Hidayatullah.com--Bedah buku “Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia” karya Qosim Nurseha Dzulhadi, di Masjid Nuruzzaman Unair Sabtu kemarin (17/02/2013) rupanya menjadi ajang para mahasiswa mempertanyakan masih adanya oknum liberal yang masuk ormas Islam.
KH. Abdurrahman Navis, Ketua Aswaja Center PWNU Jawa Timur yang ikut menjadi pembicara kedua bahwa dalam aturan organisasi NU, tidak boleh orang liberal menjadi pengurus.
“Qonun Asasi dan AD/ART Nahdhatul Ulama (NU) tidak mengajarkan paham liberalisme. Justru bertujuan mengamalkan syariat Islam,” tegas Kiai Navis saat menjawab pertanyaan salah satu peserta tentang masih bercokolnya oknum liberal di tubuh NU.
KH. Abdurrahman Navis yang juga ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur ini menolak jika NU menjadi wadahnya anak-anak liberal.
Ia menjelaskan, pada Muktamar NU di Makassar lalu misalnya, bahkan telah disusun tata tertip organisasi yang mensyaratkan bahwa pengurus NU tidak boleh ada yang liberal.
“Adapun jika masih ada, itu adalah oknum NU. Maka tugas kita adalah membersihkan,” tambahnya.
Kiai Navis menyebut oknum-oknum berpaham liberal itu dinilai gerakan ekstrim kiri yang menerima bantuan dana asing yang tidak sedikit.
Oknum tersebut bahkan dinilai telah masuk pada institusi perguruan tinggi dengan cara menggencarkan gerakan sekularisasi di kampus-kampus Islam yang dinilainya bermula saat IAIN mengubah haluan studinya pada tahun 70-an.
“Dulu berhaluan ke Universitas al-Azhar, tapi kemudian belok ke universitas di Barat,” terangnya.
Bedah buku yang diselenggarakan oleh Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya ini juga menghadirkan penulisnya, Qosim Nurseha Dzulhadi.
Qosim, yang juga almunus Al-Azhar Kairo dan ISID Gontor, sepakat dengan apa yang disampaikan Kiai Navis tentang gerakan liberalisme di Indonesia.
Menurutnya, ormas Islam memang harus bersih dari oknum-oknum liberal berkepentingan sesaat.
“Dalam Tatib di Muhammadiyah juga sama. Melarang orang liberal menjadi pengurus,” ujar Qosim yang pernah menjadi pengurus Muhamadiyah Cabang Kairo Mesir.
Ia juga meminta kaum Muslim Indoesia harus mengkaji pemikiran-pemikiran para pendiri ormas, agar jamaahnya paham bahwa pendiri ormas Islam anti-liberal.
“Kita perlu pemahaman lebih lanjut ke akar rumput tentang pemikiran KH. Hasyim Asyari pendiri NU dan KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Mereka tidak pernah mengajarkan liberalisme,” terang pria asal Medan itu.
Dalam keterangannya, paham liberalisme di Indonesia yang menjiplak dari kaum Shopist di Barat, itu sudah masuk ke akar rumput. Isunya bahkan terus bergulir dan tak berhenti hingga kini.
“Maka tugas ormas dan ulama kita memberi penjelasan lebih lanjut dengan bahasa yang bisa dipahami masyarakat akar rumput,” pungkasnya.*
KH. Abdurrahman Navis, Ketua Aswaja Center PWNU Jawa Timur yang ikut menjadi pembicara kedua bahwa dalam aturan organisasi NU, tidak boleh orang liberal menjadi pengurus.
“Qonun Asasi dan AD/ART Nahdhatul Ulama (NU) tidak mengajarkan paham liberalisme. Justru bertujuan mengamalkan syariat Islam,” tegas Kiai Navis saat menjawab pertanyaan salah satu peserta tentang masih bercokolnya oknum liberal di tubuh NU.
KH. Abdurrahman Navis yang juga ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur ini menolak jika NU menjadi wadahnya anak-anak liberal.
Ia menjelaskan, pada Muktamar NU di Makassar lalu misalnya, bahkan telah disusun tata tertip organisasi yang mensyaratkan bahwa pengurus NU tidak boleh ada yang liberal.
“Adapun jika masih ada, itu adalah oknum NU. Maka tugas kita adalah membersihkan,” tambahnya.
Kiai Navis menyebut oknum-oknum berpaham liberal itu dinilai gerakan ekstrim kiri yang menerima bantuan dana asing yang tidak sedikit.
Oknum tersebut bahkan dinilai telah masuk pada institusi perguruan tinggi dengan cara menggencarkan gerakan sekularisasi di kampus-kampus Islam yang dinilainya bermula saat IAIN mengubah haluan studinya pada tahun 70-an.
“Dulu berhaluan ke Universitas al-Azhar, tapi kemudian belok ke universitas di Barat,” terangnya.
Bedah buku yang diselenggarakan oleh Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya ini juga menghadirkan penulisnya, Qosim Nurseha Dzulhadi.
Qosim, yang juga almunus Al-Azhar Kairo dan ISID Gontor, sepakat dengan apa yang disampaikan Kiai Navis tentang gerakan liberalisme di Indonesia.
Menurutnya, ormas Islam memang harus bersih dari oknum-oknum liberal berkepentingan sesaat.
“Dalam Tatib di Muhammadiyah juga sama. Melarang orang liberal menjadi pengurus,” ujar Qosim yang pernah menjadi pengurus Muhamadiyah Cabang Kairo Mesir.
Ia juga meminta kaum Muslim Indoesia harus mengkaji pemikiran-pemikiran para pendiri ormas, agar jamaahnya paham bahwa pendiri ormas Islam anti-liberal.
“Kita perlu pemahaman lebih lanjut ke akar rumput tentang pemikiran KH. Hasyim Asyari pendiri NU dan KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Mereka tidak pernah mengajarkan liberalisme,” terang pria asal Medan itu.
Dalam keterangannya, paham liberalisme di Indonesia yang menjiplak dari kaum Shopist di Barat, itu sudah masuk ke akar rumput. Isunya bahkan terus bergulir dan tak berhenti hingga kini.
“Maka tugas ormas dan ulama kita memberi penjelasan lebih lanjut dengan bahasa yang bisa dipahami masyarakat akar rumput,” pungkasnya.*
0 comments:
Post a Comment