Saturday 28 December 2013

Mewaspadai Pikiran 'Nyleneh' Gus Dur


NU Tersihir Pluralisme dan Multikulturalismenya Gus Dur

Meninggalnya Gus Dur bukan hanya disusul dengan munculnya fitnah di antaranya orang-orang cari berkah ke kuburannya, mengada-adakan aneka bid’ah, do’a lintas agama dan sebagainya yang semuanya tidak sesuai dengan Islam; namun memunculkan pula gelar bapak pluralisme dan multi kulturalisme. Tidak tanggung-tanggung, gelar itu dari Presiden SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) walau sampai menjelang meninggalnya, Gus Dur sikapnya sangat keras terhadap Presiden itu.

Sebagaimana diberitakan Okezone (Senin, 19 Mei 2008 – 17:24 wib), Gus Dur pernah mengatakan: “Saya sudah tidak mengakui SBY sebagai Presiden. Semakin banyaknya masalah yang melanda negeri ini adalah bukti ketidakberesan pemerintah dalam memimpin negeri ini.”

Pernyataan tersebut dilontarkan Gus Dur dalam sambutan di acara Munas Alim Ulama, yang berlangsung di Hotel Kartika Chandra, Jalan Gatot Subroto,Jakarta, Senin, 19 Mei 2008. (http://news.okezone.com/read/2008/05/19/1/110686/gus-dur-sudah-tak-akui-sby-sebagai-presiden)

Bahkan menjelang ajalnya Gus Dur sempat memberikan wasiat kepada 30 tokoh dalam pertemuan tanggal 4 Desember 2009 di kediaman Soetardjo Soeryoguritno (mantan Ketua MPR) di Jalan Denpasar, Kuningan, Jakarta. Isi pesannya: turunkan SBY dan gantikan dengan pemerintahan baru. Wasiat itu disampaikan oleh Sri Bintang Pamungkas dan Ridwan Saidi pada sebuah diskusi yang berlangsung di markas Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera), jalan Diponegoro 58 (eks kantor PDI), Menteng, Jakarta Pusat, pada hari Ahad tangal 3 januari 2010. (nahimunkar.com, January 7, 2010 2:18 am)

Gelar bapak pluralisme dan multikulturalisme itu walaupun yang mengucapkan presiden namun istilah itu sendiri mengandung makna menyamakan semua agama. Bahkan multikulturalisme itu sendiri lebih dahsyat lagi, semua kultur di dunia ini berkedudukan sama, tidak boleh ada kultur yang dipandang paling benar. Sedangkan Islam hanya dipandang sebagai bagian dari kultur, maka ketika Islam menyatakan hanya Islam lah yang benar, maka dianggap sebagai sumber konflik. Jadi bagaimanapun, istilah pluralisme, walaupun tidak disebut pluralisme agama, ketika disandingkan dengan multikulturalisme maka sudah jelas maknanya, yakni faham yang telah diharamkan oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) tahun 2005, dan Ummat Islam dilarang mengikutinya.

Lebih jelasnya, faham multikulturalisme Gus Dur itu seperti apa, inilah tulisan seorang ketua PBNU:
Gagasan Gus Dur tentang multikulturalisme adalah keinginannya agar kemajemukan yang terdapat dalam berbagai kelompok sosial dipahami sebagai khazanah kekayaan bangsa. Setiap pribadi berhak melakukan pilihan terhadap agama dan tradisi budayanya oleh karena itu baik negara maupun masyarakat harus menghargai serta menghormatinya. 

Lebih dari itu, negara hendaklah memberikan pelayanan yang sama terhadap semua warga negaranya tanpa kecuali. Demikian juga tradisi budaya yang ada dalam setiap kelompok sosial hendaklah dipahami sebagai nilai-nilai kehidupan dunia (world life). Negara memiliki jarak yang sama terhadap setiap warganya.
Oleh karena itu multikulturalisme dalam pandangan Gus Dur adalah bahwa keragaman bukan saja diakui akan tetapi harus diberikan kebebasan karena dengan keragaman maka akan saling melengkapi satu dengan yang lain. Sekarang, keragaman identitas menjadi persoalan yang serius dalam perjalanan bangsa Indonesia.
M RIDWAN LUBIS, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua PB NU, Multikulturalisme , waspada.co.id, Wednesday, 06 January 2010 06:02 )


Mari kita simak kembali gagasan Gus Dur tentang multikulturalisme:

Setiap pribadi berhak melakukan pilihan terhadap agama dan tradisi budayanya oleh karena itu baik negara maupun masyarakat harus menghargai serta menghormatinya.

Ungkapan itu menunjukkan, semuanya serba boleh, asal itu namanya agama dan tradisi budaya, maka Negara maupun masyarakat harus menghargai serta menghormatinya. Ini jelas ajaran syetan melek-melekan. Kalau zina sudah diaku oleh orang sebagai tradisi budayanya maka Negara maupun masyarakat harus menghargai serta menghormatinya. Ini tidak lain hanya akan menjerumuskan manusia ke jurang hawa nafsu yang sangat dalam dan menjadi rekanan syetan serta musuh Allah Ta’ala. Karena di Indonesia ini betapa banyaknya tradisi budaya yang sangat bertentangan dengan Islam, dengan aneka kemusyrikannya, dosa yang tidak diampuni Allah Ta’ala, bila pelakunya sampai meninggal tidak bertaubat. Misalnya ruwatan (acara kemusyrikan untuk membuang sial agar tidak dimangsa Betoro Kolo), larung laut yakni melarung sesaji ke laut, mengadakan upacara sesaji ke gunung, menyembelih tumbal (untuk syetan) ke sungai, pohon, tempat-tempat tertentu dan sebagainya. Itu semua disebut tradisi budaya. Ketika Negara dan masyarakat harus menghargai serta menghormati, berarti Ummat Islam dilarang amar ma’ruf nahi munkar. Karena ketika mencegahnya berarti melawan multikulturalisme yang dikembangkan jenate (mendiang) Mbah Gus Dur.

Kalau seorang dosen di perguruan tinggi Islam terkemuka di Indonesia, dan sekaligus ketua satu organisasi namanya saja organisasi pakai ulama tetapi menjunjung dan menyebarkan faham busuk orang yang berfikiran kotor (karena melawan Islam) seperti itu, maka hancurlah orang-orang yang disesatkannya!

Astaghfirullahal ‘Adhiem.

NU Gusdurisme

Adanya gelar bapak pluralisme dan multikulturalisme untuk Gus Dur itu satu sisi tampaknya dibanggakan oleh orang yang mengekspose faham multikulturalismenya Gus Dur barusan, (sampai-sampai dia menulis opini diawali dengan kalimat: Wafatnya Abdurrahman “Gus Dur” Wahid beberapa hari yang lalu menyadarkan kita kembali betapa bermaknanya sosok beliau) tetapi bagi sebagian yang lainnya, gelar tersebut tampaknya menimbulkan semacam rasa risih. Maka muncullah pernyataan Hasyim Muzadi ketua umum PBNU secara miring-miring bahwa konsep pluralisme di NU bukan pluralisme teologis “tahu campur” namun pluralisme sosiologis.

Muncul pula pernyataan seorang Kiyai dari Jember Jawa Timur bahwa Gus Dur tidak pernah terdengar pernyataannya bahwa dia menyamakan semua agama.

Pernyataan petinggi NU dan Kiyai NU itu tampaknya membela NU dan sekaligus membela Gus Dur. Namun justru memperlihatkan, ketika mereka membela Gus Dur seperti itu, maka sejatinya NU secara disadari atau tidak adalah sudah berfaham Gusdurisme, yakni menyamakan semua agama, pluralisme agama dan multikulturalisme.

Di samping itu, sekalipun Hasyim Muzadi menegas-negaskan bahwa konsep pluralisme di NU adalah pluralisme sosiologis, bukan teologis, namun tidak ada bukti yang nyata. Cara bersikap NU dalam berhubungan dengan golongan lain secara sosiologis, ternyata sering-sering NU lebih dekat dengan orang-orang kafir daripada orang Muslim yang menegakkan Sunnah dan memberantas bid’ah. Dari lembaga resmi di bawah NU seringkali disaksikan oleh masyarakat bahwa mereka rajin menjaga gereja-gereja di hari-hari raya orang kafir, sementara wala’ (kecintaan) terhadap sesama Muslim apalagi yang menegakkan Sunnah dan memberantas bid’ah maka jauh dari tuntutan Islam. Lantas, pluralisme sosiologis NU itu apakah artinya asyiddaa’u ‘ala ba’dhil mu’minin wa ruhamaau bainahum wa bainahum? Bersikap keras terhadap sebagian orang mu’min (terutama yang menegakkan Sunnah bahkan mau menerapkan syari’ah) dan berkasih sayang antara mereka dan mereka (di luar Islam)?

Lisaanul hal afshohu min lisaanil maqol, kenyataan yang ada lebih jelas daripada perkataan yang diucapkan. Padahal tuntunan dalam Al-Qur’an menyebutkan:

Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka (QS Al-Fath/ 48: 29)

Dari bukti itu, pluralisme sosiologis ala NU pun tetap condong kepada pihak gereja daripada kepada mu’minin yang menegakkan Sunnah memberantas bid’ah. Sehingga, pada hakekatnya justru Hasyim Muzadi menambahi penjelasan kepada masyarakat, sebenarnya NU itu pluralismenya seperti apa, di samping pluralisme yang sudah dipelopori oleh Gus Dur, yang bukti-buktinya akan kita baca berikut ini.

Mari kita simak bukti-bukti bahwa Gus Dur memang benar-benar pluralis dalam arti sebagaimana istilah itu sendiri yang bermakna menyamakan semua agama, hanya beda teknis; apalagi ketika disandingkan dengan istilah multikulturalisme.

Inilah pluralismenya Gus Dur

Inilah pluralismenya Gus Dur yang menyiarkan bahwa taqwa itu tidak pandang agama, “Tidak peduli muslim atau bukan.”

Pernyataan Gus Dur itu dia pidatokan, dan dimuat di situs lembaga dia, The Wahid Institute.
Padahal taqwa itu menurut Umar bin Khathab adalah taqwa (menjaga diri) dari kemusyrikan.
Jadi otomatis orang musyrik sama sekali tidak bertaqwa. Tetapi menurut Gus Dur, tidak peduli muslim atau bukan.

Betapa jauhnya antara pemahaman Gus Dur dengan pemahaman Umar bin Khatab.
Inilah teks berita pidato Gus Dur:
Selasa, 29 Januari 2008 05:01

Islam dan Umat Agama Lain

“Ketakwaan Bukan Monopoli Islam”

Presiden Republik Indonesia ke-4 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan, ketakwaan bukanlah ukuran spesifik dalam Islam. Ketakwaan juga dimiliki orang nonmuslim, baik Yahudi, Nasrani maupun yang lain. Ini, katanya, berdasarkan firman Allah Swt: Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah Swt ialah orang yang paling bertakwa. (Qs. al- Hujurat: 13).

“Berdasarkan ayat ini, takwa itu bukan monopoli orang Islam saja.”

Demikian dikatakan mantan ketua PBNU itu saat menjadi narasumber pada Workshop Islam dan Pluralisme V bertema Islam dan Umat Agama Lain di Kantor The WAHID Institute Jl. Taman Amir Hamzah No. 8 Matraman Jakarta, Jum’at (18/01/2008) malam. Hadir juga sebagai narasumber Ketua PCNU Kota Bandung KH. Maftuh Kholil. Dan tampak Direktur the WAHID Institute Yenny Wahid. Sedang peserta forum tersebut adalah pendeta, calon pendeta dan aktivis sosial Kristen.

Takwa atau ketakwaan, kata Gus Dur, itu bermakna takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang betul-betul takut pada Tuhan, imbuhnya, dia telah bertakwa. “Tidak peduli muslim atau bukan,” ujarnya. “Tolong ini dipikirkan lebih jauh lagi. Saya nggak ada waktu lagi untuk semua ini,” imbuhnya disambut tawa.

http://www.wahidinstitute.org/Programs/Print_page?id=67/hl=id/Islam_Dan_Umat_Agama_Lain_Ketakwaan_Bukan_Monopoli_Islam

Komentar kami: Coba bandingkan dengan penjelasan ahli tafsir, bahwa taqwa itu dalam ayat

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah Swt ialah orang yang paling bertakwa. (Qs. al- Hujurat: 13).
Artinya bahwa Allah Ta’ala lebih tahu kepadamu dengan tingkatan-tingkatanmu dalam iman.[1]

Sedangkan menurut Umar bin Khatab, orang yang paling taqwa (menjaga diri) adalah orang yang paling taqwa (menjaga diri) terhadap kesyirikan.[2]

Yang ulama tafsir merujuk kepada Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, taqwa itu menjaga diri dari kemusyrikan, sedang faham yang disebarkan Gus Dur, taqwa itu “Tidak peduli muslim atau bukan”.

Masa sih orang musyrik bertaqwa, wahai para pendukung Gus Dur?

Mari kita bandingkan, taqwa menurut Gus Dur dengan sifat orang yang bertaqwa menurut Al-Qur’an.

Takwa atau ketakwaan, kata Gus Dur, itu bermakna takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Orang yang betul-betul takut pada Tuhan, imbuhnya, dia telah bertakwa. “Tidak peduli muslim atau bukan,” ujarnya.

Pernyataan Gus Dur itu sangat melawan ayat al-Qur’an yang mensifati orang yang bertaqwa dalam awal-awal Surat Al-Baqarah:

Alif Laam Miim.

Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,

(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka,

dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.

Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung. (QS Al-Baqarah: 1-5).

Dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya terbitan Departemen Agama RI ada penjelasan, di antaranya:
  • Takwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-perintah-Nya; dan menjauhi segala larangan-larangan-Nya; tidak cukup diartikan dengan takut saja.
  • Iman ialah kepercayaan yang teguh yang disertai dengan ketundukan dan penyerahan jiwa. tanda-tanda adanya iman ialah mengerjakan apa yang dikehendaki oleh iman itu.
  • Yang ghaib ialah yang tak dapat ditangkap oleh pancaindera. percaya kepada yang ghaib yaitu, mengi’tikadkan adanya sesuatu yang maujud yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera, karena ada dalil yang menunjukkan kepada adanya, seperti: adanya Allah, malaikat-malaikat, hari akhirat dan sebagainya.
  • Shalat menurut bahasa ‘Arab: doa. menurut istilah syara’ ialah ibadat yang sudah dikenal, yang dimulai dengan takbir dan disudahi dengan salam, yang dikerjakan untuk membuktikan pengabdian dan kerendahan diri kepada Allah. mendirikan shalat ialah menunaikannya dengan teratur, dengan melangkapi syarat-syarat, rukun-rukun dan adab-adabnya, baik yang lahir ataupun yang batin, seperti khusu’, memperhatikan apa yang dibaca dan sebagainya.


Mari kita tes: Apakah agama apa saja selain Islam ada yang berimannya sesuai dengan Al-Qur’an?

Apakah agama selain Islam keimanannya terhadap hal ghaib sesuai dengan suruhan Al-Qur’an.

Apakah agama selain Islam, shalatnya sesuai dengan yang dijelaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti yang didefinisikan tersebut di atas?

Apakah selain Islam ada yang beriman kepada Al-Qur’an?

Al-Qur’an pun menjawab:

Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS Al-Baqarah: 137

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya. (QS An-Nisaa’: 115, 116).

Jelaslah, pendapat Gus Dur tersebut sangat bertentangan dengan Al-Qur’an.

Di samping menganggap taqwa itu tak peduli muslim atau non muslim, masih pula Gus Dur mendirikan pesantren multi agama Soko Tunggal di Mijen,Semarang, Jawa Tengah.

Masih ragukah wahai para pendukung Gus Dur bahwa itu semua bertentangan dengan Islam bahkan pemurtadan model baru?

Masih ragukah bahwa sejatinya yang terjadi adalah pembusukan besar-besaran di NU bahkan di Ummat Islam dan di perguruan tinggi Islam se-Indonesia dengan adanya faham pluralisme agama yang diharamkan oleh MUI itu sekarang digembar-gemborkan dan disuntikkan kepada Ummat Islam lewat lembaga-lembaga pendidikan Islam negeri dan swasta, bahkan ormas-ormas Islam wabil khusus NU?

Departemen Agama, UIN, IAIN, STAIN, STAIS dan semacamnya serta NU dan lainnya sekarang sudah jadi ajang pembusukan Islam oleh mereka-mereka yang menjajakan pluralisme agama dan multikulturalisme secara sistematis dan dikomandoi oleh petinggi negeri ini. Sadarlah wahai saudara-saudaraku…
 
Ini Dia, Kader NU Yahudikan Diri Dari PMII Menuju Yahudi
11 January 2011 | Filed under: Yahudi | Posted by: nahimunkar.com
Ini Dia, Kader NU Yahudikan Diri
Dari PMII Menuju Yahudi
Lewat BMNU (Barisan Muda Nahdlatul Ulama),  Ketang pernah berusaha mendatangkan Menlu Israel
Meskipun aktif di organisasi pemuda Islam dan bernama asli khas Muslim dan pernah masuk pesantren, pria berkulit gelap itu bisa dibilang bukan lagi penganut Islam. Dalam sebuah diskusi tentang agama di milis yang diikutinya, dia mengaku sebagai seorang penganut  Kabbalah, yang disebutnya sebagai aliran Yahudi ultra ortodoks. Dia bahkan terlihat fasih mengutip Talmud, Midras, dan sumber-sumber suci yang diyakini Yahudi.
Hidayatullah.com–Akhir Januari 2010, beberapa media mainstream lokal memuat berita tentang peluncuran Indonesia Business Lobby oleh Indonesia-Israel Public Affairs Committee-IIPAC. Lembaga tersebut diresmikan pada Jumat 29 Januari 2010, dengan tujuan memfasilitasi investasi Yahudi dari seluruh dunia di Indonesia.
Menurut Direktur Eksekutif IIPAC, Benjamin Ketang, organisasinya bekerjasama dengan AIPAC–lobby Yahudi terbesar di Amerika Serikat–dan AIJAC, sejawat mereka di Australia.
“No problem, we’re ready,” demikian kata Benjamin Ketang sebagaimana dikutip The Jakarta Post(29/01/2010) dari tempointeraktif.com, saat dimintai tanggapan tentang kemungkinan protes dari Muslim terhadap lembaganya.
Pernyataan siap Ketang tersebut, tentu menarik untuk ditelusuri lebih lanjut. Apakah IIPAC dan siapakah Benjamin Ketang?
Organisasi Yahudi “Made in” Jember
IIPAC didirikan tahun 2002 dan berkantor di sebuah tempat di Jakarta Selatan. Demikian media banyak memberitakan.
Tempat yang dimaksud mungkin adalah di Plaza Great River Indonesia, 15th Floor Jl. HR. Rasuna Said Kav X2 No. 1 Kuningan. Sebuah alamat yang menjadi bagian dari signature email Benjamin Ketang. Lengkap dengan alamat situs IIPAC di iipac.wordpress.com.
Namun menurut sebuah dokumen yang ditampilkan di situs IIPAC, organisasi itu tercatat berdomisili di Jember, Jawa Timur. Surat Keterangan Domisili yang ditandatangani oleh Kepala Desa bernama Hadi Supeno pada tanggal 25 Agustus 2010 bernomor Reg: N470/    /35.11.2003/2010, menyebutkan bahwa The Indonesia-Israel Public Affairs Committee merupakan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang “betul-betul berdomisili di Desa Tamansari, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember yang beraktifitas secara nasional dan internasional.”
Kedengarannya tentu aneh, bahwa ada sebuah organisasi internasional–terlebih berkaitan dengan lobi Yahudi–berdomisili di sebuah desa di Jember. Desa yang bahkan mungkin tidak dikenal oleh sebagian masyarakat Kabupaten Jember. Terlebih jika mencermati surat keterangan domisili, nomor registrasi bahkan terlihat tidak lengkap, ada ruang kosong di antara “/   /”, sebuah kekosongan yang tidak jamak untuk surat sepenting itu.
Mengenai klaim kerjasama IIPAC dengan sejawat mereka di Australia AIJAC (Australia/Israel & Jewish Affairs Council) sebagaimana yang disebut Ketang, sejauh penelusuran kami, belum tersiar berita tentang kerjasama tersebut. AIJAC justru pernah memberangkatkan sejumlah wartawan Indonesia ke Israel–di antaranya editor The Jakarta Post Endy M. Bayani–lewat program Ramban Israel Fellowship pada Oktober 2007, sebuah program tahunan kunjungan ke Israel bagi para politisi senior, penasihat politik, jurnalis, pejabat senior pemerintah dan para pemimpin organisasi mahasiswa.
Demikian pula kerjasama antara IIPAC dengan organisasi lobi Israel di Amerika Serikat AIPAC (American Israel Public Affairs Committee). Jika kita mencari informasi tentang IIPAC di situs AIPAC, sepertinya nama organisasi tersebut belum dikenal.
Ketang sendiri sudah menyuarakan IIPAC di lingkungan pemuda Nahdlatul Ulama sejak awal tahun 2000-an. Tanggal 4 Oktober 2002 dia menawarkan pelatihan internasional IICA (Indonesia-Israel Cooperation Associaton) 2003 yang bekerjasama dengan Kementerian Luar Negeri Israel kepada anggota KMNU 2000 atau organisasi yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama lainnya lewat sebuah milis.
Dalam sebuah emailnya (18/09/2002) menjawab pertanyaan rekannya, dikatakannya bahwa IICA/IIPAC diharapkan menjadi sistem yang dibangunnya dan “personal saya mendapat support dari kyai kyai saya waktu di Pondok.” Ditambahkannya, “Sebentar lagi IICA mau punya website, tinggal cari investornya, untuk operasional.”
Lewat Barisan Muda Nahdlatul Ulama (BMNU) pada bulan Maret 2002, Ketang dan kawan-kawannya berusaha mendatangkan Menlu Israel –saat itu Shimon Perez– ke Jakarta untuk berbicara di acara “Grand Design Nahdhatul Ulama (NU) antara Kultural dan Kepentingan Global” pada 30-31 Maret 2002.
Menanggapi undangan BMNU terhadap Perez tersebut, Rois Syuriah Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) KH Said Aqiel Siradj mengatakan, pihaknya tak berhak melarang BMNU mengundang Perez. Pasalnya, BMNU bukan organisasi resmi, dan bukan bagian dari struktur dalam organisasi NU (Koran Tempo 23/03/2002).
Penganut Kabbalah
“Anak Kedua dari Pak Ketang ini mewarisi watak ayahnya yang selalu peduli terhadap lingkungan masyarakatnya. Setelah berhasil disekolahkan Gus Dur di Timur Tengah, Hebrew University Jerusalem.”
Demikian keterangan dalam sebuah profil singkat tentang sosok bernama Benjamin Ketang dalam jajaran pengurus inti LSM Tamansari Center. Sebuah LSM yang menurutnya merupakan “kampus berjalan bagi medium pemberdayaan masyarakat Indonesia.” Sama seperti IIPAC, LSM ini juga “bertempat tinggal” di desa Tamansari, Wuluhan, Kabupaten Jember.
Benjamin Ketang, atau menurut informasi yang kami dapat bernama asli Nur Hamid Ketang, adalah seorang pria kelahiran 22 September 1972 di Jember.  Dia alumnus S1 Bahasa Inggris FKIP Universitas Jember (1999).  Setelah itu dia melanjutkan pendidikan S2 (MA) ke Jewish Civilization, The Rothberg International School, The Hebrew University of Jerusalem (2004). Bagaimana bisa melanjutkan ke universitas milik Yahudi? Jawabannya kemungkinan besar seperti yang dia tulis dalam profil singkat di situs Tamansari Center, disekolahkan oleh Gus Dur (mantan presiden Indonesia ke-4).
Tidak jauh dari lingkaran pusat kekuasan negara Indonesia, sepertinya menjadi sebuah misi tersendiri bagi ayah dari Atikah Shabad Kadisha itu. Ben Ketang tidak ragu menampilkan nama KH. Abdurahman Wahid (presiden RI ke-4), disamping nama Prof. Dr. Sambas Wirakusumah sebagai referee di dalam curriculum vitae-nya. Foto Yeni Wahid, putri Gus Dur, ketika mengunjungi lokasi banjir di wilayah Lamongan-Bojonegoro pun dipajang di album photostream-nya bersama foto-foto bugil/semi bugil artis Cut Keke, Ayu Azhari dan beberapa perempuan lain, serta foto pribadinya.
Hubungan dekat antara Gus Dur dengan Hamid “Ben” Ketang, pria Jember yang logat Jawanya cukup kental itu bisa dimaklumi. Sebagaimana diketahui sebagian orang, Ben Ketang adalah seorang aktivis di organisasi kepemudaan Nahdlatul Ulama. Nama Abdul Rasyad Ketang, Hamid Ketang, Benjamin Ketang, Yushav Ketang–yang sangat kentara adalah orang yang sama–terlihat cukup aktif menyuarakan kepentingan dan perlunya Yahudi hadir di Indonesia di dalam sebuah milis pemuda NU.
Dia pernah menjadi pengurus di Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia, organisasi mahasiswa yang memiliki keterkaitan dengan Nahdlatul Ulama. Hanya saja dia menyatakan pamit dari kepengurusan di Pengurus Besar PMII “Putih” pada 1 Nopember 2002, untuk memusatkan perhatian pada studinya ke Yerusalem dan pengembangan Indonesia-Israel Cooperation Associaton (IICA), sebagaimana ditulis dalam emailnya kepada rekan-rekannya di PMII.
Namun rupanya sosok Nur Hamid alias Benjamin itu punya catatan yang kurang baik di PMII. Menurut informasi yang disampaikan anggota milis yang diikutinya hingga kini, dia pernah mencuri dan menjual informasi PMII Jember ke pihak lain. Dan hal itu diamini oleh anggota yang lain. Ketang juga berpetualang di Yayasan Khas pimpinan Said Agil Siradj, Partai Buruh Nasional (informasi ini dicantumkan dalam CV-nya), Barisan Muda Nahdlatul Ulama sepulangnya dari Israel, dan kumpul-kumpul dengan aktivis GP Ansor.
Rekan milisnya bahkan geram, karena Nur “Ben” Hamid berkata, “Saya puas dan benar-benar puas karena sekarang Banser sudah dicap sebagai teroris internasional,” saat mengomentari dimasukkannya Barisan Serba Guna Ansor NU sebagai organisasi teroris di dalam buku “Encyclopedie du Terrorisme International” karya penulis Prancis Thierry Vareilles, terbitan L’Harmattan September 2001.
Masih seputar lingkar kekuasaan, Benjamin Ketang rupanya tidak ingin melepaskan kesempatan masuk dalam partai yang sekiranya bisa disusupi. Sebagaimana ditulis dalam CV-nya, tahun 2004 dia ambil bagian sebagai Champaign Consultant for Media and News Strategies Partai Demokrat saat Kampanye Presiden SBY. Dan ada yang menarik mengenai Benjamin Ketang dan Partai Demokrat. Ketika mengomentari lepasnya pos Kementerian Agama–yang menurut kebiasaan selalu dipimpin oleh orang berlatar belakang Nahdlatul Ulama–ke tangan kader Partai Keadilan Sejahtera, dia menulis dalam sebuah milis (20/10/2009), “Relax aja bro, kita tinggal 2-3 langkah kita kuasai negeri ini bro, PKS itu semua ada dalam setting kita anak muda NU, termasuk Partai Demokrat!”
Meskipun aktif di organisasi pemuda Islam dan bernama asli khas Muslim dan pernah masuk pesantren, pria berkulit gelap itu bisa dibilang bukan lagi penganut Islam. Dalam sebuah diskusi tentang agama di milis yang diikutinya, dia mengaku sebagai seorang penganut  Kabbalah, yang disebutnya sebagai aliran Yahudi ultra ortodoks. Dia bahkan terlihat fasih mengutip Talmud, Midras, dan sumber-sumber suci yang diyakini Yahudi.
Jika Direktur Eksekutif AIJAC Colin Rubenstein dalam tulisannya di Jerusalem Post (10/01/2010) menyebut Gus Dur sebagai “a true friend”, teman sejati. Kesejatian dan kecintaan terhadap Israel juga coba ditularkan Benjamin Ketang kepada putri pertamanya hasil pernikahan dengan Atik Kustini yang lahir pada 23 Januari 2010, Atikah Shabad Kadisha.
Tidak hanya menamainya dengan nama khas Yahudi, Ketang membuat beberapa rekaman video bersama anaknya yang diunggah ke Youtube, di mana dia sedang menghibur bayinya sambil menyanyikan lagu kebangsaan Israel “Hatikva” dalam bahasa Ibrani sambil bercengkrama dengan istrinya. [*]
Sumber: hidayatullah.com, Thursday, 06 January 2011 11:49

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews