Bab 2
ISLAM TIDAK PERNAH BERSEKUTU DENGAN Thagut, sebagaimana air yang tidak pernah bersatu dengan minyak, atau pun al-haq yang tidak akan pernah berdamai dengan kebathilan. Ustadz Muhammad Taftayani menegaskan salah satu prinsip Islam ini di dalam setiap pengajiannya. Seperti juga malam ini, digelar ‘taklim dadakan’ yang hanya diikuti tujuh orang anggota pasukan baru, yakni Ki Singalodra dan enam orang lainnya yang di antaranya para senopati terpilih yang sengaja dikirim oleh Raja Surakarta, Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI[1] yang juga merupakan keponakan Diponegoro. Hal ini dilakukan Paku Buwono VI untuk membantu persiapan perjuangannya pamannya itu.
Selain sejumlah senopati pilihan, Susuhunan Paku Buwono VI juga mengirimkan pasukan-pasukan kraton terlatih dan dana perang yang tidak sedikit.
Di dalam gua dengan penerangan sebuah obor kecil di sudut belakang, terhalang tiga gundukan batu yang besar, Ustadz Taftayani duduk bersila di atas batu datar menghadap ke bagian pintu gua. Dari tempat bersilanya, ulama dari Minangkabau yang sudah menetap di Tegalredjo tersebut bisa melihat dua sosok prajurit yang berjaga di pintu masuk gua. Walau hanya duduk, tidak berdiri seperti layaknya orang yang tengah berjaga, namun mereka tetap waspada.
Malam ini, setelah bergabungnya Ki Singalodra ke dalam barisan Mujahidin, beserta sejumlah orang baru, Ustadz Muhammad Taftayani segera menggelar pengajian yang bertujuan untuk menyamakan persepsi tentang perjuangan yang tengah dipersiapkan melawan kafir Belanda dan antek-anteknya. Semua anggota pasukan Diponegoro harus memiliki persepsi yang sama di dalam jihad fi sabilillah, sebab itu, setiap ada anggota baru yang bergabung, maka dia setidaknya harus melewati tiga tahapan penting: bertobat dan memperbaharui syahadatnya, serta memiliki pemahaman yang lurus dan benar tentang makna jihad di Jalan Allah.
Materi pertama malam ini adalah akidah atau Panji Syahadatain. Salah satu bagiannya mengupas tentang Thagut atau ‘tuhan yang lain’.
Dengan suara yang pelan namun jelas, Ustadz Taftayani menerangkan, “...Thaghut merupakan tuhan selain Allah subhana wa ta’ala. Segala pandangan hidup, keyakinan, hukum, norma, peraturan, tradisi, dan sebagainya yang tidak berasal dari hukum Allah, atau malah bertentangan dengan syariat dan akidah Allah, maka itulah Thagut... Apakah ada yang ingin bertanya?”
Ki Singalodra mengacungkan tangannya, “Ustadz, apakah bea kerig-aji[2] juga bisa dianggap sebagai Thagut?”
“Bea kerig aji, sama saja dengan bea pacumpleng[3], bea pangawang-awang[4], bea pajigar[5], bea wikah-welit[6], bea pajongket[7], bea bekti[8], bea jalan, bea pertunjukan[9], bea penimbangan[10], dan banyak lagi yang lainnya. Semua ini merupakan sebagian kecil dari banyak sekali jenis-jenis pajak yang dibebankan penjajah kafirin Belanda kepada rakyat kecil. Jika tidak salah, sekarang ini ada lebih dari 34 jenis pajak yang harus dibayarkan rakyat kepada pemerintah kafir Belanda. Berbagai pajak ini amat menyusahkan rakyat kecil yang memang hidupnya melarat. Kezaliman ini tentu bertentangan dengan Islam. Dan sistem kekuasaan seperti ini, dimana rakyatnya hidup susah, namun para pejabatnya hidup bermewah-mewah, jelas merupakan sistem Thagut. Sistem ini harus diakhiri, dihancurkan, dan diganti dengan sistem yang adil....”
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...” Tiba-tiba Pangeran Diponegoro sudah berada di dalam gua bergabung dengan mereka.
“Wa’alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh...,” jawab Ustadz Taftayani dan seluruh yang hadir. Sang Pangeran kemudian duduk bersila di belakang Ki Singalodra. Ketika menyadari siapa yang duduk di belakangnya, lelaki brewokan itu segera bergeser untuk memberi ruang kepada Diponegoro. Dia benar-benar tidak enak hati jika harus duduk membelakangi Kanjeng Pangeran. Tetapi Diponegoro dengan lembut malah menahannya.
“Biarlah saya di sini saja. Kisanak tetap di situ...,” bisiknya sambil tersenyum.
Ki Singalodra tidak bisa berbuat apa-apa selain tetap duduk pada tempatnya semula. Walau hatinya merasa teramat sungkan.
“Pangeran,” ujar Taftayani. “... kita disini sedang membahas pajak dan Thagut. Apakah ada yang ingin ditambahkan?”
“Apakah soal pajak di Tanah Jawa ini sudah disinggung, Ustadz?”
“Sedikit. Silakan paparkan...”
Diponegoro terdiam seperti tengah mencari sesuatu. Mungkin kalimat pembuka. Dia kemudian mulai berbicara. Suaranya terdengar halus, namun mengandung kekuatan.
“Pajak awalnya diniatkan sebagai salah satu cara untuk mengisi pundi-pundi kas suatu negeri, agar negeri tersebut dapat mengelola dan membangun wilayahnya, termasuk rakyatnya...,” paparnya.
Kemudian dia melanjutkan, “...Keberadaan pajak sangat penting, jika suatu negeri memang tidak punya sumber lain yang bisa dimanfaatkan, misalnya sumber daya atau kekayaan alam. Namun tidak di Tanah Jawa, tidak juga di Nusantara. Allah subhana wa ta’ala telah menitipkan sebagian kekayaan yang ada di surga di tanah ini. Tanah ini sangat subur. Emas permata ada di mana-mana. Belum lagi kekayaan alam lainnya, baik yang ada di darat, laut, maupun udara. Kalau dikelola dengan baik, negeri ini bisa
memakmurkan rakyatnya tanpa memungut pajak sedikit pun. Memungut pajak di negeri yang kaya seperti di Tanah Jawa ini adalah haram hukumnya...”
Ki Singalodra dan keenam orang lainnya hanya tertegun mendengar kalimat yang disampaikan Pangeran Diponegoro. Sangat jelas dan tegas.
“Lantas mengapa kafir Belanda memajaki rakyat kita seperti sekarang? Bahkan orang-orangnya Patih Danuredjo juga memusuhi rakyatnya sendiri...” tanya Pangeran Diponegoro. Kemudian dia sendiri yang menjawabnya, “Karena kafir Belanda adalah penjajah bagi bangsa ini. Penjajah selalu melakukan perampokan terhadap bangsa yang dijajahnya. Baik perampokan yang dilakukan terang-terangan, juga perampokan yang dilakukan secara diam-diam, atau berkedok macam-macam, ya seperti pajak yang sekarang ada. Pajak sekarang ini sudah menjadi sumber bagi pejabat untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Para pejabat di negeri ini kian hari kian rakus dengan kelezatan dunia. Kegilaan mereka ini tidak pernah terpuaskan. Yang menjadi korban adalah rakyat kebanyakan...”
“Apakah sebab itu kita harus memerangi mereka? Bagaimana berperang atau jihad fisabilillah itu?” tanya salah seorang senopati yang kemarin baru dikirim Paku Buwono VI.
Diponegoro menengokkan wajahnya ke arah Ustadz Taftayani. Namun ustadz itu malah mempersilakan Diponegoro untuk menanggapinya, “Silakan Pangeran...”
“Perang di dalam Islam bersifat membebaskan,” jawab Diponegoro, “...sebab itu, jika suatu kota atau negeri telah ditaklukkan oleh kaum Muslimin, maka istilahnya bukanlah penaklukan, kalah, dan sebagainya, tetapi Futuh. Futuh berasal dari bahasa arab yang berarti ‘pembebasan’ atau ‘membebaskan’. Membebaskan dari apa? Yaitu membebaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah subhana wa ta’ala, baik itu ketundukan kepada hukum yang zalim, sistem yang salah, penguasa yang korup, dan sebagainya. Itulah esensi perang di dalam Islam, membebaskan manusia dari kebathilan dan kezaliman...”
Mendengar itu, Ustadz Taftayani tersenyum puas. Dia benar-benar menyayangi murid yang satu ini. Ulama rendah hati dari tanah seberang ini tahu jika Pangeran Diponegoro, yang terlahir dengan nama Bendoro Raden Mas Mustahar, yang kemudian dikenal sebagai Bendoro Raden Mas Ontowiryo, pada 11 November 1785 di Kraton Yogyakarta ini memiliki banyak keistimewaan.
Diponegoro[11] adalah anak tertua dari Sultan Hamengku Buwono III dan Raden Ayu Mangkarawati. Ketika melihat dan memangku bayi Diponegoro, Sultan Hamengku Buwono I haqul yaqin jika suatu hari nanti Diponegoro akan tumbuh menjadi pembebas rakyat dari kezaliman dan kesengsaraan.
“Bayi ini akan menjadi orang yang memimpin perang besar untuk mengusir penjajah Belanda dari tanah Jawa. Dia akan menimbulkan kerusakan yang sangat besar pada
kafir Belanda. Dia akan menjelma menjadi orang besar yang dicintai rakyatnya, melebihi diriku,” tegas Sultan Hamengku Buwono I yang juga kakek buyut dari Diponegoro. Sebab itu, Sultan secara khusus mengamanahkan agar bayi Diponegoro kelak diasuh dan dididik permaisurinya sendiri, Ratu Ageng. (Bersambung)
[1] Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI lahir di Surakarta, 26 April 1807 dan meninggal dalam pembuangan Belanda di Ambon, pada tanggal 2 Juni 1849. Nama aslinya Raden Mas Sapardan. Beliau naik tahta dalam usia 16 tahun dan setahun kemudian, dalam usia 17 tahun, beliau telah menjadi pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro yang loyal walau terikat perjanjian dengan Belanda. Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut keterangan resmi Belanda, beliau meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut.
Di tahun 1957, jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri, kompleks makam keluarga raja Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jenderal TNI Pangeran Haryo Jatikusumo (putera Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran peluru senapan Baker Riffle. Ditinjau dari letak lubang, kematian Pakubuwana VI jelas ditembak pada bagian dahi, bukan kecelakaan.
[2] Pajak atas kepala atau pajak yang dikenakan pada setiap orang, besar dan kecil tanpa perkecualian.
[3] Pajak atas pintu rumah.
[4] Pajak atas pekarangan rumah.
[5] Pajak atas hewan ternak.
[6] Pajak atas kepemilikan lahan kebun atau sawah, walau luasnya hanya sedikit.
[7] Pajak yang dikenakan bila hendak pindah rumah.
[8] Pajak jika seseorang bertukar tuan tanah atau majikan.
[9] Pajak pertunjukkan resminya dikenakan pemerintah kepada warga desa jika ada pertunjukkan kesenian atau hiburan lainnya. Namun nyatanya, walau tidak pernah ada pertunjukkan hiburan, rakyat tetap diharuskan membayar jenis pajak ini.
[10] Pajak penimbangan padi dilakukan ketika panen. Tapi faktanya, seperti juga pajak pertunjukkan, padi-padi hasil panen para petani tidak pernah ditimbang, namun tetap dikenakan pajak. Bahkan banyak petani miskin diwajibkan kerja di lahan pertanian milik bupati tanpa dibayar sepeser pun.
[11] Nama asli Diponegoro adalah Bendoro Raden Mas (BRM) Mustahar. Lahir di keraton Jogyakarta, pada Jum'at Wage, 7 Muharram Tahun Be (11 Nopember 1785). Tahun 1805, Sultan HB II mengganti namanya menjadi Bendoro Raden Mas (BRM) Ontowiryo. Adapun nama Diponegoro dan gelar Pangeran baru disandangnya sejak tahun 1812 ketika ayahnya naik takhta.
ISLAM TIDAK PERNAH BERSEKUTU DENGAN Thagut, sebagaimana air yang tidak pernah bersatu dengan minyak, atau pun al-haq yang tidak akan pernah berdamai dengan kebathilan. Ustadz Muhammad Taftayani menegaskan salah satu prinsip Islam ini di dalam setiap pengajiannya. Seperti juga malam ini, digelar ‘taklim dadakan’ yang hanya diikuti tujuh orang anggota pasukan baru, yakni Ki Singalodra dan enam orang lainnya yang di antaranya para senopati terpilih yang sengaja dikirim oleh Raja Surakarta, Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI[1] yang juga merupakan keponakan Diponegoro. Hal ini dilakukan Paku Buwono VI untuk membantu persiapan perjuangannya pamannya itu.
Selain sejumlah senopati pilihan, Susuhunan Paku Buwono VI juga mengirimkan pasukan-pasukan kraton terlatih dan dana perang yang tidak sedikit.
Di dalam gua dengan penerangan sebuah obor kecil di sudut belakang, terhalang tiga gundukan batu yang besar, Ustadz Taftayani duduk bersila di atas batu datar menghadap ke bagian pintu gua. Dari tempat bersilanya, ulama dari Minangkabau yang sudah menetap di Tegalredjo tersebut bisa melihat dua sosok prajurit yang berjaga di pintu masuk gua. Walau hanya duduk, tidak berdiri seperti layaknya orang yang tengah berjaga, namun mereka tetap waspada.
Malam ini, setelah bergabungnya Ki Singalodra ke dalam barisan Mujahidin, beserta sejumlah orang baru, Ustadz Muhammad Taftayani segera menggelar pengajian yang bertujuan untuk menyamakan persepsi tentang perjuangan yang tengah dipersiapkan melawan kafir Belanda dan antek-anteknya. Semua anggota pasukan Diponegoro harus memiliki persepsi yang sama di dalam jihad fi sabilillah, sebab itu, setiap ada anggota baru yang bergabung, maka dia setidaknya harus melewati tiga tahapan penting: bertobat dan memperbaharui syahadatnya, serta memiliki pemahaman yang lurus dan benar tentang makna jihad di Jalan Allah.
Materi pertama malam ini adalah akidah atau Panji Syahadatain. Salah satu bagiannya mengupas tentang Thagut atau ‘tuhan yang lain’.
Dengan suara yang pelan namun jelas, Ustadz Taftayani menerangkan, “...Thaghut merupakan tuhan selain Allah subhana wa ta’ala. Segala pandangan hidup, keyakinan, hukum, norma, peraturan, tradisi, dan sebagainya yang tidak berasal dari hukum Allah, atau malah bertentangan dengan syariat dan akidah Allah, maka itulah Thagut... Apakah ada yang ingin bertanya?”
Ki Singalodra mengacungkan tangannya, “Ustadz, apakah bea kerig-aji[2] juga bisa dianggap sebagai Thagut?”
“Bea kerig aji, sama saja dengan bea pacumpleng[3], bea pangawang-awang[4], bea pajigar[5], bea wikah-welit[6], bea pajongket[7], bea bekti[8], bea jalan, bea pertunjukan[9], bea penimbangan[10], dan banyak lagi yang lainnya. Semua ini merupakan sebagian kecil dari banyak sekali jenis-jenis pajak yang dibebankan penjajah kafirin Belanda kepada rakyat kecil. Jika tidak salah, sekarang ini ada lebih dari 34 jenis pajak yang harus dibayarkan rakyat kepada pemerintah kafir Belanda. Berbagai pajak ini amat menyusahkan rakyat kecil yang memang hidupnya melarat. Kezaliman ini tentu bertentangan dengan Islam. Dan sistem kekuasaan seperti ini, dimana rakyatnya hidup susah, namun para pejabatnya hidup bermewah-mewah, jelas merupakan sistem Thagut. Sistem ini harus diakhiri, dihancurkan, dan diganti dengan sistem yang adil....”
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...” Tiba-tiba Pangeran Diponegoro sudah berada di dalam gua bergabung dengan mereka.
“Wa’alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh...,” jawab Ustadz Taftayani dan seluruh yang hadir. Sang Pangeran kemudian duduk bersila di belakang Ki Singalodra. Ketika menyadari siapa yang duduk di belakangnya, lelaki brewokan itu segera bergeser untuk memberi ruang kepada Diponegoro. Dia benar-benar tidak enak hati jika harus duduk membelakangi Kanjeng Pangeran. Tetapi Diponegoro dengan lembut malah menahannya.
“Biarlah saya di sini saja. Kisanak tetap di situ...,” bisiknya sambil tersenyum.
Ki Singalodra tidak bisa berbuat apa-apa selain tetap duduk pada tempatnya semula. Walau hatinya merasa teramat sungkan.
“Pangeran,” ujar Taftayani. “... kita disini sedang membahas pajak dan Thagut. Apakah ada yang ingin ditambahkan?”
“Apakah soal pajak di Tanah Jawa ini sudah disinggung, Ustadz?”
“Sedikit. Silakan paparkan...”
Diponegoro terdiam seperti tengah mencari sesuatu. Mungkin kalimat pembuka. Dia kemudian mulai berbicara. Suaranya terdengar halus, namun mengandung kekuatan.
“Pajak awalnya diniatkan sebagai salah satu cara untuk mengisi pundi-pundi kas suatu negeri, agar negeri tersebut dapat mengelola dan membangun wilayahnya, termasuk rakyatnya...,” paparnya.
Kemudian dia melanjutkan, “...Keberadaan pajak sangat penting, jika suatu negeri memang tidak punya sumber lain yang bisa dimanfaatkan, misalnya sumber daya atau kekayaan alam. Namun tidak di Tanah Jawa, tidak juga di Nusantara. Allah subhana wa ta’ala telah menitipkan sebagian kekayaan yang ada di surga di tanah ini. Tanah ini sangat subur. Emas permata ada di mana-mana. Belum lagi kekayaan alam lainnya, baik yang ada di darat, laut, maupun udara. Kalau dikelola dengan baik, negeri ini bisa
memakmurkan rakyatnya tanpa memungut pajak sedikit pun. Memungut pajak di negeri yang kaya seperti di Tanah Jawa ini adalah haram hukumnya...”
Ki Singalodra dan keenam orang lainnya hanya tertegun mendengar kalimat yang disampaikan Pangeran Diponegoro. Sangat jelas dan tegas.
“Lantas mengapa kafir Belanda memajaki rakyat kita seperti sekarang? Bahkan orang-orangnya Patih Danuredjo juga memusuhi rakyatnya sendiri...” tanya Pangeran Diponegoro. Kemudian dia sendiri yang menjawabnya, “Karena kafir Belanda adalah penjajah bagi bangsa ini. Penjajah selalu melakukan perampokan terhadap bangsa yang dijajahnya. Baik perampokan yang dilakukan terang-terangan, juga perampokan yang dilakukan secara diam-diam, atau berkedok macam-macam, ya seperti pajak yang sekarang ada. Pajak sekarang ini sudah menjadi sumber bagi pejabat untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya. Para pejabat di negeri ini kian hari kian rakus dengan kelezatan dunia. Kegilaan mereka ini tidak pernah terpuaskan. Yang menjadi korban adalah rakyat kebanyakan...”
“Apakah sebab itu kita harus memerangi mereka? Bagaimana berperang atau jihad fisabilillah itu?” tanya salah seorang senopati yang kemarin baru dikirim Paku Buwono VI.
Diponegoro menengokkan wajahnya ke arah Ustadz Taftayani. Namun ustadz itu malah mempersilakan Diponegoro untuk menanggapinya, “Silakan Pangeran...”
“Perang di dalam Islam bersifat membebaskan,” jawab Diponegoro, “...sebab itu, jika suatu kota atau negeri telah ditaklukkan oleh kaum Muslimin, maka istilahnya bukanlah penaklukan, kalah, dan sebagainya, tetapi Futuh. Futuh berasal dari bahasa arab yang berarti ‘pembebasan’ atau ‘membebaskan’. Membebaskan dari apa? Yaitu membebaskan manusia dari penghambaan kepada selain Allah subhana wa ta’ala, baik itu ketundukan kepada hukum yang zalim, sistem yang salah, penguasa yang korup, dan sebagainya. Itulah esensi perang di dalam Islam, membebaskan manusia dari kebathilan dan kezaliman...”
Mendengar itu, Ustadz Taftayani tersenyum puas. Dia benar-benar menyayangi murid yang satu ini. Ulama rendah hati dari tanah seberang ini tahu jika Pangeran Diponegoro, yang terlahir dengan nama Bendoro Raden Mas Mustahar, yang kemudian dikenal sebagai Bendoro Raden Mas Ontowiryo, pada 11 November 1785 di Kraton Yogyakarta ini memiliki banyak keistimewaan.
Diponegoro[11] adalah anak tertua dari Sultan Hamengku Buwono III dan Raden Ayu Mangkarawati. Ketika melihat dan memangku bayi Diponegoro, Sultan Hamengku Buwono I haqul yaqin jika suatu hari nanti Diponegoro akan tumbuh menjadi pembebas rakyat dari kezaliman dan kesengsaraan.
“Bayi ini akan menjadi orang yang memimpin perang besar untuk mengusir penjajah Belanda dari tanah Jawa. Dia akan menimbulkan kerusakan yang sangat besar pada
kafir Belanda. Dia akan menjelma menjadi orang besar yang dicintai rakyatnya, melebihi diriku,” tegas Sultan Hamengku Buwono I yang juga kakek buyut dari Diponegoro. Sebab itu, Sultan secara khusus mengamanahkan agar bayi Diponegoro kelak diasuh dan dididik permaisurinya sendiri, Ratu Ageng. (Bersambung)
[1] Kanjeng Susuhunan Paku Buwono VI lahir di Surakarta, 26 April 1807 dan meninggal dalam pembuangan Belanda di Ambon, pada tanggal 2 Juni 1849. Nama aslinya Raden Mas Sapardan. Beliau naik tahta dalam usia 16 tahun dan setahun kemudian, dalam usia 17 tahun, beliau telah menjadi pendukung perjuangan Pangeran Diponegoro yang loyal walau terikat perjanjian dengan Belanda. Pakubuwana VI meninggal dunia di Ambon pada tanggal 2 Juni 1849. Menurut keterangan resmi Belanda, beliau meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut.
Di tahun 1957, jasad Pakubuwana VI dipindahkan dari Ambon ke Astana Imogiri, kompleks makam keluarga raja Mataram. Pada saat makamnya digali, ditemukan bukti bahwa tengkorak Pakubuwana VI berlubang di bagian dahi. Menurut analisis Jenderal TNI Pangeran Haryo Jatikusumo (putera Pakubuwana X), lubang tersebut seukuran peluru senapan Baker Riffle. Ditinjau dari letak lubang, kematian Pakubuwana VI jelas ditembak pada bagian dahi, bukan kecelakaan.
[2] Pajak atas kepala atau pajak yang dikenakan pada setiap orang, besar dan kecil tanpa perkecualian.
[3] Pajak atas pintu rumah.
[4] Pajak atas pekarangan rumah.
[5] Pajak atas hewan ternak.
[6] Pajak atas kepemilikan lahan kebun atau sawah, walau luasnya hanya sedikit.
[7] Pajak yang dikenakan bila hendak pindah rumah.
[8] Pajak jika seseorang bertukar tuan tanah atau majikan.
[9] Pajak pertunjukkan resminya dikenakan pemerintah kepada warga desa jika ada pertunjukkan kesenian atau hiburan lainnya. Namun nyatanya, walau tidak pernah ada pertunjukkan hiburan, rakyat tetap diharuskan membayar jenis pajak ini.
[10] Pajak penimbangan padi dilakukan ketika panen. Tapi faktanya, seperti juga pajak pertunjukkan, padi-padi hasil panen para petani tidak pernah ditimbang, namun tetap dikenakan pajak. Bahkan banyak petani miskin diwajibkan kerja di lahan pertanian milik bupati tanpa dibayar sepeser pun.
[11] Nama asli Diponegoro adalah Bendoro Raden Mas (BRM) Mustahar. Lahir di keraton Jogyakarta, pada Jum'at Wage, 7 Muharram Tahun Be (11 Nopember 1785). Tahun 1805, Sultan HB II mengganti namanya menjadi Bendoro Raden Mas (BRM) Ontowiryo. Adapun nama Diponegoro dan gelar Pangeran baru disandangnya sejak tahun 1812 ketika ayahnya naik takhta.
0 comments:
Post a Comment