Thursday 3 September 2015

Nasehat Sunan Bonang Terkait Bid'ah


Diantara dokumen-dokumen dan catatan sejarah tentang Walisongo adalah “Het book van Bonang”. Dokumen ini merupakan salah satu teks sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai dokumen asli dan valid. Saat ini dokumen itu tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Dari dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti. Diantaranya disertasi Dr. B.J.O. Schrieke tahun 1816, dan Thesis Dr. Jgh Gunning tahun 1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, serta Dr. Pj Zoetmulder Sj, tahun 1935. (Lihat karya disertasi B.J.O Schrieke yang berjudul Het Book van Bonang dalam bahasa Belanda)

Menurut Pemerhati Sejarah Kerajaan Jawa, E.A. Indrayana, buku asli karya Sunan Bonang itu berada di perpustakaan Leiden-Belanda dan menjadi salah satu dokumen langka dari Zaman Walisongo. Kalau tidak dibawa Belanda, barangkali dokumen yang amat penting itu sudah lenyap. Buku ini ditulis oleh Sunan Bonang pada abad 15 yang berisi tentang ajaran-ajaran Islam.

Dalam naskah kuno itu diantaranya menceritakan tentang Sunan Ampel memperingatkan Sunan Kalijogo yang masih melestarikan selamatan. ”Jangan ditiru perbuatan semacam itu karena termasuk bid’ah.”

Sunan Kalijogo menjawab, “Biarlah nanti generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan menghilangkan budaya tahlilan itu”.

Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi, dan diterbitkan ‘Penerbit Terbit Terang’ – Surabaya, dikupas cukup panjang lebar mengenai masalah ini. Sunan Kalijogo, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati, dan Sunan Muria yang dianggap mewakili kaum abangan dikisahkan berbeda pandangan mengenai adat istiadat dengan Sunan Bonang, Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat sebagai wakil dari kaum putihan.

Sunan Kalijogo mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji (Sesaji), wayang, dan gamelan, disisipkan ajaran Islam. Sedangkan Sunan Ampel berpandangan lain. “Apakah tidak mengkhawatirkan di kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan menjadi Bid’ah?” kata Sunan Ampel.

Sunan Kudus menjawab bahwa ia mempunyai keyakinan bahwa di belakang hari kelak, akan ada yang menyempurnakannya (hal. 41, 64).

Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati, dan terutama Sunan Giri, berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Mereka menghindarkan diri dari bentuk sinkretisme (mencampurkan) ajaran Hindu dan Buddha dengan Islam.

Namun sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Kalijaga mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Buddha di dalam menyampaikan ajaran Islam.

Maka wajar jika sampai saat ini, di Indonesia, khususnya di Jawa, budaya-budaya itu masih ada di sekitar masyarakat, seperti sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara tujuh bulanan, dll [Sumber: Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan Politik Islam di Indonesia, hal. 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu].

Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “Het Book van Mbonang” adalah peringatan dari Sunan Bonang kepada umat untuk selalu bersikap saling membantu dalam suasana cinta kasih, dan mencegah diri dari kesesatan dan bid’ah.

“Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah,” sebagaimana kata Abu Yahta Arif Mustaqim, pengedit buku Mantan Kiai NU Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hal. 12-13.


Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu. Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ah.

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews