Dalam sebuah buku Sejarah untuk siswa SMP kelas VIII (Jakarta: Erlangga, 2006), diuraikan satu bab khusus berjudul “Perkembangan Kristen di Indonesia”. Bab ini dibuka dengan uraian berikut: “Mengapa perlu mempelajari bab ini? Penyebaran Kristen di Indonesia berintikan damai dan cinta kasih. Namun, karena intervensi politik Barat, timbul kesan penyebaran Kristen identik dengan kolonialisme dan imperialisme. Dengan mempelajari bab ini, kita diajak untuk semakin sadar betapa campur tangan politik dapat merusak nilai-nilai luhur yang terkandung pada setiap agama.”
Pada bagian selanjutnya dijelaskan tentang kendala penyebaran agama Kristen di Indonesia: “Para penguasa dan penduduk setempat mencurigai para rohaniwan sebagai sekutu Portugis ataupun Belanda. Tindakan penindasan yang dilakukan para pedagang maupun pemerintah kolonial menimbulkan kesan bahwa Kristen identik (sama saja) dengan kolonialisme. Padahal para rohaniwan selalu datang dengan maksud damai.” (hal. 61).
Inilah salah satu contoh materi sejarah yang diajarkan kepada para pelajar SMP. Benarkah isi buku pelajaran sejarah tersebut? Ada baiknya kita simak penjelasan dari kalangan Kristen sendiri!
Pada tahun 2010, juga rangka memperingati 150 tahun Huria Kristen Batak Prostestan, Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, bekerjasama dengan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Ecole francaise d,Extreme-Orient, dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia menerbitkan sebuah buku berjudul Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba: Berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain, karya Prof. Dr. Uli Kozok, seorang professor kelahiran Jerman.
Prof. Uli Kozok membuka bukunya dengan sebuah kutipan seorang tokoh Gereja se-Dunia, Ph. Potter: “Gerakan penginjilan […] bermula bertepatan dengan waktu munculnya kolonialisme, imperialisme dan – sebagai akibatnya – rasisme. Oleh sebab itu maka gerakan penginjilan secara hakiki terkait dengan sejarah rasisme.”
Berdasarkan dokumen-dokumen di lembaga misi di Jerman yang mengirimkan Nommensen ke Tanah Batak, yaitu Rheinische Missions-Geselschaft (RMG), Prof. Uli Kozok menemukan fakta pengakuan Ludwig Ingwer (L.I.) Nommensen, tokoh misionaris Jerman di Tanah Batak, bahwa dia bergabung dengan pasukan Belanda untuk melawan gerakan perlawanan para pahlawan Batak yang dipimpin Sisingamangaraja XII. Laporan Berichte Rheinische Missionsgeselschaft (BRMG), menunjukkan, para penginjil justru bersekutu dengan tentara penjajah dalam menumpas perlawanan Sisingamangaraja XII. Lebih jauh Prof. Kozok mencatat:
“Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan
permintaan Nommensen, sehingga terbentuk koalisi Injil dan pedang yang
sangat sukses karena kedua belah pihak memiliki musuh yang sama:
Sisingamangaraja XII yang oleh zending dicap sebagai “musuh bebuyutan
pemerintah Belanda dan zending Kristen.” Bersama-sama mereka berangkat
untuk mematahkan perjuangan Sisingamangaraja. Pihak pemerintah dibekali
dengan persenjataan, organisasi, dan ilmu pengetahuan peperangan modern,
sementara pihak zending dibekali dengan pengetahuan adat istiadat dan
bahasa. Kedua belah pihak, zending Batak dan pemerintah kolonial, saling
membutuhkan dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada
hakikatnya sama: memastikan bahwa orang Batak “terbuka pada pengaruh
Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa. (BRMG 1882:202)” (hal. 92).
“Dukungan dan bantuan para misionaris
yang mendampingi ekspedisi militer hingga ke Danau Toba juga mempunyai
tujuan lain, yaitu meyakinkan masyarakat bahwa perlawanan mereka sia-sia
saja dan mendesak mereka agar menyerahkan diri.” (JB 1878:31). (hal.
93).
Selain surat penghargaan, para misionaris juga mendapat hadiah sebesar 1000 Gulden dari pemerintah kolonial yang dapat diambil setiap saat. Kerjasama antara misionaris Kristen dan penjajah Belanda berlangsung sampai Pahlawan Sisingamangaraja XII tewas dalam pertempuran tahun 1907. Dukungan kaum misionaris kepada pemerintah penjajah juga dimaksudkan untuk mencegah masuknya Islam ke Tanah Batak. (BRMG 1878:94).
Sikap pro-penjajah dari kaum Misionaris bukan hanya saat Perang Toba melawan Sisingamangaraja XII. Sikap para misionaris Kristen ini masih terus berlangsung di kemudian hari. BRMG 1897: 278-279 menulis laporan berjudul “Wie weiter auf Sumatra?” (Bagaimana Kelanjutannya di Sumatra?). Batakmission mengaku mengalami kendala untuk melakukan misi Kristen di Samosir, sebab Samosir masih merupakan “Tanah Batak Merdeka”. Selanjutnya, BRMG mencatat:
“Oleh sebab itu, “dapat dimengerti bahwa
penginjil kita sangat menghendaki agar pemerintah Belanda menduduki
Samosir.” Lagipula, konferensi penginjil tahun 1897 telah memutuskan
bahwa “penginjilan dapat dilakukan dengan lebih tenang dan dengan lebih
banyak sukses di bawah perlindungan pemerintah Eropa.” (hal. 103).
“Betapa orang Batak Kristen dapat
diandalkan tampak jelas sekarang. Sebagai orang Islam, orang Batak
takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. […] memang benar
orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan pasukan
bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda.”. (hal. 106).
Dalam suratnya yang lain, Nommensen mencatat: “Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending kita bisa masuk… (BRMG 1882:302).” (hal. 108).
Sebuah surat tentang pentingnya penaklukan Toba oleh penjajah Belanda dan misi Kristen dalam rangka menghambat masuknya pengaruh Islam, ditulis oleh laporan BRMG 1882 (7): 202-205:
“Perang dan penaklukan Toba sangat
mendukung dan mempercepat pembukaan pos penginjilan. Walaupun tidak
secara langsung, para penginjil kita di Silindung memainkan peranan yang
cukup besar dalam ekspedisi militer Belanda terhadap Toba. Upaya mereka
untuk menyebarkan Injil di Silindung mendapatkan perlawanan dari
Sisingamangaraja yang dulu maupun Sisingamangaraja yang sekarang. Karena
sudah kehilangan sebagian besar kekuasaannya, keduanya berusaha
memperoleh kembali pengaruhnya yang hilang dengan mengusir para
penginjil. Sisingamangaraja terutama memusuhi agama Kristen, akan
tetapin karena ia bersekutu dengan orang Aceh di Utara maupun dengan
Batak Islam di Timur maka kegiatan mereka juga memusuhi pemerintah
Belanda. Dengan demikian sangat bijaksana keputusan pemerintah untuk
langsung bertindak memperluas dan memperkokoh kekuasaannya, mengingat
tindak-tanduk orang Aceh dan jaringan mereka yang makin hari makin ketat
dan luas.” (hal. 153-154).
“Penjajahan merupakan keajaiban yang
diwujudkan dengan kesabaran, keberanian dan cinta kasih. Tiada bangsa
atau ras yang berhak hidup terisolir. Penjajahan tidak berlandaskan
penindasan tetapi berdasarkan prinsip moralitas tertinggi, penuh dengan
cinta kasih, kedamaian dan persaudaraan. Gereja Katolik senantiasa
mendukung penjajahan, asal dilaksanakan dengan jujur dan manusiawi tanpa
menggunakan kekerasan. Oleh sebab itu kami melihatnya sebagai sesuatu
yang memiliki daya dan keindahan yang luar biasa.” (hal. 85-86).
“Secara bertahap-tahap manusia menjauhkan
diri dari sumber kehidupan ilahi. Semakin jauh [sebuah bangsa]
menjauhkan diri, semakin merosot moral dan kecerdasan, seiring dengan
itu juga postur, bentuk tubuh dan warna kulitnya. Bangsa yang paling
dekaden mendapatkan warna kulit paling hitam, dan bentuk tubuhnya
menjadi mirip dengan binatang. Namun perbedaan hakiki antara manusia dan
binatang masih tetap ada: ialah jiwa yang dihembuskan Allah kepada
jasad sebagai bagian kehidupan ilahi.” (hal. 59).
“Negro yang paling rendah derajat pun
masih bisa diangkat menjadi manusia terdidik bila dididik dengan cara
yang tepat melalui pengaruh Kekristenan yang bersifat menyembuhkan.
Seiring dengan [proses penyembuhan] itu, maka raut muka yang
kebinatangan menghilang, pandangan mata dan tubuhnya akan menjadi lebih
sempurna, bahkan warna kulitnya secara turun-temurun bisa menjadi lebih
putih.” (hal. 60).
Seyogyanya, para pimpinan sekolah Islam, para guru, dan orang tua sadar benar akan kekeliruan besar semacam ini. Sungguh ironis, jika ada lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan bahan-bahan sejarah semacam ini, yang merusak pemikiran dan jauh sekali dari fakta sejarah sebenarnya. Bukankah Allah SWT sudah memperingatkan: “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!” Wallahu a’lam bil-sshawab. (Depok, 24 Ramadhan 1432 M/24 Agustus 2011).
0 comments:
Post a Comment