Dr. Siti Musdah Mulia mengulang pernyataannya yang tak mulia. Di sebuah diskusi publik, dia mengajak masyarakat menyosialisasikan pernikahan beda agama. Dia berpendapat, bahwa pemerintah tidak perlu melarang pernikahan beda agama karena pernikahan beda agama adalah konsekuensi logis dari kebutuhan masyarakat yang plural saat ini (www.hidayatullah.com 31/03/2012).
Lebih jauh, wanita bergelar profesor doktor dari UIN itu memberi alasan: “Kalau itu keyakinan mereka dan mereka bahagia dengan pernikahan beda agama, kenapa kita jadi mempermasalahkan?”
Tentu saja argumentasi dari dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang masuk dalam buku “50 Tokoh Islam Liberal Indonesia” itu menggelikan. Bahwa, aturan Allah tentang pernikahan dia lawan dengan hanya bersandar kepada akal dan perasaan saja. Lihatlah –sekali lagi- ukuran dari wanita kontroversial itu dalam menetapkan bolehnya nikah beda agama, yaitu: 1).Pasangan tersebut yakin bahwa itu benar. 2).Pasangan tersebut merasa bahagia. 3).Hal ini sebagai konsekuensi dari masyarakat yang plural.
Melawan Syariat
Dalam konteks hukum nikah beda agama, tentu saja lebih bisa kita yakini kebenarannya jika kita mengambil fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai pedoman. Cermatilah fatwa MUI tentang Perkawinan Campuran yang dikeluarkan pada 1/6/1980. Dalam fatwa tersebut, MUI (yang -waktu itu- diketuai Prof Dr HAMKA dengan Sekretaris Umum Drs H Kafrawi) merujuk pada QS Al-Baqarah [2]: 221, QS Al-Maaidah [5]: 5, QS Al-Mumtahanah [60]: 10, dan QS At-Tahrim [66]: 6. Fatwa itu juga merujuk sejumlah sabda Rasulullah SAW.
Isi fatwanya: Pertama, perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki nonmuslim adalah haram hukumnya. Kedua, laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim. Adapun tentang perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab diakui memang terdapat perbedaan pendapat. Tetapi, setelah memertimbangkan bahwa mafsadah-nya lebih besar daripada maslahat-nya, maka MUI memfatwakan perkawinan tersebut juga haram hukumnya.
Mari kita renungkan (sebagian) ayat-ayat yang dijadikan sandaran MUI: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS Al-Baqarah [2]: 221).
“(Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (QS Al-Maaidah [5]: 5).
“Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS Al-Mumtahanah [60]: 10).
Namun, sekalipun hukum sudah jelas, enam belas tahun setelah terbitnya fatwa itu di masyarakat tetap muncul masalah, terbukti dengan terjadinya banyak pelanggaran. Maka, diterbitkanlah lagi fatwa MUI soal Prosedur Perkawinan pada 19/4/1996. Fatwa ini lahir karena MUI telah “Menerima pengaduan, pertanyaan, dan permintaan fatwa yang disampaikan secara langsung, tertulis, maupun lewat telepon dari masyarakat di sekitar masalah tersebut”.
Ternyata, persoalan tentang ini terus mengemuka. Ini terlihat dengan ditetapkannya lagi Fatwa MUI (secara lebih tegas) tentang Perkawinan Beda Agama pada 28/7/2005. Bahwa: 1). Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. 2). Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
Apa pertimbangan Fatwa MUI bernomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama itu?
Disebutkan, bahwa 1). Belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama; 2).Perkawinan beda agama ini bukan saja mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, akan tetapi juga sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat; 3). Di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan; 4).Untuk mewujudkan dan memelihara ketentraman kehidupan berumah-tangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama untuk dijadikan pedoman.
Fatwa MUI tentang hukum perkawinan beda agama memang harus terus kita sebarkan. Sebab, -antara lain- karena banyak kasus pemurtadan yang terjadi karena ketidaktahuan soal hukumnya atau karena termakan oleh pendapat kalangan tertentu yang dengan cukup massif ‘berkampanye’ tentang bolehnya nikah beda agama.
Seperti apa celah pemurtadan yang kerap terjadi? Seorang laki-laki nonmuslim ‘bersedia’ masuk Islam agar ia tak terhalang (oleh hukum) untuk mengawini wanita muslimah. Tetapi, setelah maksudnya tercapai, dia lalu kembali ke agama asalnya. Bahkan itu tak cukup, karena dia pun mengajak (paksa) istri dan anak-anaknya.
Jangan Terjerat!
Mari jaga kemuliaan kita sebagai kaum beriman dengan cara selalu istiqomah berpegang kepada Allah dan Rasul-Nya. Kecuali itu, kita pun perlu menjadikan fatwa para ulama yang shalih (yang dengan keshalihannya patut menyandang status sebagai pewaris para Nabi) dalam menyikapi suatu persoalan tertentu.
Kita memang pantas ekstrahati-hati berkaitan dengan masalah nikah beda agama. Jangan percaya jika ada yang membolehkan pernikahan beda agama sekalipun dia dosen UIN bergelar profesor doktor.*
Lebih jauh, wanita bergelar profesor doktor dari UIN itu memberi alasan: “Kalau itu keyakinan mereka dan mereka bahagia dengan pernikahan beda agama, kenapa kita jadi mempermasalahkan?”
Tentu saja argumentasi dari dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang masuk dalam buku “50 Tokoh Islam Liberal Indonesia” itu menggelikan. Bahwa, aturan Allah tentang pernikahan dia lawan dengan hanya bersandar kepada akal dan perasaan saja. Lihatlah –sekali lagi- ukuran dari wanita kontroversial itu dalam menetapkan bolehnya nikah beda agama, yaitu: 1).Pasangan tersebut yakin bahwa itu benar. 2).Pasangan tersebut merasa bahagia. 3).Hal ini sebagai konsekuensi dari masyarakat yang plural.
Melawan Syariat
Dalam konteks hukum nikah beda agama, tentu saja lebih bisa kita yakini kebenarannya jika kita mengambil fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai pedoman. Cermatilah fatwa MUI tentang Perkawinan Campuran yang dikeluarkan pada 1/6/1980. Dalam fatwa tersebut, MUI (yang -waktu itu- diketuai Prof Dr HAMKA dengan Sekretaris Umum Drs H Kafrawi) merujuk pada QS Al-Baqarah [2]: 221, QS Al-Maaidah [5]: 5, QS Al-Mumtahanah [60]: 10, dan QS At-Tahrim [66]: 6. Fatwa itu juga merujuk sejumlah sabda Rasulullah SAW.
Isi fatwanya: Pertama, perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki nonmuslim adalah haram hukumnya. Kedua, laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim. Adapun tentang perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab diakui memang terdapat perbedaan pendapat. Tetapi, setelah memertimbangkan bahwa mafsadah-nya lebih besar daripada maslahat-nya, maka MUI memfatwakan perkawinan tersebut juga haram hukumnya.
Mari kita renungkan (sebagian) ayat-ayat yang dijadikan sandaran MUI: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS Al-Baqarah [2]: 221).
“(Dan dihalalkan mengawini) wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (QS Al-Maaidah [5]: 5).
“Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS Al-Mumtahanah [60]: 10).
Namun, sekalipun hukum sudah jelas, enam belas tahun setelah terbitnya fatwa itu di masyarakat tetap muncul masalah, terbukti dengan terjadinya banyak pelanggaran. Maka, diterbitkanlah lagi fatwa MUI soal Prosedur Perkawinan pada 19/4/1996. Fatwa ini lahir karena MUI telah “Menerima pengaduan, pertanyaan, dan permintaan fatwa yang disampaikan secara langsung, tertulis, maupun lewat telepon dari masyarakat di sekitar masalah tersebut”.
Ternyata, persoalan tentang ini terus mengemuka. Ini terlihat dengan ditetapkannya lagi Fatwa MUI (secara lebih tegas) tentang Perkawinan Beda Agama pada 28/7/2005. Bahwa: 1). Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah. 2). Perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita Ahli Kitab, menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
Apa pertimbangan Fatwa MUI bernomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang Perkawinan Beda Agama itu?
Disebutkan, bahwa 1). Belakangan ini disinyalir banyak terjadi perkawinan beda agama; 2).Perkawinan beda agama ini bukan saja mengundang perdebatan di antara sesama umat Islam, akan tetapi juga sering mengundang keresahan di tengah-tengah masyarakat; 3). Di tengah-tengah masyarakat telah muncul pemikiran yang membenarkan perkawinan beda agama dengan dalih hak asasi manusia dan kemaslahatan; 4).Untuk mewujudkan dan memelihara ketentraman kehidupan berumah-tangga, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang perkawinan beda agama untuk dijadikan pedoman.
Fatwa MUI tentang hukum perkawinan beda agama memang harus terus kita sebarkan. Sebab, -antara lain- karena banyak kasus pemurtadan yang terjadi karena ketidaktahuan soal hukumnya atau karena termakan oleh pendapat kalangan tertentu yang dengan cukup massif ‘berkampanye’ tentang bolehnya nikah beda agama.
Seperti apa celah pemurtadan yang kerap terjadi? Seorang laki-laki nonmuslim ‘bersedia’ masuk Islam agar ia tak terhalang (oleh hukum) untuk mengawini wanita muslimah. Tetapi, setelah maksudnya tercapai, dia lalu kembali ke agama asalnya. Bahkan itu tak cukup, karena dia pun mengajak (paksa) istri dan anak-anaknya.
Jangan Terjerat!
Mari jaga kemuliaan kita sebagai kaum beriman dengan cara selalu istiqomah berpegang kepada Allah dan Rasul-Nya. Kecuali itu, kita pun perlu menjadikan fatwa para ulama yang shalih (yang dengan keshalihannya patut menyandang status sebagai pewaris para Nabi) dalam menyikapi suatu persoalan tertentu.
Kita memang pantas ekstrahati-hati berkaitan dengan masalah nikah beda agama. Jangan percaya jika ada yang membolehkan pernikahan beda agama sekalipun dia dosen UIN bergelar profesor doktor.*
0 comments:
Post a Comment