Wednesday, 3 July 2013

Jelang Ramadhan, Hadits-Hadits Dho’if Kembali Bergentayangan


Dalam menjalankan ibadah Ramadhan, kaum muslimin dituntut untuk membekali dirinya dengan beberapa kesiapan, baik itu fisik, materi, atau ilmu. Sebab, bila salah satu dari ketiganya luput, kualitas puasa kita yang akan jadi taruhannya.

Selanjutnya, menyiapkan poin terakhir di atas sangatlah penting. Tidak hanya bagi masyarakat awam, tapi juga bagi para ustadz, dai atau mubaligh. Mereka harus membekali diri dengan pengetahuan yang optimal seputar hukum puasa, agar dalam menyampaikan materi dakwah berdasarkan ilmu dan analisa. Sebab, pada kenyataannya, para dai banyak yang kurang teliti dan hati-hati dalam menyampaikan ilmunya. Contoh yang di kritisi pada artikel ini adalah dalam masalah mengutip hadits Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.

Telah dimaklumi kegigihan para ulama hadits (Muhadditsin) dalam menghimpun hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan membukukannya merupakan sumbangsih terbesar setelah pembukuan Al-Qur’an. Sebab, Hadits Nabawi adalah referensi hukum kedua setelah kitabullah. Para muhadditsin dengan metodologi yang sangat cermat dan teliti berusaha mensterilkan big project mereka dari virus-virus hadits maudhu’ dan dhaif agar sunnah Nabawiah tetap terpelihara keotentikannya.

Pada bulan Ramadhan, ternyata para dai kita tanpa disadari banyak menyepelekan jerih payah para muhadditsin di atas. Mereka tanpa beban kerap mensitir hadits-hadits dhoif bahkan maudhu’ tanpa mengklarifikasi derajat haditsnya. Pada akhirnya hadits-hadits tersebut begitu mudahnya diterima oleh masyarakat kita.

Contohnya beberapa kasus seperti doa, ”Allohumma barik lana fi Rojaba wa Sya’bana wa balligna Romadhona.”(HR. ahmad, At-Tobroni, Al-Bazzar dan Al-Baihaqi). Hadits ini ternyata sangat lemah. Ia diriwayatkan hanya melalui satu jalur saja yaitu dari Zaidah bin Abiroqqod. Ia adalah sumber cacat hadits ini. Imam Al-Bukhori, An-Nasa’I dan Ibnu Hajar menyebutnya sebagai mungkarul hadis artinya seorang yang amat fatal kesalahannya, pelupa, dan jelas kefasikannya. Setidaknya para dai bila ingin terus memakai doa ini, hendaklah tanpa menisbatkannya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam atau sebagai pelajaran dengan menyertakan derajat hadisnya. Tentu itu lebih selamat. Demikian menurut Imam Ibnu Hibban.

Hadits kedua “permulaan Ramadhan itu rahmat, pertengahannya magfiroh dan penghabisannya adalah pembebasan dari neraka.” (HR. Addailamy dan Ibnu ‘Asakir). Ungkapan yang sangat masyhur ini selalu didengungkan oleh para dai tapi sedikitpun mereka tidak pernah menyertakan kualitas haditsnya. Menurut Imam As-Suyuti dan al-Hafizh Ibnu Hajar, hadis ini amat lemah. Sedang menurut Syeikh Albani, hadis ini mungkar. Otak masalahnya adalah karena terdapat dua orang perawi yaitu Sallam bin Shallallahu Alaihi Wasallamwar dan Maslamah Bin Al-Salt. Perawi pertama adalah seorang mungkarul hadis menurut Ibnu ‘Adi. Adapun Imam Khotib Al-Bagdadi menegaskan tidak boleh berhujjah dengan hadisnya. Adapun Maslamah juga setali tiga uang dengan Sallam bin Sawwar.

Berpedoman dengan hadits mungkar di atas, otomatis menyetujui klasifikasi Ramadhan menjadi 3 bagian, padahal Ramadhan tidak mengenal pengklasifikasian seperti itu (rahmat, magfiroh, dan pembebasan dari neraka). Ramadhan adalah bulan yang menghimpun tiga keutamaan itu dari awal sampai akhirnya.

Ketiga: ”Sedekah paling baik adalah bersedekah pada bulan Ramadhan.” Hadits yang sebenarnya panjang ini diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dan Al-Baihaqi dari jalur Sodaqoh bin Musa. Imam Abu Hatim menganggapnya terlalu lunak walaupun haditsnya ditulis tapi tidak bisa dipakai berdalil. Imam Tirmizi sendiri memiliki komentar miring terhadap Sadaqoh. Alangkah baiknya para dai dan penceramah tidak menggunakan hadits ini sebagai dalil kecuali bila disertai dengan menyebut komentar para ulama.

Hadits keempat yang tak kalah masyhur, ”Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, ”seandainya ummatku mengetahui pahala ibadah bulan Ramadhan, niscaya mereka menginginkan agar Ramadhan menjadi satu tahun penuh.” Hadits yang dikutip oleh Syaikh Usman al-Khubari dalam kitabnya, Durroh An-Nasihin, sebuah kitab yang banyak dikritik oleh para muhadditsin karena kandungan hadits-hadits lemah, palsu, dan kisah-kisah imajinatif (DR. Luthfi Fathullah telah menghimpun semuanya menjadi sebuah buku).

Hadits yang sebenarnya panjang ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya, Al-Baihaqi dan Abu ya’la. Matannya berisi janji muluk-muluk di antaranya bahwa siapa pun yang berpuasa Ramadhan sehari, ia akan beristrikan seorang bidadari dengan deskripsi yang sangat elok. Secara keseluruhan terdapat musykil di dalam hadits ini, baik dari segi matan dan sanadnya. Dalam sanadnya terdapat Jarir bin Ayyub Al-Bajali yang oleh Imam Ibnu Jauzi dinilai pemalsu hadits, matruk dan mungkar. Tiga predikat tadi memperparah derajat hadits ini. Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan menilai Jarir masyhur dengan kelemahannya. Sebenarnya Imam Ibnu Khuzaimah pun ragu akan keshahihannya. Terbukti beliau menambahkan catatan “jika hadis ini shahih”, setelah menulisnya.

Kelima, Ungkapan yang paling rada aneh lalu dianggap hadist adalah, ”Tidurnya orang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya berlipat ganda, doanya makbul, dan dosanya diampuni.” (HR. Al-Baihaqi) Kalimat pertama kerap dijadikan dalih bagi para pemalas yang menghabiskan waktunya dengan tidur-tiduran. Adapun kalimat berikutnya tak pernah disebut-sebut. Oleh Imam Al-Baihaqi sendiri, beliau menilai hadis ini dhaif karena terdapat Ma’ruf bin Hisan dan Sulaiman bin Amr Al Nakha’I di dalam rantai sanadnya. Imam Ahmad, Al-Iraqi, dan Al-Minawi sepakat menyebut Sulaiman sebagai pendusta dan pemalsu hadis. Ternyata hadis yang selama ini sering kita jadikan dalih adalah hadis palsu.

Keenam, “Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.”
Hadis tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam Al Kamil dari jalan Nahsyal bin Sa’id, dai Ad Dhahhak dari ibnu Abbas. Nahsyal termasuk yang ditinggal karena dia pendusta dan Ad Dhahhak tidak mendengarkan dari ibnu Abbas. Diriwaatkan pula oleh Abu Nu’aim dalam Ath Thibun Nabawiy dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhair bin muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih dari Abi hurairah. Dan sanad hadits ini lemah. Ibnu Abi Hatim berkata, “Hafalannya (Zuhair bin Muhammad) jelek.”

Tidak bisa dipungkiri bahwa puasa berdampak positif bagi kesehatan. Kini puasa banyak disarankan oleh para pakar sebagai terapi penyembuhan. Namun, kita perlu hati-hati mensitir ungkapan di atas sebagai hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.

Catatan terakhir adalah jawaban Rasul Shallallahu Alaihi Wasallam saat ditanya tentang resep kesehatan beliau dan para sahabat, ”Kami adalah kaum yang tidak makan sehingga kami lapar dan apabila kami makan tidak sampai kenyang.” Jawaban yang tidak bertentangan dengan ilmu kesehatan. Tapi apakah itu benar sabda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam? Prof. DR. KH. Ali Mustafa Yaqub telah menelusuri asal-usul hadis ini, tetapi tak kunjung ditemui dalam kitab-kitab hadis. Beliau malah menemukannya dalam kitab al-Rahmah Fitthib wal hikmah karya Imam As-Suyuti. Ternyata hadis di atas adalah jawaban seorang thabib dari Sudan saat ditanya oleh Kisra Persia tentang obat apa yang paling manjur.

Kisah di atas juga dinukil oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Madarij Al-Shu’ud. Dengan ini cukuplah bagi para da’i sebuah hadis yang dianggap shohih oleh para ulama seperti hadis sepertiga untuk makanan, sepertiga minuman dan sepertiganya lagi untuk minuman untuk disampaikan kepada jamaah agar tidak berlebih-lebihan dalam berbuka.

Untuk lebih lengkapnya, para pembaca dapat menelaah hadis-hadis bermasalah seputar Ramadhan dalam kitab Tahzhirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi Ad-Daifah Haula Romadhon karya Syaikh Ibnu Umar Abdullah Muhammad Al-Hamadi, buku Majalis Ramadhaniah karya Syaikh Dr. Salman Fahd Al-Audah,buku Hadits-hadits Palsu Seputar Ramadhan karya Prof.KH. Ali Mustafa Yaqub, salah seorang muhaddits ternama Indonesia, buku Sifat Puasa Nabi Sallallahu Alaihi wa Sallam karya Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Salim Al Hilali. Tulisan ini banyak diambil dari referensi di atas.

Mengingat betapa pentingnya menjaga diri agar tidak terjebak dalam menyampaikan berbagai ungkapan atas nama Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan mengingat para dai adalah penyambung lidah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, sungguh tidak pantas apabila mereka enggan menyeleksi dalil-dalil yang mereka sampaikan. Hadits-hadits bermasalah di atas sudah bergentayangan. Padahal para ulama jauh-jauh hari sudah mengoreksinya lewat karya-karya mereka. Semoga semua ini bukan kesengajaan karena “Barangsiapa yang berbohong atas atas namaku secara sengaja, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka”(Muttafaq Alaih)

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews