Monday 28 January 2013

Konsistensi 'Jihad' Hanung dalam Memerangi Islam

KETIKA memproduksi Film 2012, Sutradara Rolland Emmerich bermaksud memasukkan Mekah, yang didalamnya ada Masjidil Haram sebagai salahsatu bangunan yang ikut dihancurkannya dalam film yang bertemakan kiamat itu. Namun atas saran Harald Kloser—sang penulis naskah, Rolland akhirnya mengurungkan niatnya. Alhasil, film berdurasi 158 menit yang diproduksi sejak 2008 dan ditayangkan pada 2011 di Indonesia ini, tidak kita temukan Masjidil Haram hancur seperti halnya St. Petters Basilica di Roma, atau Gedung Putih di Amerika selama suasana peristiwa kiamat digambarkan secara detail dan apik.

Rolland bukanlah sutradara baru atau orang yang baru kenal film, hingga memutuskan untuk tidak menghancurkan Mekah sebagai mana menimpa patung Yesus Kristus di Rio De Jaeniro, Brazil, atau kuil di Tibet. Rolland merasa perlu mendengarkan pendapat orang lain, sebelum memutuskan perlu dihancurkan/tidaknya situs kebanggaan yang sangat dihormati oleh milyaran umat Islam di dunia itu. Terbukti, Rollad pun mengakui benar atas apa yang baru saja dilakukannya. Bagi sutradara Film Stargate (1994), Independence Day (1996), The Day After Tomorrow (2004), 2012 (2009), dan Anonymous (2011) ini, lebih baik meninggalkan sesuatu yang menyebabkan dirinya dibenci di seluruh dunia gara-gara sebuah fatwa yang bisa saja dikeluarkan sehingga bisa membuatnya rugi di seluruh dunia.

"Well, I wanted to do that, I have to admit. But my co-writer Harald said I will not have a fatwa on my head because of a movie. And he was right. We have to all in the Western world think about this. "You can actually let Christian symbols fall apart, but if you would do this with Arab symbol, you would have a fatwa, and that sounds a little bit like what the state of this world is,” ujar Rolland suatu saat.

Adalah hak seorang Rolland ketika dirinya memutuskan untuk menghancurkan Patung Yesus Kristus sebagai simbol Kristen, dan memilih tidak menghancurkan Mekah sebagai simbol Islam. Meskipun dua-duanya bisa dia lakukan, namun pertimbangan Rolland maupun penulis naskah Harald Kloser sebagai orang film profesional untuk menghindari kutukan dan kebencian terhadap mereka dari umat Islam seluruh dunia, menurut saya cukup menarik. Apalagi, baik Rolland maupun Harald, bukanlah Muslim sehingga keputusan untuk menghormati simbol agama Islam oleh mereka, patut dijadikan pelajaran berharga bagi sutradara Muslim dimanapun, termasuk di Indonesia.

Awal tahun 70-an, tepatnya tahun 1973, sebuah film The Exorcist karya William Friedkin yang menuai kontroversi karena menggambarkan seorang gadis melakukan masturbasi di Gereja. Film ini sebenarnya menggambarkan adanya seorang gadis cilik yang kesurupan, sehingga perilakunya bisa dibilang sangat menyimpang. Meski begitu, bukan berarti pihak Gereja menerima begitu saja alasan William untuk menempatkan Gereja sebagai tempat masturbasi.

Pada tahun 1988, sebuah Film The Last Temptation of Christ karya Martin Scorsese akhirnya tutup di hampir semua negara yang akan menayangkannya. Pihak Kristen berkeberatan karena di dalam Film tersebut digambarkan Yesus Kristus sedang meniduri Maria Magdalena. Para pemrotes tidak mau melihat Yesus Kristus digambarkan sebagai manusia yang memiliki nafsu dan bersenggama.

Tahun 2004 silam, sebuah film garapan Mell Gibson The Passion of the Christ yang mengisahkan kisah detik-detik penyaliban Yesus Kristus. Film ini ditentang karena dituduh oleh Yahudi telah mempermalukannya. Namun, Gibson selamat karena kisah itu diakuinya memang berasal dari Kitab Perjanjian Baru.

Setelah itu, banyak film penghinaan terhadap simbol Islam bermunculan di dunia maya, bahkan sekarang lebih bervariasi karena dibumbui dengan kartun nabi dan sebagainya.

Di Indonesia, mungkin hanya Sutradara Hanung Bramantyo saja yang berani secara terbuka melakukannya. Pada Film “?” (baca: tandatanya), Hanung sengaja membuat penonton marah. Pasalnya, dalam film yang dibuat bersamaan dengan perayaan Natal 2011 ini, Hanung tidak takut men-set up Masjid sebagai background adegan ritual ibadah pemeluk Kristiani. Pada sebuah adegan, digambarkan seseorang yang berlatih menjadi Yesus yang sedang memanggul kayu salib. Latihan menjadi Yesus yang sedang memanggul kayu salib ini dilakukan di areal Masjid.

Selain itu, Hanung juga dengan sangat jelas mempertontonkan adegan SARA karena membiarkan aktor etnis China mengucapkan “Dasar Teroris Anjing!” kepada jamaah Masjid, dan sengaja membenturkan antara Muslim dengan China, dengan adanya ucapan “Dasar China!” oleh jamaah Masjid. Tidak hanya itu. Gambaran pengeboman gereja, penusukan pendeta, dan penyerangan restoran China oleh sekelompok remaja Muslim bersarung dan berpeci, mengesankan kebencian yang amat dalam dalam film tersebut kepada Islam. Saya sendiri tidak tahu, apakah kebencian ini berasal dari diri Hanung pribadi, ataukah dari produser yang membiayai produksi film itu. Yang pasti, film ini semakin menjadi alasan kemarahan banyak pemeluk Islam tanah air kepada Hanung.

Belakangan, Hanung Bramantyo kembali merelease film terbarunya berjudul Cinta Tapi Beda (CTB). Nyaris sama dengan film “?”, film ini juga sarat dengan pesan underestimate terhadap Islam. Percakapan demi percakapan antar pemeran sengaja dibuat dengan mengarahkan pentingnya mengalahkan keinginan kitab sucinya dibanding keinginan nafsu birahi dan kepentingan duniawi semata. Negara Indonesia yang tidak memberikan ijin resmi nikah beda agama, dibuat guyon dalam film itu. Juga, ketidaklaziman seorang anak yang menceramahi orangtuanya soal agama Islam, padahal si orangtua adalah tokoh Muslim masyarakat di Jogja. Bahkan, film itu diakui banyak masyarakat Minang, telah melukai mereka gara-gara pemilihan setting Minang sebagai salahsatu basic salahsatu pemeran beragama katolik.

Meski tidak dijelaskan, namun dari properti konten film, misalnya buku tentang Nikah Beda Agama, atau gambar-gambar Gus Dur di akhir film itu, menggambarkan betapa dekatnya misi film itu dengan tujuan tokoh-tokoh Liberalis Islam di Indonesia.

Memang secara umum, dengan alasan kebebasan berekspresi, membuat film tidak ada batasan pasti kebebasannya. Namun soal etika, tampaknya tidak dipertimbangkan oleh Hanung. Hampir semua film besutannya yang berlatar belakang religiusitas, selalu bercirikan kesengajaan pelunturan keyakinan dan pengeroposan ketaatan pemeluk Islam.

Alih-alih memperbaiki cara pandang generasi muda tentang keyakinannya, banyak film-film Hanung malah sebaliknya. Bagaimana tidak, Hanung lebih memilih tema benturan ketimbang edukasi. Misalnya Film Perempuan Berkalung Sorban yang dengan nyata menggambarkan kebusukan Pesantren. Atau film CTB yang merupakan film terbaru Hanung. Seperti dalam film ini, ternyata Hanung lebih suka mengambil tema cinta berbeda agama, ketimbang misalnya larangan Shalat Jumat bagi karyawan Muslim di perusahaan misalnya. Atau tema susahnya menegakkan aturan pendirian tempat ibadah. Atau, jika Hanung concern di isu diskrimasi minoritas, bisa saja Hanung membuat Film dengan tema misalnya adanya muslimah dilarang berjilbab di hotel. Atau satu lagi, adanya larangan lelaki mengenakan sarung masuk lounge hotel di Jakarta. Masih banyak tema kontroversi lain yang tidak harus melukai Umat Islam.

Sayangnya, ini hanyalah harapan kosong. Bahkan kemarahan demi kemarahan bermunculan pun, saya yakin tidak akan bisa mengubah sikap Hanung. Ini bisa terjadi, bukan tanpa alasan. Mungkin ini terjadi karena adanya kekuatan lain yang mendorongnya untuk “istiqamah”. Misalnya, soal siapa penyokong di semua film besutan Hanung itu.

Atau, bisa saja karena kedekatan ideologi Hanung dengan kelompok Islam Liberal yang cukup kuat sehingga membuat Hanung berani berbeda dan tidak malu melakukannya. Pada sebuah wawancara dengan Radio KBR 68H 27 Oktober 2010, ada sebuah penggalan kalimat Hanung yang cukup membuat saya maklum.

“Pada saat proses pembuatan film Ayat-Ayat Cinta itu, saya tidak melakukan shalat apa pun. Saya tidak shalat. Itu pada saat bulan Ramadlan. Saya juga tidak puasa dan tidak berdoa. Saya mencoba untuk berkesenian total & saya percaya dengan kemampuan otak saya. Jadi saya menisbikan sesuatu yang berada di luar otak. Sementara yang religius itu tidak. Saya tidak percaya itu semua,”kata Hanung.

Berbeda dengan Indonesia, sembilan tahun silam, tepatnya tahun 2004, sebuah film berjudul Submission menukai kecaman bernuansa kekerasan di Belanda. Film pendek ini, disutradarai oleh Theo Van Gogh, dan skenario ditulis oleh bekas anggota Parlemen Belanda, Ayaan Hirsi Ali. Belum diketahui, siapa yang ada di belakang pembuatan film penghinaan atas simbol Islam ini, yang jelas sang Sutradara mendapatkan banyak ancaman karena dianggap menghina dan melecehkan Islam. Film ini sendiri mengisahkan perempuan-perempuan bercadar yang disiksa suami, diperkosa dan sengaja menulis ayat Al Qur’an di tubuh mereka. Ketika film ini ditayangkan pada 29 Agustus 2004, segenap warga Muslim Belanda memprotesnya, hingga berujung pada tewasnya sang Sutradara, dua bulan kemudian. Sutradara film ini terbunuh oleh pelaku yang beragama Islam.

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews