ALAM bawah sadar setiap orang menghendaki suasana damai dan ketentraman,tidak terkecuali masyarakat Poso Sulteng. Sikon aman dalam hidup menjadi hajat asasi yang tidak bisa ditawar.Namun apa dikata, bom kembali mengoyak benih kedamaian yang masih sedang kuncup. Pagi yang relatif sepi di kota Poso sekitar pukul 08.00 wita bom tersebut meledak di halaman Mapolres Poso (3 Juni 2013).Terduga pelaku tewas terkoyak hancur menyisakan beberapa bagian tubuh saja. Akhirnya menambah tragedi susulan, Tim Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 kembali membuat masyarakat Poso makin meradang. Hari Senin (10 Juni 2013) kemarin ada seorang warga yang di tembak hingga tewas dalam pengejaran hanya karena alasan membahayakan.Tak pelak akhirnya memicu masyarakat kota Poso bersitegang berhadapan dengan aparat kepolisian yang di back up aparat TNI.
Apakah ini kali pertama di Poso? Jawabanya,tidak. Ditahun 2012 lalu juga tercatat beberapa kali kasus bom; 9 Oktober 2012 bom di Kawua, 22 Oktober 2012 bom di Poslantas Smaker, 22 Oktober 2012 di rumah Pastori Madale, 25 Desember 2012 temuan bom di Poslantas Pertokoan. Untuk kasus penembakan dan pembunuhan juga tercatat; 27 Agustus 2012 di Sepe, 4 Oktober 2012 di Masani, 16 Oktober 2012 pembunuhan di Tamanjeka, 20 Desember 2012 penembakan di Kalora. Seperti kekerasan yang siklik, menggeliat secara periodik dengan beragam faktor penyebab.
Fakta masa lalu konflik Poso begitu dalam telah meninggalkan luka, hingga begitu mudahnya Poso di siram air garam untuk bisa maradang kembali. Di tengah upaya masyarakat menjahit luka dengan segenap kemandirian lokalnya ternyata tidak linear dengan syahwat segelintir orang yang bermain untuk menjadikan Poso tetap meregang membuat kontraksi melemahnya rasa aman. Entah para pemain ini sadar atau tidak, bahwa itu rekayasa sosial yang kontraproduktif. Siapa mereka? mereka bisa saja yang lagi duduk dikursi-kursi “kekuasaan” negara atau kelompok yang berada di luar Poso atau di dalam Poso. Kepentingannya bisa jadi demi perut atau jabatan.Sekalipun sayup-sayup juga didengar ada yang mengatakan kepentinganya di luar keduanya.Yaitu sebuah gagasan ideal politik, negara mondial berbasis agama.Tapi point ini sulit dibuktikan relevansinya dengan realitas sosio-geopolitik dari sebuah wilayah sempit di celukan pulau Sulawesi yang relatif jauh dari mana-mana.
Pendekatan ekonomi di coba, tidak sedikit dana di gelontorkan untuk recovery Poso paska konflik. Di tahun 2003 saja sebesar 13 M, tahun 2006 sebesar 58 M, tahun 2008 50 M, ditahun-tahun berikutnya juga masih terus dianggarkan tapi dana ini juga tidak luput dari tikus-tikus rakus (koruptor).Dan ternyata uang tersebut juga belum mampu menjawab persoalan sepenuhnya Poso paska konflik.Seperti kebijakan asal-asalan yang tidak komprehensif. Justru lebih bernafsu pendekatan militeristik yang dikedepankan oleh pemerintah.Jika ada langkah persuasif itupun menjadi mandul tergerus hebohnya pola penindakan (law enforcement) yang dilakukan oleh aparat keamanan khususnya Densus-88. Awalnya, saat konflik dan beberapa tahun paska konflik penanganan belum ada label teroris, teror dan puzzle kekerasan yang terjadi masih mengindikasikan residu konflik yang baru reda.
Tapi dikemudian hari pendekatan militeristik dioperasikan dibawah label proyek perang melawan terorisme.Entah mulai kapan ada pergeseran label tersebut, yang pasti bukan dari masyarakat tapi dari pihak aparat yang diaminkan oleh hampir semua insan media.Dan Poso menjadi panggung perburuan teroris, bahkan secara bombastis dicap sebagai sarang jaringan al-Qaidah di Indonesia. Otomatis, ini akan semakin memperkaya pundi-pundi dollar yang diterima Densus 88.
Yang tampak dari pendekatan militeristik cenderung provokatif bahkan sebagian masyarakat Poso menilai terlalu arogan, dihidangkan sebagai tontonan yang tanpa sadar justru menjadi energi potensial lahirnya kekerasan berikutnya. Lihatlah, banyak kasus tindakan teror telah menempatkan aparat keamanan (polisi) menjadi obyek musuh dan sasaran. Erosi kepercayaan sebagian masyarakat di Poso demikian rentan melahirkan sikap antipati bahkan lebih dari itu.Padahal sejatinya Polisi simbol kehadiran negara dengan segenap perannya dalam taraf kebutuhan krusial yang disebut dengan rasa aman dan keamanan oleh masyarakat.
Komentar dari pihak terkait semisal Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) justru terasa memperuncing permusuhan kepada kelompok atau pihak tertuduh. Seolah tidak mengenal lagi cara arif dalam komunikasi publik. Belum lagi media TV yang mendewakan rating, cenderung ambil keuntungan minus solusi dan tidak peduli bagaimana bisa mengendapkan cara berpikir jernih untuk khalayak seantero Nusantara dalam memahami persoalan teror. Hiruk pikuk penangkapan dengan menghambur ribuan peluru yang hasilnya terduga tewas bersimbah darah, semua ini mengendapkan bara dendam yang kapan saja bisa meledak dari saudara korban, teman, sahabat dan kelompok atau yang empati kepadanya.
Siapapun sepakat bahwa pembunuhan di luar hak itu adalah kejahatan yang luar biasa, siapapun pelakunya. Apakah pelakunya dari terduga teroris, aparat Densus 88, preman, atau siapapun yang menjadi aktor dari hilangnya nyawa seseorang. Dialog oleh banyak orang tetap masih dipandang sebagai media dan kekuatan yang bisa mereduksi teror demi teror.
Pendekatan persuasif dan humanis masih menjadi pilihan bagi orang-orang yang berakal dan bernurani.Teror ataupun terorisme tidak bisa disentuh dilevel akibatnya saja tanpa peduli dengan akar atau sebab utama kelahirannya. Terorisme di Indonesia juga bukan kasus yang berdiri sendiri, masih terkait erat dengan dimensi politik domestik dan global.
Kedamaian Poso akan tumbuh berbanding lurus dengan sejauh mana negara mampu mereduksi teror dengan pendekatan manusiawi dan berkeadilan. Pendekatan yang komprehensif mengurai akar konflik, mereduksi akar teror dan menjunjung tinggi keadilan untuk semua warga negara.Mengerem pendekatan militeristik serta mengubur moral arogansi aparat keamanan yang selama ini dipertontonkan.Orang-orang yang secara aktual terdzalimi harus mendapatkan haknya, dan yang melakukan kedzaliman harus mendapatkan ganjaran setimpal.
Negaralah yang punya peran dominan dan harus hadir untuk meretas ini semua. Jika tidak, maka semua masyarakat Indonesia harus memaklumi baik dengan suka atau terpaksa bahwa “pengadilan jalanan” kapan saja bisa berlaku.Atau ada kesimpulan lain bahwa karena sebuah kepentingan maka konflik, teror dan kekerasan di Poso seperti drama yang terus dilestarikan dengan banyak episode.
0 comments:
Post a Comment