Thursday, 27 December 2012

Haramnya Mengucapkan Selamat Natal

SETIAP datang saat Natal (dan Tahun Baru Masehi) kerap kali muncul perdebatan seputar boleh-tidaknya mengucapkan “Selamat Natal”. Sebagian mengharamkan, sebagian membolehkan. Namun akhir-akhir ini, suara kalangan yang membolehkan semakin kencang. Jusuf Kalla membolehkan ucapan itu, Shalahuddin Wahid membolehkan juga, Menteri Agama Suryadarma Ali membolehkan, Fahri Hamzah (anggota DPR PKS) juga membolehkan, Ketua PP Muhammadiyah membolehkan.

Untuk melegitimasi pembolehan ucapan “Selamat Natal” ini, banyak pihak bersandar pada fatwa Dr. Yusuf Al Qaradhawi, fatwa Dewan Ulama Al Azhar, fatwa Dewan Ulama Palestina, hingga fatwa pemimpin Ikhwanul Muslimin dan Presiden Mursi di Mesir. Rata-rata semua fatwa ini berporos pada ayat Al Qur’an:

“Jika mereka memberikan ucapan selamat kepada kalian, maka balaslah dengan ucapan yang lebih baik, atau yang semisalnya; sesungguhnya Allah atas segala sesuatu Maha Memperhitungkan.” [Surat An Nisaa’: 86].

Hal demikian ini tentu sangat membuat bingung kaum Muslimin di Indonesia, yang sekian lama mengacu kepada fatwa MUI tentang haramnya mengucapkan “Selamat Natal”. Mereka pun bertanya-tanya: mana yang benar, diharamkan atau dibolehkan? Demi meluruskan persepsi keliru seputar ucapan “Selamat Natal” ini, berikut kami haturkan beberapa catatan penting.

[1]. Sekitar tahun 80-an Buya Hamka rahimahullah, sebagai Ketua MUI, telah menetapkan fatwa haramnya ucapan Natal. Fatwa itu terus menjadi pegangan MUI, sampai saat ini. Ketika itu Buya Hamka ditekan oleh pemerintah Soeharto, terkait dengan fatwanya. Namun beliau bersikukuh, tidak mau mundur dari fatwanya; namun beliau mau mundur sebagai Ketua MUI, sebagai bukti sikap konsisten-nya dalam mempertahankan fatwa haram ucapan “Selamat Natal”.

[2]. Di dunia Islam modern, ada sebagian ulama yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”, seperti Syaikh Dr. Yusuf Al Qaradhawi. Beliau mendasarkan fatwanya dengan pertimbangan berbuat baik kepada orang lain, termasuk Ahlul Kitab (Kristiani-Yahudi). Beliau berdalil dengan ayat Al Qur’an: “Allah tidak melarang kalian berbuat baik dan berbuat adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir kalian dari kampung halaman kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil. Bahwasanya Allah hanya melarang kalian loyal kepada orang-orang yang memerangi kalian karena agama dan mengusir kalian dari kampung halaman kalian, dan mereka mengusir kalian dengan terang-terangan, maka siapa yang loyal kepadanya, mereka itulah orang-orang yang zhalim.” (Surat Al Mumtahanah). Sementara Dewan Fatwa Al Azhar memilih sikap pertengahan, yaitu membolehkan mengucap “Selamat Natal” dengan syarat-syarat ketat (6 syarat). Intinya, mengucap selamat tanpa membenarkan agama dan akidah mereka, juga tanpa ikut terlibat dalam ritual agama mereka.

[3]. Dalam salah satu pertimbangan fatwanya, Dewan Ulama Al Azhar berdalih, bahwa tidak ada larangan qath’iy dalam Syariat yang menetapkan haramnya ucapan “Selamat Natal”. Tetapi alasan ini bisa dibantah oleh riwayat yang dibawakan oleh Dewan Fatwa ini sendiri, bahwa Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, maka ini adalah hari raya kita (Idul Fithri dan Idul Adha).” (HR. Bukhari). Jika merujuk hadits ini, maka setiap kaum memiliki hari raya masing-masing. Termasuk Ahlul Kitab (Nashrani-Yahudi) berarti memiliki hari raya juga. Berarti di zaman Rasulullah Saw, mereka sudah memiliki hari raya juga. Lalu pertanyaannya, apakah Nabi Saw, para Khulafaur Rasyidin, serta Ijma’ para Shahabat Radhiyallahu ‘Anhum; apakah mereka di masa hidupnya pernah mengucapkan “Selamat Natal”? Atau katakanlah, apa mereka pernah mengucapkan, “Selamat Hari Raya Ahli Kitab”? Kenyataannya, tidak ada contoh perbuatan seperti itu di masa Nabi Saw dan Khulafaur Rasyidin. Jadi, andaikan ada yang membolehkan ucapan “Selamat Natal” itu, ia adalah perbuatan baru dalam Syariat; atau unsur luar agama yang hendak diislamisasikan. Nas’alullah al ‘afiyah.

[4]. Kita mesti ingat, bahwa asal-usul perayaan Natal, bukan berasal dari ajaran Injil atau Taurat. Ia adalah perayaan yang muncul kemudian, dan menurut sebagian pendapat, momen 25 Desember itu dikaitkan dengan hari lahir “Dewa Matahari”. Perayaan Natal ini semacam kompromi antara basis agama Nashrani yang berasal dari risalah Samawi dengan paganisme Romawi.

[5]. Kalau kita sepakat membolehkan atau menghalalkan ucapan “Selamat Natal”, maka hal ini merupakan kemenangan besar bagi SYIAR agama Kristiani. Mereka akan merasa memiliki kesejajaran dengan kaum Muslimin dalam syiar keagamaan. Dr. Yusuf Al Qaradhawi menolak pendapat Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al Iqtidha, bahwa ucapan “Selamat Natal” tidak ada kaitannya dengan perasaan ridha terhadap akidah orang kafir; ucapan Selamat Natal di satu lembah, perasaan ridha di lembah yang lain, keduanya tidak dapat dicampur-adukkan (kata Al Qaradhawi). Tanggapannya: bagi ulama yang bersih hatinya dan kuat imannya, mungkin ucapan “Selamat Natal” itu tak akan menodai keimanannya; tapi bagaimana dengan orang awam dari kalangan Muslimin? Siapa bisa menjamin bahwa mereka tak akan terjerumus lebih jauh lantaran telah dibukanya pintu-pintu menuju pengakuan terhadap kebenaran agama lain itu?

[6]. Jika kita membolehkan ucapan “Selamat Natal”, berarti kita akan membolehkan juga ucapan-ucapan selamat yang lain yang berkaitan dengan hari-hari raya orang Kristiani dan Yahudi itu? Misalnya, kita harus juga mengucapkan “Selamat Paskah”, “Selamat Misa Kudus”, “Selamat Barnispah” (hari raya Yahudi), dan lainnya. Bahkan hal ini bisa berkembang lebih jauh, menjadi “Selamat Hari Raya Nyepi”, “Selamat Hari Raya Galungan”, “Selamat Imlek”, “Selamat Hari Raya Komunis”, dan seterusnya. Toh, pertimbangannya, mereka tidak selalu memerangi kaum Muslimin secara agama dan mengusir kaum Muslimin dari kampung halaman. Jika demikian cara berpikirnya, ya hancur agama ini. Masya Allah, laa haula wa laa quwwata illa billah.

[7]. Andaikan kita tidak mengucap “Selamat Natal” bukan berarti kita menutup pintu-pintu perbuatan baik kepada Kristiani-Yahudi. Tidak demikian. Kita boleh sopan-santun dan ramah kepada mereka; kita boleh bertetangga dan bergaul dengan mereka; kita boleh menghormati ibadah dan ritual mereka; kita boleh muamalah dengan mereka; kita boleh saling bantu-membantu dan kerjasama dalam menghadapi tantangan bersama, dan lain-lain. Hanya karena Anda tidak mengucapkan “Selamat Natal”; tidak akan membuat Anda kehilangan kesempatan untuk berbuat baik kepada mereka. Apalagi, kalau alasan ucapan “Selamat Natal” itu sebatas basa-basi belaka. Sudah basa-basi, melanggar prinsip akidah, dan tidak ada madharatnya kalau kita tidak mengucap “Selamat Natal”. Coba sebutkan hujjah kepada kita, apakah dengan tidak mengucap “Selamat Natal”, lalu kita tidak bisa berbuat baik kepada kaum Kristiani dan Yahudi? Sebutkan hujjah-mu, wahai manusia berakal.

[8]. Kalau Anda harus menjelaskan, mengapa tidak mengucapkan “Selamat Natal”. Katakan saja dengan baik dan santun: “Maaf, urusan ucapan selamat Natal ini dalam agama kami termasuk perkara ibadah. Kami dilarang mengucapkan demikian. Kalau Anda merasa keberatan dengan sikap kami, silakan Anda tidak mengucapkan selamat hari raya kepada kami. Atau kalau Anda tidak keberatan, ketahuilah bahwa di luar urusan ucapan selamat ini, masih banyak kesempatan bagi kita untuk saling berbuat baik. Terimakasih atas pengertian Anda.” Ucapkan kata-kata demikian.

[9]. Setidaknya, menurut MUI di Indonesia, ucapan “Selamat Natal” itu haram diucapkan. Bisa jadi fatwa yang berlaku di Indonesia berbeda dengan di negeri lain. Hal itu karena alasan historis, sosiologis, budaya, dan sebagainya. Tentu MUI sudah memperhitungkan segala macam konsiderans (pertimbangan), sebelum menyatakan haramnya ucapan “Selamat Natal”. Kalau di negeri Syaikh Al Qaradhawi atau di Mesir, disana diperbolehkan ucapan “Selamat Natal”, mungkin itu terkait dengan kondisi mereka. Sedangkan keadaan di Indonesia, terutama terkait dengan missi-missi Kristenisasi, sangat berbeda dengan di negara lain.

[10]. Jika mengucap “Selamat Natal” itu dianggap syubhat, yang belum jelas halal-haramnya; maka dalam menyikapi syubhat, lebih baik kita meninggalkannya, agar tidak terjerumus ke dalam perkara haram. Kaidahnya: “Da’ maa yuribuka ila ma laa yuribuk” (tinggalkan apa yang meragukanmu, berpindahlah ke yang tidak meragukanmu).

Dan akhirnya kita tutup kajian ringkas ini dengan meneguhkan satu pendapat kuat di kalangan Salafus Shalih, bahwa Nabi Saw, para Khulafaur Rasyidin, menurut Ijma’ para Shahabat, menurut Ijma’ empat Imam Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali); bahwa tak satu pun dari mereka yang pernah mengucapkan “Selamat Natal” atau “Selamat Hari Raya Yahudi-Nashrani”. Jika Nabi dan para Shahabat tidak pernah melakukan perbuatan itu, lalu apa artinya pendapat ulama-ulama yang membolehkan itu? Apakah mereka menjadi sumber Syariat, selain Nabi Saw?

Ingat sebuah riwayat ketika Nabi Saw berjalan di perkampungan kaum Yahudi, lalu mendapati mereka sedang berpuasa. Lalu beliau bertanya, “Ini hari apa? Mengapa mereka berpuasa?” Lalu dijawab, saat itu adalah hari 10 Muharram (Asyura), kaum Yahudi sedang merayakan hari terbebasnya Musa ‘As dan kaumnya dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Maka Nabi menegaskan, bahwa beliau lebih berhak mewarisi sejarah Musa daripada kaum Yahudi. Atas peristiwa itu, lalu Nabi Saw mulai mensunnahkan puasa Sunnah Asyura. Agar berbeda dengan Yahudi, beliau tambahkan puasanya menjadi Tasu’a Asyura (puasa tanggal 9 dan 10 Muharram). Ini berarti, andaikan kaum Nabi Musa dan Nabi Isa memiliki hari raya yang haq di sisi Allah, maka ummat Islam lebih berhak mewarisi hari raya itu dengan amal-amal kebaikan, bukan mereka.



0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews