Dari pagi sampai malam
Kami menghafal televisi
Kami cerna kelicikan, darah,
Goyangan, dan semua jenis hantu
Sambil mendebukan buku-buku...
Penggalan puisi Abdurahman Fiaz
“Television is window of the world” celetuk salah seorang kawanku. Bagaimana? Benar. Media elektronik yang selalu menghiasi ruang keluarga ini memuat ‘sesuatu’ dari berbagai sudut di dunia. Seakan-akan dunia hendak dimasukkan ke dalam kotak ajaib yang satu ini.
Dengannya kita tahu perkembangan dan kemajuan dari banyak hal. Sebut saja dari sisi ekonomi, sosial, politik, agama, budaya, bahasa, fashion, teknologi, dan seabrek sisi lainnya.
Ironisnya, televisi kita saat ini tak lagi sehat. Tugas utama dari televisi sebagai media komunikasi, pendidikan, dan informasi, kini berubah haluan dengan sedikit porsi yang dimiliki oleh keduanya.
Lalu apa yang merajai televisi kita saat ini? Hiburan.
Ya... tepat sekali. Pertikaian, pelecehan, goyangan, kekerasan (dkk) yang dibalut dalam bentuk acara komedi, sinetron, reality show menjadi sajian utama yang bebas dilahap oleh semua penontonnya, tak lagi memandang perbedaan usia ataupun pendidikan.
“Television is stupid box” celetuk yang lain.
Bagaimana? Lagi dan lagi aku harus menganggukkan kepala. Benar. Televisi hanyalah kotak yang kita beli, yang sama sekali tidak bisa mengatur kita sebagai penikmatnya.
Benar kalimat Agus M. Irkham dalam salah satu bukunya yang terbit lima tahu lalu, “Yang kita butuhkan adalah kecerdasan untuk memilah dan memilih acara televisi. Sebesar apapun pengaruh televisi terhadap penontonnya, tetap saja tali kendali ada di tangan penontonnya.”
Maukah kita terseret dalam daftar korban dampak negatif televisi? Yang tak lagi suka membaca, yang tak lagi bergelut dengan buku, yang menyalahkan realitas, yang tergiur dengan dunia iming-iming dalam televisi, yang menjadikan televisi sebagai ‘imam’ kehidupan, dan alasan lainnya.
Lalu televisi harus disebut apa? Sahabat atau musuh? Keputusan dan jawaban atas pertanyaan tersebut berada di tangan kita (sebagai penonton). Dan juga sebagai pemegang remote control, kita memiliki andil besar, matikan atau tonton? mendidik atau membodohi? Kitalah yang memutuskan.
Sebab, sebuah program acara televisi membutuhkan penonton untuk meninggikan rating, dan rating digunakan sebagai alat penarik para pengiklan. Jika tidak ada penonton, maka tidak tercipta rating yang tinggi dan otomatis tidak ada pengiklan.
So, masa depan televisi ada ditangan kita.*
Kami menghafal televisi
Kami cerna kelicikan, darah,
Goyangan, dan semua jenis hantu
Sambil mendebukan buku-buku...
Penggalan puisi Abdurahman Fiaz
“Television is window of the world” celetuk salah seorang kawanku. Bagaimana? Benar. Media elektronik yang selalu menghiasi ruang keluarga ini memuat ‘sesuatu’ dari berbagai sudut di dunia. Seakan-akan dunia hendak dimasukkan ke dalam kotak ajaib yang satu ini.
Dengannya kita tahu perkembangan dan kemajuan dari banyak hal. Sebut saja dari sisi ekonomi, sosial, politik, agama, budaya, bahasa, fashion, teknologi, dan seabrek sisi lainnya.
Ironisnya, televisi kita saat ini tak lagi sehat. Tugas utama dari televisi sebagai media komunikasi, pendidikan, dan informasi, kini berubah haluan dengan sedikit porsi yang dimiliki oleh keduanya.
Lalu apa yang merajai televisi kita saat ini? Hiburan.
Ya... tepat sekali. Pertikaian, pelecehan, goyangan, kekerasan (dkk) yang dibalut dalam bentuk acara komedi, sinetron, reality show menjadi sajian utama yang bebas dilahap oleh semua penontonnya, tak lagi memandang perbedaan usia ataupun pendidikan.
“Television is stupid box” celetuk yang lain.
Bagaimana? Lagi dan lagi aku harus menganggukkan kepala. Benar. Televisi hanyalah kotak yang kita beli, yang sama sekali tidak bisa mengatur kita sebagai penikmatnya.
Benar kalimat Agus M. Irkham dalam salah satu bukunya yang terbit lima tahu lalu, “Yang kita butuhkan adalah kecerdasan untuk memilah dan memilih acara televisi. Sebesar apapun pengaruh televisi terhadap penontonnya, tetap saja tali kendali ada di tangan penontonnya.”
Maukah kita terseret dalam daftar korban dampak negatif televisi? Yang tak lagi suka membaca, yang tak lagi bergelut dengan buku, yang menyalahkan realitas, yang tergiur dengan dunia iming-iming dalam televisi, yang menjadikan televisi sebagai ‘imam’ kehidupan, dan alasan lainnya.
Lalu televisi harus disebut apa? Sahabat atau musuh? Keputusan dan jawaban atas pertanyaan tersebut berada di tangan kita (sebagai penonton). Dan juga sebagai pemegang remote control, kita memiliki andil besar, matikan atau tonton? mendidik atau membodohi? Kitalah yang memutuskan.
Sebab, sebuah program acara televisi membutuhkan penonton untuk meninggikan rating, dan rating digunakan sebagai alat penarik para pengiklan. Jika tidak ada penonton, maka tidak tercipta rating yang tinggi dan otomatis tidak ada pengiklan.
So, masa depan televisi ada ditangan kita.*
0 comments:
Post a Comment