Seorang balita sedang berjalan kemudian terjatuh karena tersandung mainannnya sendiri. Si ibu pun datang dengan tergopoh-gopoh sambil memukul mainan si anak sambil mengatakan, “Oh...nakal ya jalan ini. Sudah nggak usah nangis, ini jalannya sudah dipukul sama mama.”
Ilustrasi di atas mudah dijumpai di sekitar kita. Bisa jadi itu keponakan, anak tetangga, anak kita sendiri atau bahkan masa kecil kita dulu. Sosok ibu yang penyayang, tak ingin anaknya terluka dan menangis. Ia pun mencari cara untuk menghentikan tangis anaknya tersebut. Ketemulah apa yang disangka penyebab tangis si anak yaitu mainan yang membuat anaknya terjatuh. Dipukulnya mainan tersebut dengan harapan si anak terdiam dari tangisnya.
Bunda, sadarkah bila sikap tersebut akan direkam dengan baik oleh anak kita? Hasil rekaman itu akan ditirukannya kelak bila si anak mendapati situasi yang mirip. Ketika sedang bermain bola bersama teman dan tanpa sengaja ada kaca yang pecah, maka anak akan mencari pihak yang bisa disalahkan. Hal yang kelihatannya sepele di masa kecil, terlihat bentuknya saat mereka besar. Tanpa sadar, kita mengajari anak untuk mencari kambing hitam atas kesalahan yang bisa jadi kesalahan bersama. Atau bisa juga karena kesalahannya sendiri.
Betapa sering ketika mengadakan acara dalam sebuah kepanitiaan, rapat yang seharusnya dijadikan ajang evaluasi menjadi tempat untuk menyalahkan masing-masing sie ketika terjadi kegagalan. Sie acara menyalahkan sie konsumsi karena kue kotaknya kurang. Sie konsumsi menyalahkan sie transportasi karena terlambat menjemput kue pesanan. Sie transportasi menyalahkan sie lainnya. Bila ketua panitia tidak bijak, dia pun ikut ambil bagian menyalahkan semua sie yang dianggap tidak becus bekerja. Semua mencari benar sendiri.
Inilah efek domino hasil pendidikan masa kecil yang tanpa sadar memengaruhi sikap seseorang ketika ia dewasa.
Tak heran, para pemimpin negeri ini pun saling tuding ketika mereka tertangkap basah sedang melakukan kesalahan. Jarang atau bahkan tak ada sama sekali yang dengan berani mengakui kesalahannya. Bahkan ibarat pungguk merindukan bulan berharap ada pejabat yang mau mundur karena malu dengan kesalahan yang diperbuatnya.
Bunda, kita semua ikut bertanggung jawab terhadap nasib negeri ini, bangsa ini. Harus ada perubahan dalam cara kita menyikapi permasalahan. Sebelum kita menularkannya ke anak-anak, seharusnya diri sendiri dulu yang berubah. Tidak mudah memang, tapi bisa kita usahakan.
Ketika anak terjatuh karena kurang hati-hati dalam berjalan, biarkan ia merasakan prosesnya dulu. Rasa sakit saat terjatuh, menangis dalam kesakitan itu, mencari sosok ibu yang siap menolongnya. Jangan cepat-cepat datang untuk menghiburnya apalagi menyalahkan atau memukul benda atau pihak lain. Ajari anak untuk tahu bahwa rasa sakit yang dialaminya itu akibat ia kurang berhati-hati. Katakan ini dengan suara lembut yang memberikan rasa aman. Berikan solusinya juga sehingga anak tidak larut dalam tangisnya.
“Adik jatuh, sakit ya? Tidak apa-apa. Anak hebat nangisnya tidak lama. Yuk, berdiri lagi. Sekarang, lebih berhati-hati ya jalannya.”
Kalimat penguatan semacam ini akan masuk ke dalam memori anak. Ia akan belajar mendefinisikan rasa dalam hal ini rasa sakit. Ia juga belajar konsep baru bahwa menangis boleh cuma tidak perlu lama atau bahkan berlarut-larut. Bila berjalan, ia akan berusaha berhati-hati agar tidak terjatuh lagi. Tidak ada satu pihak pun yang disalahkan dalam hal ini termasuk dirinya. Jatuh bukan kesalahan. Jatuh adalah proses pembelajaran. Dengan kalimat positif semacam ini diharapkan anak akan menjadi pribadi yang lebih baik dan tidak mudah menyalahkah orang lain dalam proses kehidupannya kelak.
0 comments:
Post a Comment