Kerancuan Berpikir Kiai Kanjeng nya MH Ainun Najib
MH Ainun Najib, budayawan asal Yogya yang juga ayah dari vokalis grub band Letto ini acapkali menggandeng pihak gereja untuk berkolaborasi dalam 'dakwahnya'.Bersikap wala kepada non muslim, namun tak jarang ia juga mendiskreditkan kelompok muslim lain.Sebagai konsekuensi dari kerancuan 'dakwah' Emha yang tidak sejalan dan bertentangan dengan konsep al-wala’ wal-bara’ itu, maka Emha dan Kyai Kanjengnya terancam akan kena laknat dari Allah Ta’ala, sebagaimana kaum Nabi Daud dan kaum Nabi Isa. Mereka adalah kaum yang durhaka dan melampaui batas oleh karena permisif terhadap kemungkaran, dan oleh karena kegemarannya tolong-menolong (al-wala’) dengan orang-orang kafir dan orang-orang musyrik seperti dalam QS al-Maidah ayat 79 – 80.
Free Download Ebook BSE
Dapatkan Ebook BSE (Buku Sekolah Elektronik) secara gratis, tanpa perlu registrasi,langsung download. Tersedia Ebook untuk tingkat SD, SMP, SMA maupun SMK.
Love Story di Medan Jihad Suriah
Mahmoud al-Halabi, seorang mantan sopir isteri menteri Suriah mungkin tak menyangka jika pada akhirnya dia akan menjadi mujahid melawan kebiadaban rezim Assad. Begitu juga dengan isterinya, Nour al-Hassan yang awalnya berprofesi sebagai penata rambut di sebuah salon yang akhirnya menjadi mujahid wanita yang berani di garis terdepan. Kisah cinta mereka bersemi justru ketika mereka berada di tengah medan jihad.
Nikah dengan Cowok 'Keren', Akankah Menjamin Hidup Bahagia ?
Wanita memang punya sifat dasar mudah condong dengan kemilau dunia, sampai terkadang menutup akal sehatnya. Salah satu dalilnya yaitu mengenai mayoritas pengikut Dajjal kelak, mereka yang lemah hatinya dan mudah terpengaruh dengan kemilau dunia karena Dajjal diberi kemampuan membuat 'surga' di dunia yang sejatinya adalah neraka. Dalam memilih pasangan hidup, tak sedikit dari mereka yang berpatokan pada tampang keren semata. Benarkah hanya dengan patokan itu akan menjamin hidupnya akan bahagia ?
Pahlawan Dalam Perspektif Islam
Pahlawan adalah orang-orang yang berjuang untuk menegakkan ideologinya, untuk kemuliaan kaumnya, dan untuk keyakinannya. Dia berkorban sedemikian rupa, dengan segala kegigihannya, mengorbankan pikiran, waktu, tenaga, harta, atau bahkan mengorbankan nyawanya untuk tegaknya ideologi tersebut. Berani mengatakan yang benar sebagai benar, yang haq sebagai haq.
Saturday 31 March 2012
4 Alasan KMKI Tolak RUU Kesetaraan Gender
Thursday 29 March 2012
RUU Kesetaraan Gender, Upaya Deislamisasi Kaum Sekuler (bag 2)
Tampak jelas, para penyusun RUU KKG ini kurang atau tidak memahami hakekat Islam sebagai agama wahyu, sehingga ia (mereka) memandang semua agama sebagai bagian dari budaya. Agama dipandang sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Semua ajaran agama – termasuk yang mengatur kedudukan dan hubungan laki-laki-perempuan – dipandang sebagai produk budaya, yang bisa diubah-ubah, mengikuti perubahan zaman, dan perubahan sosial-budaya.
Inilah sebenarnya cara pandang liberal terhadap agama. Yakni, menempatkan agama sebagai objek perubahan. Sungguh kasihan, jika seorang sudah terkena virus liberal semacam ini. Sebab, ia tidak akan mempunyai satu pegangan yang pasti dalam hidupnya, selain hawa nafsu-nya sendiri. Ayat-ayat al-Quran dan hadits yang sudah dipahami secara pasti – seperti konsep Islam, bahwa suami adalah pemimpin dalam keluarga – digugat dan dipaksa untuk berubah, mengikuti konsep keluarga dalam tradisi Barat modern yang meletakkan suami dan istri dalam posisi setara dalam segala hal.
Dalam artikelnya di Jurnal Islamia-Republika itu, Warsito – alumnus Magister Pemikiran Islam—Universitas Muhammadiyah Surakarta – mengupas perbedaan keluarga antara Islam dan Barat. Islam memandang keluarga sebagai suatu ikatan yang positif antara laki-laki dan perempuan. Ikatan pernikahan dalam Islam menimbulkan hak dan kewajiban, sehingga antara kedua makhluk itu melakukan kerjasama untuk memenuhi kewajiban mereka. Dalam kondisi seperti ini, secara otomatis hak-hak mereka terpenuhi.
Sebaliknya, di Barat, diterapkan model ‘pernikahan sederajat’ yang tidak mengakui adanya pemimpin maupun yang dipimpin dalam rumah tangga. Karena itu, di sana tidak dijumpai konsep wali, sebagaimana dalam pernikahan Islam. Dalam model ini, hubungan antara suami dan istri adalah hubungan kemitraan. Pembagian kerja dalam keluarga ditetapkan berdasarkan kesepakatan sebelum nikah. Inilah yang diusulkan sebagian kaum feminis, suatu bentuk ‘kawin kontrak’ (marriage contract). Dalam konsep ini, suami tidak dianggap sebagai kepala keluarga dan kewajiban mencari nafkah dilakukan bersama-sama.
Menurut Warsito, Islam menetapkan adanya struktur dalam keluarga sebagaimana struktur di masyarakat. Seorang suami menjadi pemimpin keluarga yang memiliki kewajiban untuk mencari nafkah bagi semua anggota keluarga. Beban kewajiban suami ini sebanding lurus dengan amanah kekuasaan yang diembannya, sebagai pemimpin. Perbedaan peran dalam setiap anggota keluarga menimbulkan sikap saling membutuhkan sehingga tercipta keserasian. Selain itu, ketaatan istri dan anak selalu diikat dengan ketaatan kepada Allah, sehingga tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan. Ketaatan semacam ini membawa pada ketenangan, karena didasari pada keyakinan akan ibadah kepada Allah SWT.
Masalahnya, lanjut Warsito, kaum feminis liberal memandang, ibu rumah tangga merupakan penjara bagi seorang perempuan untuk mengembangkan diri. Mereka menggambarkan ibu rumah tangga sebagai perempuan yang tertinggal, menjadi makhluk inferior, dan menderita. Untuk itu para perempuan lebih suka melakukan aborsi daripada menjadi seorang ibu. Menurut data Centers for Disease Control (CDC), jumlah aborsi antara tahun 2000-2005 mencapai angka 850.000. Data ini merupakan aborsi yang dilakukan secara legal padahal aborsi yang dilakukan secara illegal juga berjumlah besar.
Besarnya jumlah aborsi dan keengganan wanita menjadi ibu menjadikan Barat mengalami krisis generasi. Salah satu tokoh yang membahas masalah ini adalah George M. Barrow. Dia menulis buku yang berjudul Aging the Individual and Society. Dalam buku itu, disebutkan dua alasan yang menyebabkan barat mengalami krisis generasi. Pertama, tingginya angka harapan hidup dan kedua menurunnya angka kelahiran. (Georgia M. Barrow, Aging the Individual and Society, Amerika: West Publishing Company, tt. hal. 15)
Pendapat feminis ini berbeda dengan ajaran Islam. Islam telah mendudukkan ibu dalam posisi yang mulia dalam struktur keluarga. Perintah untuk menghormati kedua orang tua, Allah kaitkan dengan perjuangan seorang ibu yang dengan segenap kasih sayang dan kekuatannya melahirkan dan mendidik anak. Meskipun pemimpin dalam keluarga adalah seorang suami atau ayah, tetapi ibu adalah orang yang paling utama untuk dihormati dan disayangi. Ibu memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam menuntut ilmu.
Kehidupan bebas yang terlalu menekankan pada hak-hak anak di Barat membolehkan seorang anak menuntut emansipasi ke pengadilan. yaitu kebebasan anak secara mutlak dimana orang tua tidak boleh melarang maupun memerintah. Selain emansipasi, anak juga memiliki kebebasan melakukan hubungan seksual di luar nikah ketika menginjak usia dewasa. Kehidupan bebas dan tidak adanya ikatan antara orang tua dan anak menyebabkan nasib wanita tua begitu malang. Dia ditinggal oleh pasangan mereka karena tidak menarik lagi secara seksual, di saat yang sama anak-anak sibuk dengan kebutuhan diri mereka sendiri. Keadaan yang menyedihkan ini bisa dilihat dipanti-panti jompo yang kini menyebar di berbagai belahan dunia. (M. Sa’id Ramadhan al-Buthi, Perempuan antara kezaliman Sistem Barat dan Keadilan Islam, 2002:15)
Kini, lihat konsep anak dalam Islam! Anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban-kewajiban terhadap orang tua mereka. Tugas-tugas mereka antara lain; mentaati kedua orang tua selama tidak memerintahkan kepada hal-hal yang diharamkan oleh Allah; mereka harus mendahulukan permintaan ibu daripada ayah. Selain itu, mereka harus mendo’akan kedua orang tua baik ketika mereka masih hidup atau sudah meninggal dunia serta memperlakukan orang tua dengan penuh kasih sayang.
Pola kehidupan yang saling melengkapi ini bisa terwujud dengan adanya konsep perbedaan kewajiban dan hak antara anggota keluarga dalam Islam. Konsep ini sangat indah, bagi orang-orang yang mau berpikir dan mengakui dirinya adalah ciptaan dan hamba Allah SWT.
Demikian paparan Warsito, yang menulis tesis masternya di S2-UMS tentang perbandingan konsep keluarga dalam Islam dan peradaban Barat modern. Paparan ini penting untuk kita pahami, agar kita tidak salah pandang, menganggap seolah-olah konsep yang datang dari Barat bersifat universal, sehingga harus diglobalkan dan dipaksakan ke umat Islam. Karena itu, seorang Muslim yang memahami ajaran agamanya pasti tidak mudah terjerumus dan silau melihat konsep keluarga di Barat yang sebenarnya telah menjerusmuskan mereka ke lingkaran ketidakpastian tentang nilai dan masa depan keluarga – bahkan agama mereka sendiri.
Berlebihan dan zalim
Sebagian pegiat KKG di Indonesia bahkan sudah berpikir dan melangkah lebih jauh. Jurnal Perempuan (Maret 2008), memperjuangkan legalisasi perkawinan sesama jenis perempuan (lesbianisme), karena lesbian dianggap sebagai bentuk kesetaraan laki-laki dan perempuan yang tertinggi. Salah satu tuntutan para pegiat KKG dan lesbianisme adalah agar perkawinan sesama jenis juga mendapatkan legalitas di Indonesia. ”Pasal 23 Kovenan Hak Sipil dan Politik juga secara terbuka mencantumkan tentang hak membentuk keluarga dan melakukan perkawinan, tanpa membedakan bahwa pernikahan tersebut hanya berlaku atas kelompok heteroseksual,” tulis Jurnal yang mencantumkan semboyan ”untuk pencerahan dan kesetaraan”.
Seorang pegiat KKG, dalam artikelnya yang berjudul ”Etika Lesbian” di Jurnal Perempuan ini menulis: ”Etika lesbian merupakan konsep perjalanan kebebasan yang datang dari pengalaman merasakan penindasan. Etika lesbian menghadirkan posibilitas-posibilitas baru. Etika ini hendak melakukan perubahan moral atau lebih tepat revolusi moral.” Lebih jauh, ia menulis tentang keindahan hubungan pasangan sesama perempuan: ”Cinta antar perempuan tidak mengikuti kaidah atau norma laki-laki. Percintaan antar perempuan membebaskan karena tidak ada kategori ”laki-laki” dan kategori ”perempuan”, atau adanya pembagian peran dalam bercinta.
Dengan demikian, tidak ada konsep ”other” (lian) karena penyatuan tubuh perempuan dengan perempuan merupakan penyatuan yang kedua-keduanya menjadi subyek dan berperan menuruti kehendak masing-masing. Dengan melihat kehidupan lesbian, kita menemukan perempuan sebagai subyek dan memiliki komunitas yang tidak ditekan oleh kebiasaan-kebiasaan heteroseksual yang memaksa perempuan berlaku tertentu dan laki-laki berlaku tertentu pula.”
Jika RUU KKG ini disahkan dalam bentuknya seperti ini, akan terjadi suatu bentuk penindasan atau kezaliman terhadap kaum Muslim, yang mentaati ajaran agamanya. Sebab, pasal 67 RUU KKG menyebutkan: “Setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu.”
Lalu, pasal 70 RUU KKG merumuskan adanya hukuman pidana bagi pelanggar UU KKG: “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 67, dipidana dengan pidana penjara paling lama …. (….) tahun dan pidana denda paling banyak Rp … (….).”
Jadi, jika RUU KKG ini disahkan dalam bentuk seperti ini, bersiap-siaplah orang-orang Muslim akan dijebloskan ke penjara, karena mentaati ajaran agamanya. Dia, misalnya, bisa dipidana gara-gara melarang perempuan menjadi khatib jumat; membatasi wali dan saksi nikah hanya untuk kaum laki-laki; melarang anak perempuannya menikah dengan laki-laki non-Muslim; membeda-bedakan pembagian waris untuk anak laki-laki dan perempuan; membedakan jumlah kambing yang disembelih untuk aqiqah anak laki-laki dan perempuan, dan sebagainya.
Sebab, memang pada pasal 2 RUU KKG, sama sekali tidak dimasukkan asas agama. Yang ada hanya asas: Kemanusiaan, persamaan substantif, non-diskriminatif, manfaat, partisipatif, dan transparansi dan akuntabilitas.
Kita berdoa, mudah-mudahan orang Muslim, khususnya yang di legislatif dan pemerintahan, sadar benar akan kekeliruan RUU KKG ini. Tentu, kita semua tidak ingin menyamai prestasi Iblis; makhluk Allah yang hanya mau mengakui adanya Tuhan Yang Maha Esa, tetapi menolak diatur oleh-Nya. Wallahu a’lam bil-shawab.*/Bogor, 23 Maret 2012
Ilustrasi: (alm) Dr Nurcholis Madjid menikahkan putrinya dengan pria Yahudi
Artikel Sebelumnya :
RUU Kesetaraan Gender, Upaya Deislamisasi Kaum Sekuler
Wednesday 28 March 2012
Empat Langkah Mempelajari Islam yang Kamil
Karena itulah, Allah SWT langsung menjaminnya ke dalam surga.
Monday 26 March 2012
RUU Kesetaraan Gender, Upaya Deislamisasi Kaum Sekuler
Jika menelaah Draf RUU KKG/Timja/24/agustus/2011 yang mulai dibahas di DPR-- selanjutnya kita sebut RUU KKG – maka sepatutnya umat Muslim MENOLAK draf RUU ini. Sebab, secara mendasar berbagai konsep dalam RUU tersebut bertentangan dengan konsep-konsep dasar ajaran Islam. Ada sejumlah alasan yang mengharuskan kita – sebagai Muslim dan sebagai orang Indonesia – menolak RUU KKG ini.
Pertama, definisi “gender” dalam RUU ini sudah bertentangan dengan konsep Islam tentang peran dan kedudukan perempuan dalam Islam. RUU ini mendefinisikan gender sebagai berikut: “Gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.” (pasal 1:1)
Definisi gender seperti itu adalah sangat keliru. Sebab, menurut konsep Islam, tugas, peran, dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki baik dalam keluarga (ruang domestik) maupun di masyarakat (ruang publik) didasarkan pada wahyu Allah, dan tidak semuanya merupakan produk budaya.
Tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah keluarga adalah berdasarkan wahyu (al-Quran dan Sunnah Rasul). Sepanjang sejarah Islam, di belahan dunia mana saja, tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga sudah dipahami, merupakan perkara yang lazim dalam agama Islam (ma’lumun minad din bid-dharurah). Bahwa yang menjadi wali dan saksi dalam pernikahan adalah laki-laki dan bukan perempuan. Ini juga sudah mafhum.
Karena berdasarkan pada wahyu, maka konsep Islam tentang pembagian peran laki-laki dan perempuan itu bersifat abadi, lintas zaman dan lintas budaya. Karena itu, dalam tataran keimanan, merombak konsep baku yang berasal dari Allah SWT ini sangat riskan. Jika dilakukan dengan sadar, bisa berujung kepada tindakan pembangkangan kepada Allah SWT. Bahkan, sama saja ini satu bentuk keangkuhan, karena merasa diri berhak menyaingi Tuhan dalam pembuatan hukum. (QS at-Taubah: 31).
Jadi, cara pandang yang meletakkan pembagian peran laki-laki dan perempuan (gender) sebagai budaya ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab, sifat syariat Nabi Muhammad saw – sebagai nabi terakhir dan diutus untuk seluruh manusia sampai akhir zaman – adalah universal dan final. Zina haram, sampai kiamat. Khamr haram di mana pun dan kapan pun. Begitu juga suap adalah haram. Babi haram, di mana saja dan kapan saja. Konsep syariat seperti ini bersifat lintas zaman dan lintas budaya.
Syariat Islam jelas bukan konsep budaya Arab. Saat Nabi Muhammad saw memerintahkan seorang istri untuk taat kepada suaminya – dalam hal-hal yang baik – maka perintah Nabi itu berlaku universal, bukan hanya untuk perempuan Arab abad ke-7 saja. Umat Islam sepanjang zaman menerima konsep batas aurat yang universal; bukan tergantung budaya. Sebab, fakta menunjukkan, di mana saja dan kapan saja, perempuan memang sama.
Sudah ribuan tahun perempuan hidup di bumi, tanpa mengalami evolusi. Matanya dua, hidung satu, payudaranya dua, dan juga mengalami menstruasi. Perempuan juga sama saja, dimana-mana. Hanya warna kulit dan mungkin ukuran tubuhnya berbeda-beda. Karena sifatnya yang universal, maka konsep syariat Islam untuk perempuan pun bersifat universal.
Memang, tidak dapat dipungkiri, dalam aplikasinya, ada unsur-unsur budaya yang masuk. Misalnya, konsep Islam tentang perkawinan pada intinya di belahan dunia mana saja tetaplah sama: ada calon suami, calon istri, saksi, wali dan ijab qabul.Tetapi, dalam aplikasinya, bisa saja unsur budaya masuk, seperti bisa kita lihat dalam pelaksaan berbagai upacara perkawinan di berbagai daerah di Indonesia.
Alasan kedua untuk menolak RUU Gender sangat western-oriented. Para pegiat kesetaraan gender biasanya berpikir, bahwa apa yang mereka terima dari Barat – termasuk konsep gender WHO dan UNDP – harus ditelan begitu saja, karena bersifat universal. Mereka kurang kritis dalam melihat fakta sejarah perempuan di Barat dan lahirnya gerakan feminisme serta kesetaraan gender yang berakar pada ”trauma sejarah” penindasan perempuan di era Yunani kuno dan era dominasi Kristen abad pertengahan.
Konsep-konsep kehidupan di Barat cenderung bersifat ekstrim. Dulu mereka menindas perempuan sebebas-bebasnya, sekarang mereka membebaskan perempuan sebebas-bebasnya. Dulu, mereka menerapkan hukuman gergaji hidup-hidup bagi pelaku homoseksual. Kini, mereka berikan hak seluas-luasnya bagi kaum homo dan lesbi untuk menikah dan bahkan memimpin geraja.
Lihatlah, kini konsep keluarga ala kesetaraan gender yang memberikan kebebasan dan kesetaraan secara total antara laki-laki dan perempuan telah berujung kepada problematika sosial yang sangat pelik. Di Jerman, tahun 2004, sebuah survei menunjukkan, pertumbuhan penduduknya minus 1,9. Jadi, bayi yang lahir lebih sedikit dari pada jumlah yang mati.
Peradaban Barat juga memandang perempuan sebagai makhluk individual. Sementara Islam meletakkan perempuan sebagai bagian dari keluarga. Karena itulah, dalam Islam ada konsep perwalian. Saat menikah, wali si perempuan yang menikahkan; bukan perempuan yang menikahkan dirinya sendiri. Ini satu bentuk pernyerahan tanggung jawab kepada suami. Di Barat, konsep semacam ini tidak dikenal. Karena itu jangan heran, jika para pegiat gender biasanya sangat aktif menyoal konsep perwalian ini. Sampai-sampai ada yang menyatakan bahwa dalam pernikahan Islam, yang menikah adalah antara laki-laki (wali) dengan laki-laki (mempelai laki-laki).
Simaklah bagaimana kuatnya pengaruh cara pandang Barat dalam konsep ”kesetaraan gender” seperti tercantum dalam pasal 1:2 RUU Gender yang sedang dibahas saat ini: “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.” (pasal 1:2).
Renungkanlah konsep semacam ini. Betapa individualistiknya. Laki-laki dan perempuan harus disamakan dalam semua bidang kehidupan. Lalu, didefinsikan juga:
Alasan ketiga, RUU Gender ini sangat SEKULAR. RUU ini membuang dimensi akhirat dan dimensi ibadah dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan. Peradaban sekular tidak memiliki konsep tanggung jawab akhirat. Bagi mereka segala urusan selesai di dunia ini saja. Karena itu, dalam perspektif sekular, ”keadilan” hanya diukur dari perspektif dunia. Bagi mereka tidaklah adil jika laki-laki boleh poligami dan wanita tidak boleh poliandri. Bagi mereka, adalah tidak adil, jika istri keluar rumah harus seijin suami, sedangkan suami boleh keluar rumah tanpa izin istri.
Bagi mereka, tidak adil jika laki-laki dalam shalatnya harus ditempatkan di shaf depan. Dan sebagainya. Jika seorang perempuan terkena pikiran seperti ini, maka pikiran itu yang perlu diluruskan terlebih dulu. Biasanya ayat-ayat al-Quran dan hadits Rasulullah saw tidak mempan bagi mereka, karena ayat-ayat itu pun akan ditafsirkan dalam perspektif gender. Sebenarnya, perempuan yang kena paham ini patut dikasihani, karena mereka telah salah paham. Mereka hanya melihat aspek dunia. Hanya melihat aspek hak, dan bukan aspek tanggung jawab dunia dan akhirat.
Padahal, dalam perspektif Islam, justru Allah memberi karunia yang tinggi kepada perempuan. Mereka dibebani tanggung jawab duniawi yang lebih kecil ketimbang laki-laki. Tapi, dengan itu, mereka sudah bisa masuk sorga, sama dengan laki-laki. Perempuan tidak perlu capek-capek jadi khatib Jumat, menjadi saksi dalam berbagai kasus, dan tidak wajib bersaing dengan laki-laki berjejalan di kereta-kereta. Perempuan tidak diwajibkan mencari nafkah bagi keluarga. dan sebagainya.
Sementara itu, kaum laki-laki mendapatkan beban dan tanggung jawab yang berat. Kekuasaan yang besar juga sebuah tanggung jawab yang besar di akhirat. Jika dilihat dalam perspektif akhirat, maka suami yang memiliki istri lebih dari satu tentu tanggung jawabnya lebih berat, sebab dia harus menyiapkan laporan yang lebih banyak kepada Allah. Adalah keliru jika orang memandang bahwa menjadi kepala negara itu enak. Di dunia saja belum tentu enak, apalagi di akhirat. Sangat berat tanggung jawabnya.
”Dimensi akhirat” inilah yang hilang dalam berbagai pemikiran tentang ”gender”. Termasuk dalam RUU Gender yang sedang dibahas di DPR. Perspektif dari RUU ini sangat sekuler. (saeculum=dunia); hanya menghitung aspek dunia semata. Jika dimensi akhirat dihilangkan, maka konsep perempuan dalam Islam akan tampak timpang. Sebagai contoh, para aktivis gender sering mempersoalkan masalah ”double burden” (beban ganda) yang dialami oleh seorang perempuan karir.
Disamping bekerja di luar rumah, dia juga masih dibebani mengurus anak dan berbagai urusan rumah tangga. Si perempuan akan sangat tertekan jiwanya, jika ia mengerjakan semua itu tanpa wawasan ibadah dan balasan di akhirat. Sebaliknya, si perempuan akan merasa bahagia saat dia menyadari bahwa tindakannya adalah satu bentuk ibadah kepada Allah SWT.
Karena itu, jika Allah tidak memberi kesempatan kepada perempuan untuk berkiprah dalam berbagai hal, bukan berarti Allah merendahkan martabat perempuan. Tapi, justru itulah satu bentuk kasih sayang Allah kepada perempuan. Dengan berorientasi pada akhirat, maka berbagai bentuk amal perbuatan akan menjadi indah. Termasuk keridhaan menerima pembagian peran yang diberikan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Pada akhirnya, dalam menilai suatu konsep – seperti konsep Kesetaraan Gender – seorang harus memilih untuk menempatkan dirinya: apakah dia rela menerima Allah SWT sebagai Tuhan yang diakui kedaulatannya untuk mengatur hidupnya? Seorang Muslim, pasti tidak mau mengikuti jejak Iblis, yang hanya mengakui keberadaan Allah SWT sebagai Tuhan, tetapi menolak diatur oleh Allah SWT. Seolah-olah, manusia semacam ini berkata kepada Allah SWT: ”Ya Allah, benar Engkau memang Tuhan, tetapi jangan coba-coba mengatur hidup saya! Karena saya tidak perlu segala macam aturan dari-Mu. Saya sudah mampu mengatur diri saya sendiri!” Na’dzubillahi min-dzalika.
Kedepan, tuntutan semacam ini mungkin akan terus bertambah, di berbagai bidang kehidupan. Sesuai dengan tuntutan pelaksaan konsep Human Development Index (HDI), wanita dituntut berperan aktif dalam pembangunan, dengan cara terjun ke berbagai sektor publik. Seorang wanita yang dengan tekun dan serius menjalankan kegiatannya sebagai Ibu Rumah Tangga, mendidik anak-anaknya dengan baik, tidak dimasukkan ke dalam ketegori ”berpartisipasi dalam pembagunan”. Tentu, konsep semacam ini sangatlah aneh dalam perspektif Islam dan nilai-nilai tradisi yang juga sudah dipengaruhi Islam.
Daripada bergelimang ketidakpastian dan dosa, mengapa pemerintah dan DPR tidak mengajukan saja ”RUU Keluarga Sakinah” yang jelas-jelas mengacu kepada nilai-nilai Islam? Buat apa RUU Gender diajukan dan dibahas? Dari tiga naskah akademik yang saya baca, tampak tidak ada dasar pemikiran yang kuat untuk mengajukan RUU Kesetaraan Gender ini. RUU ini cenderung membesar-besarkan masalah, dan lebih menambah masalah baru. Belum lagi jika RUU ini melanggar aturan Allah SWT, pasti akan mendatangkan kemurkaan Allah SWT.
Tugas kita hanya mengingatkan! Wallahu a’lam bil-shawab.*/ Jakarta, 16 Maret 2012
Ilustrasi: Tokoh Islam liberal, Dr Aminah Wadud menjadi imam shalat yang campur-aduk, di mana makmumnya pria