ADA cibiran yang pernah dilontarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk kalangan aktivis Islam. Bunyinya, "Blek ketekuk-tekuk, guru tabligh ambune penguk." (kaleng terlipat-lipat, guru mengaji baunya tak sedap). Kalimat itu seolah dijadikan jingle sebagai pencitraan tak sedap kalangan PKI terhadap kaum Muslim.
Kala itu, jangankan menyemarakkan dakwah seperti sekarang, untuk menunjukkan identitas Islam saja kaum Muslimin ketakutan. Citra Islam benar-benar hancur. Islam identik dengan miskin, kotor, tidak punya masa depan cerah dalam pekerjaan kecuali menjadi guru mengaji.
Citra seperti ini terus berlanjut meski Orde Lama berganti Orde Baru. Sampai-sampai, di pertengahan 80-90-an, umat Islam malu menunjukkan identitas, apalagi berjilbab.
Pelan-pelan citra itu berkurang tatkala lahir Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di akhir tahun 90-an. Harian Kompas-yang lahir dari institusi gereja--menyindirnya dengan tulisan berjudul "Ijo Loyo-loyo".
Tampilnya BJ Habibie, sejumlah pejabat negara, dan jenderal Muslim seperti Faisal Tanjung dan R Hartono (yang terang-terangan menggunakan simbol-simbol Islam) punya andil mengubah citra baru Islam di Indonesia. Sementara kelompok harakah Islam yang muncul pasca 1999, seperti tarbiyah (digambarkan dengan PKS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan sejumlah harakah lain masih "di bawah tanah".
Sekitar tahun 80-90-an, tidak ada perusahaan, institusi pemerintah, atau lingkungan militer yang menerima karyawati atau pegawai berjilbab. Sekarang, itu tidak terjadi lagi. Bahkan istri dan anak Jenderal (purn) Wiranto pun terang-terangan memakai jilbab. Jika itu terjadi di zaman LB Moerdani, bisa jadi Wiranto sudah "masuk kotak" dan tak akan mampu meraih pangkat jenderal.
Kekerasan Kata dan Simbol
Sepintas cibiran yang dilakukan PKI dan Kompas di atas kelihatan sepele. Namun sebenarnya ada pencitraan negatif terhadap Islam dalam kata-kata itu. Jika kriminolog asal Norwegia, Johann Galtung, pernah menggambarkan ada kekerasan struktural yang biasa digunakan penguasa, maka ini adalah "kekerasan kata-kata" (verbalistic violence).
Meminjam istilah Pramono dalam Bahasa dan Sastra Indonesia, Menuju Peran Transformasi Sosial Budaya Abad XXI (Yogyakarta, 2002), verbalistic violence adalah bentuk kekerasan dalam kata-kata atau berbahasa. Bahasa tak hanya digunakan sebagai alat komunikasi, namun juga untuk melakukan kekerasan yang kemudian dikenal dengan istilah kekerasan verbal.
Ada lagi istilah symbolic violence (kekerasan simbolik). Biasanya, kekerasan seperti ini targetnya selalu berkaitan dengan politik. Menurut Michel Foucault, biasanya kekerasan seperti itu difasilitasi media massa, terutama televisi. Menurut ilmuwan pengidap homoseksual itu, kekejaman seperti itu lahir dan langgeng karena memakai sistem kekuatan kata-kata, juga citra, yang sangat halus (soft domination), yang kehadirannya sering tak disadari.
Kekerasan verbal, terutama simbolik, beroperasi melalui ungkapan-ungkapan, baik visual atau kata-kata. Entah itu dalam film, sinetron, games, dan produk visual lain, atau dengan sebutan-sebutan yang kurang mengenakkan. Dan biasanya, kekerasan kata itu lebih menusuk hati dibanding kekerasan fisik.
Ingat, penyebutan "Islam modern", "Islam tradisional", "Islam Kota" dan "Islam Sarungan" di sekitar tahun 70-an, diakui atau tidak melukai perasaan kaum Nadhiyyin hingga memicu ketegangan dengan warga Muhammadiyah (ibaratnya) sampai tujuh turunan. Kalangan Nahdlatul Ulama kurang nyaman disebut "Islam tradisional" yang konotasinya kurang/tidak maju.
Cendekiawan dan Propaganda Kekerasan
Yang perlu dicermati, jika kekerasan verbal seperti itu dilakukan oleh orang-orang di luar Islam, seperti contoh PKI atau Kompas tadi, barangkali lebih jelas dengan siapa kaum Muslimin berhadapan. Masalahnya, seiring dibukanya kran kebebasan pers dan reformasi, produk kekerasan kata dan simbol itu justu datang dari kalangan yang disebut-sebut cendekiawan Muslim.
Beberapa tahun lalu, muncul istilah "preman berjubah". Istilah ini dipopulerkan oleh sekelompok orang yang menyebut dirinya Aliansi Masyarakat Anti Kekerasan, yang dimotori antara lain oleh artis Rieke Dyah Pitaloka dan Badriyah (anggota DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa).
Istilah itu tidak muncul dari kalangan non-Muslim. Bahkan ternyata pencetusnya adalah Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah (kala itu), Prof Dr Ahmad Syafi’i Ma’arif, yang menulis dalam rubrik Resonansi harian Republika (9 Agustus 2005). Istilah ini kemudian dipakai oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal (JIL) untuk melabeli aktivis Islam semisal dari HTI, Front Pembela Islam (FPI), MMI, PKS, atau elemen masyarakat yang ingin menegakkan syariat Islam.
Kekerasan itu kadang dikeluarkan sembarangan untuk mencari rasa aman atau enaknya sendiri. Misalnya, sebagian kalangan seenaknya membuat katagorisasi dengan menyebut dirinya "Islam modernis" dan demokratis, lalu menggolongkan pihak lain sebagai "Islam radikal", "militan", atau "fundamentalis" hanya karena tidak setuju Barat, tidak mau tunduk Barat atau anti paham demokrasi. Bahkan takut disebut "teroris", orang-orang itu ramai-ramai berebut menyebut diri "Islam moderat".
Atas hak siapa orang boleh atau tidak menyebut yang lain modern dan sebagian yang lain radikal? Apakah karena ada orang yang taat beribadah dan meyakini al-Qur`an paling benar lantas begitu saja disebut radikal atau tekstualis? Kalau boleh seenaknya melakukan katagorisasi seperti itu, mengapa yang lain tak boleh menyebut kelompok liberal sebagai Islam STMJ (shalat terus maksiat jalan) atau "Islam Karaoke" (kanan-kiri oke)?
Karena itu, bisa dipahami bila Ketua PP Muhammadiyah sekarang, Din Syamsuddin, menyebut kekerasan kata-kata lebih melukai daripada kekerasan fisik. Din mengatakan hal itu ketika menanggapi obrolan (alm) Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dilansir situs JIL, yang menyebut al-Qur`an sebagai kitab suci paling porno di dunia.
Salah satu bentuk kekerasan verbalistik adalah penyebutan 'wahabisme'. Istilah "wahabisme" juga dipopulerkan lagi oleh kalangan liberal untuk menyebut kelompok-kelompok yang berseberangan dengan mereka seperti Muhamadiyah, FPI, MMI, PKS, MUI, dan pihak-pihak lain. Awalnya, istilah ini dimunculkan oleh dedengkot JIL, Ulil Abshar Abdalla. Ternyata kurang laku, dan kemudian dikeluarkan lagi oleh liberalis lain, Abdul Moqsid Ghozali.
Sebutan itu muncul sesaat setelah berlangsung aksi sejuta umat Islam di bawah koordinasi MUI mendukung RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi. Harap hati-hati, penyebutan "wahabisme" itu bisa dimaksudkan untuk memecah dukungan NU dan Muhammadiyah yang sudah solid menolak pornografi. Tahun 1999, istilah itu menjadi momok kalangan NU ketika Gus Dur dijatuhkan oleh "poros tengah" dari kursi presiden.
Saat ini berbeda, istilah 'wahabi', seolah digunakan kalangan NU untuk ‘menyerang’ komunitas lain di luar NU. Seolah-olah semua di luar NU pasti Wahabi. Gerakan ini, belakangan ‘ditunggangi’ kalangan Syiah yang menumpang karena kepentingannya terganggu. Dengan menggunakan istilah ‘wahabi’, kaum Syiah di mana-mana melontarkan kesan seolah-oleh hanya ‘wahabi’ lah yang mengancam kepentingan Syiah. Padahal, NU dikenal paling keras melawan ideologi Syiah. Jadi di mana bedanya NU dengan Syiah jika masih terus menggunakan istilah ini? [baca wawancara Dr Anis Malik Thoha: Barat Diuntungkan atas Stigma Wahabi]
Menurut Ingris Bengis, ada lima format kekerasan kata-kata. Yaitu berwujud gosip dari rasa dengki (malicious gossip), kekerasan pasif (passive-aggression), sikap tidak konsisten (inconsistency), ketidaksopanan, dan amarah. Semua itu melahirkan kekerasan kata-kata.
Dalam terminologi psikologis, kekerasan kata-kata masuk dalam katagori agresi berupa perilaku bullying. Bullying secara verbal antara lain menuduh atau menyalahkan, mengritik dengan tajam dan menyakitkan, menjuluki, melecehkan, memfitnah, menyebarkan gosip, membentak-bentak, mengecilkan, menghina atau mendiamkan. Secara psikologis, bullying termasuk merendahkan, kasar, tidak sopan, mempermalukan di depan umum, dan mengucilkan.
Biasanya, pelaku bullying adalah orang-orang yang agresif, impulsif, dan kurang memiliki empati. Mereka umumnya juga memiliki kekuatan secara fisik dan emosional (Andrew Mellor). Dengan kata lain, memiliki kelainan psikologis alias kejiwaan.
Boleh jadi, luka akibat lidah justru melahirkan kekerasan baru-termasuk fisik--yang tak pernah henti. Oleh karena itu, sangat tidak layak seorang cendekiawan--apalagi mengaku Muslim-melontarkan istilah-istilah yang membuat pihak lain dan saudara-sauda Muslim lain terlukai. Kecuali seperti pendapat Mellor, bahwa pelakunya memiliki gangguan kejiwaan.*
0 comments:
Post a Comment