ADA tiga hal yang sedang berkembang. Pertama, mereka memiliki pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang agama, terutama apabila mereka dibesarkan dengan perintah-perintah tanpa membangun cara berpikir mereka tentang tuhan. Mereka hanya dikenalkan dengan aturan-aturan tanpa memperoleh pendidikan akidah yang memadai. Kedua, mereka sedang ingin menunjukkan otoritas dan kemampuannya; bahwa mereka mampu bertanggung-jawab penuh atas diri mereka sendiri. Mereka ingin menjadi pribadi mandiri. Ketiga, mereka mulai memiliki ketertarikan terhadap lawan jenisnya dan ingin memiliki ikatan emosi yang bersifat khusus.
Apakah remaja merupakan masa keguncangan (storm & stress) dimana mereka mengalami krisis identitas? Tidak selalu demikian. Mari kita buka buku karya John W. Santrock yang berjudul Adolescence (2001). Kita melihat di sana bahwa ada remaja yang mengalami krisis identitas –dan banyak jumlahnya—sehingga tidak sedikit yang berperilaku aneh, tetapi ada pula yang tidak mengalami krisis identitas. Mereka memasuki masa remaja dengan identitas yang sangat kokoh. Inilah yang disebut sebagai identity foreclosure.
Tentu bukan kebetulan kalau mereka tidak mengalami krisis identitas. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan mereka mampu memasuki masa remaja dengan identitas diri yang jelas dan kepribadian yang mantap? Jawabnya bisa kita runut pada masa sebelum mereka memasuki usia remaja. Anak-anak yang tidak mengalami krisis identitas itu adalah mereka yang sebelum memasuki masa remaja telah memiliki orientasi hidup yang benar, tujuan hidup yang jelas dan nilai-nilai yang kuat.
Dari tiga hal tersebut, mana yang paling berpengaruh terhadap kehidupan remaja?
Sangat tergantung bagaimana mereka dibesarkan, baik oleh orangtua di rumah maupun guru di sekolah, apa yang paling sering mereka perhatikan, terpaan media yang paling sering mereka terima serta nilai-nilai utama yang sering mereka terima dari buku-buku, guru-guru, orangtua dan lingkungan.
Jika sekolah secara terencana memiliki penghargaan yang sangat tinggi terhadap usaha yang gigih, maka remaja akan cenderung lebih mengembangkan kompetensi, kreativitas serta kapasitas mereka untuk mandiri.
Sebaliknya jika lingkungan sekolah justru merupakan tempat pertaruhan gengsi dimana anak merasa tersisih jika tidak punya HP, maka krisis identitas mudah terjadi dan ketertarikan terhadap lawan jenis beserta turunannya berkembang lebih pesat daripada aspek-aspek lainnya.
Itu sebabnya, sekolah perlu mempertimbangkan kembali izin membawa HP ke sekolah bagi para siswa, sekalipun untuk jenjang SLTA.
Pada dasarnya, tiga hal tersebut perlu mendapat perhatian dari para pendidik. Jika aspek pertama berkembang dengan baik sehingga pertanyaan-pertanyaan mendasarnya tentang agama memperoleh jawaban yang memuaskan, mereka akan tumbuh menjadi manusia idealis.
Jika sekolah mampu membangun budaya belajar yang kuat, mereka akan tumbuh sebagai manusia yang kaya gagasan, penuh inovasi dan memiliki keberanian tinggi untuk berusaha dan siap menghadapi kegagalan. Ini merupakan bekal berharga untuk menjadi manusia tangguh dan sukses. Adapun dorongan terhadap lawan jenis, jika memperoleh pembinaan yang tepat, akan berkembang menjadi kesiapan berumah-tangga, orientasi untuk berkeluarga, penghormatan terhadap orangtua dan rasa tanggung-jawab terhadap yang usianya lebih mudah.
Dorongan untuk menyukai lawan jenis bisa berkembang “ke kiri” sehingga remaja menyibukkan diri dengan urusan syahwat, bisa berkembang “ke kanan” sehingga remaja mengembangkan cinta yang tulus, minat terhadap masalah rumah-tangga, kasih-sayang kepada sesame dan rasa tanggung-jawab terhadap keluarga. Yang disebut terakhir ini sekaligus berperan penting menguatkan aspek kedua, yakni dorongan untuk mandiri.
Lalu, kapan kita mulai bisa menumbuhkan rasa tanggung-jawab terhadap yang usianya lebih mudah? Saya tidak bisa menjawab secara pasti. Saya masih perlu belajar lebih jauh. Yang bisa saya sampaikan adalah, kita sudah bisa memberi tanggung-jawab “secara penuh” kepada anak-anak kelas 1 SD agar membimbing adik-adiknya. Ini diwujudkan dalam bentuk program pendampingan terhadap adik kelas, sehingga begitu mereka naik kelas 2, tiap anak memiliki tanggung-jawab mendampingi dan membimbing satu adik kelasnya.
Menata Orientasi Terhadap Lawan Jenis
Dorongan untuk menyukai lawan jenis itu merupakan keniscayaan. Bentuknya bisa berupa hasrat untuk berpacaran, menyukai pembicaraan yang berhubungan dengan kemolekan maupun seks, bisa juga menumbuhkan kecenderungan untuk bersibuk-sibuk dengan hal-hal yang berkait dengan daya tarik diri. Penyimpangan dari dorongan ini bisa berwujud kecenderungan homoseksualitas, biseksualitas, penampilan tomboy, voyeurism, banci –baik dalam cara berbicara maupun berpakaian—serta berbagai bentuk penyimpangan seks lainnya.
Adapun jika dorongan memperoleh pembinaan dan arah yang baik akan berkembang menjadi penghormatan terhadap lawan jenis, penjagaan diri dari kemaksiatan dan keinginan yang kuat untuk memiliki rumah-tangga yang ideal. Dalam hal ini, contoh nyata yang menginspirasi sangat besar perannnya.
Dari sini kita bisa memahami mengapa di Singapura usia 16 tahun diperbolehkan untuk menikah dengan syarat sudah mengantongi ijazah parenting, yakni ijazah yang diperoleh setelah seseorang menempuh short course (kursus singkat) tentang pengasuhan anak dan komunikasi keluarga. Ini bukan soal gizi, bukan pula soal teknologi informasi, tetapi soal orientasi terhadap lawan jenis. Dan inilah yang justru kita abaikan. Kita lebih sibuk mereaksi fenomena yang sedang muncul daripada mengkaji apa yang seharusnya kita lakukan terhadap remaja yang memberi manfaat jangka panjang. Reaksi terhadap fenomena kerapkali hanya mengatasi masalah secara parsial dan bersifat jangka pendek.
Ini bukan berarti kita tidak boleh belajar bagaimana berbicara tentang seks kepada remaja –termasuk anak-anak. Tetapi jika kecenderungan untuk menyimpang sudah merupakan gejala umum, maka yang harus kita lakukan adalah menata ulang sekolah kita dan lebih awal dari itu adalah pengasuhan anak di rumah.
Akan lebih baik lagi jika kita mampu melakukan perubahan pada tingkat kebijakan media massa; sumber kerusakan sosial yang paling dahsyat dan memperoleh perlindungan maksimal di negeri ini dengan berlindung di balik baju kebesaran bernama hak asasi dan kebebasan pers.
Lalu bagaimana jika remaja kita sudah terlanjur salah arah sehingga mereka justru sibuk berpikir tentang seks dan bukannya mengembangkan prestasi?
Ada yang harus kita kerjakan. Ada dua pilihan: kita mengikuti arus mereka atau memutar arah berpikir mereka. Pilihan pertama lebih ringan menjalaninya, tapi siapkah kita mempertanggungjawabkannya di akhirat kelak apabila mereka menjadi musuh di hadapan Allah Ta’ala? Bahkan, jangan-jangan sebelum mati pun, mereka telah amat menyusahkan kita.*
Oleh : Mohammad Fauzil Adhim (Penulis pemerhati masalah psikologi pendidikan dan penulis buku-buku parenting)
0 comments:
Post a Comment