Tuesday 6 August 2013

Hancurnya Suatu Bangsa


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang sumber kehancuran yang melanda umat di segala zaman. Nubuwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyatakan kehancuran suatu bangsa disebabkan oleh tiga hal:

Pertama, apabila otoritas kekuasaan negara berada di tangan orang durhaka.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

”Tidak akan terjadi kiamat sebelum setiap kabilah dipimpin oleh orang-orang munafiqnya.” (Hr. Ath-Thabrani)

Jika kekuasaan negara dipegang oleh orang-orang muna- fiq, niscaya erosi akan melanda keyakinan umat, dan mengikis jiwa agama dari hati rakyat. Prilaku rakyat yang kering dari ajaran agama akan menyuburkan kemaksiatan dan kedurhakaan kepada Allah Swt.

Khalifah Umar bin Khatthab radiyallahu ‘anhu mengingatkan bahwa kerusakan sistem pemerintahan dan dikuasainya berbagai urusan oleh orang-orang yang fasik merupakan sebab kehancuran pilar-pilar masyarakat.

“Suatu negeri akan hancur meskipun dia makmur,” kata beliau. Para sahabatnya bertanya, “Bagaimana suatu negeri akan hancur sedangkan kondisi rakyatnya makmur?”

Khlaifah Umar menjawab, “Jika orang-orang durhaka menjadi pejabat negara dan harta dikuasai oleh orang-orang yang fasik.”

Ketika pemimpin eksekutif, legislatif, dan eksekutif dijabat oleh orang-orang yang tidak mengindahkan ajaran agama, tidak berpegang pada hukum Allah dan Rasul-Nya, maka dia sulit membedakan yang benar dan salah, antara petunjuk Allah dan tipuan setan, antara maslahat dan muslihat.

Di zaman reformasi ini, berapa banyak orang-orang yang naik jadi pemimpin bukan karena reputasi intelektual maupun moral, melainkan popularitas dan banyak uang. Sudah banyak Gubernur, Bupati, Walikota dari kalangan pengusaha, artis dangdut, pelawak, koruptor, bahkan wanita tuna susila. Jabatan kepala daerah bisa diwariskan dari suami pada istri, dari ayah pada anak perempuan atau menantu persis seperti di zaman orde baru. Munculnya pemimpin dengan latar belakang seperti itu, hanya akan menjadi pelopor kemungkaran yang akan menjeru- muskan rakyatnya ke neraka.

“Dan Kami jadikan mereka para pemimpin yang mengajak manusia ke neraka. Pada hari kiamat kelak, mereka tidak akan mendapatkan penolong dari siksa neraka. Kami timpakan laknat pada mereka di dunia ini. Pada hari kiamat kelak mereka termasuk orang-orang yang di adzab di neraka.” (Qs. Al-Qashash, 28: 41-42)

Lalu, manfaat apa yang dapat diharapkan rakyat dari pemimpin berkualitas rendah, dengan dosa sosial serta moral yang bertumpuk?

Kedua, Ulama Mempermainkan Agama.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Akan muncul di akhir zaman orang-orang yang tekun beribadah adalah bodoh, sedang para ulama’ rusak moral dan pikirannya.” (Abu Nu’aim dan Al-Hakim)

Ulama’ fasiq, yang rusak moral dan pikirannya, yang suka mempermainkan agama, menyebabkan kalangan awam menjauh dari agama sehingga memberi peluang bagi penguasa untuk menjauhkan syari’at Islam dari praktek kehidupan masyarakat. Karena para ulama’ yang sudah rusak akhlaknya dapat diperalat oleh penguasa untuk merusak masyarakat melalui fatwa maupun petuah agama.

Di negara kita, ulama dan tokoh agama makin sering terlibat perebutan kekuasaan dan jabatan yang menggiurkan. Sehingga mereka tidak bersemangat lagi menyerukan amar ma’ruf dan nahyu mungkar. Mereka malah berama-ramai menyosialisasikan demokrasi, toleransi beragama, dan hak-hak asasi manusia. Tanpa disadari, mereka telah menambah jumlah orang kafir yang menolak syari’at Allah.

Ketiga, Gaya Hidup Mewah jadi Pujaan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Kelak di akhir zaman agama dan keduniaan mereka dinilai berdasarkan berapa uang dirham dan dinar yang mereka miliki.” (Ath-Thabrani).

Di zaman ini parameter martabat seseorang ditentukan oleh harta yang mereka miliki. Orang disebut sukses apabila punya rumah mewah, mobil mewah, gaya hidup mewah. Sedang orang yang hidup sederhana, apalagi miskin, selalu saja disebut sebagai orang yang gagal.

Keshalihan dan popularitas seorang muballigh juga diukur dari harta dan penampilannya. Apakah dia seorang yang berilmu dan berakhlak mulia, sama sekali bukan ukuran yang utama, sehingga tidak sedikit ulama’, ustadz, kyai, tuan guru, berlomba-lomba mendapatkan harta dan jabatan demi memperoleh kehormatan.

Padahal seorang shalih mengatakan: “Ketika agama dimuliakan di atas harta dunia, maka Allah akan membuat dunia hina baginya. Dan ketika kita menyembah harta dunia, maka agama akan hilang dari lubuk hati dan para pencari dunia pasti akan mengalahkan kita.”

Apabila ketiga faktor ini sudah muncul sepenuhnya di tengah-tengah masyarakat, orang durhaka jadi penguasa, ulama fasiq memberi fatwa, dan hidup mewah menjadi pujaan masyarakat, maka akan terjadi kehancuran yang merata. Masyarakat akan berubah menjadi tumpukan sampah belaka.

Seperti ungkapan seorang penyair: Jika terdapat seribu pembangun, dibelakangnya seorang penghancur, niscaya dia bisa meluluhlantakkan seribu bangunan. Lalu apa yang akan terjadi, jika terdapat seribu penghancur dan dibelakangnya hanya ada seorang pembangun, niscaya negara berada dalam bahaya karena adanya bahaya dalam negara.

Wahai kaum mukmin, di hari yang penuh barakah ini, marilah kita buktikan bahwa umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sirna di bumi pertiwi ini, dengan menegakkan syari’at Islam dalam urusan pribadi, keluarga, masyarakat dan negara. Marilah kita ikhlas dalam beragama, agar Allah menolong kita dalam urusan dunia. Umat Islam harus bersatu padu melawan kezaliman, aliran sesat, dan kemungkaran yang melanda masyarakat dengan mengambil hikmat dari amali- yah Ramadhan yang baru saja berlalu.

Indonesia tidak akan bisa terbebas dari berbagai kemelut selagi ulama’nya fasiq, penguasanya durhaka, dan menyingkirkan syari’at Islam dari kehidupan masyarakatnya. Allah berfirman:

“Sekiranya penduduk berbagai negeri mau beriman dan taat kepada Allah, niscaya Kami akan bukakan pintu-pintu berkah kepada mereka dari langit dan dari bumi. Akan tetapi penduduk negeri-negeri itu mendustakan agama Kami, maka Kami timpakan adzab kepada mereka karena dosa-dosa mereka.” (Qs. Al-A’raaf, 7: 96)

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews