Tuesday 12 February 2013

Natsir, Perdana Menteri Santun yang Berpola Hidup Zuhud

MOHAMMAD Natsir lahir di Minangkabau, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Wafat di Jakarta 6 Februari 1993. Pendidikan Islam sejak kecil dengan orang tua dan lingkungannya. Pendidikan formal di HIS Solok, MULO (1923-1927), AMS di Bandung (1930). Ketika di Bandung itulah ia berkenalan dan menjadi murid sekaligus sahabat dari ulama pergerakan Islam, A Hassan.

Natsir pernah menjadi Menteri Penerangan Kabinet Sjahrir I (3 Januari 1946 - 12 Maret 1946), Menteri Penerangan Kabinet (12 Maret 1946 - 2 Oktober 1946), Menteri Penerangan Kabinet (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947), Menteri Penerangan Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949), dan Perdana Menteri ’Kabinet Natsir’ (6 September 1950 – 26 April 1951).

Natsir memegang sebagai Ketua Pimpinan Pusat Masyumi pada 1949, 1951, 1952, 1954 dan 1956. Tahun 1945, ia tercatat sebagai anggota, sementara ketua Masyumi saat itu adalah Dr. Sukiman Wirjosandjojo. Tahun 1949, Natsir menjadi ketua, sebagai presiden partai adalah Dr. Sukiman (struktur partai berubah). [Lihat buku Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional,Grafiti Pers, 1987, hal. 100-105]

Setelah Masyumi dibubarkan, Buya Natsir dengan kawan-kawannya –tokoh-tokoh Islam Masyumi—mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada 1967. Ketika berkiprah di Dewan Dakwah, Natsir melakukan pendidikan dai secara nasional dan sistematis, mendirikan perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam di luar IAIN, memelopori pendirian pesantren-pesantren di sekitar kampus-kampus umum, mengirimkan dai-dai sekolah ke Timur-Tengah dan lain-lain.

Ketokohan Natsir bukan hanya pada tulisan-tulisannya, tapi juga sejarah hidup dan perjuangan dakwahnya. Mulai remaja, dewasa sampai dengan tuanya, kehidupan Natsir penuh dengan keteladanan.

Saat remajanya, dia digambarkan bagus oleh penulis Ajip Rosidi, bahwa setelah lulus AMS (Algemene Middelbare School/setingkar SMA), Natsir telah hidup mandiri. Ia tidak mau bekerja di pemerintahan. Padahal bila bekerja di pemerintahan, ia bisa dapat gaji cukup besar saat itu (paling kecil F. 130; harga beras saat itu tidak sampai F. 0,05/lima sen satu kilogram). Natsir juga tidak merasa sreg untuk melanjutkan ke Fakultas Hukum (RH) di Jakarta atau Fakultas Ekonomi di Belanda, meskipun kesempatan beasiswa terbuka lebar.

”Aneh!” kata Natsir hampir tiga puluh tahun kemudian (1958) dalam suratnya kepada istri dan anak-anaknya tatkala mengenangkan lagi saat ia berhasil mencapai cita-cita yang sudah lama diidamkannya sendiri, dan yang juga diharap-harapkan oleh ayahbundanya selama ini, yaitu mendapat beasiswa untuk melanjutkan pelajaran setelah tamat AMS sehingga jalan untuk menyandang gelar ”Mr” terbuka. ”Aneh! Semua itu tidak menerbitkan selera Aba sama sekali. Aba merasa ada satu lapangan yang paling penting daripada itu semua. Aba ingin mencoba menempuh jalan lain. Aba ingin berkhitmad kepada Islam dengan langsung. Belum terang benar Aba pada permulaannya, apa yang harus dikerjakan sesungguhnya. Tapi dengan tidak banyak pikir-pikir Aba putuskanlah bahwa tidak akan melanjutkan pelajaran ke Fakultas manapun juga. Aba hendak memperdalam pengetahuan tentang Islam lebih dahulu. Sudah itu bagaimana nanti.”

Dalam biografinya ”M Natsir Sebuah Biografi”, Ajip Rosidi melanjutkan:

”Lalu, dimulainyalah hidup sebagai seorang bebas yang bermaksud membaktikan dirinya buat Islam. Setiap hari dia pergi ke rumah Tuan Hassandi Gang Belakang Pakgade dengan sepeda untuk mengurus penerbitan majalah Pembela Islam dan pada malam hari ditelaahnya Tafsir al-Qur’an dan kitab-kitab lainnya yang dianggap perlu, termasuk yang ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Eropa lainnya. Dibacanya majalah-majalah tentang Islam dalam berbagai bahasa, seperti Islamic Reviewdalam bahasa Inggris, Moslemische Revue dalam bahasa Jerman, dan juga majalah al Manar dalam bahasa Arab yang terbit di Kairo. Penguasaannya atas bahasa Arab sebenarnya belum sebaik terhadap bahasa Inggris, Perancis atau Jerman-jangan dikata lagi bahasa Belanda- tetapi Tuan Hassan selalu mendesaknya agar dia membaca kitab-kitab atau majalah-majalah dalam bahasa Arab.

Hal-hal yang menarik hati dari majalah yang dibacanya itu, disarikannya untuk dimuat dalam Pembela Islam, dengan demikian dibukanya semacam jendela sehingga para pembacanya dapat mengetahui juga keadaan dan pendapat sesama Muslim di bagian dunia yang lain. Pikiran-pikiran Amir Syakieb Arsalan misalnya mendapat tempat yang luas dalam halaman-halaman Pembela Islam, karyanya yang terkenal menelaah mengapa umat Islam mundur, dimuat bersambung di dalamnya.”


Pilihan Natsir untuk tidak melanjutkan studi ke universitas-universitas terkemuka sama sekali tidak menyurutkan dan menghentikan langkahnya untuk mengkaji ilmu. Pilihannya untuk menerjuni bidang keilmuan dan pendidikan Islam membuktikan kesungguhannya dalam bidang ini. Inilah sebuah pilihan berani dari seorang pemuda cerdas dan berani seperti Natsir. Dia mencari ilmu bukan untuk ”tujuan-tujuan mencari keuntungan duniawi”, bukan untuk menjadi pegawai negeri, dan sebagainya. Dia mencintai ilmu. Dia menjadikan aktivitas mencari ilmu sebagai bagian dari jihad fi sabilillah. Karena itulah Natsir tidak tergiur dengan berbagai tawaran pekerjaan yang sangat menguntungkan pribadinya.

Natsir kemudian memasuki studi Islam di ‘Persatuan Islam’ di bawah asuhan Ustad A. Hassan. Siang hari, bersama A. Hassan, Natsir bekerja menerbitkan majalah ”Pembela Islam”.

Malamnya, dia mengaji al-Quran dan membaca kitab-kitab berbahasa Arab dan Inggris. Tahun 1931-1932, Natsir mengambil kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs). Maka, tahun 1932-1942 Natsir dipercaya sebagai Direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung.

Di sekolah Pendidikan Islam inilah, para siswa digembleng ilmu-ilmu agama dan sikap perjuangan. Alumninya kemudian mendirikan sekolah-sekolah sejenis di berbagai daerah.

Pilihan Natsir terkadang menghadapkannya pada situasi sulit. Dalam surat-suratnya kepada anak-anaknya saat dalam kondisi gerilya di hutan Sumatera Barat, Natsir menceritakan secara rinci kiprahnya dalam mengelola Pendis ini. Natsir bukan hanya mengkonsep kurikulum, mengajar, mengelola guru-gurunya, tapi Natsir juga harus berjuang mencari dana untuk sekolahnya. Bahkan, untuk menghidupi sekolah ini, menurut Natsir, kadang dia harus menggadaikan gelang istrinya. Para siswanya juga diajar hidup mandiri agar tidak bergantung kepada pemerintah.

Di samping bergelut dengan persoalan-persoalan nyata dalam dunia pendidikan dan keumatan, Natsir juga terus menerus menggali dan mengembangkan keilmuannya. Ia memang seorang yang haus ilmu dan tidak pernah berhenti belajar. Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Syuhada Bahri, menceritakan pengalamannya selama bertahun-tahun bersama Natsir. Hingga menjelang akhir hayatnya, Natsir selalu mengkaji Tafsir al-Quran. Tiga Kitab Tafsir yang biasa dibacanya, yaitu Tafsir Fii Dzilalil Quran karya Sayyid Quthb, Tafsir Ibn Katsir, dan Tafsir al-Furqan karya A. Hassan.

Kecintaan Natsir di bidang keilmuan dan pendidikan dibuktikannya dengan upayanya untuk mendirikan sejumlah universitas Islam. Setidaknya ada sembilan kampus yang Natsir berperan dalam pendiriannya, seperti Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, Universitas Riau, Universitas Ibn Khaldun Bogor, dan sebagainya.

Setelah disisihkan dari dunia politik di masa Orde Baru, Natsir kemudian benar-benar mengoptimalkan peran dakwah dalam masyarakat melalui lembaga dakwah yang didirikannya bersama berbagai tokoh Islam, yakni Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.

Ketika menjadi menteri penerangan, Natsir juga menunjukkan keteladanannya. Ia tidak aji mumpungmemanfaatkan jabatannya untuk menumpuk kekayaan dan bahkan ia tidak memerdulikan pakaiannya baru atau usang.

“Saat pertama kali berjumpa dengannya di tahun 1948, pada waktu itu ia Menteri Penerangan RI, saya menjumpai sosok orang yang berpakaian paling camping (mended) di antara semua pejabat di Yogyakarta. Itulah satu-satunya pakaian yang dimilikinya, dan beberapa minggu kemudian staf yang bekerja di kantornya berpatungan membelikannya sehelai baju yang lebih pantas, mereka katakan pada saya, bahwa pemimpin mereka itu akan kelihatan seperti ‘menteri betulan’,” kata George McT Kahin, Guru Besar Cornell University.

Ketika diangkat menjadi Perdana Menteri RI September 1950, ia tinggal di sebuah gang hingga seseorang menghadiahkan sebuah rumah di Jalan Jawa (kini Jalan H.O.S. Cokroaminoto), Jakarta Pusat. Natsir juga menolak hadiah mobil Chevy Impala dari seorang cukong.

Tak Malu menegakkan Syariat Islam

Natsir juga satu-satunya pejabat pemerintah yang pulang dari Istana dengan membonceng sepeda sopirnya, sesudah menyerahkan jabatan perdana menteri kepada Presiden Soekarno. Tepatnya 21 Maret 1951, Natsir menyerahkan jabatan dan mengembalikan mobil dinasnya. Ia berboncengan sepeda dengan sopirnya menuju rumah dinasnya di Jalan Proklamasi. Setelah mampir sebentar di rumah dinasnya, Natsir kemudian segera mengajak istri dan anaknya pindah. Mereka kembali menempati rumah pribadi yang sempit di Jalan Jawa.

Ketika bergerak di Masyumi, Natsir dan kawan-kawan konsisten dan terus menerus memperjuangkan tegaknya syariat Islam di Indonesia. Natsir tidak segan-segan mengusulkan Islam sebagai dasar negara, diantaranya dengan Piagam Jakarta. Argumen-argumen Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi sangat kuat. Ditambah kecakapan ilmiah, baik tertulis maupun orasi, kejujuran dan kesederhanaannya, maka Natsir sangat dihormati bahwa oleh kawan maupun lawan.

Dalam pidatonya di Dewan Konstituante, 12 November 1957, Natsir mengatakan bahwa faham sekulerisme mengandung bahaya-bahaya. Sekulerisme adalah suatu pandangan hidup, opini-opini, tujuan-tujuan dan sifat-sifat yang dibatasi oleh batas-batas keberadaan duniawi.

“Meskipun mungkin pada suatu saat kaum sekuleris itu mengakui keberadaan Tuhan, di dalam kehidupan kesehariannya sebagai pribadi-pribadi sekuleris, tidak mengakui kebutuhan terhadap suatu hubungan itu dalam kehidupan sehari-hari dinyatakan dalam sikap-sikap, tingkah laku dan tindakan-tindakan atau dalam doa dan ibadah,” demikian ujar M Natsir.[ Mohammad Natsir dalam Feith, dalam Ahmad Suhelmi, Soekarno versus Natsir hal. 75.]

“Juga kaum sekuleris memandang konsep-konsep mengenai Tuhan dan agama hanya sebagai hasil ciptaan manusia, yang ditentukan oleh kondsi-kondisi sosial, bukan ditentukan oleh kebenaran wahyu. Bagi kaum sekuleris doktrin agama dan Tuhan relatif dan tergantung pada penemuan-penemuan umat manusia. Dan tolok ukur kebenaran dan kebahagiaan atau ukuran keberhasilan manusia semata-mata ditentukan oleh materi (benda), Di negara sekuler, masalah-masalah ekonomi, hukum, pendidikan, sosial dan lain-lainnya semata-mata ditentukan oleh kepentingan material, bukan oleh nilai-nilai spiritual,” tambah Natsir.

Bisakah para politisi Islam yang ada saat ini bisa belajar dalam sikap dan tindakan sebagaimana tokoh Masyumi itu?

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews