Thursday 6 February 2014

Menghapus Lokalisasi vs Mempahlawankan Pezina


PARA wanita tuna susila (WTS) tampaknya akan semakin enjoy berzina, setelah Bupati Kendal, Jawa Tengah, Widya Kandi Susanti, menyematkan gelar “pahlawan keluarga” pada mereka. Ya, dengan alasan mereka umumnya bekerja untuk menghidupi keluarga, maka tidak manusiawi jika tempat pelacuran ditutup.

“Selain tidak manusiawi, dengan ditutupnya lokalisasi akan menimbulkan persoalan baru, yaitu menambah kemiskinan dan merebaknya penyakit kelamin. Pasalnya, kemungkinan para PSK itu akan mangkal di jalan-jalan bila lokalisasi ditutup,” kata Widya (Kompas.com, 23/01/14).

Tak hanya itu, Widya juga berencana mengganti slogan “Kendal Beribadat” menjadi “Kendal Hebat”. Menurutnya, “beribadat” mempunyai arti yang positif, sementara di Kendal masih ada beberapa tempat pelacuran besar dan juga banyak pengguna narkoba. “Kalau nanti slogannya diganti dengan ‘Kendal Hebat’, bisa memotivasi orang Kendal untuk bisa menjadi orang hebat. Sebab, orang hebat bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak,” cetusnya (idem).

Buah SePILIS

Ibu Bupati yang terhormat adalah seorang perempuan, muslimah berkerudung yang penulis yakin, sangat shalehah, taat pada suami, selalu menjalankan ibadah sehari-hari tanpa absen. Sayangnya, penampilan islami itu tidak diikuti dengan pola pikir yang islami pula.

Tapi, sejatinya, kita tidak perlu terkaget-kaget dengan pernyataan nyeleneh tersebut. Sebab, profil muslimah seperti itu bukan hanya ada pada diri sang Bupati Kendal. Sangat banyak putri-putri muslimah Tanah Air yang berkepribadian ganda: penampilan Islami, pola pikir sekuler.

Anda pasti tidak lupa dengan pandangan-pandangan kontroversial “cendekiawan” muslimah Musdah Mulia bukan?

Mereka –tokoh perempuan tersebut–, penulis yakin, tak pernah lupa menegakkan sholat lima waktu, puasa Ramadhan, mengeluarkan zakat, tilawah al-Quran setiap hari, bahkan tahajud, puasa Senin-Kamis dan amalan-amalan kebajikan lainnya.

Tapi, dari lisan –atau tulisannya– meluncurkan gagasan-gagasan yang bertolak-belakang dengan syariat Islam, bahkan terkadang menusuk Islam itu sendiri. Seperti melegalkan hubungan homoseksual, menentang keras poligami, menghujat jilbab sebagai budaya Arab dan tidak mewajibkannya, membela penganut agama lain atas dasar toleransi, mendukung aliran sesat dan menolak keras formalisasi syariat Islam dalam kancah kehidupan.

Di kalangan muslimah awam pun, tidak aneh saat ini bila ber-KTP Islam, tapi kelakuannya sangat tidak islami. Pacaran, berzina, berbohong, pengghibah, buka aurat, dll. Semua itu menunjukkan betapa lemahnya aqidah umat ini. Sebaliknya, betapa suksesnya penjajahan ideologi sekuler-liberal di benak kaum muslimah. Mereka terbuai gagasan-gagasan indah feminisme, sekulerisme, pluralisme dan liberalisme (SePILIS).

Sungguh disayangkan, booming busana muslimah yang membungkus tubuh perempuan, tidak diikuti dengan booming-nya pemahaman Islam sebagai way of life yang kafah. Pola pikir dan perilaku muslimah justru semakin jauh dari nilai-nilai Islam.

Ini adalah pekerjaan rumah para muslimah, agar tak melupakan kajian Islam dibanding mempercantik penampilan. Kalau untuk ke salon atau berburu busana muslimah di mal betah berjam-jam, bagaimana dengan mengikuti kajian-kajian Islam kafah? Saatnya bercermin, tak hanya untuk memperbagus penampilan, tapi juga mengubah pola pikir dengan memperkokoh tsaqofah Islam.

Bisnis Menggiurkan

Kembali menyoal pelacuran, alasan klasik bahwa penutupan lokalisasi sulit dilakukan karena justru akan liar, menunjukkan memang tidak ada itikad sungguh-sungguh untuk menutup pelacuran selama-lamanya. Hampir semua pemimpin (daerah) di negeri ini banyak berfikir ala SePILIS.

Mengapa? Karena dalam iklim liberal saat ini, pelacuran adalah bisnis menggiurkan. Transaksi prostitusi sungguh luar biasa. Berdasarkan perhitungan Biro Riset Infobank, nilai transaksi prostitusi per bulan sekitar Rp5,5 triliun. Angka itu berdasarkan asumsi jumlah pekerja seks komersioal (PSK) yang dikeluarkan beberapa lembaga seperti United Nations Development Programme (UNDP), Dinas Sosial, dan Komisi Penanggunalan AIDS (KPA), bahwa jumlah PSK di Indonesia sekitar 193.000-272.000. Angka ini tak berlebihan. Di luar Jawa seperti Bangka Belitung (Babel) saja, misalnya, Dinas Sosial merilis ada sekitar 7.441 PSK pada 2011.(infobank.news.com, 23/8/12).

Di Surabaya, dari enam lokalisasi saja ada sekitar 2.027 orang dengan 612 mucikari per 2011. Jumlah itu termasuk mengalami penyusutan ketimbang 2009 yang mencapai 3.225 PSK dan 868 mucikari. Di tempat lokalisasi seperti itu per satu orang PSK rata-rata mendapat pelanggan dua hingga tiga orang dalam sehari.

Urusan jumlah, Jakarta mencatatkan angga tertinggi. Pezina di ibukota ini diperkirakan mencapai 23.000 hingga 27.000 orang. Angka itu belum termasuk yang merangkap bekerja di tempat hiburan malam dan bekerja secara silent. Per 2011 pekerja hiburan malam di Jakarta mencapai 670.000 orang.

Berdasarkan hasil penelusuran tim Infobank, pekerja hiburan malam banyak yang merangkap sebagai wanita prostitusi. Di beberapa panti pijat, misalnya, wanita-wanita muda yang berprofesi sebagai terapis juga merangkap sebagai peramu nikmat. Bahkan, nilai transaksinya jauh lebih besar daripada hasil yang diperoleh panti pijat tempatnya berpraktik.

Tentu saja, kondisi ini sangat meresahkan. Hal itu menyebabkan menjamurnya kemerosotan moral. Keberadaan mereka memberi peluang bagi para lelaki hidung belang. Akibat selanjutnya, kegoncangan rumah tangga karena suami yang suka ¨jajan¨, penularan penyakit seksual dan termasuk kelahiran bayi-bayi tanpa nasab yang jelas.

Stop Regenerasi
Problem pelacuran menjadi salah satu penyakit sosial paling tua di kota-kota besar. Belum ada pemimpin negeri ini yang benar-benar mampu menumpas pelacuran tuntas hingga ke akar-akarnya. Padahal, bukan mustahil jika negeri ini bebas dari pelacuran.

Dulu, Jakarta punya Kramat Tunggak yang merupakan lokalisasi pelacuran terbesar di Asia Tenggara. Tahun 1990-an, jumlah pelacurnya lebih dari 2.000 orang di bawah kontrol sekira 258 mucikari. Tempat ini juga menjadi sumber penghidupan bagi lebih dari 700 pembantu pengasuh, sekira 800 pedagang asongan, dan 155 tukang ojek. Belum lagi tukang cuci dan pemilik warung-warung makanan yang bertebaran di sekitarnya. Lahan lokalisasi juga terus berkembang hingga 12 hektare. Namun pada 1999, atas ide Gubernur Sutiyoso, lokalisasi ini ditutup dan dibangun Jakarta Islamic Centre di sana.

Jadi, bukan tidak mungkin pelacuran bisa dihilangkan. Lagipula, para pelacur itu juga manusia. Sebagian dari mereka terjerumus di lembah hitam karena keterpaksaan. Desakan ekonomi, begitulah alasan klasiknya. Jika mereka dientaskan dan diberi kehidupan normal yang layak, naluri terdalam mereka niscaya tidak akan menolak. Terlebih jika usia semakin senja, akankah mereka melacur selamanya? Atau bahkan mewariskan kemaksiatan itu pada anak cucunya?

Sungguh kejam jika hal ini terus dibiarkan. Penghapusan pelacuran sangat penting agar tidak terjadi regenerasi prostitusi. Jangan sampai generasi muda yang saat ini begitu dekat dengan pergaulan bebas, mewarisi pelacuran sebagai pelampiasan.

Bukankah sekarang sudah begitu banyak gadis-gadis remaja menjadi korban perdagangan manusia? Mereka terjerumus ke lembah hitam, menggantikan para pendahulunya yang semakin layu dan tak lagi laku. Naúzubillahiminzalik.

Dengan demikian, penyematan gelar pahlawan pada pezina akan semakin menyuburkan kemaksiatan. Terlebih, dengan logika yang sama, semua pelaku kejahatan yang berdalih untuk menghidupi keluarga, bisa menuntut gelar yang sama. Penipu, bandar/pengedar narkoba, maling, rampok, begal, penjudi dan bahkan koruptor, apakah akan dipahlawankan juga?

Dukung Lokalisasi Pelacuran, NU Kehilangan Akal Sehatnya ?


Pernyataan PBNU bahwa lokalisasi pelacuran ada dasarnya dalam Islam sangatlah berbahaya. Baru kali ini organisasi Islam secara resmi membolehkan pelacuran (lokalisasi). Bila pernyataan itu tidak ditarik, maka bisa dikatakan bahwa PBNU dibawah Aqil Siradj ini telah melakukan ‘sunnah sayyiah’ yang dosanya bisa terus menerus, selama lokalisasi pelacuran masih ada di Indonesia.

Pernyataan PBNU ini juga menjadi landasan bagi para pelacur untuk tidak bertobat. Karena mereka telah disahkan oleh sebuah ormas Islam besar. Dan, ini bisa digunakan oleh para mucikari untuk makin memperbanyak lokalisasi dengan alasan agar pelacuran semakin teroganisir, tidak melebar kemana-mana (sebagai dalil yang diungkap http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,49730-lang,id-c,syariah-t,Dasar+Hukum+yang+Membolehkan+Lokalisasi-.phpx)

Sikap Islam terhadap (lokalisasi) pelacuran

Islam mendorong adanya pernikahan dan mencegah adanya perzinahan/pelacuran. Rasulullah saw menyatakan bahwa nikah adalah sunnahnya. “Barangsiapa membenci sunnahku maka ia bukan dari golonganku,”tegas Rasulullah.

Karena itu, nikah sangat dianjurkan dalam Islam. Anak muda yang tidak bisa menahan nafsunya juga dianjurkan untuk segera menikah. Begitu juga janda dan seterusnya. Bahkan laki-laki yang punya nafsu yang besar, dibolehkan nikah sampai empat dengan syarat bisa adil terhadap istri-istrinya.

Jadi tidak satupun ajaran Islam yang mendorong perzinahan. Islam bahkan mengecam keras perzinahan. Al Qur’an bahkan menyatakan bahwa bukan hanya zina diharamkan mendekati zinapun dilarang.

“Dan mereka yang menjaga farjinya, kecuali kepada istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka terhadap hal ini mereka tiada tercela” (QS Al Mukminun 6)

“Dan orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya)” (QS al Furqan 68)

“Dan janganlah kamu dekati zina. Karena zina itu perbuatan yang keji dan seburuk-buruk jalan.” (QS al Isra’ 22)

Sedangkan Rasulullah saw menyatakan:

“Sungguh diantara tanda-tanda kiamat ialah diangkatnya ilmu, banyaknya kejahilan, banyaknya perzinahan, banyaknya konsumsi khamr, serta sedikitnya lelaki dan banyaknya wanita sampai perbandingannya limapuluh banding satu.” Dalam sebuah riwayat disebutkan: “Ilmu sedikit dan kejahilan muncul.” (HR Bukhari Muslim).

“Janganlah salah seorang diantara kamu bersunyi-sunyi dengan seorang perempuan, kecuali disertai mahramnya.” (HR Bukhari Muslim).

“Hindarilah zina sebab ia menimbulkan enam dampak buruk, tiga di dunia dan tiga di akhirat. Yang di dunia, zina akan menghilangkan kegembiraan, menyebabkan fakir dan mengurangi umur sedangkan keburukan di akhirat nanti, zina menyebabkan pelakunya diazab, dihisab secara ketat dan kekal di neraka.” (HR Baihaqi).

“Umatku akan senantiasa baik selagi belum lahir anak zina di kalangan mereka. Jika anak zina sudah tersebar di kalangan mereka, maka aku bimbang Allah akan menimpakan azab-Nya kepada mereka.” (HR Ahmad)

Sudah merupakan pemahaman umum bagi muslim bahwa zina adalah perbuatan buruk dan wajib diketahui. Karena itu ia mesti dijauhkan dari masyarakat dan hal-hal yang menyebabkan adanya perzinahan meski diberantas atau dihindari. Termasuk di dalamnya lokalisasi, gambar atau film-film porno, atau pakaian-pakaian yang merangsang syakhwat.

Tidak ada dalam konsep Islam, hal yang mungkar dilokalisasi atau dibolehkan secara terbatas. Judi dan minuman keras misalnya tidak boleh dilokalisasi. Ia mesti dijauhkan atau dilarang dalam masyarakat. Bahkan –tidak sebagaimana di Barat- melakukan tindakan mungkar terhadap diri sendiri dan tidak ada orang lain yang mengetahuinya dilarang dalam Islam. Seperti minum khamr sendirian di kamar.

Makanya negara dalam Islam fungsinya yang utama adalah amar makruf nahi mungkar. Al Qur’an secara tegas menyatakan :

“Orang-orang yang kami beri kedudukan di bumi, mereka menegakkan shalat, menunaikan zakat dan melaksanakan amar makruf nahi mungkar dan kepada Allah kembali segala urusan.” (QS al Hajj 41).

Jadi pernyataan memahami lokalisasi dilakukan pemerintah karena khawatir tersebarnya AIDS adalah alasan batil. Sebab, lokalisasi pelacuran bisa dilarang secara langsung dalam suatu masyarakat. Sebagaimana di Jakarta, misalnya Sutiyoso menutup lokalisasi Kramat Tunggak dan kenyataannya tidak ada masalah. Begitu juga upaya Walikota Surabaya Risma yang menutup satu per satu lokalisasi di kotanya. Maka mestinya PBNU mendukung adanya upaya kepala daerah atau pimpinan negara untuk menutup lokalisasi bukan malah memahami atau mendukungnya dengan memakai dalil syar’i.

Mengenai alasan pemakaian kondom di lokalisasi agar tidak menular kepada istri juga alasan yang sangat berbahaya. Karena ini secara tidak langsung membolehkan pelacuran. Asalkan tidak membuat penularan penyakit kepada istri.

PBNU dalam situsnya juga menyatakan bahwa “Lokalisasi hadir sebagai solusi pemerintah untuk mengurangi dampak negatif perzinahan, bukan menghalalkannya. Dengan dilokalisir, efek negatif perzinahan dapat dikelola dan dikontrol sehingga tidak menyebar ke masyarakat secara luas, termasuk penyebaran virus HIV. Dengan kontrol yang ketat dan penyadaran yang terencana, secara perlahan keberadaan lokalisasi akan tutup dengan sendirinya karena para penghuninya telah sadar dan menemukan jalan lain yang lebih santun.”

Sejak merdeka sampai dengan sekarang kenyataannya dengan adanya lokalisasi, perzinahan atau pelacuran tidak berkurang. Malahan semakin banyak dan menjadi-jadi. Lihatlah karena sikap pemerintah yang tidak tegas melarang perzinahan (lokalisasi pelacuran) kini pelacuran dimana-mana. Anak-anak ABG banyak yang terjerat prostitusi di mall-mall dan lain-lain, karena sikap pemerintah yang tidak tegas ini.

Dalam Islam, seorang suami tidaklah dianjurkan sama sekali untuk menzinai perempuan lain apapun alasannya. Bahkan hukuman perzinahan antara suami yang sudah beristri dengan perempuan lain, hukumannya lebih keras yaitu dirajam atau dihukum mati.

Seorang suami dalam Islam bila menginginkan kebutuhan seks ia mesti menyalurkan kepada istrinya. Kalau istrinya tidak bisa memenuhi hasratnya ia dianjurkan untuk menikah lagi. Tidak ada jalan dalam Islam menyalurkan kebutuhan seks ke pelacur.

Begitulah akhlak seorang mukmin kepada istrinya. Bukan hanya berselingkuh dilarang dalam Islam, berbuat kasar kepada istri pun dilarang dalam Islam. Rasulullah saw berpesan:

“Orang mukmin yang lebih sempurna imannya adalah mereka yang berakhlak lebih baik dan lebih berlemah lembut kepada istrinya.” (HR Trimidzi)

“Yang terbaik dari kamu adalah yang terbaik kepada istrinya dan aku yang terbaik dari kamu kepada istriku.” (HR an Nasai).

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews