Jadi, untuk bergaul secara baik dengan tetangga kamu, caranya harus betul. Bila tetangga mampir untuk ngobrol denganmu, sambutlah dia dan ngobrollah. Jika dia belum shalat, tidak apa-apa. Kamu jangan mengolok-olok dia. Kamu jangan mengejek dia. Jika dia jatuh sakit, tengoklah, jika dia dalam kesusahan, bantulah, jika dia masuk angin, supaya dikeroki. Baiklah terserah bagaimana kamu akan benar-benar membantu. Akan tetapi itulah yang disebut sesrawungan ingkang sae. Ibu-ibu Aisyiyah dan bapak-bapak Muhammadiyah harus bisa melaksanakan ini - Pidato Bapak A.R. Fakhruddin, Ketua Muhammadiyah, 28 November 1971 di Kotagede – Yogyakarta ((Nakamura : 1983, hlm. 170).
Pidato Pak A.R. Fakhruddin yang diabadikan oleh seorang peneliti Jepang, Dr. Mitsuo Nakamura di atas menunjukkan bagaimana seharusnya orang Islam mendakwahkan agamanya melalui akhlak dan pergaulan yang santun dengan lingkungan sekitarnya. Pak A.R. Fakhruddin sangat paham, bahwa proses dakwah Islam di Indonesia, khususnya di Jawa adalah proses yang belum selesai. Pola bottom up Islamization telah menjadikan dakwah dan pengajaran sebagai ujung tombak penyiaran Islam di Jawa. Proses ini memang memerlukan waktu yang panjang, sehingga dikenal istilah kelompok abangan dalam masyarakat muslim di Jawa, yaitu mereka yang belum tersentuh dakwah secara instensif.
Perbedaan tingkat pemahaman ini di tengah masyarakat seringkali menjadi penyebab perpecahan sosial yang terkadang berujung pada konflik dan saling ejek satu sama lain. Atmosfir yang tidak kondusif bagi persatuan umat Islam ini, mungkin cukup terasa di kota Surakarta dan sekitarnya pada dekade belakangan ini. Seolah terjadi semacam pemisahan kultural yang tegas, antara mereka yang santri dengan yang abangan, tidak hanya dalam dunia ide dan gagasan tapi sudah sampai ke ranah sosial.
Oleh karena itu para ulama sepuh seperti Pak A.R. Fakhruddin, yang telah kenyang makan asam garam kehidupan dan terjun langsung ke dunia dakwah, senantiasa mengingatkan supaya ke Islaman kaum santri harus diwujudkan dalam keteladanan dalam pergaulan, bukan sebagai sarana kesombongan Iman yang justru menjauhkan dari mereka yang pemahaman keagamaannya masih lemah. Sebab pada dasarnya, untuk mewujudkan ajaran Islam yang begitu lengkap dan sempurna, tidak akan pernah ada suatu “journey’s end”. Tak akan pernah ada “kunjung berhenti” dan “kunjung akhir” dalam perjalanannya (Abdoelgani : 1980, hlm. 136). Sehingga dakwah adalah tugas abadi dalam sebuah masyarakat muslim.
Dalam hal cara berdakwah, Al Qur’an mengajarkan kepada kita untuk mengedepankan kelembutan, sebagaiman tercermin dalam firman-Nya, “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” [QS Ali Imran: 159]. Dalam kultur masyarakat muslim Jawa pada masa lalu, seorang ulama atau lazim disebut kyai adalah centre of excellence di tengah masyarakat. Ia dijadikan tempat bertanya tentang aneka permasalahan hidup, sampai melayani masyarakat untuk prosesi pernikahan, pengurusan jenazah dan berdo’a untuk aneka hajatan di tengah masyarakat. Sosoknya hadir melayani dan mengayomi semua lapisan masyarakat. Sehingga masyarakat Jawa baik itu priyayi maupun abangan di masa tuanya akan berubah menjadi santri yang rajin ke masjid. Sebab menjadi santri adalah bentuk ideal yang diinginkan setiap muslim di Jawa. Wallahu a’lamu bish Shawab
Pidato Pak A.R. Fakhruddin yang diabadikan oleh seorang peneliti Jepang, Dr. Mitsuo Nakamura di atas menunjukkan bagaimana seharusnya orang Islam mendakwahkan agamanya melalui akhlak dan pergaulan yang santun dengan lingkungan sekitarnya. Pak A.R. Fakhruddin sangat paham, bahwa proses dakwah Islam di Indonesia, khususnya di Jawa adalah proses yang belum selesai. Pola bottom up Islamization telah menjadikan dakwah dan pengajaran sebagai ujung tombak penyiaran Islam di Jawa. Proses ini memang memerlukan waktu yang panjang, sehingga dikenal istilah kelompok abangan dalam masyarakat muslim di Jawa, yaitu mereka yang belum tersentuh dakwah secara instensif.
Perbedaan tingkat pemahaman ini di tengah masyarakat seringkali menjadi penyebab perpecahan sosial yang terkadang berujung pada konflik dan saling ejek satu sama lain. Atmosfir yang tidak kondusif bagi persatuan umat Islam ini, mungkin cukup terasa di kota Surakarta dan sekitarnya pada dekade belakangan ini. Seolah terjadi semacam pemisahan kultural yang tegas, antara mereka yang santri dengan yang abangan, tidak hanya dalam dunia ide dan gagasan tapi sudah sampai ke ranah sosial.
Oleh karena itu para ulama sepuh seperti Pak A.R. Fakhruddin, yang telah kenyang makan asam garam kehidupan dan terjun langsung ke dunia dakwah, senantiasa mengingatkan supaya ke Islaman kaum santri harus diwujudkan dalam keteladanan dalam pergaulan, bukan sebagai sarana kesombongan Iman yang justru menjauhkan dari mereka yang pemahaman keagamaannya masih lemah. Sebab pada dasarnya, untuk mewujudkan ajaran Islam yang begitu lengkap dan sempurna, tidak akan pernah ada suatu “journey’s end”. Tak akan pernah ada “kunjung berhenti” dan “kunjung akhir” dalam perjalanannya (Abdoelgani : 1980, hlm. 136). Sehingga dakwah adalah tugas abadi dalam sebuah masyarakat muslim.
Dalam hal cara berdakwah, Al Qur’an mengajarkan kepada kita untuk mengedepankan kelembutan, sebagaiman tercermin dalam firman-Nya, “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” [QS Ali Imran: 159]. Dalam kultur masyarakat muslim Jawa pada masa lalu, seorang ulama atau lazim disebut kyai adalah centre of excellence di tengah masyarakat. Ia dijadikan tempat bertanya tentang aneka permasalahan hidup, sampai melayani masyarakat untuk prosesi pernikahan, pengurusan jenazah dan berdo’a untuk aneka hajatan di tengah masyarakat. Sosoknya hadir melayani dan mengayomi semua lapisan masyarakat. Sehingga masyarakat Jawa baik itu priyayi maupun abangan di masa tuanya akan berubah menjadi santri yang rajin ke masjid. Sebab menjadi santri adalah bentuk ideal yang diinginkan setiap muslim di Jawa. Wallahu a’lamu bish Shawab
0 comments:
Post a Comment