Saturday, 12 May 2012

Wanita-Wanita Mulia Pilihan Islam


"Aku tidak suka dengan apa apa yang dipasangkan kepada wanita ketika wafat, dipasangkan kepada wanita sebuah kain, lantas membentuk lekuk tubuhnya," ujar Fatimah Binti Rasulullah kepada Asma binti 'Umais (Imam Dzahabi, Siyar a'lam an-nubalaa, Beirut: Muassasatu ar-risalah, jilid : 2 hal : 129)

Itulah sekelumit cerita tentang perempuan terhormat yang merupakan anak dari manusia terbaik yaitu Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam. Pemalu, itulah fitrah seorang wanita dari masa ke masa, dari Barat ke Timur, tua dan muda, Arab dan non Arab.

Perkataan Fatimah yang tidak senang kalau lekuk tubuhnya dilihat walaupun ketika wafat di atas sebagai saksi dan juga perkataan sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yaitu Abi Sa'id al-Khudri radiyallah 'anhu:

"Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang lebih pemalu dari gadis perawan di kamarnya," (HR. Al-Bukhari no 6119).

Sahabat menyandingkan malu Rasullullah dengan malunya "gadis perawan" karena gadis perawan merupakan makhluk paling pemalu saat itu. Dia malu untuk keluar, malu untuk menampakkan diri, malu berbicara dengan lawan jenis dan lainnya yang merupakan sifat wanita anggun nan terhormat.

Dengan kenyataan di atas maka tidaklah heran jika lahir nama-nama besar layaknya Imam Syafi'i, Imam Ahmad, Imam Bukhari, meminjam istilah, "Di balik pria hebat terdapat wanita hebat." Lihatlah bagaimana hebatnya perkataan seorang ibu yang diberi gelar "Ummu Syuhada" (ibunya para syuhada) kepada anak –anaknya sebelum berperang:

"Kalian semua tahu betapa besar pahala yang Allah siapkan bagi orang–orang yang beriman ketika berjihad melawan orang-orang kafir. Ketahuilah bahwa negeri akhirat yang kekal jauh lebih baik dari negeri dunia yang fana. Allah 'azza wa jalla berfirman:

Andaikata esok kalian masih diberi kesehatan oleh Allah, maka perangilah musuh kalian dengan gagah berani, mintalah kemenangan atas musuhmu dari ilahi.”

Itulah wasiat sahabat Rasul bernama Khansa radiyallahu 'anha kepada keempat putranya sebelum perang al-qadisiyah yang terjadi di zaman Umar bin Khatab, dan keempat anaknya pun menjadi syuhada dalam peperangan. (lihat: Mahmud Mahdi dan Musthofa Abu an-Nasr, Nisa Haula ar-Rasul shalla 'llahu 'alaihi wa sallam, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, hal: 257 – 259)

Ini dari kalangan sahabat, ibunda para ulama pun tak jauh berbeda, Sebut saja ibunda Imam Syafi'i, sebagaimana penuturan Imam Nawawi: "Ibu Imam Syafii merupakan seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi. Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan istinbath." Dan ibunda Imam Syafi'i pula-lah yang mengirim sang imam untuk belajar kepada seorang guru di Makkah.

Tak ubahnya Imam Syafi’I, ibunda Imam Ahmad bin Hanbal merupakan wanita yang mulia. Bagaimana tidak? Imam Ahmad terlahir sebagai seorang yatim, namun ia berhasil mengahafal sejuta hadist, soal keluasan ilmu jangan ditanya. Dan itu tidak lepas dari peran ibunya yang mendidik seorang diri tanpa ditemani sang suami.

Tak ayal gelar "Tiang Negara" pun disematkan oleh para ulama kepada para wanita, "Al-maratu 'imadu al-bilad" (perempuan merupakan tiang negara), tegas para ulama. Bukannya tanpa alasan, seorang ulama, presiden, panglima, advokat, para birokrat dan sebagainya lahir dari didikan-didikan makhluk indah ciptaan tuhan yang bernama "wanita".

Hanya saja, kemuliaan wanita yang telah digariskan dengan indah oleh Islam dan para ulama itu dirusak dengan hadirnya paham-paham asing dari Barat. Wacana – wacana seperti kesetaraan gender, tafsir feminisme yang kini tengah mencuat merupakan agenda untuk menjauhkan wanita dari nilai – nilai Islam Islam itu sendiri, yang tentunya juga kehancuran suatu bangsa.

Wacana di atas semakin menggema dikarenakan maraknya penindasan terhadap kaum hawa yang kerap dilakukan oleh lelaki, begitu alasan mereka.

Bahkan Islam, kerap dituduh sebagai biang kemunduran wanita karena ajarannya dinilai melarang wanita untuk belajar dan memperoleh pendidikan. Padahal jika ada penindasan, atau diskriminasi yang dilakukan oleh pria Muslim itu sejatinya terjadi akan kebodohannya akan ajaran Islam, bukan karena Islam yang menghendaki seperti itu. Andai para penganut gender dan feminisme paham bagaimana Islam memuliakan wanita, sungguh ajaran dan dogma-dogma kesetaraan itu tak ada nilainya apa-apa dibanding Islam.

Maka kaum Muslim, selayaknya kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya dan mencontoh pemahaman Nabi, para sahabat dan para tabi'in tentang bagaimana kehidupan mereka memulikan wanita.

Nasib Wanita Sebelum Islam

Kalau mau menilik kebelakang yaitu ke masa masa awal Yunani, wanita dalam perspektif mereka adalah penyebab datangnya penyakit,musibah, bahkan para pria Yunani tidak mau makan bersama wanita dalam sebuah hidangan.. (lihat: Mahmud Mahdi Istanbuli dan Mustofa Abu Annsr, “Nisa Haula ar-Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beirut: Dar Ibnu Katsir, hal : 17)

Sedangkan dalam perspektif Nasrani, wanita adalah sebuah keburukan, pembawa sial, dan sebuah kehinaan, maka seorang yang suci layaknya pendeta tidak diperkenankan untuk menikah karena dengan berhubungan dengan wanita merusak kesucian tersebut.

Nasib Wanita di zaman Arab jahiliyah lebih parah, wanita tidak diberi hak – hak waris, ketika bayi wanita lahir maka itu adalah sebuah aib maka tak ayal bayi tersebut di bunuh.

Bandingkanlah ketika Islam datang. Islam justru hadir untuk mengangkat derajat wanita dan menegakkan "keadilan " sesuai konsep sang "Maha Adil" yaitu allah azza wa jalla, melalui al-Quran dan Sunnah Nabinya.
"Barangsiapa yang mengayomi dua anak perempuan hingga dewasa maka ia akan datang pada hari kiamat bersamaku," (dari Anas bin Malik berkata: Nabi menggabungkan jari – jari jemari beliau saat mengatakan itu). [HR. Muslim no 2631].
Tentu ini berbeda dengan keadaan jahiliyah yang merendahkan anak perempuan.

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews