan kepadanya untuk lebih aktif berdakwah di masyarakat, lebih meningkatkan kualitas diri serta lebih bersosialisasi lagi kepada masyarakat, kadang yang menurut kita baik belum tentu baik di mata Allah Subhanahu Wata’ala dan sebaliknya yang jelek di mata kita justru baik menurut Allah Subhanahu Wata’ala.*

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews