Monday 28 September 2015

Mengapa MetroTV dan Media Liberal Selalu Menyudutkan Arab Saudi ?


Jamaah haji setiap tahun yang jumlahnya diperkirakan mencapai 4 juta orang, membutuhkan manajemen dan pengelolaan yang ekstra tinggi dan kerja keras tiada henti. Beberapa hal kecil yang bisa dilihat misalnya;

1. Jika 1 orang jamaah membutuhkan 20 liter air bersih untuk standar minimal MCK di luar zam-zam, maka sehari Mekah memerlukan sekitar 20 liter x 4 juta orang = 80 juta liter air. Bagaimana menyediakan 80 juta liter air setiap hari untuk keperluan MCK jamaah haji, padahal lembah hijaz itu, tidak ada sumber air selain zam zam. Sumber Air bersih untuk kebutuhan MCK adalah laut merah, yang disuling, itupun harus dialirkan sejauh 60 km. Anda yang pernah haji atau umrah, pernahkah kesulitan mendapatkan air bersih? Atau pernahkah terdengar keluhan dari jamaah yang kekurangan air, atau tandon yang kosong, atau kran yang macet seperti di negara kita? Tidak ada ada bukan?

2. Lalu bagaimana menyediakan 12 juta liter air zam-zam setiap hari untuk kebutuhan wudhu dan minum jamaah, belum lagi air zam-zam yang disediakan pemerintah Saudi untuk dibawa pulang secara gratis? Pernahkah terdengar ada jamaah yang mengeluh karena kehausan atau tidak kebagian air zam-zam?

3. Kita beralih ke soal sampah. Jika seorang jamaah menghasilkan sampah 20 gram saja sehari, berarti 20 gr x 4 juta = 80 juta gr = 8 ton sampah kering perhari yang harus dibersihkan dan disediakan tempat penampungan. Kita tidak bisa bayangkan, andai kota Mekah ada di bumi jakarta. Betapa pusingnya pemerintah DKI dalam menanganinya. Mungkin presiden harus sediakan menteri khusus urusan sampah

4. Selanjutnya masalah Sanitasi.
Untuk bisa BAB, tentu butuh sarana dan prasarana. Sekarang, berapa kotoran padat dan cair manusia di Mekah yang harus dibersihkan? Jika seorang jamaah buang kotoran padat 5 gram dan ½ liter kotoran cair, tentu jumlahnya mencapai sekitar 20 ton kotoran padat dan 40 ton kotoran cair. Adakah jamaah mengeluh terkena penyakit akibat sanitasi yang mampet? Atau masalah MCK yang gak beres? Hampir tidak kita jumpai bukan?

Mungkin Anda perlu tahu, pengelola masjidil haram setiap hari harus menumpahkan cairan desinfektan untuk mencegah pencemaran lingkungan. Tenaga kerja pembersih masjidil haram terbagi dalam 3 shift dan beberapa jenis pekerjaan. Singkatnya ratusan tenaga pembersih harus dikerahkan setiap shift agar masjidil haram tetap bersih dan nyaman.

Mari kita hitung, jika seorang tenaga kerja dibayar 500 riyal saja per-bulan (ini angka kasar minimal), berapa juta riyal yang harus dikeluarkan untuk biaya tenaga kerja itu? Adakah jamaah diminta untuk infak? Atau Anda pernah melihat ada kotak infak bersliweran di masjidil haram? Jutaan riyal dikeluarkan pengurus masjidil haram, sementara kita sepeserpun tak diminta iuran, dan kita nyinyir? Satu lagi yang tidak bisa dihitung dengan uang secara instan, yaitu keamanan dan stabilitas di Mekah. Tanpa ini, anda tidak mungkin bisa berhaji atau berangkat Umrah dengan aman dan nyaman.

Negara maju aja tidak ada yang nyinyir mengomentari tragedi tersebut, tidak Jerman, tidak Amerika, tidak pula Jepang. Hanya Metro TV dengan media syiah dan kelompok liberal saja yang pandai berkomentar. Mungkin Metro Group punya proposal yang lebih bagus bagaimana mengelola 4 juta jamaah haji. Atau mungkin para komentator itu lebih hebat dari Jerman, Amerika dan Jepang!

Kita semakin yakin, sebenarnya tujuan besar mereka bukan dalam rangka kritik kebijakan pemerintah Saudi, toh mereka juga tidak punya kepentingan dengan itu. Tapi kritik Saudi, hakekatnya untuk menyudutkan Wahabi. Mengapa syiah dan liberal selalu bersinergi?

Thursday 3 September 2015

Nasehat Sunan Bonang Terkait Bid'ah


Diantara dokumen-dokumen dan catatan sejarah tentang Walisongo adalah “Het book van Bonang”. Dokumen ini merupakan salah satu teks sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid. Saat ini dokumen itu tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti. Diantaranya disertasi Dr. B.J.O. Schrieke tahun 1816, dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, serta Dr. Pj Zoetmulder Sj, tahun 1935. (Lihat karya disertasi B.J.O Schrieke yang berjudul Het Book van Bonang dalam bahasa Belanda)

Menurut Pemerhati Sejarah Kerajaan Jawa, E.A. Indrayana, buku asli karya Sunan Bonang itu berada di perpustakaan Leiden-Belanda dan menjadi salah satu dokumen langka dari Zaman Walisongo. Kalau tidak dibawa Belanda, barangkali dokumen yang amat penting itu sudah lenyap. Buku ini ditulis oleh Sunan Bonang pada abad 15 yang berisi tentang ajaran-ajaran Islam.

Dalam naskah kuno itu diantaranya menceritakan tentang Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan. ”Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid’ah.”

Sunan Kalijogo menjawab, “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”.

Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi, dan diterbitkan ‘Penerbit Terbit Terang’ – Surabaya, dikupas cukup panjang lebar mengenai masalah ini. Sunan Kalijogo, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati, dan Sunan Muria yang dianggap mewakili kaum abangan dikisahkan berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Bonang, Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat sebagai wakil dari kaum putihan.

Sunan Kalijogo mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji (Sesaji), wayang, dan gamelan, disisipkan ajaran Islam. Sedangkan Sunan Ampel berpandangan lain. “Apakah tidak mengkhawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi Bid’ah?” kata Sunan Ampel.

Sunan Kudus menjawab bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari kelak, akan ada yang menyempurnakannya (hal. 41, 64).

Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati, dan terutama Sunan Giri, berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Mereka menghindarkan diri dari bentuk sinkretisme (mencampurkan) ajaran Hindu dan Buddha dengan Islam.

Namun sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Buddha di dalam menyampaikan ajaran Islam.

Maka wajar jika sampai saat ini, di Indonesia, khususnya di Jawa, budaya-budaya itu masih ada di sekitar masyarakat, seperti sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan, dll [Sumber: Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, hal. 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu].

Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “Het Book van Mbonang” adalah peringatan dari Sunan Bonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana cinta kasih, dan mencegah diri dari kesesatan dan bid’ah.

“Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah,” sebagaimana kata Abu Yahta Arif Mustaqim, pengedit buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hal. 12-13.


Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ah.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews