"Semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad.” Itulah ajaran utama dari KH Ahmad Dahlan.
Ajaran ini terus dipegang oleh anggota Muhammadiyah sampai sekarang.
Ahmad Dahlan mengatakan meminta kepada kuburan dilarang. Ahmad Dahlan juga melarang penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak.
Tapi pihak keraton tetap saja melakukan perbuatan yang dilarang Islam tersebut. Ahmad Dahlan juga hendak membetulkan arah kiblat di Masjid Keraton, tapi pihak keraton menolak.
Ahmad Dahlan lalu berhenti dari pekerjaannya sebagai ‘ketib’ (khatib) keraton. Dahlan pun mereformasi sistem pendidikan pesantren yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya karena mengutamakan hafalan serta tidak merespon “ilmu pengetahuan umum”.
Sekolah-sekolah Muhammadiyah dari segi jumlah dan keragamannya jauh lebih besar daripada Taman Siswa bentukan Ki Hadjar Dewantara yang tanggal lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).
Taman Siswa pun baru berdiri 3 Juli 1922. Sementara Muhammadiyah berdiri 18 November 1912, bahkan KH Ahmad Dahlan sudah mendirikan sekolah tanpa badan hukum tahun 1911.
Tak heran, menurut sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara dalam buku Api Sejarah, penetapan Hari Pendidikan Nasional dilakukan ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Ki Hadjar Dewantara yang menetapkan hari lahirnya sendiri sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Sekolah Muhammadiyah bercorak Islam dan nasionalis, sedangkan Taman Siswa bercorak kebatinan dan Theosofi Barat. Tokoh Theosofi adalah tokoh yang mengusahakan bersatunya pribumi dengan Belanda dalam Uni-Indonesia Belanda, bukan kemerdekaan Indonesia.
Buya Hamka menulis dalam bukunya Perkembangan Kebatinan di Indonesia bahwa Taman Siswa mengamalkan apa yang mereka sebut sebagai Panca Dharma alias Lima Pengabdian, yaitu:Kemerdekaan, Kodrat Alam, Kebudayaan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan.
Taman Siswa tidak menyebutkan Ketuhanan sehingga tidak sesuai dengan Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Juga, tidak sesuai dengan pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yaitu “ Negara Berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Seorang Residen Belanda, Janquire, juga dengan tegas menyatakan bahwa cita-cita Taman Siswa “anti-Tuhan” dan “anti-agama”. (Artawijaya, “Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara”).
Sekolah-sekolah Muhammadiyah secara garis besar dibagi dua:
Sekolah Agama: Muallimin, Muallimat, Diniyah ibtidaiyah, Diniyah Wustho dan sekolah Tabligh Kulliyatul Muballighin.
Sekolah Umum terdiri dari: Volks School Muhammadiyah (sekolah Rakyat/Sekolah Dasar), Vevrolg School (lanjutan Sekolah Rakyat) Normal School, Cursus Voor Volks Onderwiojzer (CVO), kursus untuk calon guru Vervolg School, HIS, SChakel School, MULO, AMS, HIK. Sementara Taman Siswa hanya 1 macam.
Sekolah Muhammadiyah juga berkembang. Cabangnya ke seluruh Indonesia dan masih eksis sampai sekarang. Sedangkan Sekolah Taman Siswa hanya di situ-situ saja dan tidak terlalu eksis hingga sekarang.
MC Ricklefs seorang guru besar dari Monash University Australia menulis bahwa kelahiran Taman Siswa adalah bertujuan untuk membendung dan meredam Pendikan Muhammadiyah yang cenderung radikal dan Non Kooperatif.
Artinya, Pendidikan Muhammadiyah dengan asas Islam lebih jelas menyuarakan kemerdekaan Indoesia dan tanpa kompromi dengan Belanda. Ki Hadjar Dewantara lebih dekat dengan orang Belanda melalui gerakan Freemasonry-nya. Ada beberapa buku yang menjelaskan soal ini seperti buku Tarekat Mason Bebas dan buku Gerakan Theosofi karya Iskandar P. Nugraha.
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kiai Dahlan, menurut Adaby Darban dalam buku Peran Serta Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911.
Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kiai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kiai Dahlan secara informal.
Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma (1911), disebutkan kampung Kauman Yogyakarta, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu.
Kegiatan ajar-mengajar justru mengambil tempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kiai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis. Mengajarkan agama dengan cara baru, di samping memberikan pengetahuan ilmu-ilmu umum. Jadi sekarang, layakkah 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional? Sebenarnya Hari Pendidikan adalah pada 1 Agustus, hari lahirnya KH Ahmad Dahlan–bukan 2 Mei, tanggal lahirnya Ki Hadjar Dewantara.
0 comments:
Post a Comment