Monday 28 January 2013

Konsistensi 'Jihad' Hanung dalam Memerangi Islam

KETIKA memproduksi Film 2012, Sutradara Rolland Emmerich bermaksud memasukkan Mekah, yang didalamnya ada Masjidil Haram sebagai salahsatu bangunan yang ikut dihancurkannya dalam film yang bertemakan kiamat itu. Namun atas saran Harald Kloser—sang penulis naskah, Rolland akhirnya mengurungkan niatnya. Alhasil, film berdurasi 158 menit yang diproduksi sejak 2008 dan ditayangkan pada 2011 di Indonesia ini, tidak kita temukan Masjidil Haram hancur seperti halnya St. Petters Basilica di Roma, atau Gedung Putih di Amerika selama suasana peristiwa kiamat digambarkan secara detail dan apik.

Rolland bukanlah sutradara baru atau orang yang baru kenal film, hingga memutuskan untuk tidak menghancurkan Mekah sebagai mana menimpa patung Yesus Kristus di Rio De Jaeniro, Brazil, atau kuil di Tibet. Rolland merasa perlu mendengarkan pendapat orang lain, sebelum memutuskan perlu dihancurkan/tidaknya situs kebanggaan yang sangat dihormati oleh milyaran umat Islam di dunia itu. Terbukti, Rollad pun mengakui benar atas apa yang baru saja dilakukannya. Bagi sutradara Film Stargate (1994), Independence Day (1996), The Day After Tomorrow (2004), 2012 (2009), dan Anonymous (2011) ini, lebih baik meninggalkan sesuatu yang menyebabkan dirinya dibenci di seluruh dunia gara-gara sebuah fatwa yang bisa saja dikeluarkan sehingga bisa membuatnya rugi di seluruh dunia.

"Well, I wanted to do that, I have to admit. But my co-writer Harald said I will not have a fatwa on my head because of a movie. And he was right. We have to all in the Western world think about this. "You can actually let Christian symbols fall apart, but if you would do this with Arab symbol, you would have a fatwa, and that sounds a little bit like what the state of this world is,” ujar Rolland suatu saat.

Adalah hak seorang Rolland ketika dirinya memutuskan untuk menghancurkan Patung Yesus Kristus sebagai simbol Kristen, dan memilih tidak menghancurkan Mekah sebagai simbol Islam. Meskipun dua-duanya bisa dia lakukan, namun pertimbangan Rolland maupun penulis naskah Harald Kloser sebagai orang film profesional untuk menghindari kutukan dan kebencian terhadap mereka dari umat Islam seluruh dunia, menurut saya cukup menarik. Apalagi, baik Rolland maupun Harald, bukanlah Muslim sehingga keputusan untuk menghormati simbol agama Islam oleh mereka, patut dijadikan pelajaran berharga bagi sutradara Muslim dimanapun, termasuk di Indonesia.

Awal tahun 70-an, tepatnya tahun 1973, sebuah film The Exorcist karya William Friedkin yang menuai kontroversi karena menggambarkan seorang gadis melakukan masturbasi di Gereja. Film ini sebenarnya menggambarkan adanya seorang gadis cilik yang kesurupan, sehingga perilakunya bisa dibilang sangat menyimpang. Meski begitu, bukan berarti pihak Gereja menerima begitu saja alasan William untuk menempatkan Gereja sebagai tempat masturbasi.

Pada tahun 1988, sebuah Film The Last Temptation of Christ karya Martin Scorsese akhirnya tutup di hampir semua negara yang akan menayangkannya. Pihak Kristen berkeberatan karena di dalam Film tersebut digambarkan Yesus Kristus sedang meniduri Maria Magdalena. Para pemrotes tidak mau melihat Yesus Kristus digambarkan sebagai manusia yang memiliki nafsu dan bersenggama.

Tahun 2004 silam, sebuah film garapan Mell Gibson The Passion of the Christ yang mengisahkan kisah detik-detik penyaliban Yesus Kristus. Film ini ditentang karena dituduh oleh Yahudi telah mempermalukannya. Namun, Gibson selamat karena kisah itu diakuinya memang berasal dari Kitab Perjanjian Baru.

Setelah itu, banyak film penghinaan terhadap simbol Islam bermunculan di dunia maya, bahkan sekarang lebih bervariasi karena dibumbui dengan kartun nabi dan sebagainya.

Di Indonesia, mungkin hanya Sutradara Hanung Bramantyo saja yang berani secara terbuka melakukannya. Pada Film “?” (baca: tandatanya), Hanung sengaja membuat penonton marah. Pasalnya, dalam film yang dibuat bersamaan dengan perayaan Natal 2011 ini, Hanung tidak takut men-set up Masjid sebagai background adegan ritual ibadah pemeluk Kristiani. Pada sebuah adegan, digambarkan seseorang yang berlatih menjadi Yesus yang sedang memanggul kayu salib. Latihan menjadi Yesus yang sedang memanggul kayu salib ini dilakukan di areal Masjid.

Selain itu, Hanung juga dengan sangat jelas mempertontonkan adegan SARA karena membiarkan aktor etnis China mengucapkan “Dasar Teroris Anjing!” kepada jamaah Masjid, dan sengaja membenturkan antara Muslim dengan China, dengan adanya ucapan “Dasar China!” oleh jamaah Masjid. Tidak hanya itu. Gambaran pengeboman gereja, penusukan pendeta, dan penyerangan restoran China oleh sekelompok remaja Muslim bersarung dan berpeci, mengesankan kebencian yang amat dalam dalam film tersebut kepada Islam. Saya sendiri tidak tahu, apakah kebencian ini berasal dari diri Hanung pribadi, ataukah dari produser yang membiayai produksi film itu. Yang pasti, film ini semakin menjadi alasan kemarahan banyak pemeluk Islam tanah air kepada Hanung.

Belakangan, Hanung Bramantyo kembali merelease film terbarunya berjudul Cinta Tapi Beda (CTB). Nyaris sama dengan film “?”, film ini juga sarat dengan pesan underestimate terhadap Islam. Percakapan demi percakapan antar pemeran sengaja dibuat dengan mengarahkan pentingnya mengalahkan keinginan kitab sucinya dibanding keinginan nafsu birahi dan kepentingan duniawi semata. Negara Indonesia yang tidak memberikan ijin resmi nikah beda agama, dibuat guyon dalam film itu. Juga, ketidaklaziman seorang anak yang menceramahi orangtuanya soal agama Islam, padahal si orangtua adalah tokoh Muslim masyarakat di Jogja. Bahkan, film itu diakui banyak masyarakat Minang, telah melukai mereka gara-gara pemilihan setting Minang sebagai salahsatu basic salahsatu pemeran beragama katolik.

Meski tidak dijelaskan, namun dari properti konten film, misalnya buku tentang Nikah Beda Agama, atau gambar-gambar Gus Dur di akhir film itu, menggambarkan betapa dekatnya misi film itu dengan tujuan tokoh-tokoh Liberalis Islam di Indonesia.

Memang secara umum, dengan alasan kebebasan berekspresi, membuat film tidak ada batasan pasti kebebasannya. Namun soal etika, tampaknya tidak dipertimbangkan oleh Hanung. Hampir semua film besutannya yang berlatar belakang religiusitas, selalu bercirikan kesengajaan pelunturan keyakinan dan pengeroposan ketaatan pemeluk Islam.

Alih-alih memperbaiki cara pandang generasi muda tentang keyakinannya, banyak film-film Hanung malah sebaliknya. Bagaimana tidak, Hanung lebih memilih tema benturan ketimbang edukasi. Misalnya Film Perempuan Berkalung Sorban yang dengan nyata menggambarkan kebusukan Pesantren. Atau film CTB yang merupakan film terbaru Hanung. Seperti dalam film ini, ternyata Hanung lebih suka mengambil tema cinta berbeda agama, ketimbang misalnya larangan Shalat Jumat bagi karyawan Muslim di perusahaan misalnya. Atau tema susahnya menegakkan aturan pendirian tempat ibadah. Atau, jika Hanung concern di isu diskrimasi minoritas, bisa saja Hanung membuat Film dengan tema misalnya adanya muslimah dilarang berjilbab di hotel. Atau satu lagi, adanya larangan lelaki mengenakan sarung masuk lounge hotel di Jakarta. Masih banyak tema kontroversi lain yang tidak harus melukai Umat Islam.

Sayangnya, ini hanyalah harapan kosong. Bahkan kemarahan demi kemarahan bermunculan pun, saya yakin tidak akan bisa mengubah sikap Hanung. Ini bisa terjadi, bukan tanpa alasan. Mungkin ini terjadi karena adanya kekuatan lain yang mendorongnya untuk “istiqamah”. Misalnya, soal siapa penyokong di semua film besutan Hanung itu.

Atau, bisa saja karena kedekatan ideologi Hanung dengan kelompok Islam Liberal yang cukup kuat sehingga membuat Hanung berani berbeda dan tidak malu melakukannya. Pada sebuah wawancara dengan Radio KBR 68H 27 Oktober 2010, ada sebuah penggalan kalimat Hanung yang cukup membuat saya maklum.

“Pada saat proses pembuatan film Ayat-Ayat Cinta itu, saya tidak melakukan shalat apa pun. Saya tidak shalat. Itu pada saat bulan Ramadlan. Saya juga tidak puasa dan tidak berdoa. Saya mencoba untuk berkesenian total & saya percaya dengan kemampuan otak saya. Jadi saya menisbikan sesuatu yang berada di luar otak. Sementara yang religius itu tidak. Saya tidak percaya itu semua,”kata Hanung.

Berbeda dengan Indonesia, sembilan tahun silam, tepatnya tahun 2004, sebuah film berjudul Submission menukai kecaman bernuansa kekerasan di Belanda. Film pendek ini, disutradarai oleh Theo Van Gogh, dan skenario ditulis oleh bekas anggota Parlemen Belanda, Ayaan Hirsi Ali. Belum diketahui, siapa yang ada di belakang pembuatan film penghinaan atas simbol Islam ini, yang jelas sang Sutradara mendapatkan banyak ancaman karena dianggap menghina dan melecehkan Islam. Film ini sendiri mengisahkan perempuan-perempuan bercadar yang disiksa suami, diperkosa dan sengaja menulis ayat Al Qur’an di tubuh mereka. Ketika film ini ditayangkan pada 29 Agustus 2004, segenap warga Muslim Belanda memprotesnya, hingga berujung pada tewasnya sang Sutradara, dua bulan kemudian. Sutradara film ini terbunuh oleh pelaku yang beragama Islam.

Mayoritas Pendukung Fanatik Jokowi Anti Kritik

Jakarta - Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menilai kecintaan rakyat pada Gubernur DKI Jakarta Jokowi ada pada tingkat ekstrem. Kecintaan yang ekstrem itu menyebabkan jadi sensitif pada kritik.

"Sebagai warga negara, sangat menarik karena kecintaan rakyat bahkan yang saya lihat sampai ke tingkat yang ekstrem. Karena kecintaan dan pembelaannya sehinga sensitif terhadap kritik pada Jokowi. Orang yang mengkritik Jokowi bisa dimarahin ramai-ramai," ujar Din ketika dimintai tanggapan mengenai kinerja Jokowi yang sudah lebih dari 100 hari.

Hal itu disampaikan Din usai jumpa pers para tokoh lintas agama tentang rusuh di Sumbawa di kantor Centre for Dialogue and Coorperation among Civilisations (CDCC), Jl Kemiri no 24, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat (Minggu, 27/01/2013).

Menurut Din, sebaiknya kecintaan pada figur itu yang wajar-wajar saja dan proporsional.

"Kalau baik ya dukunglah, katakan baik. Kalau ada masalah ya tidak ada salahnya dikritik, itu hak dan kewajibannya rakyat," imbuh Din.

"Dan kepada siapapun yang memangku amanat, tidak cukup dengan wacana, tapi dengan kerja. Bekerja itu efektivitasnya waktulah yang menentukan," tandas Din.

Euforia terhadap kemenangan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta ternyata telah melahirkan fanatisme yang berlebihan di kalangan pendukungnya. Hal ini menggambarkan betapa fanatisme sudah menjadi 'budaya' masyarakat Indonesia. Miris memang jika melihat di media-media sekuler kita selalu diperlihatkan bahwa fanatisme itu hanya ada di ormas-ormas yang berbau Islam, namun kita tidak pernah menyadari betapa kita telah arogan bersikap fanatik terhadap penilaian subyektif kita.

Saturday 26 January 2013

Jenis Makanan yang Membuat Kulit Cepat Keriput

Jika Anda termasuk orang yang hobi makan, berhati-hatilah, karena pola makan sangat berpengaruh terhadap kondisi tubuh seseorang, termasuk kecantikan kulitnya. Jika makanan yang dikonsumsi adalah makanan sehat, jauh dari bahan pengawet serta mengandung banyak nutrisi, maka otomatis tubuh dan kulitnya akan sehat.

Sebaliknya, jika makanan yang dikonsumsi tak sehat, maka kesehatannya akan terganggu dan bahkan kulitnya akan terlihat keriput.

Dikutip dari Livestrong, berikut ini adalah jenis makanan yang bisa bikin kulit Anda cepat keriput sebelum waktunya:

1. Gula berlebih
Banyaknya kandungan gula dalam makanan dan minuman yang Anda konsumsi mengakibatkan populasi bakteri di dalam usus dan organ pencernaan meningkat. Ini jelas tak baik bagi metabolisme tubuh, dan berpengaruh pada kondisi kulit yang mudah berjerawat, mudah keriput, dan memicu timbulnya penyakit.

2. Pewarna buatan, perasa buatan, dan pemanis buatan
Berbagai bahan makanan buatan di atas yang diciptakan oleh manusia sebenarnya adalah bahan kimia yang tak bernilai gizi dan tak berguna bagi kesehatan manusia. Efek buruk dari berbagai bahan ini salah satunya adalah ia akan tersimpan dalam jaringan tubuh, sulit dibuang, dan membuat kulit menjadi tak sehat serta mudah keriput.

3. Gorengan dan lemak terhidrogenasi
Suhu tinggi pada minyak panas dimana berbagai makanan digoreng membuat lemak dan minyak teroksidasi. Padahal segala yang teroksidasi tak baik bagi tubuh, sedangkan antioksidan lah yang baik bagi tubuh. Karenanya, mengkonsumsi gorengan adalah pilihan yang buruk bagi metabolisme tubuh dan kecantikan kulit.

4. Ayam dan daging dari industri
Banyaknya kebutuhan akan pangan saat ini memaksa peternakan ayam dan sapi mempercepat pertumbuhan hewan sumber pangan tersebut. Pakan dari berbagai bahan kimia seperti steroid, hormon pertumbuhan, serta antibiotik agar hewan tersebut jauh dari penyakit secara otomatis akan turut Anda makan jika mengkonsumsi hewan industri itu. Akibatnya, kulit pun dapat terpengaruh berbagai bahan kimia itu, dan menjadi tak segar, serta keriput.

Koordinator Jokowi-Ahok JASMEV Tipu Umat Islam

itoday - Perdebatan panjang antara Koordinator Jokowi-Ahok Social Media Valunteers (JASMEV), Kartika Djoemadi (Dee Dee), dengan tokoh muda Muhammadiyah, Mustofa Nahrawardaya, belum berakhir. Perang Mustofa vs Dee Dee di sosial media Twitter itu bahkan telah menggunakan ‘peluru’ agama dan kepercayaan.

Hingga saat ini time line akun milik Mustofa, @MustofaNahra masih terus dibombardir dengan cacian dan makian para pendukung Dee Dee. Bahkan, Dee Dee melalui akun @KartikaDjoemadi telah meminta Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin untuk mengeluarkan Mustofa dari Muhammadiyah.

Kepada Itoday (24/01) Mustofa menyatakan bahwa kritiknya terhadap kepemimpinan Jokowi-Ahok adalah bentuk kasih sayang warga terhadap pemimpinannya supaya hati-hati. “Bagi pejabat dikritik adalah resiko. Kalau dipuji terus akan lalai, dengan dikritik akan cenderung hati-hati. Siapapun Gubernur DKI Jakarta, mau Jokowi ataupun Foke harus dikritik. Ini bentuk pengawalan publik agar pejabat tidak mengulangi lagi kesalahan seperti pejabat sebelumnya,” tegas Mustofa.

Atas kritik terhadap Jokowi-Ahok itu, Mustofa mempertanyakan sejumlah pihak yang mengecam sikapnya, termasuk Kartika Djoemadi. “Kartika mention ke Ketum Muhammadiyah, minta agar saya dipecat. Ini apa-apaan! Dia beragama Katolik, kok sampai ngurusi Muhammadiyah, bahkan mention ke Pak Din (Din Syamsudin). Yang tahu peta Muhammadiyah itu kami, bukan seorang Katolik,” tegas Mustofa.

Mustofa mengungkapkan, Kartika Djoemadi dekat dengan kalangan Muhammadiyah, bahkan sering datang ke Muhammadiyah. “Kami dekat dengan Dee Dee. Walau sering ke Muhammadiyah, Dee tidak pernah mengaku sebagai Katolik. Yang kami tahu Dee seorang Muslimah. Bahkan Dee sering menceramahi saya tentang tidak wajibnya seorang Muslimah berjilbab. Dee juga pernah bilang, memilih pemimpin non Muslim itu tidak apa-apa,” ungkap Mustofa.

Terkait aksi Kartika Djoemadi di Muhammadiyah, Mustofa menegaskan bahwa Kartika telah melakukan penghinaan terhadap Muhammadiyah dan umat Islam. “Dee sudah masuk ke jantung Muhammadiyah, ikut rapat, itu sudah tidak etis. Sampai Dee membuat album Ramadhan, padahal Dee mengaku Katolik. Dee bilang itu toleransi. Padahal itu penghinaan,” tegas Mustofa.

Lebih jauh Mustofa mengingatkan, jika memang Kartika Djoemadi beragama Katolik, silahkan beribadah Katolik, termasuk menggunakan indentitas keagamaannya. Tetapi jangan menggunakan identitas Islam meskipun tidak dilarang Undang-Undang.

“Saya telah meminta Dee Dee minta maaf, tetapi dia tidak mau. Kasusnya sudah banyak termasuk penipuan gelar ‘Phd’. Dia sempat ribut dengan Marissa Haque. Itu seharusnya bisa menjadi pelajaran buat Dee Dee. Tetapi, saat ini Dee Dee telah menipu umat Islam di Indonesia,” pungkas Mustofa.

Pada awalnya, perdebatan @MustofaNahra dengan @KartikaDjoemadi di Twitter terkait pernyataan Mustofa di acara debat tvOne yang menyatakan banyak akun palsu yang dibuat untuk menaikkan rating Jokowi. Namun belakangan, berubah menjadi saling serang soal agama dan kepercayaan.

@KartikaDjoemadi meragukan status Mustofa di kepengurusan Muhammadiyah, sementara @MustofaNahra menyoal pengakuan @KartikaDjoemadi yang beragama Katolik. “Bukan SARA. Selama ini (Kartika Djoemadi) mengaku Muslimah hingga menelorkan Album Ramadhan, ternyata Katolik,” tulis @MustofaNahra.

Thursday 24 January 2013

Mencari Jalan Rezeki

Inilah Kisah Seseorang yang ditolak bekerja di Microsoft

Seorang laki-laki pengangguran melamar posisi sebagai 'office boy' di Microsoft.

Manajer SDM mewawancarainya,

kemudian menyuruh dan melihatnya untuk membersihkan lantai sebagai ujian.

"Anda bisa bekerja "katanya.

"Berikan alamat e-mail anda dan saya akan mengirimkan aplikasi untuk diisi,

juga tanggal ketika anda dapat mulai bekerja."

Pria itu menjawab, "Tapi saya tidak punya komputer, bahkan email '.

"Maafkan aku", kata manajer SDM. Jika anda tidak memiliki email,
itu berarti anda tidak ada.

Dan siapa yang tidak ada, tidak dapat memiliki pekerjaan. "

Orang itu tanpa harapan sama sekali.

Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan,
dengan hanya memiliki uang $ 10 di saku.

Ia kemudian memutuskan untuk pergi ke supermarket dan membeli 10kg peti tomat.

Dia kemudian menjual secara keliling tomat itu dari rumah ke rumah.

Dalam waktu kurang dari dua jam, dia berhasil melipat gandakan modalnya.

Dia mengulangi penjualannya secara keliling tiga kali, dan pulang dengan uang $ 60.

Lelaki itu menyadari bahwa ia bisa bertahan hidup dengan berjualan tomat,

dan dia mulai untuk pergi berjualan tomat sehari-hari dan sering pulang larut malam
mendagangkan jualannya hari demi hari uang keuntungan yg didapat.....

dua kali lipat atau tiga kali lipat dalam penjualannya sehari-hari.
Tak lama, ia membeli mobil, lalu truk,
dan kemudian ia mempunyai armada kendaraan pengiriman sendiri.

5 tahun kemudian,

Orang itu menjadi salah satu pengusaha food retailer terbesar di Amerika Serikat.

Ia mulai merencanakan masa depan keluarganya, dan memutuskan untuk memiliki asuransi jiwa.

Dia memanggil broker asuransi, dan memilih rencana perlindungan.

Ketika percakapan broker bertanya tentang email yang akan dipakai untuk keperluan asuransi.

Pria itu menjawab, "Aku tidak punya email."

"Broker itu bertanya lagi karena ingin tahu mengapa ia tidak punya email,


"Anda tidak memiliki email,
namun telah berhasil membangun sebuah imperium perusahaan bisnis.

Dapatkah Anda membayangkan apa yang bisa terjadi jika Anda memiliki email ?"

Pria itu berpikir sejenak dan menjawab,

"Ya, aku akan menjadi seorang office boy di Microsoft...!!!!!!!"

Pesan dari cerita diatas yang dapat mengispirasi kita :

Ketika satu jalan tertutup, jalan lain terbuka.

Namun terkadang kita melihat dan menyesali pintu tertutup terlalu lama,

sehingga tidak melihat pintu lain yang telah terbuka.

Jangan pernah berhenti berusaha dan jangan menyerah karena gagal,

serta berani menghadapi segala situasi.

Wednesday 23 January 2013

WANITA DALAM MATEMATIKA

Al Khawarizmi, seorang ahli Matematika Muslim ditanya tentang
wanita terbaik ...

Dia menjawab :
Jika wanita solehah dan
beragama =1

Jika dia cantik, tambah 0
dibelakang 1 = 10

Jika dia kaya, tambah lagi 0
= 100

Dan jika dia dari keluarga
baik-baik, tambah lagi 0 =
1000

Tetapi jika yang ’1′ tiada…
Maka, tiada apa yang tersisa pada wanita tersebut
kecuali sekelompok ’0′ belaka ..

Monday 21 January 2013

Meluruskan Riwayat Ahmad Dahlan dalam Novel "Sang Pencerah"

Novel Sang Pencerah menceritakan riwayat hidup KH.Ahmad Dahlan. Perjuangan beliau dalam dakwah patut menjadi teladan, kesabaran dan keistiqomahan tidak diragukan lagi. Beliau melakukan pembaruan dalam dunia Islam di Indonesia melalui organisasi yang bernama Muhammdiyah (1912), organisasi tertua yang kemudian disusul dengan berdirinya NU (Nahdatul Ulama) yang berdiri tahun 1926. Namun, ada hal–hal yang perlu diperhatikan, beberapa penyimpangan mengenai riwayat KH. Ahmad Dahlan pada novel tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk meluruskan beberapa penyimpangan dalam menulis riwayat KH. Ahmad Dahlan dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral.

Dalam prolog novel tersebut tercatat tahun 1904, KH. Ahmad Dahlan yang sebelumnya bernama Muhammad Darwis, berada di Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan sedang menghadap Sri Sultan Hamengkubowono VII, dan Sri Sultan memerintahkan agar KH. Ahmad Dahlan untuk kembali ke Mekkah. Tahun 1904, seharusnya beliau sudah pulang ke Yogyakarta setelah untuk yang kedua kalinya beliau pergi ke Mekkah selama tiga tahun, dari tahun 1902 sampai 1904. Pada tahun tersebut pula KH. Ahmad Dahlan sempat berguru dengan KH. Hasyim Asy’ari, pendiri kelompol Nahdatul Ulama.

Sebelumnya, pada tahun 1883 sampai 1888 KH. Ahmad Dahlan pergi haji sekaligus belajar di Mekkah, beliau mempelajari buku-buku terbitan Mesir dan Irak selain dari terbitan Mekkah, dan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh, Jamaludin Al Afghani, Rasyid Ridha dan Imam Ibnu Taimiyah. Sepulangnya dari Mekkah pada kepergiannya yang pertama, KH. Ahmad Dahlan menikahi sepupunya sendiri, Walidah. KH. Ahmad Dahlan tidak pernah bertemu dengan Rasyid Ridho untuk pergi haji yang kedua kalinya (1902), dan hanya mempelajari pemikiran – pemikirannya, selama di Mekkah KH. Ahmad Dahlan bertemu dengan Muhammad Khatib Minangkabau, Nawawi Al Bantani, Kiyai Mas Abdullah Surabaya, Kiyai Faqih Gresik.

Biola yang dimiliki beliau seperti yang dikisahkan dalam novel, tidak ada dalam buku biografi atau mengenai sejarah Muhammadiyah bahwa beliau pernah memiliki alat musik biola. Di novel tersebut, KH. Ahmad Dahlan mencoba bahwa keislaman masyarakat saat itu masih dibumbui dengan mitos dan takhayul, sehingga membuat tidak jelas makna Islam yang disebutnya “agama yang membawa ketenangan dan keindahan bagi siapa saja”. Ketika ditanya mengenai apa keindahan dan ketenangan, KH. Ahmad Dahlan hanya menyuruh muridnya memainkan biola dan meresapinya,.

Sempat menyinggung sedikit mengenai Utsman bin Affan yang pernah melakukan kesalahan sampai menimbulkan perang saudara. KH. Ahmad Dahlan berbicara seperti ini, “Maksudku jangankan para Ngarsa Dalem, Khalifah besar seperti Utsman bin Affan r.a. saja pernah melakukan kesalahan sampai menimbulkan perang saudara, bukan? Mas Noor tahu sejarah ini”. Itu bukan kesalahan Utsman bin Affan, tetapi para pemberontak yang melakukan makar. Saat Utsman bin Affan menjabat sebagai khalifah selama 15 tahun, ada orang munafik yang bernama Abdullah bin Saba’ yang menyuruh orang – orang Yahudi berpura – pura masuk Islam untuk menebar fitnah, kemudian adanya kaum munafik yang membuat makar terhadap Utsman bin Affan.

Utsman bin Affan merupakan tipe orang yang tsiqoh (percaya), lembut dan berlapang dada, maka dimanfaatkan oleh pemberontak yang bernama Marwan Al Hakam. Ia adalah sekretaris Utsman bin Affan ketika menjabat sebagai khalifah, yang diduga menyalahgunakan jabatannya dengan memalsukan tanda tangan Utsman untuk memecat gubernur Kuffah. Utsman bin Affan adalah salah satu dari sahabat Rasulullah saw yang dijamin surga tanpa hisab.

Mengenai penentuan arah kiblat, dalam novel tersebut diceritakan ketika masuk shalat subuh setelah satu malam melakukan musyawarah dengan 17 orang ulama, KH. Ahmad Dahlan tidak mengikuti imam shalat subuh. Iman shalat subuh ketika itu shalat subuh tidak tepat dengan arah kiblat yang benar, tiba – tiba beliau mengubah arah kiblat sendiri. Dalam ilmu fiqih shalat, tidak boleh makmum tidak mengikuti imam. Makmum harus mengikuti imam shalat sampai selesai. Kecuali, jika imam shalat batal shalatnya, bagi makmum laki – laki mengucapkan “subhanallah” dan bagi makmum perempuan dengan cara menepuk tangan sebanyak tiga kali. Apakah mungkin seorang KH. Ahmad Dahlan melakukan shalat dengan shaf yang berbeda dengan imam? Padahal, beliau berposisi sebagai makmum. Ini merupakan sikap ekstrim, padahal beliau belajar di tanah Jazirah Arab selama delapan tahun. Musyarah yang dilakukan saat itu berlangsung dengan tertib, bahkan para peserta musyarawah bersalaman dan mengucapkan terima kasih, walau tidak memperoleh kesepakatan.

Sebuah hadits dikatakan, dari Jabir berkata, “Rasulullah saw., terjatuh dari kudanya di Madinah pada batang kurma, maka telapak kakinya terkilir, lalu kami menjenguk di kamar Aisyah r.a. Kami mendatanginya sedangkan Nabi sedang shalat sambil duduk, maka kami shalat di belakang beliau dengan berdiri. Kemudian kami mendatanginya sekali lagi sedangkan beliau tengah shalat fardhu sambil duduk, maka kami shalat di belakang beliau sambil berdiri, tetapi beliau mengisyaratkan kami untuk duduk. Setelah shalat beliau bersabda, ‘Bila imam shalat dengan duduk maka shalatlah dengan duduk, dan bila shalat dengan berdiri maka shalatlah dengan berdiri. Janganlah berdiri sedangkan imam duduk, seperti yang dilakukan oleh orang – orang Persi terhadap pembesar – pembesar mereka’”.

Pada kisah penghancuran Langgar Kidul, yang merupakan peninggalan ayah beliau–karena langgar tersebut langsung mengarah pada kiblat—dihancurkan dengan cara membabi buta dengan teriakan takbir dan kafir oleh yang tidak setuju dengan perubahan arah kiblat. Dalam buku Muhammadiyyah sebagai Gerakan Islam, dikatakan bahwa Penghulu KH. Muhammad Khalil Kamaludiningrat menyampaikan secara lisan agar membongkar suraunya (Langgar Kidul). KH. Ahmad Dahlan tidak bisa melaksanakan perintah tersebut, KH. Muhammad Khalil menyuruh 10 orang kuli dengan peralatan lengklap untuk membongkar. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1898. (Kamal : 2005)

Tahun 1909 KH. Ahmad Dahlan memang sempat bergabung dengan Boedi Oetomo, namun itu tidak lama. KH. Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo adalah untuk mengajarkan Islam kepada para anggotanya, namun pernah menolak usulan KH. Ahmad Dahlan untuk mengadakan kajian keislaman di dalam Boedi Oetomo. Banyak pertanyaan mengenai bergabungnya KH. Ahmad Dahlan ke Boedi Oetomo, karena anggota Boedi Oetmo adalah orang – orang Freemasonry yang sama sekali tidak mendukung kemerdekaan Indonesia. Mereka hanya mengutamanakan orang – orang bangsawan dan priyai, bahkan mendukung penjajahan Belanda di Indonesia. Anehnya, dalam novel tersebut pendeklarasian organisasi Muhammdiyah, diadakan di Lodge Malioboro. Lodge adalah tempat berkumpul atau tempat ritual upacara orang – orang Freemasonry.

Dalam novel tersebut KH. Ahmad Dahlan sangat dekat dengan Boedi Oetomo, bahkan mendapat dukungan untuk mendirikan organisasi yang bernama Muhammadiyah pada tahun 1912. Tidak hanya itu, pada kongres Boedi Oetomo diselenggarakan di rumah KH. Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan tidak hanya aktif di organisasi tersebut, tetapi juga ada Jam’iyatul Khair, Syarikat Islam (SI), dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kenapa yang ditonjolkan adalah organisasi Boedi Oetomo? Kenapa tidak menulis riwayat beliau ketika berkiprah di SI? Apakah ada kepentingan politik juga dalam novel tersebut? KH. Ahmad Dahlan memang memulai belajar berorganisasi adalah melalui organisasi Boedi Oetomo.
Tahun 1909 – 1912 KH. Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo, kemudian menarik diri dari Boedi Oetomo dan mendirikan organisasi Muhammadiyah yang berdiri pada tanggal 18 November 1912. Pendiri Boedi Oetomo pernah mengeluarkan pernyataan yang menghina Islam, tidak perlu pergi haji, karena hanya buang – buang waktu saja. Organisasi kepemudaannya pun turut menghina ajaran Islam, terutama tentang perkawinan. Boedi Oetomo sebenarnya hanya sebagai alat orang – orang Freemasonry untuk bisa masuk perpolitikan di Indonesia. Freemason adalah sebuah organisasi persaudaraan internasional, yang merupakan gerakan rahasia dari kaum Zionis dan Yahudi, berdiri pada abad ke 14 bertempat di Skotlandia. Tujuan mereka jelas, untuk menghancurkan umat Islam di seluruh dunia.

Awalnya, Freemasonry diambil dari cerita “Sefer Qabbalahh”, Abram adalah nenek moyang orang Israil yang telah mewariskan rumah Eloh di bukit Moria. Setelah rumah itu hancur karena di tinggal oleh Imam Ya’qub dan keluarganya hijrah ke Mesir, maka Raja Salomon hendak menggantikan dengan sebuah rumah baru yang bernama “Haikal Sulaiman”. Raja Salomon menyuruh orang untuk menjemput Prof.Heram dari negeri Sor, ia adalah pengecor tembaga dan ahli dalam membuat rumah batu. Untuk mendirikan bangunan tersebut, ia memanggil para tukang batu bebas (Mason). Freemason berarti himpunan para tukang batu bebas atau disebut juga Tarekat Mason Bebas. Dalam bahasa Arab disebut Masuniyyah, sedangkan dalam bahasa Perancis disebut Vrij Metselarij.

Selama di Syarikat Islam (1913), KH. Ahmad Dahlan menempati jabatan penting, yaitu menjadi Penasehat Pusat dan Komisariat Central Syarikat islam sekaligus menjadi ahli propaganda aspek dakwah bagi Syarikat Islam. Tidak hanya itu, beliau termasuk rombongan yang mewakili pengesahan Badan Hukum Syarikat Islam bersama HOS. Cokroamonoto. Tahun 1905 beliau juga bergabung dengan Jam’iyatul Khair dari kalangan pribumi bersama Husein Jayadiningrat.

Setelah mendirikan Muhammadiyah, pada tanggal 20 Desember 1912 KH. Ahmad Dahlan mengajukkan permohonan kepada Hindia Belanda agar organiasasi Muhammdiyah berbadan hukum, namun baru dipenuhi oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1914. Izin tersebut hanya berlaku dan bergerak untuk di daerah Yogyakarta, ada kekhawatiran dari pemerintah Belanda dengan adanya organisasi Muhammadiyah, sehingga kegiatan – kegiatannya dibatasi. Ruang gerak dibatasi tidak menghalagi pergerakan Muhammadiyah, bahkan bertambah menyebar ke Srandakan, Wonogiri dan Imogiri. Ini sangat bertentangan dengan pemerintah Hindia Belada, KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menggunakan nama lain untuk cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta. Nurul Islam di Pekalongan, Al Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut, Sidiq Amanah Tabligh Fatanah (SATF) di Solo yang mendapat pimpinan Muhammdiyah. Pada tanggal 1917, KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi kewanitaan Muhammadiyah yang bernama Aisyiyah.

Pada tanggal 7 Mei 1921, mengajukkan permohonan kembali kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia, karena pada saat itu Muhammadiyah sudah berkembang. Permohonan tersebut baru dikabulkan pada tanggal 2 September 1921. KH. Ahmad Dahlan adalah orang yang demokratis, dalam pelaksaan gerak dakwah Muhammadiyah beliau memfasilitasi para anggotanya untuk mengevaluasi dan pemilihan pimpinan Muhammadiyah. Selama hidupnya, dalam gerakan dakwah Muhammadiyah, telah mengadakan dua belas kali pertemuan dalam setahun. Saat itu dipakai istilah Algeemene Vergadering (Persidangan Umum).

Semenjak ayahnya wafat, KH. Ahmad Dahlan menggantikan ayahnya sebagai ketib Masjid Agung, Kauman, Yogyakarta. Oleh teman seprofesinya dan para kiyai, KH. Ahmad Dahlan diberi gelar ketib amin (khatib yang dipercaya). Kesibukannya sebagai wirausaha batik yang sukses, KH. Ahmad Dahlan tetap menambah tsaqofah (wawasan) atau ilmu dengan mendatangi ulama – ulama untuk memperbaiki umat tempat beliau tinggal, sampai beliau meninggal pada tanggal 25 Februari 1923.

Novel Sang Pencerah menampilkan riwayat tokoh KH. Ahmad Dahlan, tetapi dalam novel tersebut tidak disajikan secara lengkap, dari kelahiran sampai wafatnya KH. Ahmad Dahlan, bisa dikatakan juga sepotong – sepotong. Sangat disayangkan. Tidak semua orang tahu mengenai sosok KH. Ahmad Dahlan dan pergerakan dakwah melalui organisasi yang didirikan beliau sendiri yang bernama Muhammadiyah. Sebagai akademisi, diperlukan pemikiran kritis dalam memahami sejarah Islam di Indonesia. Tidak hanya dipahami, tapi juga dipelajari.

Melalui film dan novel Sang Pencerah ini mudah – mudahan bisa menambah wawasan masyarakat tentang sosok KH. Ahmad Dahlan dan pergerakan dakwah beliau. Akan lebih baik jika menyajikannya dengan meluruskan sejarah di Indonesia, karena sejarah Islam di Indonesia sudah banyak yang didistorsi. Jadikan sejarah Islam di Indonesia ini benar – benar objektif, bukan subjektif. Tidak hanya dalam novel, tetapi juga dalam film Sang Pencerah.

Sunday 20 January 2013

Tips Aman Naik Angkot Buat Cewek

Jadi cewek jaman sekarang emang serba sulit, terlalu cakep rawan diperkosa, jelek rupa juga bikin cowok mual-mual. Meskipun begitu, kriminalitas terhadap kaum hawa saat ini ga pandang bulu lagi, entah itu cewek cantik semulus mobil Porsche ataupun berbulu di kaki (hii,sereemm..) nyatanya 'diembat' juga sama sopir angkot 'gelap'.

Berikut ini sedikit tips aman naik angkot buat para ladies and gentle girl :
  1. Pas naik angkot, pegng pintunya.. Naiknya pelan - pelan jangan sok manja pake minta ditolongin supirnya :p
  2. Kalau supir nanya “Mau kemana mbak?” Jangan dijawab “Mau ke hatimu” (Bikin supirgalau ajah♥♥)
  3. Walau narsis jangan sampai ngajak supirnya foto bareng, apalagi pake upload tu foto ke facebook (Tepok jidat #:-s)
  4. Naik angkot gak perlu dandan cantik. Soalnya cuma di FTV kita bisa menemukan sopir angkot ganteng (Seperti SANNY:p)
  5. Pas sopir mau pindahin gigi, gak usah sok romantis pake pegang tangan dan tatap matanya (hawdeh;;))
  6. Kalau duduk di belakang supir gak usah tiba - tiba nutup matanya trus bilang “Tebak aku siapa ?” (Sumpah, ngga banget\=D/)
  7. Kalau sampai tujuan, ucapkan “Kiri, Pir..”. Jangan bilang “Kiri Beib..” (Inget loh!:*)
  8. Sepenuh apapun angkotnya jangan duduk di pangkuan supir.. Pokoknya jangan({})
  9. Terakhir dan terpenting kalau terima uang kembalian, terima aja. Tidak usah pakai cium tangan segala.X_X

Friday 18 January 2013

Petikan Ayat Qur'an di Gerbang Fakultas Hukum Harvard

Universitas Harvard, Amerika Serikat, mengabadikan sebuah ayat Alquran di gerbang masuk Fakultas Hukum. Ayat yang diukirkan sebagai bentuk penghormatan itu diambil dari surat Annisa ayat 135.

”Ayat 135 Surat Annisa (bab tentang wanita) telah dituliskan di dinding yang menghadap gerbang masuk Fakultas Hukum sebagai kata-kata terhebat tentang keadilan,” tulis surat kabar Arab Saudi ‘Ajel’ seperti dikutip Emirates247.

Abdullah Jumma, mahasiswa Harvard asal Arab Saudi, yang memerhatikan tukilan ayat Alquran di dinding gerbang Fakultas Hukum Universitas Harvard tersebut. Dia kemudian memfoto tulisan ayat Alquran tersebut.

Jumma kemudian menyebarkannya lewat situs jejaring sosial Twitter. ”Saya menyadarinya bahwa itu sebuah ayat Alquran yang telah dituliskan oleh Fakultas Hukum untuk menggambarkan sebagai salah satu kata-kata terhebat tentang keadilan sepanjang sejarah,” kata Jumma seperti dikutip Ajel.

Adapun isi Surat Annisa Ayat 135 adalah “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Maha Tahu terhadap segala apa yang kamu kerjakan.”

Universitas Harvard didirikan di Cambridge, Massachusetts, pada 1636. Harvard tercatat sebagai perguruan tinggi tertua di Amerika Serikat.

Film Hanung yang Menghina Islam itu Dibuat Tanpa Riset

Akhirnya terungkap sudah mengapa film “Cinta Tapi Beda” (CTB) garapan sutradara liberal Hanung Bramantyo begitu ngawur menggambarkan Islam dan Minangkabau. Rupanya film yang diproduksi Multivision itu tidak melalui riset yang mendalam.

Hal ini terungkap dalam audiensi yang dilakukan sejumlah warga dan mahasiswa Minang yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Pemuda Pemudi Minang Indonesia (DPP IPPMI) dan Pengurus Pusat Keluarga Mahasiswa Minangkabau Jaya (PP KMM JAYA), di Kantor Multivision Plus, Kawasan Roxy, Jl Hasyim Ashari, Jakarta, Selasa (15/1/2013) sore.

Hadir dalam audiensi tersebut pengusaha sekaligus putri mantan Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Fahira Idris.

Seusai melakukan audiensi, Fahira melalui akun twitternya menjelaskan tentang hasil pertemuannya dengan pihak Multivision yang diwakili oleh Public Relation & Promotion Aris Muda, Sutradara Hestu Saputra dan Bagian Legal Rulan Siri.

Pemilik rumah produksi itu, Raam Punjabi, dikabarkan sedang ke Bangkok, Thailand. Sedangkan Hanung Bramantyo, yang berposisi sebagai supervisor sutradara, tidak dijelaskan ada di mana.

Menurut Fahira, film CTB yang belakangan diprotes oleh kalangan Minangkabau, bukan hanya oleh kalangan mudanya, tetapi juga oleh tokoh-tokoh Minang yang berada di Jakarta, ternyata tidak melalui riset yang benar mengenai adat Minang.

“Ternyata memang film ini dibuat tanpa melakukan research yang benar terhadap orang Padang, mengenai orang Padang, nilai-nilai dan simbol sosialnya,” kata pengusaha yang juga Ketua Umum Saudagar Muda Mianangkabau (SMM) itu.

Untuk membuat film itu, diceritakan bahwa pihak Multivision (Hestu Saputra) hanya menemui seorang Pastur di sebuah Katedral di Pondok, Kota Padang. “Selebihnya ternyata hanya ketemu orang-orang yang tidak kompeten,” lanjut Fahira.

Tentu saja, hal ini sangat disayangkan. Menurut Fahira, mestinya sebelum film itu dibuat, Hanung dan Hestu melakukan dulu riset secara utuh dan benar. Sehingga tidak berakibat pada penghinaan terhadap Islam dan Minang.

“Tetapi penghinaan itu terjadi dan dirasakan oleh masyarakat Minangkabau dan Islam karena mereka tidak mau mendalami adat Minangkabau yang benar,” tandasnya.

Fahira sendiri menduga film CTB ini merupakan sebuah grand design untuk merusak moral bangsa.

Fahira menyayangkan hal ini. Menurutnya, mestinya sebelum film CTB diproduksi, pihak yang akan membuat harus melakukan riset dahulu secara mendalam terhadap masyarakat Minangkabau. Termasuk menemui tokoh-tokohnya.

“Harusnya bila @hesstu @Hanungbramantyo mau buat film tentang orang Padang, minimal temui dulu Buya H. Mas’oed Abidin,” kata Fahira menyarankan.

Menurut Fahira, Buya H. Mas’oed Abidin adalah seorang ulama yang sangat mengerti adat #Minangkabau & sering dijadikan narasumber tentang adat istiadat Minangkabau.

Fahira Idris
“Kedua, yang harusnya ditemui sdr. @hesstu @Hanungbramantyo adalah Ketua LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam #Minangkabau). Ketiga, Bapak Azmi Dt. Bagindo. Beliau adalah Sekretaris Umum dari Lembaga Adat & Kebudayaan #Minangkabau yang ada di #Jakarta,” lanjut Fahira.

Fahira juga menyarankan supaya Hestu dan Hanung menemui budayawan Taufiq Ismail. Taufiq sendiri selama ini dikenal sangat menentang film-film karya Hanung yang dikenal liberal dan menentang Islam.

Syirik & Menolak Hukum Allah Mendatangkan Azab


Musibah dan bencana datang secara beruntun silih berganti melanda negeri ini. Mengapa bencana demi bencana terus menimpa? Sebagai orang beriman, sudah sepatutnya mengambil pelajaran berharga dari kejadian-kejadian ini.

Selang beberapa saat setelah bencana besar terjadi, biasanya berbondong-bondonglah para pejabat, dari kepala daerah hingga presiden, mendatangi daerah bencana tersebut.

Ucapan yang biasanya dilontarkan para pemimpin kepada rakyatnya yang sedang terkena bencana, “Sabar, tabah, tawakal, dan lain-lain…” yang pada intinya menghimbau agar rakyat bersabar dalam menghadapi bencana.

Kalau kita kembali ke zaman Khalifah Umar bin Khaththab, juga pernah terjadi bencana berupa gempa dahsyat yang menimpa salah satu daerah yang dipimpinnya.

Khalifah Umar pun mengunjungi daerah yang tertimpa gempa tersebut. Tetapi yang sangat berbeda dengan para pemimpin sekarang adalah perkataan yang dilontarkan oleh beliau.

Khalifah Umar berkata, “Wahai rakyatku, dosa besar apakah yang kalian lakukan sehingga Allah menimpakan azab seperti ini?!”

Sebagian orang mungkin akan berpikir bahwa perkataan seperti itu sangatlah kasar dan kurang berkenan, apalagi kepada orang yang sedang tertimpa musibah. Tetapi, Khalifah Umar berkata demikian bukanlah tanpa sebab. Umar bin Khaththab lebih mengajak rakyatnya agar mengintrospeksi diri, dan inilah yang seharusnya kita lakukan.

Dalam Al-Qur’an Surat Hud ayat 109, Allah berfirman: “Dan Rabbmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedangkan penduduknya orang-orang yang berbuat KEBAIKAN.”

Kemudian dalam Surat Al-Qashash ayat 59: “… dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan KEZALIMAN.”

Lalu dosa besar apa yang telah dilakukan, sehingga Allah menimpakan bencana beruntun ini? Yang paling kelihatan dan mencolok adalah dosa syirik (menyekutukan Allah).

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, ‘Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’,” (QS Luqman: 13). Jadi, perilaku syirik adalah sebuah kezaliman.

Sebelum bencana beruntun ini terjadi hingga sekarang, sudah berpuluh-puluh tahun–bahkan ratusan tahun–masyarakat daerah tertentu dan di banyak daerah lainnya di Indonesia melakukan ritual “melarung kepala kerbau” ataupun melakukan “ruwatan” sebagai ritual tolak bala’ dengan tujuan agar terhindar dari berbagai bencana (padahal justru perbuatan syirik seperti inilah yang bisa mengakibatkan petaka).

Perbuatan syirik semacam ini terjadi di banyak tempat di Indonesia. Ritual-ritual syirik dan ritual klenik atau mistik lainnya yang tidak diajarkan oleh Islam sepertinya sudah menjadi tradisi bangsa ini dan tidak (atau kurang) diingatkan oleh ulama dan pemimpin negeri ini bahwa perbuatan tersebut adalah sangat dibenci dan dimurkai oleh Allah SWT. Bahkan para pemimpin pun terlibat dalam perbuatan syirik ini.

Di berbagai daerah di Indonesia banyak kita temui masyarakat datang ke orang-orang tertentu yang difigurkan bisa menolong mereka dari kesulitan hidup, yang diyakini dapat mengubah hidup mereka menjadi baik. Sosok yang dijadikan “orang pintar” (yang sebenarnya adalah dukun yang mencari duit dengan berpura-pura jadi paranormal) ini pada dasarnya adalah sesat dan menyesatkan.

Perilaku syirik lainnya, misalnya, sebagian masyarakat mendatangi tempat-tempat tertentu dengan membawa sesajen atau minta dimandikan (mandi kembang) yang diyakini akan membawa perubahan hidup bagi mereka. Begitu pula kegemaran dan kepercayaan sebagian masyarakat kepada benda-benda seperti batu dan keris.

Di era “modern” ini nyatanya masih banyak orang melakukan perbuatan tak masuk akal dengan secara rutin memandikan keris! Itu jadi mata pencaharian pula bagi orang yang memandikannya.

Tak hanya ritual-ritual tertentu, perilaku syirik juga telah dilakukan para pemimpin dan sebagian besar masyarakat dengan mengakui sistem dan syariat (hukum) selain Allah.

Mereka mengaku beriman, tapi di saat bersamaan mereka tidak melaksanakan sistem dan hukum-hukum Allah dalam bernegara, pemerintahan dan bermasyarakat. Bahkan mereka meyakini, hukum dan perundang-undangan buatan manusia lebih baik dibanding hukum Allah.

Dalam Al-Qur’an Allah menyebut mereka yang menolak hukum Allah itu sebagai kafir, zalim dan fasik (QS Al-Maaidah: 44, 45, 47).

Syirik, baik dilakukan dengan ritual-ritual tertentu maupun dengan menolak syariat Allah dan mengakui hukum syariat selain-Nya, merupakan dosa yang amat besar yang tidak terampuni, bahkan, seperti diuraikan dalam buku Syahadatain dan Al-Islam Syaikh Said Hawa, berakibat pada batalnya syahadat dan akan menghapus semua amalan pelakunya.

“… Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan terhapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi,” (QS Az-Zumar: 65).

Orang yang melakukan dosa syirik, selain amalannya dihapus semua oleh Allah, dosa-dosanya juga tidak akan diampuni oleh Allah. Dalilnya bisa kita lihat dalam surat An-Nisa ayat 48:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah membuat dosa yang besar.”

Dan perbuatan syirik merupakan suatu KEZALIMAN yang besar. Hal ini disebutkan dalam QS Luqman ayat 13 : “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah nyata-nyata kezaliman yang besar’.”

Dan ini sangatlah sesuai jika kita kembali ke surat Al-Qashash ayat 59:
“… dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota, kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan KEZALIMAN.”

Jadi jangan heran jika Allah menimpakan azab pada penduduk yang telah berbuat kezaliman, yakni, salah satunya dengan melakukan perbuatan syirik (menyekutukan Allah).

Selain dosa syirik, petaka dan bencana melanda, lantaran kemaksiatan yang makin merajalela dan menggila! Korupsi, suap menyuap, jual beli hukum, narkoba, minuman keras, judi, perzinaan, … dan masih banyak lagi dosa-dosa yang telah dilakukan yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Untuk muhasabah (introspeksi) mari kita cermati saja kesalahan apa yang kita lakukan sehingga banyak terjadi bencana di Nusantara ini. Mungkin ini merupakan peringatan Allah pada kita secara keseluruhan yang banyak bergelimang dosa. Atau boleh jadi ini sebagai wujud kasih sayang Allah untuk mengingatkan kita agar kembali ke Jalan-Nya.

Marilah kita renungi bersama dosa-dosa yang telah kita lakukan, dari dosa (maksiat) sampai syirik kepada Allah. Jangan sampai Allah menimpakan azab-Nya yang lebih keras lagi. Dan semoga kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran yang amat berharga dari bencana ini.

Jika kita mengaku sebagai seorang Muslim, jangan sampai berbuat syirik, karena syirik merupakan salah satu pembatal keislaman seseorang.

Sebagai penutup marilah kita berdoa:

“Segala puji milik Allah yang telah memberi kita makan, minum dan mencukupi kebutuhan kita, serta memberi kita tempat tinggal.

Ya Allah, muliakanlah kaum Muslimin, hinakanlah kaum musyrikin, kafirin dan munafiqin serta hancurkanlah musuh-musuh kami. Ya Allah, ringankanlah musibah yang menimpa saudara-saudara kami di mana pun mereka berada, kuatkanlah mereka wahai Yang Maha Perkasa lagi Maha Pemurah.

Ya Allah, tenangkanlah rasa takut mereka, obatilah kelaparan dan dahaga mereka, tutupilah aurat mereka, karuniakanlah kepada mereka tempat tinggal yang baik, wahai Yang Maha Agung lagi Maha Penyayang.

Ya Allah, kembalikanlah kami dan mereka kepada-Mu dengan baik, berilah kami taufik untuk bertaubat kepada-Mu, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang beriman dan mengikuti Rasul-Mu Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.

Karuniailah kami, wahai Yang Maha Agung lagi Maha Pemurah, taufik, untuk mengerjakan hal-hal yang Engkau cintai dan ridhai, bantulah kami untuk melakukan kebaikan dan ketakwaan, janganlah Engkau jadikan kami bergantung kepada diri sendiri, meskipun hanya sekejap mata.

Ya Allah, ampunilah segala dosa kami, baik yang kecil maupun yang besar, yang terdahulu maupun yang akan datang, serta yang tersembunyi maupun yang terlihat.

Ya Allah, sesungguhnya kami telah menzalimi diri kami, jika Engkau tidak mengampuni dan mengasihi, dan niscaya kami akan menjadi orang-orang yang merugi.”


Wednesday 16 January 2013

Wahid Hasyim vs The Wahid Institute


ENTAH apa yang dikatakan Kiai Wahid Hasyim bila tahu nama beliau sekarang digunakan cucunya untuk melawan apa-apa yang berbau syariat Islam? Bila Kiai Wahid Hasyim dulu sangat bersemangat Islam ditulis dalam Undang-undang, maka The Wahid Institute (TWI) justru melawan bila Islam diundangkan. Yenny Wahid, Direktur TWI, misalnya menyatakan bahwa Peraturan Daerah (Perda) Syariah adalah Perda bermasalah. Begitu pula Ulil Abshar, pendiri Jaringan Islam Liberal (JIL), kolega Yenny, menyatakan bahwa biarlah Islam menjadi kesadaran, karena bisa jadi hipokrit kalau dibuat undang-undang.

Entah apa yang dibenak Ulil dan Yenny. Mereka tentu tidak mau kalau dibuat Undang-undang di Indonesia bahwa orang Indonesia yang mati, harus dilemparkan ke laut (untuk menghemat penggunaan tanah di Indonesia). Dan orang Islam yang normal, tentu akan bergembira bila ada undang-undang tertulis sesuai dengan keyakinannya.

Bila Yenny Wahid gigih dalam menentang Perda Syariah, bagaimana dengan kakeknya KH Wahid Hasyim?

Seperti diketahui, Wahid Hasyim adalah anak kelima dari KH Hasyim Asyari pendiri Nahdhatul Ulama. Ia lahir di desa Tebu Ireng Jombang, 1 Juni 1914 (5 Rabiul Awwal 1333H). Nama aslinya adalah Abdul Wahid. Sejak kecil ayahnya mendidiknya dengan pendidikan yang Islami.

Dari pesantren ke pesantren sampai pernah belajar beberapa saat di Mekah. Ia pernah menjabat menteri agama RI dan meninggal di usia muda, 39 tahun, tepatnya 19 April 1953.

Di usia belia, ia telah duduk dalam kepengurusan pimpinan Partai Politik Masyumi. Pemimpin Redaksi Suara Masjumi, Tamar Djaja menyatakan (lihat Sedjarah Hidup KH A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar, 1957, H Aboebakar, hlm. 272):

“Yang lebih menarik lagi, ketika saya mendengar bahwa ide hendak mendirikan Masyumi pun adalah timbul dari dua tokoh orang muda, yaitu M Natsir dan Wahid Hasyim sejak zaman Jepang. Kedua orang inilah yang mula-mula mengadakan pertemuan di suatu tempat, mengumpulkan beberapa tokoh pemimpin Islam di Jakarta, untuk membentuk suatu badan perjuangan Islam yang kuat…Dalam hubungan inilah kita melihat kedua tokoh Islam tadi, Moh Natsir dan Wahid Hasyim, di dalam idenya yang mulia hendak menciptakan suatu gerakan kaum Muslimin yang kuat dan didukung oleh seluruh umat Islam Indonesia ” (perubahan ejaan dari penulis).

Yang menarik dari tokoh ini adalah kalimat-kalimatnya ketika Sidang-sidang BPUPK Juli 1945. Ketika 22 Juni 1945, Piagam Jakarta disyahkan, wakil dari Kristen Latuharhary dari Maluku protes kembali. Ketua Sidang Soekarno saat itu meredamnya dan menyatakan bahwa:

“Barangkali tidak perlu diulangi bahwa preambule (piagam Jakarta –pen) adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan faham antara golongan-golongan yang dinamakan golongan kebangsaan dan golongan Islam. Jadi manakala kalimat itu tidak dimasukkan, saya yakin bahwa pihak Islam tidak bisa menerima preambule ini, jadi perselisihan nanti terus.”

Kiai Wahid Hasyim juga menyampaikan bahwa Piagam Jakarta itu tidak menimbulkan masalah seperti yang dikhawatirkan. Dengan tegas ia menyatakan:

“Dan jika masih ada yang kurang puas karena seakan-akan terlalu tajam, saya katakan bahwa masih ada yang berfikir sebaliknya, sampai ada yang menanyakan pada saya, apakah dengan ketetapan yang demikian itu orang Islam sudah berjuang menyeburkan jiwanya untuk negara yang kita dirikan ini. Jadi dengan ini saya minta supaya hal ini jangan diperpanjang.”

Dalam rapat 13 Juli 1945, Wahid Hasyim mengusulkan agar Presiden adalah orang Indonesia asli dan “yang beragama Islam”. Begitu juga draft pasal 29 diubah dengan ungkapan: “Agama negara ialah agama Islam”, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain , untuk dan sebagainya.

Kata Wahid Hasyim; “Hal ini erat perhubungannya dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan yang hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.” (lihat buku Adian Husaini, Pancasila Bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam dan Endang Saifudin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945).

Begitulah sedikit perdebatan Piagam Jakarta di bulan Juli 1945 itu. Sayangnya meski telah disepakati di bulan itu Piagam Jakarta menjadi Undang-Undang Dasar, Soekarno (dan Hatta) bersama Laksamana Meida dan tokoh-tokoh nasionalis sekuler membatalkan tujuh kata Piagam Jakarta, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Hingga tiba Pemilu 1955, dimana partai-partai Islam saat itu (Masyumi, NU dll) kompak mengusulkan Islam sebagai dasar negara, akibat “pengkhianatan” golongan nasionalis sekuler dengan Piagam Jakarta.

Tahun 1956-1959 perdebatan tentang dasar negara di Majelis Konstituante pun deadlock. Hingga akhirnya Presiden Soekarno –atas lobi tokoh-tokoh Islam- mengkompromikan tujuh kata Piagam Jakarta dalam dekritnya 5 Juli 1959. Dimana dinyatakan di sana bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45 (rumusan Pancasila saat ini –pen) dan merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan.

Maka jika menelusuri perjalanan sejarah tentang dasar negara, lahirnya Perda-perda bernuansa syariah di berbagai tempat di tanah air, atau Undang-undang syariah bila anggota DPR berani, adalah hal yang wajar. Justru kelompok-kelompok seperti TWI yang menggugat Perda Syariah (kelompok Kristen menganggap Perda Syariah adalah penjelmaan Piagam Jakarta) dan lain-lain harusnya mengaca diri. Karena mereka sebenarnya telah membela minoritas, tapi menzalimi mayoritas.

Tentang Perda yang bernuansa syariah ini kalangan Kristiani menyatakan:

“Kita memerlukan presiden yang tegas dan berani menentang segala intrik atau manuver-manuver kelompok tertentu yang ingin merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini. Ketika kelompok ini merasa gagal memperjuangkan diperlakukannya “Piagam Jakarta”, kini mereka membangun perjuangan ini lewat jalur legislasi. Mereka memasukkan nilai-nilai agama mereka ke dalam perundang-undangan. Kini ada banyak UU yang mengarah kepada syariah, misalnya UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Wakaf, UU Sisdiknas, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah (SUKUK), UU Yayasan, UU Arbitrase, UU Pornografi dan Pornoakasi, dan lain-lain. Apapun alasannya semuanya ini bertentangan dengan prinsip dasar negara ini.” (Tabloid Kristen,Reformata edisi 110/2009).

Konferensi Wali Gereja Indonesia, induk kaum Katolik di Indonesia,juga pernah mengirim surat kepada calon presiden SBY yang isinya: “Untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kami menganjurkan kepada presiden dan wakil presiden terpilih untuk membatalkan 151 peraturan daerah ini dan yang semacamnya serta tidak pernah akan mengesahkan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia.” (lihat Adian Husaini, Pancasila bukan untk Menindas Hak konstitusional Umat Islam, GIP).

The Wahid Institute

The Wahid Institute didirikan atas inisiatif Abdurrahman Wahid (anak dari Wahid Hasyiml), Dr. Gregorius James Barton, Yenny Zannuba Wahid dan Ahmad Suaedy. Sebagai penasehat tercantum di websitenya www.wahidinstitute.org: K.H. M. A. Sahal Mahfudz, Prof Dr. Nurcholish Madjid, K.H. A. Mustofa Bisri, Dr. Alwi Abdurrahman Shihab, Prof . Nasr Hamid Abu Zaid, Prof. Abdullahi Ahmed An-Naim, Prof. Mitsuo Nakamura, Luhut B. Panjaitan, Wimar Witoelar dan Ahmad Suaedy. Bertindak sebagai supervisor adalah: Drs. M. Sobary, MA, Dr. Moeslim Abdurrahman, Prof. Dr. Mahfud, MD, Lies Marcoes Natsir, MA, Dr. Syafii Anwar, dr. Umar Wahid, Yahya C. Staquf, Adhie M. Massardi dan Prof. Dr. Sue Kenny.

Motto dari organisasi ini adalah Seeding Plural and Peaceful Islam. Visinya adalah terwujudnya cita-cita intelektual Gus Dur untuk membangun kehidupan bangsa Indonesia dan umat manusia yang berkeadilan sosial dengan menjunjung tinggi pluralisme, multikulturalisme, demokrasi, HAM yang diinspirasi nilai-nilai Islam. Sedangkan misinya adalah mendorong terbangunnya dialog antar kebudayaan lokal maupun internasional serta harmoni Islam dan Barat. Mendorong berbagai ikhtiar masyarakat sipil dalam mewujudkan redistribusi ekonomi, kesejahteraan umum, pemerintahan yang bersih dan transparan serta lingkungan hidup yang lestari. Mendorong partisipasi aktif kelompok-kelompok agama dalam dialog kebudayaan dan pedamaian serta ikhtiar-ikhtiar untuk mewujudkan kesejahteraan umum.

Jadi bila MUI mengharamkan pluralisme, The Wahid Institute justru menjunjung tinggi atau mendakwahkan isme yang haram itu. Bila KH Hasyim Asyari dan Wahid Hasyim kokoh dalam memperjuangkan keimanan dan keislaman tegak di negeri ini, The Wahid Institute justru mengkampanyekan kemusyrikan dalam bentuk sosialiasi ‘persamaan agama’ dalam pembuatan kurikulum, buku-buku, pengadaan seminar dan lain-lain.

Maka jangan heran bila organisasi penyebar pluralisme ini didukung oleh Indonesianis/orientalis Greg Barton, Nasr Hamid Abu Zaid, Abdullahi Ahmed An-Naim dan lain-lain.

Generasi Kiai Hasyim Asyari dan Kiai Wahid Hasyim yang kokoh dalam Islamnya, kini nampaknya digantikan generasi Abdurrahman Wahid dan Yenny Zannuba Wahid yang kokoh dalam pluralisme dan sekulerismenya.Wallahu a’lam bishawab.*

Love in Silence [Puisi Islami]

Inilah caraku mencintaimu,

dengan tak menghubungimu,
tak juga mengirim pesan untuk menanyakan kabarmu,
dan bahkan sekedar chatting untuk menyapamu,
aku mencintaimu dengan menjauh darimu,
bukan karena aku membencimu,
namun karena aku ingin menjagamu dan menjaga diriku sendiri dari khalwat yang menjebak,
aku mencintaimu dengan menjaga diriku dan dirimu,
menjaga kesucianku dan kesucianmu,
menjaga kehormatanku dan kehormatanmu,
menjaga kebeningan hatiku dan hatimu,
ya......
Beginilah caraku mencintaimu,
mencintaimu dalam diamku,
karena diamku adalah bukti cintaku padamu..


dan sekarang,
keadaan menegurku,
sehingga dapat membantu menyadarkanku dari kesalahan yang telah aku perbuat,
meskipun pesonamu terhadapku belum pulih,
belum pulih..

aku tak bisa memungkiri,
bahwa setiap manusia pasti akan merasakan fitrahnya,
termasuk permasalahan ketertarikannya terhadap lawan jenis,
maka jika harus demikian,
untuk apa jika hati ini aku tambatkan kepada siapa yang bukan orangnya nanti,
jika memang hati ini sangat peka terhadap pengaruh diri yang memilikinya ketika hati ini salah dalam pengelolaanya,
oleh karenanya,
jika aku harus mencintai lawan jenis adalah fitrahku sebagai manusia, maka aku akan mencoba untuk mencintai siapa yang akan menikah denganku nanti,
walaupun aku belum pernah bertemu dengannya,
lantaran pasti Allah akan mempertemukanku dengannya,
sehingga usahaku yang sia-sia akan cenderung berkurang di dalam lingkup fitrahku,
InsyaALLAH..

Kalau saja Allah menjadikan aku menikah dengan seorang lelaki yang ditakdirkan Allah kepadaku,
maka untuk apa aku berharap dan menghabiskan waktuku kepada yang lainnya,
yang belum tentu akan menjadi suamiku kelak,
sedangkan hati ini mudah terdominasi dengan sesuatu hal yang lain,.

Dan rasa ketertarikanku cukuplah akan aku tumpahkan kepada suamiku kelak..

Yaa Allah, sucikanlah hatiku hanya untuk siapa yang pantas menempatinya dengan keridhoanMu, cukup dia sajalah yang aku cintai karena aku tidak menginginkan keburukan ketika aku berbuat salah terhadap hatiku,

Monday 14 January 2013

Mengakhiri atau 'Memelihara' Terorisme ?

Tim Densus 88 kembali menembak mati tujuh orang terduga teroris dan menangkap empat orang lainnya pada Jumat (4/1). Mereka diduga terkait jaringan kelompok Poso yang dipimpin oleh Santoso.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen (Pol) Boy Rafli Amar mengatakan, penangkapan bermula pada Jumat (4/1/2013). Dua teroris tewas ditembak di halaman Masjid Nur Alfiah, di dalam Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, Makassar, sekitar pukul 10.30 Wita (kompas.com, 5/1/2013). Lima orang terduga teroris lainnya ditembak di Dompu NTB.

Seolah operasi penyergapan itu untuk menegaskan bahwa teroris masih ada dan berkeliaran. Penegasan ini bisa jadi dilakukan untuk menurunkan kritik atas aksi salah tangkap dan penganiayaan oleh arapat terhadap 14 orang di Poso pada akhir Desember lalu.

Aparat “Balas Dendam” dan Tak Profesional

PadaKamis, (20/12/2012) di Desa Kalora Kec. Poso Pesisir Utara Kab. Poso terjadi penembakan terhadap anggota kepolisian yang sedang berpatroli hingga empat anggota polisi meninggal dan lainnya terluka. Pembunuhan terhadap siapa pun termasuk anggota kepolisian, tanpa alasan yang dibenarkan syariat Islam tentu harus ditolak, tidak bisa dibenarkan dan hukumnya haram. Allah SWT berfirman:
dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar (TQS al-Isra’ [17]: 33)

Di sisi lain penangkapan disertai dengan penyiksaan tanpa bukti-bukti hukum tentu saja juga harus dikecam dan tidak boleh dibiarkan . Hal ini akan melahirkan rezim represif gaya orde baru yang melanggar hak-hak rakyat sebagai manusia.

Dan itulah yang terjadi terhadap 14 orang warga Poso pasca penembakan terhadap anggota kepolisian itu. Menurut Adnan Arsal, tokoh Poso dan juga deklarator perjanjian damai Malino, pasca penembakan itu Polisi yang dikerahkan tidak mengejar kelompok pelaku, namun justru menyisir perkampungan dan menangkap warga tanpa pandang bulu. “Polisi melakukan salah tangkap dan ironisnya, mereka disiksa dan dianiaya hingga selama 7 hari pemeriksaan. Wajah dan tubuh mereka lebam dan babak belur,” tegas Adnan (Seruu.com, 3/1/2013).

Dewan Pembina PUSAT Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM) Indonesia, Heru Susetyo, mengatakan, “Setelah diinterogasi secara tak manusiawi, disiksa dan dihinakan selama 7 hari (20-27 Desember 2012), mereka dilepas begitu saja. Tanpa permintaan maaf dan rehabilitasi nama baik, apalagi pengantian biaya perobatan, tidak ada.”

Sapto Waluyo, Direktur Eksekutif Center for Indonesian Reform (CIR) mengkritik, “Aparat Polisi sekali lagi menunjukkan sikap tidak profesional dan tidak bertanggung jawab, seperti Densus 88 yang sering salah tangkap dan salah tembak. Bukti permulaan yang dimaksud ternyata hanya karena ke-14 warga itu ikut pengajian/taklim. Apa ikut mengaji itu suatu kejahatan? Setelah proses interogasi yang penuh penyiksaan ternyata tak ada bukti pendukung lain. Itu benar-benar kesalahan fatal yang akan menumbuhkan kebencian kepada aparat. Bukan memberantas terorisme, polisi malah menyuburkan kebencian baru.” (islampos.com, 3/1/2013).

Tindakan aparat itu tidak mencerminkan penegakan hukum apalagi yang bersifat humanis, melainkan lebih berupa aksi balas dendam atas nama hukum. Tindakan aparat itu seakan juga mengkonfirmasi bahwa program kontra terorisme sangat stereotip menyasar mereka yang aktif dalam kegiatan keislaman. Sekaligus bisa menanamkan rasa takut di tengah masyarakat untuk mengikuti aktifitas keislaman, khususnya pengajian atau ta’lim, karena khawatir dituduh teroris. Ini akan menjauhkan umat dari Islam.

Extra Judicial Killing

Apa yang terjadi lebih terlihat sebagai proses eksekusi. Alasan telah terjadi perlawanan dari dua orang terduga teroris di teras Masjid Nur Alfiah di dalam RS Wahidin Sudirohusodo patut dipertanyakan. Mengingat banyak alasan yang tidak mendukung bahwa terjadi perlawanan yang mengharuskan ditembak mati. Ada saksi yang menyatakan bahwa tidak terjadi baku tembak, tapi yang terjadi adalah dua orang yang diberondong peluru hingga tewas lalu segera diangkut ke dalam mobil dan dibawa pergi.

Pertanyaan lainnya, apakah tidak ada cara untuk melumpuhkan dan apakah personel Densus tidak mampu melakukannya? Padahal aparat Densus yang melakukan operasi itu berjumlah banyak, biasanya dilengkapi sarana pengaman seperti rompi anti peluru dan dibekali persenjataan canggih seperti yang terlihat dalam beberapa kali tayangan TV. Selama ini personel Densus juga banyak dilatih oleh AS dan Australia yang katanya sangat ahli. Sekali lagi, mau tidak mau operasi seperti itu tidak mencerminkan proses penegakan hukum yang humanis, melainkan lebih kental aksi balas dendam atas nama hukum.

Operasi penyergapan di Makassar itu menampilkan metode operasi aparat Densus 88 yang makin provokatif. Betapa tidak, aparat Densus mengeksekusi orang yang baru terduga teroris, dilakukan pada hari Jumat saat menjelang shalat Jumat dan terjadi di teras masjid. Sungguh ini melecehkan kehormatan masjid dan menyakiti perasaan umat Islam. Kejadian ini kembali mengingatkan kepada penembakan tanpa perlawanan oleh aparat Densus 88 terhadap ustadz Kholid di Poso saat pulang dari shalat Subuh di Masjid, hingga menimbulkan perlawanan dari masyarakat yang mengenal betul sosok ustadz Kholid yang bukan sosok teroris.

Jika cara kerja aparat seperti itu, kepercayaan masyarakat kepada aparat akan makin tergerus. Disamping itu, dengan metode kerja yang provokatif seperti itu justru bisa menyemai benih kebencian terhadap aparat dan bisa melahirkan aksi pembalasan.Maka wajar jika ada anggapan bahwa operasi kontraterorisme seperti itu bukannya untuk mengakhiri aksi teror, tetapi justru melanggengkan terorisme demi berbagai kepentingan dan tujuan.

Operasi itu juga memperlihatkan kesekian kalinya, aparat khususnya Densus 88 melakukan pembunuhan terhadap terduga teroris tanpa melalui putusan pengadilan.Yang dieksekusi itu statusnya baru terduga, belum tersangka apalagi terdakwa dan tentu saja tanpa putusan pengadilan. Status terduga itu sendiri dalam kerangka prosedur hukum tidak dikenal. Karena itu tindakan pengeksekusian itu jelas merupakan extra judicial killing dan merupakan pelanggaran atas hak hidup seseorang.

Wakil Ketua Komnas HAM, Muhammad Nurkhoiron, mengatakan, justru Densus dalam insiden maut itu melanggar undang-undang HAM. Meski, dua orang yang polisi duga sebagai jaringan teroris tersebut masih sebatas dugaan namun aparat sudah main hakim sendiri. Menurutnya, kejadian itu cenderung diskenariokan atau rekayasa. “Giliran Makassar jadi kelinci percobaan Densus 88. Teman-teman pemantau Komnas HAM menemukan indikasi orang-orang teroris itu adalah “peliharaan” mereka juga. Komnas HAM sedang kumpulkan bukti bahwa penanganan teroris dengan cara seperti itu salah besar. Justeru densus yang melanggar HAM karena orang yang ditembak mati baru dugaan. Jadi kejadian di Makassar itu ada skenario untuk membuat masyarakat sekitar, terutama kalangan ustad, kalangan pesantren, ulama tersudutkan, apalagi menjelang Pilgub.(tribunnews.com, 5/1/2013).

Menurut mantan komisioner Komnas HAM, Saharuddin Daming, kejadian itu merupakan bukti terbaru yang dapat digunakan untuk menyeret petinggi Densus 88 ke pengadilan. “Ini merupakan bukti bahwa Densus 88 sudah melakukan pelanggaran HAM berat, sehingga mereka sangat patut diseret ke penyelidikan projustitia pelanggaran HAM berat, termasuk pimpinan Polri secara berurutan, karena dari merekalah Densus 88 memperoleh mandat untuk melakukan operasi extra judicial killing (pembunuhan di luar jalur hukum).” (mediaumat.com, Sabtu, 5/1).

Padahal Rasul saw bersabda:
Sungguh lenyapnya dunia lebih remeh di sisi Allah dari pembunuhan seorang muslim(HR an-Nasai dan at-Tirmidzi)

Menyasar Islam dan Tidak Adil

Semua kejadian itu makin menegaskan bahwa program kontraterorisme memang menyasar Islam dan para aktifisnya. Betapa tidak, sekedar ikut ta’lim saja sudah dijadikan bukti awal untuk melakukan penangkapan.
Hal itu makin diperkuat dengan fakta begitu mudahnya melabeli sebagai terorisme jika yang melakukan adalah muslim. Namun kenapa penembakan tujuh anggota kepolisian di Papua selama tahun 2012 yang diduga dilakukan oleh OPM tidak dilabeli sebagai terorisme. Padahal jelas dilakukan oleh OPM secara terorganisir, sistematis dan dilatarbelakangi tujuan politik separatisme untuk memisahkan diri dari negara RI.

Semua itu menegaskan bahwa program kontraterorisme di negeri ini sepenuhnya tetap mengadopsi dan mengekor pada war on terrorisme yang dipimpin oleh AS.Selama tetap seperti itu maka Islam dan umat Islam akan terus menjadi sasaran.Hanya ironisnya itu terjadi di negeri ini yang mayoritas penduduknya adalah muslim.

Karena itu, umat Islam tidak boleh diam. Umat Islam harus bersuara mengkritik dan menolak program kontraterorisme ala barat (AS) itu. Sebab hal itu hanya akan memperdalam cengkeraman barat (AS) terhadap negeri ini dan nasib umat Islam.Lebih dari itu, semua itu jelas merupakan kezaliman terhadap umat Islam. Allah SWT berfirman:

Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.(TQS Hud [11]: 113)

Benarkah Umat Islam Tidak Toleran ?

Pada 1 Juli 2009, Dr. Marwa El-Sherbini, seorang Muslimah yang sedang hamil tiga bulan dibunuh oleh seorang non-Muslim di Pengadilan Dresden Jerman. Dr. Marwa dibunuh dengan sangat biadab. Ia dihujani tusukan pisau sebanyak 18 kali, dan meninggal di ruang sidang.

Dr. Marwa hadir di sidang pengadilan, mengadukan seorang pemuda Jerman bernama Alex W yang menjulukinya sebagai “teroris” karena ia mengenakan jilbab. Pada suatu kesempatan, Alex juga pernah berusaha melepas jilbab Marwa, Muslimah asal Mesir. Di persidangan itulah, Alex justru membunuh Dr. Marwa dengan biadab. Suami Marwa yang berusaha membela istrinya justru terkena tembakan petugas.

Mungkin karena korbannya Muslim, dan pelakunya warga asli non-Muslim, peristiwa besar itu tidak menjadi isu nasional, apalagi internasional. Tampaknya, kasus itu bukan komoditas berita yang menarik dan laku dijual!

Bandingkan dengan kasus terlukanya seorang pendeta Kristen HKBP di Ciketing Bekasi, akibat bentrokan dengan massa Muslim. Meskipun terjadi di pelosok kampung, dunia ribut luar biasa. Menlu AS Hilary Clinton sampai ikut berkomentar. Situs berita Kristen www.reformata.com, pada 20 September 2010, menurunkan berita: “Menlu AS Prihatin soal HKBP Ciketing”.

Menyusul kasus Ciketing tersebut, International Crisis Group (ICG), dalam situsnya, (www.crisisgroup.org) juga membuat gambaran buruk terhadap kondisi toleransi beragama di Indonesia: “Religious tolerance in Indonesia has come under increasing strain in recent years, particularly where hardline Islamists and Christian evangelicals compete for the same ground.”

Banyak orang Muslim terbengong-bengong dengan fenomena ketidakdilan informasi yang menimpa mereka. Saat menemani Presiden Barack Obama melihat-lihat Masjid Istiqlal, Prof. KH Ali Musthafa Ya’qub menyampaikan titipan kaum Muslim Washington yang sudah tujuh tahun menunggu izin pendirian Masjid. Padahal, tanah sudah tersedia. Izin sudah diajukan dan belum kunjung keluar.

Masalahnya, yang jadi korban Muslim! Mungkin, oleh berbagai pihak, kasus yang menimpa kaum Muslim dianggap bukan komoditas berita yang menarik dan layak jual.

Kasus-kasus penyerangan tempat ibadah dan orang-orang Muslim di dunia Barat sangat melimpah datanya. Kebencian terhadap Muslim meningkat setelah peristiwa 11 September 2001. Berbagai laporan menunjukkan terjadinya vandalisme di banyak masjid dan kuburan Muslim hampir di seluruh Eropa. Pelecehan terhadap Islam seperti dilakukan oleh politisi Belanda Geert Wilders, juga tidak menjadi isu internasional tentang pelecehan Islam.

Pada 12 Februari 2010, Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ) menyebarluaskan data perusakan gereja di Indonesia. Kata mereka, hingga awal tahun 2010 telah ada hampir sekitar 1200 buah gereja yang dirusak dan ditutup. Berita ini tersebar ke seluruh dunia.

Fantastis! Ada 1200 gereja dirusak di Indonesia, sebuah negeri Muslim terbesar di dunia! Wajar jika dari ekspose angka itu akan muncul persepsi negatif terhadap Indonesia dan kaum Muslim. Setidaknya, bisa muncul opini, betapa biadab dan tidak tolerannya orang Muslim di Indonesia! Jika kasus satu gereja di Ciketing Bekasi saja sampai ke telinga Hillary Clinton, bagaimana dengan kasus 1.200 perusakan gereja!

Sayang, tidak ada analisis komprehensif dan jujur mengapa dan jenis kerusakan apa yang dialami gereja-gereja itu. Data Badan Litbang Kementerian Agama menunjukkan, pertumbuhan gereja Protestan di Indonesia pada periode 1977-2004, menunjukkkan angka yang fantastis, yakni 131,38 persen. Gereja Katolik lebih fantastis, 152 persen. Sedangkan pertumbuhan rumah ibadah umat Islam meningkat 64,22 persen pada periode yang sama.

Angka pertumbuhan gereja di Indonesia yang fantastis itu mestinya juga diekspose oleh lembaga-lembaga Kristen ke dunia internasional, agar laporan mereka lebih berimbang dan fair terhadap kondisi keberagamaan di Indonesia! Itu jika ada keinginan untuk membangun Indonesia sebagai rumah bersama, agar lebih adil, makmur, dan sejahtera.

Dalam soal toleransi beragama, antara opini dan fakta memang bisa jauh berbeda. Umat Islam sudah kenyang dengan rekayasa semacam itu. Dunia Barat bepuluh tahun tertipu oleh opini yang diciptakan kaum Zionis, bahwa negeri Palestina adalah tanah kosong, tanpa penduduk. Bertahun-tahun banyak orang Barat percaya, bahwa Israel adalah “David” sedangkan negara-negara Arab adalah “Goliath”. Kini, banyak yang sudah terbuka matanya, apa yang sebenarnya terjadi.

Dalam beberapa kali mengikuti perjalanan jurnalistik ke luar negeri, antara tahun 1996-1997, saya melihat bagaimana masalah Islamisasi di Timtim itu kadangkala diangkat oleh wartawan Barat dalam acara jumpa pers dengan pejabat-pejabat pemerintah RI. Mereka termakan oleh kampanye Uskup Belo selama bertahun-tahun bahwa telah terjadi Islamisasi di Timtim yang antara lain difasilitasi oleh ABRI.

Padahal, fakta bicara lain. Yang terjadi di masa integrasi Timtim dengan Indonesia adalah Katolikisasi! Bukan Islamisasi! Hasil penelitian Prof. Bilver Singh dari Singapore National University, menunjukkan, pada 1972, orang Katolik Timtim hanya berjumlah 187.540 dari jumlah penduduk 674.550 jiwa (27,8 persen). Tahun 1994, jumlah orang Katolik menjadi 722.789 dari 783.086 jumlah penduduk (92,3 persen). Tahun 1994, umat Islam di Timtim hanya 3,1 persen. Jadi dalam tempo 22 tahun di bawah Indonesia, jumlah orang Katolik Timtim meningkat 356,3%. Padahal, Portugis saja, selama 450 tahun menjajah Timtim hanya mampu mengkatolikkan 27,8% orang Timtim.

Melihat pertambahan penduduk Katolik yang sangat fantastis itu, Thomas Michel, Sekretaris Eksekutif Federasi Konferensi para Uskup Asia yang berpusat di Bangkok, menyatakan, “Gereja Katolik di Timtim berkembang lebih cepat dibanding wilayah lain mana pun di dunia.” (Lihat, BilveerSingh, Timor Timur, Indonesia dan Dunia, Mitos dan Kenyataan (Jakarta: IPS, 1998).

Itu fakta. Tapi, opini di dunia internasional berbeda. Sejumlah kasus Islamisasi di Timtim diangkat dan dibesar-besarkan sehingga menenggelamkan gambar besar kondisi keagamaan di Timtim saat itu.

Ini kepiawaian mencipta opini! Perlu diacungi jempol. Tokoh agama menjalankan fungsinya sebagai juru kampanye, bahwa umatnya tertindas, terancam, dan perlu pertolongan dunia internasional. Dan, kampanye itu menuai hasil yang mengagumkan! Dunia diminta percaya bahwa kaum Kristen terancam dan tertindas di Indonesia; bahwa tidak ada toleransi, tidak ada kebebasan beragama di negeri Muslim ini. Berbagai LSM di Indonesia sibuk mengumumkan hasil penelitian bahwa kondisi kebebasan beragama di Indonesia sangat buruk.

Cara eksploitasi kasus di luar batas proporsinya ini sangat merugikan citra bangsa. Padahal, lihatlah fakta besarnya! Muslim Indonesia sudah terbiasa dengan keberagaman dalam kehidupan beragama. Umat Muslim terbiasa menerima pejabat-pejebat non-Muslim duduk di posisi-posisi penting kenegaraan. Umat Muslim sangat biasa melihat tayangan-tayangan acara agama lain di stasiun televisi nasional. Hari libur keagamaan pun dibagi secara proporsional.

Tengoklah, berapa gelintir orang Muslim yang diberi kesempatan untuk menjadi pejabat tinggi di negara-negara Barat, sampai saat ini. Tengoklah, apakah kaum Muslim di sana bebas mengumandangkan azan, sebagaimana kaum Kristen di Indonesia bebas membunyikan lonceng gereja. Apa ada hari libur untuk kaum Muslim saat berhari raya, sebagaimana kaum Kristen menikmati libur Natal dan Paskah?

Tengoklah pusat-pusat pembelanjaan dan televisi-televisi Indonesia saat perayaan Natal! Apakah kaum Kristen dihalang-halangi untuk merayakan Natal dan hari besar lainnya? Justru yang terjadi sebaliknya. Di Indonesia, sebuah negeri Muslim, suasana Natal begitu bebas merambah seluruh aspek media massa.

Dalam kondisi maraknya ritual Kristen dan Kristenisasi di Indonesia, sungguh suatu “kecerdikan yang luar biasa” dalam bidang teknik pencitraan, bahwa Indonesia dicitrakan sebagai sebuah negeri yang tidak memberikan toleransi beragama kepada minoritas Kristen. Seolah-olah mereka adalah umat yang tertindas dan teraniaya. Adanya kasus-kasus tertentu diangkat dan dieksploitasi begitu dahsyat sehingga Indonesia dicitrakan sebagai negeri yang tidak ada kebebasan beragama.

Tentu, adilnya, jika ingin menikmati kecantikan wajah seorang gadis, lihatlah seluruh wajahnya! Jika hanya satu dua jerawat yang diteropong dan dipelototi habis-habisan, maka wajah cantik itu akan hilang dari pandangan mata!

Kaum Muslim pasti sangat mencintai negeri ini. Muslim pasti mencintai toleransi, kerukunan, dan perdamaian. Hanya saja, tokoh Islam Indonesia M. Natsir, pernah memohon: “…kalaulah ada suatu harta yang kami cintai dari segala-galanya itu ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang hendak kami wariskan kepada anak cucu dan keturunan kami. Jangan tuan-tuan coba pula memotong tali warisan ini!”

Kaum Muslim perlu terus mengambil hikmah dan pelajaran dari berbagai kasus yang menimpa mereka. Juga, kaum Muslim, terutama para aktivis dakwah, perlu terus meningkatkan kualitas dan kemampuan dakwahnya, agar mereka tidak mudah dikelabui dan diperdayakan. Toleransi umat Islam dinegeri ini tidak dihargai, justru umat Islam dicitrakan sebagai umat yang tidak toleran, padahal secara umum, mereka sudah berbuat begitu baik kepada kalangan non-Muslim dalam berbagai bidang kehidupan.

Hati-hati Belajar Filsafat Ilmu Sekular


Written by DR. Adian Husaini
 http://adianhusaini.com


Di berbagai perguruan tinggi, khususnya di tingkat Pasca Sarjana, para mahasiswa biasanya diajarkan mata kuliah “Filsafat Ilmu”. Sejauh ini, sudah banyak diterbitkan buku tentang Filsafat Ilmu. Sayangnya, kuatnya dominasi sekularisme – yang menolak campur tangan agama -- dalam bidang keilmuan kontemporer turut berpengaruh dalam perumusan konsep Filsafat Ilmu yang diajarkan di perguruan tinggi saat ini. Beberapa kutipan isi buku Filsafat Ilmu berikut ini bisa disimak.

Sebagai contoh, sebuah buku yang sangat terkenal berjudul “Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer”, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, cetakan kesembilan), mengutip pendapat Auguste Comte (1798-1857) yang membagi tiga tingkat perkembangan pengetahuan manusia, yaitu religius, metafisik, dan positif. Selanjutnya, diuraikan:

“Dalam tahap pertama maka asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi. Tahap kedua orang mulai berspekulasi tentang metafisika (keberadaan) wujud yang menjadi objek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik tersebut. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah, (ilmu) dimana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang obyektif.” (hal. 25).


Karakteristik berpikir “filsafat” dijelaskan dalam buku ini, yaitu: pertama, menyeluruh; kedua, mendasar; ketiga, spekulatif. Tentang bidang telaah filsafat, ditulis dalam buku ini: “Selaras dengan dasarnya yang spekulatif, maka dia menelaah segala masalah yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir dia mempermasalahkan hal-hal yang pokok: terjawab masalah yang satu, dia pun mulai merambah pertanyaan lain.” (hlm. 23-25).

Ada lagi sebuah buku berjudul “Filafat Ilmu” yang disusun Tim Dosen Filsafat Ilmu sebuah Universitas terkenal di Yogyakarta (1996, cetakan pertama). Ditulis dalam pendahuluan buku ini:

“Ada beberapa pendekatan yang dipilih manusia untuk memahami, mengolah, dan menghayati dunia beserta isinya. Pendekatan-pendekatan tersebut adalah filsafat, ilmu pengetahuan, seni, dan agama. Filsafat adalah usaha untuk memahami atau mengerti dunia dalam hal makna dan nilai-nilainya… Filsafat berusaha untuk menyatukan hasil-hasil ilmu dan pemahaman tentang moral, estetika, dan agama. Para filsuf telah mencari suatu pandangan tentang hidup secara terpadu, menemukan maknanya serta mencoba memberikan suatu konsepsi yang beralasan tentang alam semesta dan tempat manusia di dalamnya. (Yogyakarta: Liberty, 1996), hlm. 1.)

****

Itulah beberapa contoh materi kuliah Filsafat Ilmu yang diajarkan kepada para mahasiswa. Jika ditelaah beberapa uraian pada dua buku “Filsafat Ilmu” tersebut, akan dijumpai problematika yang serius. Teori positivisme Comte – dalam perspektif Islam – jelas sangat bermasalah. Sebab, ia meletakkan agama sebagai jenis pengetahuan yang paling primitif dan akan punah saat manusia memasuki era positivisme atau empirisisme, dimana yang diakui sebagai ilmu hanyalah pengetahuan yang didapat dari panca indera manusia. Teori Comte ini pun sekarang tak terbukti. Sebab, manusia – di Barat dan di Timur – di tengah perkembangan yang fantastis dari sains dan teknologi tetap memegang kepercayaan pada hal-hal yang metafisik dan juga agama. Di negara-negara Barat sendiri, banyak manusia percaya kepada “dukun ramal” (fortune teller).

Juga, faktanya, saat ini, dunia ilmu pengetahuan pun sudah menerima kebenaran di luar positivisme. Seorang mahasiswa tidak mungkin mengklarifikasi semua pernyataan keilmuan yang diajarkan kepadanya oleh dosennya. Misalnya, saat dosen menjelaskan, bahwa kecepatan cahaya adalah sekitar 270.000 km/detik, maka si mahasiswa hanya diminta untuk percaya, tanpa perlu membuktikan secara empiris. Ketika si dosen menjelaskan, bahwa suatu rumus adalah rumus buatan Phytagoras, maka si mahassiwa juga harus percaya saja, dan tidak mungkin membuktikan secara empiris.

Bahkan, seorang Profesor filsafat akan puas menjadi “muqallid” (pentaqlid); hanya percaya saja kepada segala macam penjelasan pramugari, saat bepergian menggunakan pesawat terbang. Ia begitu mudah percaya kepada orang yang mungkin sama sekali tidak pernah dikenalinya. Ia percaya kepada orang yang dikatakan sebagai pilot, meskipun ia sama sekali tidak kenal. Sang profesor tadi juga tidak minta pembuktian, apa benar pilot pesawat itu, benar-benar seorang pilot. Ia hanya percaya pada cerita orang yang mungkin tak dikenalnya. Alhasil, si professor menerima “kebenaran ilmiah”, bukan berdasarkan metode empiris, tetapi menerima kebenaran ilmiah dari jalur pemberitaan. Inilah yang dalam konsep epistemologi Islam disebut sebagai jalur kebenaran ilmiah melalui “khabar shadiq” (true report).

Bagi seorang Muslim, pengetahuan yang didapat dari jalur khabar shadiq ini juga merupakan ilmu. Sebab, ia diperoleh dari sumber-sumber terpercaya, semisal al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW. Ilmu yang diraih dari jalur khabar shadiq ini juga diterima secara universal. Misal, dalam soal pengakuan anak terhadap kedua orang tuanya. Sangat jarang terjadi, ada anak yang meminta pembuktian secara rasional dan empiris berkenaan dengan status hubungannya dengan kedua orang tuanya. Misalnya, anak meminta bukti ilmiah berupa tes DNA. Kita biasanya menerima saja cerita-cerita dari orang yang kita percayai, bahwa orang tua kita adalah A dan B. Pengetahuan semacam ini – dalam konsep epistemologi Islam – juga disebut sebagai “ilmu”, yang juga diraih dengan metode ilmiah.

Karena itu, dalam perspektif Islam, tidaklah tepat jika dikatakan, suatu ilmu hanya dapat diraih dari metode empiris dan rasional. Pengetahuan tentang Allah, tentang para Nabi, tentang akhirat, tentang keutamaan bulan Ramadhan, keutamaan ibadah haji, dan sebagainya, juga dikatakan sebagai “ilmu” sebab didapatkan dari sumber-sumber terpercaya (khabar shadiq), meskipun hal itu di atas jangkauan akal (supra rasional). Masalah “cara-cara meraih ilmu” (epistemologi) saat ini telah banyak dibahas oleh para pakar keilmuan Islam.

Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, Direktur Center for Advanced Studies on Islam, Science, and Civilization -- Universiti Teknologi Malaysia, dalam makalahnya yang berjudul Konsep Ilmu dalam Tinjauan Islam, menjelaskan, bahwa dalam Tradisi Islam, ilmu pengetahuan tiba melalui pelbagai saluran, yaitu pancaindera (al-hawass al-khamsah), akal fikiran sihat (al-’aql al-salim), berita yang benar (al-khabar al-sadiq), dan intuisi (ilham).

Tentang akal fikiran sehat, Prof. Wan Mohd Nor menjelaskan, bahwa aspek akal manusia merupakan saluran penting yang dengannya diperoleh ilmu pengetahuan tentang sesuatu yang jelas, yaitu perkara yang dapat difahami dan dikuasai oleh akal, dan tentang sesuatu yang dapat dicerap dengan indera. Akal fikiran (al-’Aql) bukan hanya rasio. Akal adalah “fakultas mental” yang mensistematisasikan dan mentafsirkan fakta-fakta empiris menurut kerangka logika, yang memungkinkan pengalaman inderawi menjadi sesuatu yang dapat difahami. Akal adalah entitas spiritual yang rapat dengan hati (al-qalb), yaitu menjadi tempat intuisi. Dengan demikian, akal adalah perantara yang menghubungkan akal-fikiran dengan intuisi.

“Oleh sebab itu, sesiapa yang membatasi fungsi akal-fikiran sebagai aspek yang rasional dan dapat dicerap oleh indera, maka ia telah menyelewengkan akal fikiran daripada kualiti yang sebenarnya dan, dengan demikian, menjadikan akal fikirannya tidak sihat. Perlu diketahui bahwa hati yang dikatakan sebagai sumber intuisi bukanlah hati fisik, melainkan realiti yang terdapat di alam roh yang menggunakan semua daya yang lain sebagai instrument,” tulis Prof. Wan Mohd Nor.

‘Berita yang benar’, jelas Prof. Wan Mohd Nor, adalah sumber lain ilmu pengetahuan yang terdiri daripada dua jenis. Jenis yang pertama adalah berita yang terbukti secara terus-menerus dan disampaikan oleh mereka yang kebaikan akhlaknya tidak mengizinkan akal fikiran kita untuk membayangkan bahwa mereka akan melakukan dan menyebarkan kesalahan. Hadis mutawatir adalah contoh yang sangat tepat tentang jenis berita ini. Kesepakatan umum para ahli, ilmuwan, dan sarjana juga dianggap sebagai bahagian daripada jenis ini. Meskipun memiliki autoriti, kesepakatan tersebut masih dapat dipersoalkan menurut kaedah rasional dan empirikal, sebagaimana yang terjadi dalam kes laporan sejarah, geografi, dan sains. Jenis yang kedua adalah berita mutlak, yang dibawa oleh Nabi berdasarkan wahyu.

Demikian paparan Prof. Wan Mohd Nor tentang sumber-sumber ilmu dalam Islam, yang tidak membatasi hanya dari sumber panca indera (empiris) dan akal (rasional). Pandangan Islam tentang sumber ilmu – yang bisa disebut sebagai metode ilmiah – ini berbeda dengan penjelasan pada sebagian buku Filsafat Ilmu dan Metode Penelitian sekular yang membatasi kategori “ilmiah” hanya pada hal-hal yang rasional dan empiris. (Dikutip dari Makalah yang pernah dibentangkan oleh Prof Wan Mohd Nor Wan Daud saat bertindak sebagai Pembicara Utama dalam Workshop Dasar-Dasar Epistemologis Dalam Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Muhamadiyah Yogyakarta, Indonesia, 11 April 2005. Dengan sedikit editing, makalah ini telah dipublikasikan di Jurnal Ta’dibuna, Jurnal Program Doktor Pendidikan Islam, UIKA Bogor, Nomor 2, Vol. I, 2012.)

****

Konsep ilmu dalam Islam itu berbeda dengan banyak buku Filsafat Ilmu yang kini diajarkan kepada para mahasiswa. Dalam buku “Filsafat Ilmu” yang telah disebut terdahulu, dinyatakan: “Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah diuji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absolut…. Ilmu tidak bertujuan untuk mencari kebenaran absolut melainkan kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan tertentu.” (1995:131-132).

Jika konsep dan definisi “ilmu” itu diterapkan untuk Ilmu Ushuluddin, Ilmu Tafsir al-Quran, atau Ilmu Ushul Fiqih, maka akan menimbulkan kerancuan yang sangat serius. Sebab, pengetahuan bahwa Allah itu Satu adalah ilmu yang mutlak yang didasarkan pada sumber yang mutlak benar, yaitu al-Quran. Begitu juga ilmu tentang keharaman babi, zina, dan khamr, adalah ilmu yang mutlak juga. Penafsiran bahwa Nabi Isa a.s. tidak wafat di tiang salib, juga merupakan ilmu yang mutlak benarnya, yang tidak akan berubah sampai Akhir Zaman.

Adalah sangat keliru jika orang belajar ilmu bukan untuk meyakini kebenaran suatu ajaran, atau bahkan tidak ditujukan untuk mengenal Tuhan yang sebenarnya. Prof. Wan Mohd Nor, dalam makalahnya yang dirujuk pada bagian terdahulu, menjelaskan, bahwa dari segi linguistik, perkataan ‘ilm berasal daripada akar kata ‘ain-lam-mim yang diambil daripada perkataan ‘alamah, yaitu “tanda, penunjuk, atau petunjuk yang dengannya sesuatu atau seseorang dikenal; kognisi atau label; ciri; petunjuk; tanda”. Dengan demikian, ma’lam (jamak: ma’alim) berarti “tanda jalan” atau “sesuatu yang dengannya seseorang membimbing dirinya atau sesuatu yang membimbing seseorang”. Seiring dengan itu, ‘alam juga dapat diartikan sebagai “penunjuk jalan”. Maka bukan tanpa alasan jika penggunaan istilah Ć¢yah (jamak: ayat) dalam al-Qur’an yang secara literal berarti “tanda” merujuk pada ayat-ayat al-Qur’an dan fenomena alam.

Demikian, penjelasan Prof. Wan Mohd Nor. Dan memang, kata ilmu, alam, dan ‘ilm (‘ilm dengan makna “yakin”), memiliki akar kata yang sama. Ini menarik, karena “alam” jika dipahami sebagai ayat Allah, maka akan menghasilkan ilmu yang mengantarkan manusia kepada keyakinan pada Allah SWT. Karena itulah, Allah SWT memperingatkan bahwa nanti di akhirat, neraka jahanam akan dijejali dengan manusia-manusia dan jin yang mereka memiliki mata tetapi tidak sampai dapat memahami ayat-ayat Allah; juga telinga dan akal mereka tak sampai mengantarkan mereka kepada pemahaman dan keimanan kepada Allah. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat. (QS al-A’raf: 179).

Orang yang berilmu diletakkan pada derajat yang tinggi, karena dengan ilmunya itu dia mengenal Tuhannya dan mengenal agama Tuhan yang sebenarnya. ”Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tiada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan (’ilm) kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) diantara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS 3:18-19).

Tentu, agar manusia menjadi mulia, tidak boleh ia sembarangan menerima ilmu. Ilmu-ilmu yang baiklah yang perlu dipelajari. Sebab, ilmu-ilmu yang baik itulah yang akan mengantarkan manusia kepada keimanan dan kebahagiaan. Sangatlah keliru, jika manusia justru bangga dengan ilmu yang mengantarkan kepada keraguan dan pengingkaran kepada al-Khaliq. Imam Malik rahimahullah berkata: “Haqqun ‘alaa man thalaba al-ilma an-yakuuna lahuu waqaarun wa-sakiinatun wa-khasyyatun.” (Orang yang mencari ilmu seharusnya memiliki sifat ketenangan, ketenteraman, dan rasa takut kepada Allah SWT). (Dikutip dari buku, Mengapa Saya Harus Mondok, terbitan Pesantren Sidogiri, Pasuruan, 1431 H).

Karena begitu penting dan strategisnya kedudukan ilmu dalam Islam, maka seyogyanya Perguruan Tinggi tidak lagi mengajarkan mata kuliah Filsafat Ilmu yang sekular, yang menafikan wahyu sebagai sumber ilmu. Kini, menjadi tugas berat dan mulia bagi para cendekiawan Muslim untuk merumuskan mata kuliah Filsafat Ilmu yang benar. Wallaahu a’lam bil-shawab.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews