Friday, 17 October 2014

Mencari Presiden, Bukan Pemimpin Pesta


SAAT menjabat sebagai Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, Syarifuddin Prawiranegara dikenal sebagai Presiden yang paling miskin dalam sejarah Indonesia.

Meski pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan, Syarifuddin ternyata tidak mampu membeli gurita (popok) untuk membungkus badan anaknya. Istrinya, ketika itu, terpaksa menyobek kain kasur demi menutupi tubuh anaknya.

Saat itu, sang putri, Aisyah bertanya, “Kenapa Ayah tak punya uang padahal Ayah menteri, Bu?”

Lily, istri Syarifuddin Prawiranegara hanya bisa menyeka air matanya. Di depan si sulung, Lily berkata:

“Ayahmu menteri keuangan, Icah. Ayah mengurusi banyak sekali uang Negara, tetapi dia tak punya uang untuk membeli kain gurita bagi anaknya, karena Ayahmu sama sekali tak tergoda memakai uang Negara meski hanya untuk membeli sepotong kain gurita.”


Ucapan itu disampaikan Lily pada Aisyah atau Icah, putri pertama Syafruddin Prawiranegara yang dikutip dari lembar pertama buku Presiden Prawiranegara, yang ditulis Akmal Nasery Basral.

Saat Syarifuddin meninggalkan keluarganya untuk memimpin Sumatera, Lily harus berjualan sukun goreng di pinggir jalan. Semua itu dilakukan Lily untuk menghidupi keempat anaknya. Lily mengatakan berjualan sukun goreng lebih baik ketimbang korupsi.

Pilihan Lily itu ternyata membuat Aisyah protes. Si kecil mengatakan kenapa kita tidak meminta bantuan Soekarno dan Hatta saja. Hal ini tent bukanlah hal sulit untuk dilakukan keluarganya. Mengingat Syarifuddin adalah orang yang dipercaya Soekarno untuk memimpin Pemerintahan Darurat.

Di situlah Lily mengatakan bahwa Syarifuddin mengajarkannya untuk tidak bergantung kepada orang lain dan menjadi peminta-minta.

Farid Prawiranegara, anak keempat Syaruddin membenarkan perjuangan ibunya, yang sampai menjual sukun goreng untuk mencukupi kebutuhan hidup dan membeli susu bagi anaknya yang masih kecil.

“Ya, saya pernah mendapat cerita dari ibu. Ibu saya tidak malu berjualan sukun goreng dan tidak mengeluh ditinggalkan suaminya untuk melaksanakan tugas negara,” kata Farid dalam bedah buku “Presiden Prawiranegara” tahun 2011 di Pandeglang.

Usai mengungkapkan kata-kata itu, Farid tertunduk. Kemudian tangannya mengambil kacamata dan meletakkan di atas meja. Telunjuk tangan kanannya mengusap setetes air yang keluar dari kedua matanya.

“Maafkan saya. Saya tidak bisa menahan kesedihan kalau mengingat kembali kisah itu,” kata Farid.

Begitulah Presiden Syarifuddin Prawiranegara memberikan definisi kepemimpinan sebenarnya di mata kita. Pemimpin yang lebih miskin dari rakyatnya. Dia memilih hidup “sangat sederhana” sebagai wujud cinta kepada rakyatnya. Jauh dari gaya menghambur-hamburkan uang hanya untuk sebuah pesta.

“..Berhematlah sehemat-hematnya, jangan membeli apabila tak perlu sama sekali, Tanyalah pada tetangga, apakah dia tidak kekurangan sesuatu apapun dan apabila kita mempunyai persediaan makanan buat lebih dari lima hari, berikanlah kelebihan itu kepada tetangga yang kekurangan itu, ” kata Syarifuddin.

Meski hanya menjabat sebagai Presiden sementara tak lebih dari 207 hari, tapi Syarifuddin telah mewarisi keteguhan prinsip sebagai seorang pemimpin negeri. Pemimpin yang mengajak rakyatnya untuk takut kepada Allah dan yakin kemakmuran hanya dapat diraih dengan ikhtiar dan doa kepada Ilahi.

”…Maka, jikalau kita hendak membangun suatu masyarakat yang bukan saja makmur, tetapi juga adil, kecuali minta pertolongan rasio dari ilmu ekonomi, kita harus terlebih dahulu mohon pertolongan Ilahi. “

Kondisi ini tentu jauh dari kondisi para pemimpin saat ini. Janji mereka banyak diingkari. Mengaku anti korupsi tapi justru naik dari partai dengan rangking korupsi tertinggi. Janji akan hidup sederhana sehari-sehari tapi diam-diam naik jet pribadi. Inilah yang tidak dilakukan Syarifuddin. Karena Indonesia mencari presiden, bukan pemimpin pesta.

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews