Wednesday, 20 February 2013

Barat Sebut Kata 'Fanatik' Ketika Gagal Menjajah Iman Umat Islam

FANATIK! Sudah kenyang telinga kita mendengar kata itu. Itu bukan lagi hal yang menggelitik. Namun lebih mirip sidang penghakiman sebuah 'kejahatan' bernama ghirah. Fanatik, lebih tepat ‘ketok vonis’ untuk menyudutkan orang-orang yang taat pada Islam.

Jika Nabi dihina terus kita marah, dicap fanatik. Jika ada pemurtadan di tengah saudara-saudara seiman, lantas kita bersura kera, kita fanatik. Bersuara, bersikap berarti fanatik.

Buya Hamka pernah berkata, “Jangan disebut-sebut juga hukum Islam itu di sini, negeri ini bukan negeri Islam. Negeri ini negeri Pancasila.”(Dari Hal Fanatik dalam Dari Hati ke Hati, Buya Hamka, Pustaka Panjimas. 2000 Jakarta). Maksudnya, kalau sebut-sebut hukum Islam, itu juga fanatik. Semburan tuduhan fanatik itu memang barang baru. Seperti lagu usang yang terus diputar berulang-ulang.

Kapan sesungguhnya sebutan itu muncul?

Tuduhan fanatik, kata KH Wahid Hasyim, justru ketika orang Barat merasa tak mampu menembus keteguhan pendirian kaum Muslim dengan hujjah.

“...timbulnya perkataan ta’asshub (fanatisme) di dalam kalangan Islam ialah setelah orang Barat,merasa tidak dapat menembus keteguhan pendirian umat Islam dengan cara hujjah, lalu menuduh ummat Islam adalah fanatic.“ (Fanatisme dan Fanatisme dalam Mengapa Saya Memilih NU?,KH. A. Wahid Hasyim. 1985. Inti Sarana Aksara. Jakarta)

Buya Hamka pun sejalan dengan beliau. Ia mengatakan, “Orang Barat menimbulkan kata fanatik, karena setelah mereka menancapkan penjajahan di negeri-negeri Islam, orang Islam itu melawan. Bergelimpangan bangkai mereka terhantar ditengah medan pertempuran, namun mereka masih tetap melawan. Dan meskipun telah beratus-ratus yang syahid , namun yang tinggal masih meneruskan perlawanan.”

Tuduhan seperti ini –yang semula hanya dilakukan oleh Barat yang dikenakan pada orang Islam-- hanyalah akal-akalan, tipuan semata.

“Bukan mereka sendirikah yang fanatik terhadap kebiasaan, kepercayaan, untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka sungguh luar biasa sekali? Jadi tuduhan orang Barat melemparkan kata-kata fanatik kepada umat Islam semata-mata seperti siasat perang, mengadakan tembakan-tembakan pancingan, dan dengan demikian dapat diketahui mana-mana yang lemah,” tukas KH Wahid Hasyim.

Sayang, justru saat ini sebagian orang Islam suka memakan pancingan ini. Suka mewarisi pusaka tuduhan bernama fanatik ini. Mereka orang-orang yang tak lain menggadaikan imannya. Menukar akidahnya dengan gelar modern, progressif, toleran, atau semacamnya. Menggeser kiblatnya pada Barat.

“…golongan modern ini ma’mum pada orang-orang Barat. dengan pendirian yang teguh pula. Sebenarnya mereka ini juga fanatik, akan tetapi tidak pada Islam, hanya kepada orang-orang Barat. Akan tetapi mereka juga tidak suka dinamakan fanatik, dan menamakan dirinya,’ modern’, ‘progressif,” begitulah sindir KH Wahid Hasyim. Senada dengan Wahid Hasyim, menurut Buya Hamka, mereka adalah yang tak memiliki ghirah dalam beragama.

“…orang yang ghirah agamnya sudah berkurang, yang tidak usah menyebut-nyebut lagi perbedaan halal dengan haram; lalu dia sudah sanggup berdiam diri saja melihat yang munkar menurut ajaran agamanya, dan dia pandai menyesuaiakan diri, barulah orang ini dapat pujian karena pandai menyesuaikan diri.” Padahal, menurut KH Wahid Hasyim, orang yang memegang teguh pendirian dengan pengertian, bukanlahta’assub (fanatik).

“Tetapi yang demikian itu adalah kesatriaan dan memegang dengan perasaan tanggung jawab yang penuh. “

Lantas apakah kita sekarang masih mau menjadi kerbau yang dicocok hidungnya karena takut dituduh fanatik? Masih bangga menjadi pewaris pusaka penjajah dengan turut melemparkan kata fanatik? Masih gamang terombang-ambing di lautan tuduhan fanatik?

“Bagaimana sekarang, wahai mereka yang disudut jiwanya masih ada sisa rasa tanggung jawab agama? Takutkah kalian dituduh fanatik? Kalau takut lebih baik berhenti jadi orang Islam. Lalu terima saja segala yang ada dalam kenyataan, dan jangan mulut mengatakan halal-haram,” tegas Buya Hamka.

Buya Hamka bahkan menyitir perintah Allah kepada Nabi Muhammad, “Katakanlah : Jikalau kamu memang mencintai Allah, hendaklah ikut aku,niscaya kamu akan dicintai Allah pula.” Selama kita mengikuti jalan Allah, pasti kita akan bersimpangan dengan mereka yang menentangnya. Mutlak akan bersinggungan dengan vonis fanatik.“

Sebab alat penuduh yang bernama fanatik itu masih tinggal di negeri ini, "untuk mengemplang kepala kita, (dengan) pusaka penjajah,” tukas Buya Hamka. Buya Hamka kemudian menegaskan, “Tuanku Imam Bonjol melawan Belanda adalah karena fanatik. Tengku Cik Ditiro melawan Belanda adalah karena fanatik, Pangeran Diponegoro melawan Belanda adalah karena fanatik. Semuanya adalah karena fanatik. Yang habis mati bertimbun mayat, menegakkan kemerdekaan adalah orang-orang fanatik. Kalau tak ada lagi orang-orang fanatik di negeri ini, maka segala sampah, segala kurap akan masuk kemari, tidak dapat ditahan-tahan. Sayangnya orang-orang yang mempertahankan yang munkar itulah sekarang yang dengan fanatik menantang tiap orang yang ingin menegakkan kebenaran dan keadilan. “

Maka kita amini doa beliau, “Ya Allah! Kalau lantaran karena cinta kepada-Mu dan Rasul-Mu, dan bercita-cita agar hukum-Mu, jalan dalam dunia ini; Kalau lantaran berani menentang segala yang bathil, kalau itu yang dikatakan fanatik, perdalamlah Ya Allah rasa fanatik itu dalam jiwa kami. Dan matikanlah kami dalam membuktikan cinta kepada Engkau!”

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews