Mengapa SBY lebih tertarik mengomentari aksi FPI Daripada kejahatan internasional perdagangan orang yang terjadi di Kendal?.
Banyak pihak tersentak begitu mengetahui terjadi sebuah Insiden yang melibatkan Preman-preman penjaga Lokalisasi Alaska (Alas Karet), Sukorejo, Kab Kendal, Warga yang terpancing peristiwa tabrakan, dengan pihak Front Pembela Islam. Buah insiden hasil provokasi tersebut langsung disantap antek-antek Liberal pembenci Islam untuk dikembangkan menjadi opini publik yang mencerca FPI.
Padahal dibalik ini semua, terjadi penyesatan dan kebohongan luar biasa untuk menutupi sebuah Kejahatan yang dilarang secara Nasional maupun Internasional yaitu Tindak Pidana perdagangan orang khususnya Penampungan Pelacuran yang masuk dalam kategori kejahatan human trafficking.
Apa itu Kejahatan Tindak Pidana Perdagangan Orang ?
Kejahatan Perdagangan Orang, pada awalnya muncul dari konsep Hak Asasi Manusia yang terkandung dalam Universal Declation of Human Right sejak 10 Desember 1948 yang kemudian dilanjutkan dengan The Convention for the Suppression of the Traffic in Persons and of the Exploitation of the Prostitution of Others (Resolusi PBB No 317 tanggal 2 Desember 1949) dengan Pasal intinya berbunyi :
"Whereas prostitution and the accompanying evil of the traffic in persons for the purpose of prostitution are incompatible with the dignity and worth of the human person and endanger the welfare of the individual, the family and the community"
(Bahwa Pelacuran dan turutannya yang merupakan pendayagunaan/bukan sekedar pengiriman saja, dengan maksud untuk pelacuran adalah tidak memenuhi harga diri dan nilai-nilai dari manusia serta membahayakan kesejahteraan pribadi, keluarga maupun komunitas/masyarakat.
Konvensi tersebut kemudian ditegaskan lagi dalam CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) pada tahun 1979. Hanya sayangnya tafsir dan perkembangan CEDAW ini kemudian disesatkan oleh antek-antek liberal menjadi sebuah dalil untuk mendukung program emansipasi yang kebablasan, termasuk menyerang ajaran agama Islam khususnya Bab Perempuan.
Namun semangat anti pelacuran tetap hidup dan sempat mampir sendiri bersih dari pengaruh-pengaruh liberal di Indonesia masuk dalam kategori Human Trafficking yang selanjutnya membentuk Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Pasal 2 ayat 1 Undang-undang tersebut berbunyi :
Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Dalam ketentuan tersebut yang disebut dengan eksploitasi sangat jelas diatur dalam ketentuan umum undang-undang tersebut khususnya Pasal 1 butir ke 7 yang berbunyi :
7. Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
Maka jelaslah, Lokalisasi (penampungan) Pelacuran seperti ALASKA dahulu bernama SARIM yang diminta ditutup oleh FPI, memang melanggar Pasal 2 ayat 1 tersebut dan hal mana berupa sebuah Kejahatan Perdagangan Orang dengan ancaman hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 15 Tahun.
Sekarang semua pihak yang lebih mementingkan “cara” yang dianggap dilakukan FPI dalam upayanya menutup sarang kejahatan tersebut dapat dianggap langsung atau tidak langsung turut serta melindungi kejahatan tersebut. Sehingga dikarenakan hal tersebut secara Nasional maupun Internasional sudah dianggap suatu Kejahatan, maka para pelaku dan pendukung-pendukungnya patut dilaporkan kepada Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB.
Mencermati komentar-komentar mengenai insiden FPI di Kendal termasuk dari SBY, maka seakan-akan orang dilupakan atau sengaja untuk dilupakan bahwa dibalik peristiwa itu, ada perlawanan terhadap suatu kejahatan yang sudah dinyatakan sebagai Kejahatan Internasional yaitu Kejahatan Perdagangan Orang. Apabila ditarik kedalam suatu kewajiban yang melekat pada SBY sebagai Presiden RI, maka jangan disalahkan apabila kemudian orang menduga SBY sengaja menutupi atau setidak-tidaknya membiarkan praktik lokalisasi pelacuran yang jelas-jelas ada di ALASKA Sukorejo, Kendal. Begitu pun dengan fakta masih banyaknya Lokalisasi Pelacuran yang tetap aman menjalankan bahkan di kota Jakarta tempat Pusat Pemerintahan.
0 comments:
Post a Comment