Hidayatullah.com--Laporan kali ini dilatarbelakangi sejumlah berita soal seorang aktivis homoseksual di situs hidayatullah.com pada paruh bulan Juli 2012. Aktivis homo tersebut mengaku sebagai seorang gay Muslim yang juga merasa dicintai Allah Ta’ala karena pilihannya menjadi seorang homo.
Kontan, banyak pembaca berita itu yang mengecam dan melaknat pernyataan aktivis homo itu pada kolom komentar. Namun, di tumpukan komentar-komentar itu juga terselip beberapa komentar dari orang-orang yang mengaku mantan homoseks, juga orang yang mengaku tengah berjuang melawan hasrat kaum Luth itu.
Mereka mengatakan hasrat homoseks bukanlah takdir, melainkan ujian dari Allah untuk mengukur seberapa besar cinta hamba tersebut kepada-Nya. Mereka juga percaya homoseks adalah penyakit mental yang bisa disembuhkan. Sejumlah ahli pun mendukung hal tersebut.
Tim Laporan Utama Majalah Suara Hidayatullah melakukan wawancara dengan para mantan gay, serta psikolog dan psikiater. Ada mantan gay yang mau dipublis namanya, ada juga yang tidak. Laporan ini akan kami sajikan secara berseri.
Bisa Sembuh Asal Sungguh-Sungguh
Sore itu, 14 Februari 2012, puluhan homoseks—waria, gay, mungkin juga hadir lesbian—bergabung bersama kaum liberal dan seniman bertato di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Jumlah mereka cuma lima puluhan, tapi jumlah wartawan yang merubungi mereka tak jauh beda.
Kontras sekali dengan aksi tandingan ribuan massa Forum Umat Islam (FUI) yang dihelat beruntun beberapa pekan setelahnya. Tak banyak media yang meliput. Bahkan, berita yang muncul kebanyakan malah menyebut aksi FUI sebagai biang kemacetan.
Singkat kata, kalangan liberal plus homoseks kala itu bagaikan mendapat panggung gratis berskala nasional. Atas nama rakyat Indonesia, mereka minta Front Pembela Islam dibubarkan karena dinilai sering melakukan kekerasan.
“Kami rakyat Indonesia berkumpul di sini, bukan cuma laki-laki, bukan cuma perempuan, bukan cuma transgender (waria-red), tetapi semua bangsa Indonesia ada di sini,” ujar Hartoyo, Ketua Organisasi homoseks Ourvoice sesaat sebelum aksi mereka dikacaukan oleh beberapa orang tak dikenal.
Teriakan lantang Hartoyo memang diniatkan sebagai tanda eksistensi kalangan homoseksual di negeri ini. “Saya memperjuangkan homoseksual berbasis HAM,” kata pria asal Aceh ini katanya kepada Majalah Suara Hidayatullah.
Sebagai Muslim, Hartoyo mengaku, homoseks—lesbi, gay, biseksual, dan transgender (LGBT)—adalah haram tetapi berhak hidup dan diperlakukan setara. Tidak harus dihujat dan dibunuh, katanya.
Biar haram, Hartoyo mengaku tidak merasa salah dengan orientasi seksualnya. Bahkan dia merasa dicintai Allah dengan sikapnya itu. “Saya memahami gay itu benar, dan saya yakin. Pertanyaannya, apakah orang lain harus setuju dengan pendapat saya? Tentu tidak,” katanya.
Penyakit Mental
Menurut psikiater Prof Dadang Hawari, para ahli membagi homoseksual dalam dua kelompok, yakni Ego-distonik dan Ego-sintonik. Yang pertama melakukan hubungan sesama jenis untuk menambah gairah hubungan seksnya dengan lawan jenis. Namun, kelompok ini merasa hasrat homoseks mereka sebagai sesuatu yang tidak diinginkan dan sumber penderitaan.
“Homoseks Ego-distonik termasuk gangguan jiwa, sedangkan Ego-sintonik menganggap dirinya “normal”, sebab tidak disertai keluhan-keluhan kejiwaan,” tulis Prof Dadang dalam bukunya, Pendekatan Psikoreligi Pada Homoseksual, terbitan Balai Penerbit FKUI, 2009.
Prof Dadang menjelaskan, meski sesama jenis, pada homoseksual juga terdapat pembagian peran “suami” dan “istri”. Namun, reaksi cermburu akibat perselingkuhan di kalangan homo jauh lebih kuat dibanding kalangan heteroseksual atau kalangan normal. “Dalam banyak kasus sampai pada pembunuhan,” katanya.
Di Indonesia, beberapa kasus pembunuhan berantai disertai mutilasi dilakukan oleh pelaku homoseks terhadap pasangannya. Seperti kasus Ryan pada tahun 2008.
Dalam wawancara dengan Suara Hidayatullah, Prof Dadang menjelaskan, homoseks bukan disebabkan faktor gen atau keturunan karena manusia diciptakan dalam kondisi fitrah. Homoseksual terjadi karena faktor perkembangan kepribadian anak.
Hal ini juga didukung oleh psikolog Rita Soebagjo, peneliti bidang psikologi Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS). Katanya, pola asuh yang salah adalah faktor terbesar penyebab homoseksual. Contohnya, ada orangtua yang mengasuh atau memperlakukan anak laki-lakinya seperti anak perempuan karena tidak punya anak perempuan.
Contoh pola asuh lainnya, kata Rita, anak tidak mendapatkan gambaran sosok orangtua yang ideal. Misalnya, ayah terlalu lemah sedangkan ibu lebih dominan. Jika demikian, anak akan mencari identitasnya sendiri. Perempuan menjadi tomboy karena dominasi ibu, yang laki-laki jadi kemayu (genit).
“Kalau sudah seperti ini, yang diterapi adalah orangtuanya,” kata Rita.
Menurut Rita, gejala homoseks bisa dideteksi sejak usia dini, yakni usia 2 tahun. Pada usia itu anak akan memilih bermain dengan teman sejenisnya. Sedangkan pada kasus kelainan identitas gender (gender identity disorder/GID) anak lebih suka bermain dengan lawan jenisnya.
“Jika orangtua membiarkan dan tidak tanggap dalam situasi ini, itu akan meningkatkan homoseksual. Jadi, saya sepakat pola asuh punya peran besar terjadinya homoseksual,” kata Rita kepada Suara Hidayatullah di kantor INSISTS, Jakarta.
Prof Dadang dan juga Rita mengatakan, hingga kini para ahli belum sepakat soal penyebab utama homoseksual. Adapun faktor-faktor penyebabnya yang sering disebut adalah organobiologik, psikologik, lingkungan, dan peran orangtua.
Bukan hanya Prof Dadang dan Rita, Hartoyo juga mengakui bahwa pola asuh dan lingkungan adalah faktor utama penyebab homoseksual. “Saya seorang dokter hewan, saya mempelajari bahwa faktor lingkungan dapat mempengaruhi faktor genetika. Walaupun itu hewan, tapi kira-kira manusia juga begitu,” kata Hartoyo.
Bukan Penyakit?
Rita mengatakan, gerilya kaum homoseks di bidang medis telah berhasil mengeluarkan “homoseksualitas” dari daftar penyakit internasional (International Classification of Diseases) oleh WHO pada 17 Mei 1990. Indonesia juga telah memasukkan homoseks dan biseks sebagai varian yang setara dengan heteroseks dan bukan gangguan psikologis. Hal itu tertuang dalam Panduan Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, sejak 1993.
Kata Rita, karena tidak dianggap sebagai penyakit maka jika seorang homoseks pergi ke terapis yang diobati adalah stres dan traumanya, bukan homoseksualnya.
Prof Dadang tidak setuju jika homoseks dinilai bukan penyakit dan tidak bisa (tidak perlu) disembuhkan seperti diklaim Asosiasi Psikiater Amerika (APA). Tapi diakuinya, terapi homoseks relatif sulit maka pencegahan dini adalah yang terpenting. Dan, jurus paling kuat untuk mencegah adalah pendidikan agama sejak dini.
Dia mengatakan, pendekatan agama juga telah dilirik dan dibutktikan oleh para ilmuwan Barat seperti Dr Graf Remafedi dari Universitas Minnesota AS. Hal yang sama dilakukan para ilmuan yang tergabung dalam The National Association for Research and Therapy of Homosexuality (NARTH).
Prof Dadang mengaku cukup sering menangani kasus-kasus homoseksual. Kebanyakan pasiennya mengidap homoseksual sebagai ikutan dari penyakit mental Skizofrenia. Oleh karenanya, keberhasilan terapi sangat ditentukan oleh sejauhmana motivasi seorang penderita homoseksual. “Meski sulit, tak perlu putus asa. Nabi bersabda, setiap penyakit ada obatnya,” kata Guru Besar FKUI yang sudah menulis puluhan buku ini.
Metode terapinya, ujar Prof Dadang, meliputi terapi biologik (obat-obatan), psikologik (kejiwaan), sosial (adaptasi), dan spiritual (keagamaan, keimanan), yang disingkat menjadi terapi BPSS.
Namun, keberhasilan terapi juga bergantung pada kuat-lemahnya kadar homoseksual (100%, 75%, 50%, 25%), dan dukungan keluarga. Dia menambahkan, penderita juga harus dijauhkan dari materi-materi pornografi dan orang-orang homoseks.
“Jadi, organisasi homoseks harusnya tidak dibiarkan. Tapi, kita kalah dengan orang-orang yang selalu teriak HAM,” pungkas Prof Dadang.*
0 comments:
Post a Comment