Tuesday, 8 July 2014

Bolehkah Kita Fanatis pada Golongan ?


Di masa sekarang ini, banyak dijumpai beraneka jamaah pengajian dan kelompok kajian agama. Mereka semua mengaku yang paling benar, sesuai dengan ajaran Islam dan berasa akan ahlu sunnah wal jama’ah. Ketika masing-masing mereka menganggap bahwa merekalah yang terbaik dan terbenar, tidak mau menerima kebenaran kelompok lain, menutup mata dari kesalahan kelompoknya sen diri dan menyangka bahwa merekalah yang paling berhak menerangkan berbagai perkara agama, akhirnya jadilah umat ini terfirqoh-firqoh. Lalu tanpa mereka sadari, perilaku dan perbuatan mereka itu telah menyeret mereka kepada kerusakan, perselisihan dan perpecahan. Dalam anggapan mereka, merekalah gudangnya kebenaran sedangkan selain mereka adalah gudang kekeliruan. Akhirnya dari perilaku seperti itu lahirlah fanatisme kelompok (ashobiyyah).

Padahal sikap fanatisme kelompok itu sangat diharamkan oleh Islam, lantaran perbuatan itu merupakan kebiasaan orang kafir/ musyrik dan dapat menimbulkan perselisihan, perpecahan dan permusuhan lalu pada akhirnya akan melemahkan kekuatan kaum muslimin. Sebagaimana dalil-dalil berikut ini, 

Dan janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah (kaum musyrikin), yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. [QS. ar-Rum/30: 31-32]. 

Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kalian saling berbantah-bantahan, yang akan menyebabkan kalian lemah dan hilangnya kekuatan kalian dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. [QS. Al-Anfal/ 8: 46].

Dari Jundub bin Abdullah al-Bajaliy radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang terbunuh di bawah bendera ummiyyah (kesesatan) yang disebabkan ia mengajak kepada ashobiyah atau dalam rangka menolong ashobiyah, maka matinya adalah mati jahiliyah”. [HR Muslim: 1850, an-Nasa’iy: VII/ 123 dan ath-Thoyalisiy. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [1] 

Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallahu anhu berkata, “Barangsiapa yang menolong kaumnya dengan alasan yang tidak benar maka ia seperti seekor unta yang terjatuh (ke dalam lobang) lalu ia diangkat dengan ekornya”. [Atsar riwayat Abu Dawud: 5117, 5118. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [2] 

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya Beliau bersabda, “Barangsiapa yang keluar dari ketaatan dan meninggalkan jamaah lalu ia mati maka matinya tersebut adalah mati jahiliyah. Barangsiapa yang berperang di bawah bendera ummiyyah yang ia marah karena membela golongan (fanatisme golongan) atau mengajak kepada golongan atau menolong golongan lalu ia terbunuh maka matinya tersebut adalah mati jahiliyah”… Dan seterusnya hadits. [HR Muslim: 1848, an-Nasa’iy: VII/ 123, Ibnu Majah: 3948 dan Ahmad: II/ 306, 488. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [3] 

Dari Jabir radliyallahu anhuma berkata, kami pernah berada dalam suatu peperangan (yaitu Bani al-Mushthaliq), lalu seseorang dari golongan Muhajirin melukai seorang dari golongan Anshor. Berkata orang Anshor, “Wahai orang-orang Anshor”. Dan berkata golongan Muhajirin, “Wahai orang-orang Muhajirin”. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mendengar perkataan itu lalu bersabda, “Apakah dengan seruan-seruan Jahiliyyah (kalian menyeru)?, (padahal aku masih berada di tengah-tengah kalian)”. Mereka berkata, “Wahai Rosulullah, seorang dari golongan Muhajirin melukai seseorang dari golongan Anshor”. Lalu Beliau bersabda, “Tinggalkanlah ia, karena sesungguhnya ia busuk baunya’. [HR al-Bukhoriy: 4905, Muslim: 2584 dan at-Turmudziy: 3315. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Shahih]. [4]

Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menegur para shahabat Muhajirin dan Anshor radliyallahu anhum karena mereka meneriakkan seruan-seruan jahiliyah. Yaitu ucapan ‘Ya lal Anshor’ dan ‘Ya lal Muhajirin’, yang merupakan kalimat pengagungan bagi kaum atau golongan mereka masing-masing. Jika dua kelompok paling mulia ini saja dilarang untuk saling membanggakan kelompoknya masing-masing maka bagaimana dengan kelompok atau golongan yang lainnya. Rosulullah memerintahkan kedua kelompok mulia itu untuk meninggalkan budaya tersebut karena termasuk kebiasaan jahiliyah dan Beliau menyebutnya dengan sesuatu yang baunya busuk.

Jika dalam suatu tempat tercium bau busuk yang sangat menyengat, maka orang-orang yang berada disekitarnya niscaya akan pergi dan membubarkan diri meninggalkan tempat tersebut tanpa diperintah dan dikomando oleh orang lain. Namun dengan seruan kebanggaan jahiliyah, masih banyak di antara umat manusia bahkan umat Islam yang saling menyeru dan meneriakkannya dengan lantang tanpa perasaan bersalah. Terkadang orang-orang itu merasa sudah berbuat yang sepatutnya dan benar tindakan mereka.

Padahal sudah berapa banyak kehancuran yang menimpa umat manusia, yang disebabkan perang antar suku, ras dan golongan di berbagai tempat di belahan dunia dan bahkan di Indonesia ini. Banyak manusia terbunuh, rumah hancur porak poranda, gedung-gedung untuk layanan masyarakat dan kendaraan-kendaraan pribadi atau pemerintah yang ikut jadi korban. Hal itu karena masalah ashobiyah atau fanatik kesukuan yang sangat kental di sisi manusia.

Begitupun umat Islam yang kebanyakan mereka sangat fanatik dengan madzhab, partai, kelompok pengajian ataupun para ustadz mereka. Banyak di antara mereka yang terkadang lebih fanatik kepada madzhab dan golongannya daripada fanatiknya mereka kepada Islam. Mereka lebih fanatik kepada ustadz mereka daripada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Subhanallah. [5]

Padahal jika ditanyakan kepada mereka, ”Dahulu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berpegang kepada madzhab apa?”. Dan begitu pula para Shahabat seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Usamah bin Zaid, Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan selain mereka radliyallahu anhum, apakah madzhab yang mereka anut?. Niscaya mereka tidak akan pernah mendapatkan satu dalilpun di dalam alqur’an dan hadits-hadits shahih tentang hal itu. Mereka hanya akan jumpai dalil-dalil itu dari ucapan para ustadz mereka untuk membela pemahaman mereka yang rapuh lagi goyah.

Bahkan para Imam yang empat itupun dahulu mereka tidak pernah saling bermadzhab kepada seseorang di antara mereka dan tidak ada satupun ucapan mereka yang mengajak umat Islam dan pengikutnya untuk bermadzhab kepada mereka. Dan yang ada malah kebalikannya, yaitu mengajak mereka untuk selalu berpijak dan berpihak kepada sumber pengajaran Islam yaitu Alqur’an dan hadits-hadits yang shahih.

Demikianlah larangan bagi umat Islam, dari dakwah atau menyeru kepada ashobiyah (fanatik golongan), bangga dengan ashobiyah, marah karena membela ashobiyah dan menolong lantaran ashobiyah. Dan mereka juga dilarang untuk masuk ke dalam madzhab atau golongan dan fanatik terhadapnya, yang akan menyebabkan umat Islam tercerai berai, lemah dan tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi musuh. Lalu jika mereka mati atau terbunuh di bawah bendera kesesatan tersebut maka matinya mereka itu adalah mati jahiliyah, yaitu mati diluar manhaj Islam.

Berkata asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hafizhohullah, [6] “al-Firqoh an-Najiyah (golongan yang selamat) itu tidak pernah ta’ashshub atau fanatik (kepada kelompok manapun) kecuali kepada firman Allah Subhanahu wa ta’ala dan sabda Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam yang ma’shum, yang tiada berkata-kata dari hawa nafsunya. Adapun manusia selainnya kendatipun tinggi derajatnya tentulah ia berdosa, karena sabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam nash berikut ini,

Dari Anas radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Semua anak Adam itu berdosa, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah orang yang bertaubat”. [HR Ahmad: III/ 198, at-Turmudziy: 2499, Ibnu Majah: 4251, ad-Darimiy: II/ 303 dan al-Hakim: 7691. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: Hasan]. [7]

Jika demikian, pantaskah manusia selain Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam untuk diikuti dan diteladani segala perkataan dan perbuatannya. Padahal telah nyata dalilnya yang jelas mengenai ketidaksuciannya mereka dari dosa-dosa. Tegasnya, andaikan ada seseorang selain Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berkata. Maka tidak akan terjamin mengenai benar atau salahnya, pun demikian perbuatannya. Benar dan salahnya tingkah laku dan ucapan seseorang itu mesti diukur dengan alqur’an dan sunnah. Jika sesuai dengan keduanya maka kebenaran itu landasan berpijaknya dan jika berselisih, batillah segala tingkah laku dan perkataannya. 

Dari Abdullah bin Amr bin al-Ash radliyallahu anhu berkata, “aku senantiasa mencatat (menulis) segala sesuatu yang aku dengar dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Aku bertujuan untuk menghafalnya. Lalu orang-orang Quraisy melarangku dan berkata, “Apakah engkau selalu mencatat semua yang engkau dengar (darinya) sedangkan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam adalah seorang manusia yang berbicara dengan rasa marah dan senang”. Lalu akupun menghentikan dari mencatatnya. Maka aku ceritakan hal tersebut kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Lalu Beliau berisyarat dengan jarinya ke mulutnya seraya bersabda, “Catatlah, demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggaman tangan-Nya, tidaklah keluar darinya (di dalam satu riwayat, tidaklah keluar dariku) kecuali kebenaran”. [HR Abu Dawud: 3646, Ahmad: II/ 162, 192, ad-Darimiy: I/ 125 dan al-Hakim. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [8]

Jika Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam berbicara dan mengerjakan sesuatu pastilah suatu kebenaran, karena Beliau tidak pernah berbicara dan berbuat sesuatu itu dari dasar hawa nafsunya. Dan semua yang diucapkan ataupun yang dikerjakannya itu berdasarkan wahyu yang diwahyukan kepadanya (lihat QS. An-Najm/ 54: 3-4). Sehingga pantaslah jika kita sebagai umatnya untuk ashobiyah atau fanatik kepadanya. Namun selain Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, apakah dijamin setiap perkataan dan perbuatannya itu adalah kebenaran. Apalagi jika ia jauh dari bimbingan alqur’an dan sunnah serta pemahaman para ulama yang meniti jalan bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabat radliyallahu anhum?.

Oleh karena itulah, para Imam yang empat rahimahumullah telah mewasiatkan kaum muslimin supaya tidak taklid dan fanatik kepada mereka, namun meletakkan ittiba’ dan fanatik kepada Allah Subhanahu wa ta’ala (Alqur’an) dan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam (hadits-haditsnya yang shahih), di dalam beberapa ucapan mereka berikut ini,

A. al-Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata,

1). Apabila aku berkata satu perkataan yang menyelisihi kitabullah (Alqur’an) dan khabar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam (hadits), maka tinggalkanlah perkataanku.[9]

2). Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami selama ia tidak mengetahui dari mana kami telah mengambilnya. [10]

3). Haram bagi seseorang yang tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa dengan perkataanku. [11]

4). Celakalah engkau wahai Ya’kub (yaitu Abu Yusuf). Janganlah engkau selalu mencatat semua yang kamu dengar dariku. Karena aku pada hari ini berpendapat dengan suatu pendapat namun aku akan meninggalkannya esok. Atau aku esoknya berpendapat suatu pendapat lalu lusanya aku meninggalkannya pula. [12] 5). Apabila hadits itu shahih maka ia adalah madzhab (pendirian)ku. (Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 46).

B. al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata,

1). Aku ini hanyalah manusia, bisa salah dan bisa juga benar. Oleh sebab itu perhatikanlah pendapatku itu dengan seksama. Maka semua yang sesuai dengan alqur’an dan sunnah maka ambillah. Dan semua yang tidak sesuai dengan Alqur’an dan sunnah maka tinggalkanlah. [13]

2). Tidak ada seseorang sesudah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang diambil dan ditinggalkan kecuali Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. [14]

C. al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

1). Apabila kalian mendapatkan di dalam kitabku ada yang menyelisihi sunnah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam maka hendaklah kalian berkata dengan sunnah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan tinggalkan apa yang telah aku katakan. Di dalam satu riwayat: Maka ikutilah sunnah tersebut dan janganlah kalian berpaling kepada perkataan seseorang. [15]

2). Kaum muslimin telah berijmak bahwasanya orang yang telah jelas baginya satu sunnah dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya lantaran pendapat seseorang. [16]

3). Setiap persoalan yang telah shahih hadits tentangnya dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam menurut ahli naql (ahli hadits) yang berselisih dengan apa yang kukatakan. Maka aku merujuk kepadanya di masa hidupku dan setelah kematianku. [17]

4). Apabila kalian melihat aku mengatakan suatu perkataan sedangkan telah shahih dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang menyelisihinya maka ketahuilah bahwasanya telah hilang akalku. [18]

5). Semua yang kukatakan sedangkan yang shahih dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyelisihi ucapanku maka hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah yang lebih utama. Janganlah kalian taklid kepadaku. [19]

6). Semua hadits dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam adalah merupakan ucapanku meskipun kalian tidak mendengarnya dariku. [20]

D. al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,

1). Janganlah kalian taklid kepadaku, jangan pula taklid kepada Malik, asy-Syafi’i, al-Awza’iy dan juga ats-Tsauriy. Tetapi ambillah dari arah mana mereka mengambil.[21]

2). Pendapat al-Awza’iy, pendapat Malik dan pendapat Abu Hanifah, semuanya itu hanyalah pendapat. Di sisiku semuanya itu sama. Hujjah itu hanyalah ada pada atsar.[22]

3). Berkata Abu Dawud, Aku pernah bertanya kepada Imam Ahmad, ”Apakah al-Awza’iy itu pengikut Imam Malik?”. Ia menjawab, ”Janganlah engkau taklid kepada seseorang dari mereka di dalam agamamu. Apa yang datang dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya maka ambillah”. [23]

4).Sebahagian dari minimnya pemahaman seseorang terhadap agamanya adalah ia taklid kepada orang-orang di dalam agamanya. [24]

5). Barangsiapa yang menolak hadits Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam maka berarti ia berada di tepi jurang kebinasaan. [25]

Tiadakah hikmah dan faidah sabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan ucapan para imam tersebut bagi segenap umat Islam, khususnya para dai?. Sehingga masih terlihat gejala dan penyakit fanatik golongan ini pada mereka. Karena gejala dan penyakit fanatik golongan ini biasanya timbul dari sikap para dai yang menyeru dan mengajak umat ini kepada kefanatikan suatu golongan tertentu yang mereka anut. Belumkah mereka membaca nash-nash di atas ataukah mereka berpura-pura tidak tahu?. Gejala dan penyakit ashobiyah (fanatik golongan) ini biasanya dilahirkan pula oleh sikap kaum muslimin yang berlebih-lebihan terhadap ustadz, guru ataupun para imam mereka. Sehingga mereka berasumsi bahwa hanya ustadz dan imam mereka sajalah yang benar dan berhak untuk menyampaikan kebenaran. Sedangkan orang selainnya adalah tidak benar dan tidak pantas untuk menyampaikan kebenaran dan jikapun benar itupun harus seidzin dan sepengetahuan ustadz dan imam mereka, walaupun orang yang menyampaikannya itu benar-benar menyampaikan kebenaran dari alqur’an dan hadits yang shahih. Iblis la’natullah alaihi saja yang telah jelas kesesatannya mengatakan, ”Aku adalah termasuk orang-orang yang memberikan nasihat” (QS. al-A’raf/ 7: 21), ketika menggelincirkan nabi Adam alaihi as-Salam dan istrinya dari surga. Apalagi manusia yang merasa benar dan tidak mengetahui kesesatannya tentu dengan penuh keyakinan juga akan mengatakan, ”Aku adalah termasuk orang-orang yang memberikan nasihat dan yang menyampaikan kebenaran”. Takkan ada orang yang tahu akan aib dirinya sendiri jika tidak mengaca kepada cermin. Pun demikian tiada orang yang akan tahu akan kesalahan dan kesesatan dirinya jika ia tidak mau mengaca kepada kitabullah dan sunah Rosul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam.

Fanatik atau ashobiyah golongan ini jika dibiarkan mengendap di dalam sanubari seseorang dari kelompok tersebut, maka sikap ini akan menimbulkan kesombongan dan kebanggan kepada kelompoknya tersebut. Dan tak aneh jika ada di antara mereka yang marah sebab membela kelompoknya lantaran ashobiyah, rela mati sebab mempertahankan ashobiyah dan ia akan berkata dengan pebuh kebanggaan kepada selainnya, ” ana khoirum minka” (aku lebih baik darimu) atau ”nahnu khoirum minkum” (kami lebih baik dari kalian). Tidakkah perkataannya itu sama dengan perkataan Iblis la’natullah alaihi ketika ia berkata, “ana khoirum minhu” (aku lebih baik darinya) (QS. Shaad/ 38: 76 dan QS. al-A’raf/ 7: 12 ). Padahal Allah Subhanahu wa ta’ala telah melarang seseorang hamba untuk mengatakan bahwa dirinya itulah yang terbaik, yang terpandai dan menganggap dirinya suci atau bersih dari kesalahan-kesalahan. Yakni firman-Nya, ”dan janganlah kalian menganggap diri kalian suci.” (QS. an-Najm/ 53: 32). 

Dari Umar bin al-Khoththob radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Islam itu akan unggul sehingga para pedagang akan berselisih di lautan, dan sehingga akan ada kuda yang berbicara pada jalan Allah. Kemudian akan muncul suatu kaum yang membaca alqur’an seraya berkata, “Siapakah orang yang paling pandai membaca (alqur’an) dari kami? Siapakah yang paling berilmu dari kami? Siapakah yang lebih mengerti hukum dari kami?”. Kemudian beliau bersabda kepada para shahabatnya, “Apakah pada mereka itu ada kebaikan?”. Mereka menjawab, “Allah dan rosul-Nya-lah lebih mengetahui. Beliau bersabda, “Mereka itu adalah dari golongan kalian dari umat ini dan mereka itu adalah bahan bakarnya neraka”. [HR ath-Thabraniy didalam al-Awsath dan al-Bazzar dengan sanad tiada cacat dengannya. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hasan]. [26]

Masihkah diragukan lagi berita yang telah dibawa oleh utusan Allah ini, padahal berita tersebut adalah merupakan salah satu dari tanda-tanda kenabian yang akan berlaku dan terjadi di dunia ini. Bahwa akan akan ada di antara umat Islam ini yang membaca Alqur’an hanya untuk kebanggaan dan kesombongan belaka. Sehingga ia merasa bahwa dirinyalah yang paling pandai di dalam membaca Alqur’an, paling berilmu dan paling mengerti tentang hukum dari selainnya, sedangkan ia adalah merupakan bahan bakarnya neraka Jahannam. Ma’adzallah. 

Dari Abdullah bin Abbas radliyallahu anhuma dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Benar-benar akan tampak jelas keimanan itu, sehingga kekufuran akan dikembalikan ke tempat-tempatnya. Dan sungguh-sungguh akan diperbincangkan lautan itu dengan Islam. Dan benar-benar akan datang suatu masa atas manusia, yang pada masa tersebut mereka akan mempelajari alqur’an, mereka mempelajari dan membacanya, kemudian mereka akan berkata, ”Sungguh-sungguh kami telah membaca dan mengetahui, maka siapakah orang yang lebih baik dari kami? Maka apakah pada mereka itu ada kebaikan?”. Mereka bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rosulullah?”. Beliau menjawab, “mereka itu adalah termasuk kalian dan mereka itu adalah bahan bakarnya api neraka”. [HR al-Imam ath-Thabraniy di dalam al-Kabir. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: sanad hadits ini adalah hasan .

Dengan nash hadits ini belumkah cukup bagi mereka untuk menghentikan diri mereka dari mengagul-agulkan dan mengagung-agungkan diri sendiri dan bahkan menganggap bahwa hanya dirinyalah yang paling pandai dan paling benar. Padahal sebagaimana telah dijelaskan bahwa ukuran benar dan salah serta baik dan buruknya seseorang itu bukan di ukur dari penilaian manusia secara mayoritas. Tetapi yang menjadi barometer penentu bagi seseorang itu apakah berpijak kepada kebenaran ataukah kepada kebatilan dan apakah ia orang baik ataukah seorang yang buruk, itu adalah alqur’an dan sunnah yang telah tsabit dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam. Jika ia sesuai dengan keduanya, maka kepada kebenaran ia berpijak dan ia adalah orang yang shalih. Tetapi apabila ia menyelisihi keduanya maka kepada kebatilanlah ia berpihak dan ia adalah seorang yang thalih (buruk).

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhohullah pernah ditanya, “Apa hukum bagi seseorang yang mencintai seorang ulama atau da’i, hingga ia berkata, ‘Sesungguhnya aku sangat mencintainya. Aku tidak ingin seorang pun membantahnya, dan aku mengambil perkataannya meskipun ia menyelisihi dalil, karena syaikh tersebut lebih mengetahui dalil daripada kita’ ?”.

Beliau hafizhohullah menjawab, “Sikap ini merupakan kefanatikan (ta’ashub) yang dibenci lagi tercela, tidak diperbolehkan.

Kita mencintai ulama – walillahil-hamd – , dan mencintai da’i yang menyeru di jalan Allah Azza wa Jalla. Akan tetapi jika salah seorang di antara mereka terjatuh dalam kesalahan dalam satu permasalahan, maka kita menjelaskan kebenaran dalam permasalahan ini dengan dalil. Hal itu sama sekali tidaklah mengurangi kecintaan kita pada orang yang dibantah, dan tidak pula mengurangi kedudukannya.

Al-Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidaklah seorang pun dari kita kecuali orang yang membantah atau yang dibantah, kecuali pemilik kubur ini” – yaitu Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

“Apabila kita membantah sebagian ulama dan sebagian fudlala’ tidaklah bermakna kita membencinya atau merendahkannya. Kita hanyalah menjelaskan kebenaran. Oleh karenanya sebagian ulama berkata ketika sebagian rekannya terjatuh dalam kesalahan, ‘Fulan adalah orang yang kami cintai, akan tetapi kebenaran lebih kami cintai daripadanya’. Inilah jalan yang benar.

Janganlah kalian memahami bahwa bantahan terhadap sebagian ulama dalam permasalahan yang mereka jatuh dalam kekeliruan bermakna perendahan atau kebencian. Bahkan para ulama senantiasa memberikan bantahan sebagian terhadap sebagian yang lain, dalam keadaan mereka saling bersaudara dan mencintai.

Tidak boleh bagi kita mengambil semua yang diucapkan seseorang secara total, baik benar ataupun salah, karena ini merupakan sikap fanatik (ta’ashub).

“Yang diambil semua perkataannya tanpa ditinggalkan sedikitpun adalah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, karena beliau orang yang menyampaikan (risalah) dari Rabbnya, tidak berkata dengan hawa nafsu. Adapun orang selain beliau Shallallahu alaihi wa sallam, bisa benar dan bisa juga salah, meskipun ia adalah seutama-utama manusia. Mereka (para ulama) adalah para mujtahid yang bisa benar dan bisa salah.

Tidak ada seorang pun yang ma’shum dari kesalahan, kecuali Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam.

Wajib bagi kita untuk mengetahui permasalahan ini. Kita tidak membicarakan kesalahan dikarenakan kecintaan terhadap seseorang. Namun wajib bagi kita menjelaskan kesalahan tersebut.

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, ((“Agama adalah nasihat”. Kami bertanya, “Untuk siapa ?”. Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rosul-Nya, para imam kaum muslimin, dan kaum muslimin pada umumnya”)).

Menjelaskan kesalahan termasuk nasihat bagi semua. Adapun menyembunyikannya, maka itu menyelisihi nasihat tersebut di atas”. [Selesai perkataan asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan rahimahullah]. [27]

Singkatnya, seorang dai itu hanyalah berkewajiban mengajak umat Islam ini agar mereka beribadah dan mengabdi kepada Allah Subhanahu wa ta’ala semata untuk mendapatkan ampunan dan keridloan-Nya, dengan cara mengikuti dan menteladani petunjuk Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam melalui dua nara sumber umat Islam yaitu Alqur’an dan hadits-hadits shahih. Di sisi lain, iapun berkewajiban membongkar dan memerangi praktek-praktek bid’ah dan ashobiyah atau fanatik golongan yang terlarang menurut syariat. Lalu menerangkan sejelas-jelasnya kepada umat Islam mengenai bahaya dan akibatnya bagi orang-orang yang mengerjakannya dengan cara mengungkapkan illat (cacat)nya hadits-hadits lemah, palsu atau yang tidak ada asalnya yang dijadikan sandaran amalan orang-orang yang mengerjakannya, dan mengenai hal ini mesti merujuk kepada para ahli hadits. Atau meletakkan kembali kedudukan dari hadits-hadits shahih yang disalah-artikan atau diselewengkan dari pemahaman yang sebenarnya oleh sebahagian dari mereka untuk kepentingan pribadi atau golongannya. Hal tersebut biasanya disebabkan karena mereka lebih mendahulukan dan mengutamakan pendapatnya sendiri dan juga para pendahulu mereka yang sepaham, dengan menomorduakan bahkan meninggalkan penjelasan para ulama salafus shalih dari kalangan para shahabat, tabi’in dan atba’ut tabi’in yang mereka itu telah diabadikan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits-hadits terdahulu sebagai tiga generasi yang terbaik dari umat ini.

Tindakan lain yang mesti dilakukan oleh seorang dai adalah mengungkapkan dan memunculkan kembali hadits-hadits shahih yang disembunyikan dan dikubur rapat-rapat oleh mereka atau mungkin karena mereka memang tidak tahu dan buta terhadap hadits-hadits shahih tersebut dan mereka tidak mau tahu untuk mempelajarinya, sehingga sering dijumpai pada kebanyakan umat Islam ini bahkan para ustadz dan ustadzahnya yang tidak memahami arti dari hadits shahih, hasan, dla’if, maudlu dan munkar. Juga mereka tidak mengerti tentang pengertian bid’ah, ashobiyah, syirik, tauhid rububiyyah, uluhiyyah dan asma dan sifat, nifak, hijrah dan lain sebagainya secara jelas dan benar. Maka terjadilah ketentuan Allah Azza wa Jalla bahwa Islam itu akan kembali asing sebagaimana telah dikhabarkan oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam beberapa riwayat hadits berikut ini, 

Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Islam itu awalnya adalah asing dan akan kembali asing sebagaimana mulanya maka beruntunglah bagi orang-orang yang terasing”. [HR Muslim: 145 dan 146 dari Ibnu Umar, Ahmad: I/ 398 dari Ibnu Mas’ud, at-Turmudziy: 2629 dari Ibnu Mas’ud, 2630 dari Auf, Ibnu Majah: 3986 dari Abu Hurairah, 3987 dari Anas, 3988 dari dari Ibnu Mas’ud dan ad-Darimiy: II/ 311-312 dari Ibnu Mas’ud. Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: shahih]. [28]

Di dalam satu riwayat, Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah orang-orang yang terasing itu wahai Rosulullah?”. Beliau menjawab, “Yaitu orang-orang yang shalih ditengah-tengah rusaknya manusia”. [Berkata asy-Syaikh al-Albaniy: hadits ini dikeluarkan oleh Abu Amr ad-Daniy dari Ibnu Mas’ud dengan sanad yang shahih]. [29]

Berkata al-Allamah Ibnu Qoyyim al-Jauziyah rahimahullah, “Kaum mukminin itu minoritas di antara manusia, para ulama itu juga minoritas di antara kaum mukminin dan mereka juga minoritas di antara para ulama. Maka dari sebab itu, waspadalah terhadap tipuan ini yang telah menipu kaum bodoh. Karena mereka mengatakan, seandainya mereka di atas kebenaran maka tidak mungkin mereka itu menjadi kelompok yang tersedikit di antara manusia”, sedangkan manusia menyelisihi mereka.[30]

Dari sebab itu, wahai saudara-saudaraku tercinta marilah kita mempelajari dan mengenal Islam yang telah menjadi agama kita dengan benar secara berkesinambungan. Dengan berpijak kepada alqur’an dan hadits-hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam yang shahih melalui pemahaman para ulama salafush shalih (para shahabat, tabi’in dan Atba’ at-Tabi’in serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka). Jauhilah sifat dan sikap fanatik (ashobiyah) dan taklid kepada seseorang ataupun kelompok manapun karena hal tersebut akan memicu kepada perselisihan, pertikaian dan permusuhan di antara kita. Maka rugilah kita di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.

[1] Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3835, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6442 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 433.

[2] Shahih Sunan Abu Dawud: 4270, 4271, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6575 dan Misykah al-Mashobih: 4904.

[3] Mukhtashor Shahih Muslim: 1232, Shahih Sunan an-Nasa’iy: 3834, Shahih Sunan Ibni Majah: 3190, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 6227, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 983 dan Iqtidlo’ ash-Shirath al-Mustaqim halaman 74.

[4] Mukhtashor Shahih Muslim: 1811 dan Shahih Sunan at-Turmudziy: 2641.

[5] Lihat http://muslim.or.id/manhaj/wajibkah-kita-bermadzhab.html


[6] Majmu’ah ar-Rosa’il at-Taujihat al-Islamiyyah halaman 159.


[7] Shahih Sunan at-Turmudziy: 2029, Shahih Sunan Ibni Majah: 3428, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 4515 dan Misykah al-Mashobih: 2341.


[8] Shahih Sunan Abi Dawud: 3099, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1196 dan Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1532.


[9] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam oleh asy-Syaikh al-Albaniy halaman 48, Fat-h al-Majid halaman 468 dan Majmu’ah Rosa’il at-Taujihat al-Islamiyah oleh asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu halaman 35.


[10] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 46 dan ar-Rosa’il as-Salafiyyah oleh al-Imam asy-Syaukaniy halaman 207.


[11] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 47.


[12] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 47.


[13] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 48, Majmu’ah Rosa’il at-Taujihat al-Islamiyah halaman 135 dan ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 208, 215.


[14] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 49.


[15] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 26, ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 216, Diwan al-Imam asy-Syafi’iy halaman 57, 64, Mukhtashor ash-Showa’iq al-Mursalah oleh al-Allamah Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah tahqiq Sayyid Ibrahim halaman 519, Fat-h al-Majid halaman 468 dan Taysir al-Aziz al-Hamid halaman 487.


[16] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 50.


[17]Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 51-52, Mukhtashor ash-Showa’iq al-Mursalah halaman 519, dan ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 216.


[18] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 52 dan Diwan al-Imam asy-Syafi’iy halaman 64.


[19] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 52 dan ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 216-217.


[20] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 52 dan Diwan al-Imam asy-Syafi’iy halaman 63.


[21] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 53, ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 220 dan I’lam al-Muwaqqi’in: II/ 201.


[22] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 53.


[23] Ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 219-220 dan I’lam al-Muwaqqi’in: II/ 201.


[24] Ar-Rosa’il as-Salafiyyah halaman 220, Majmu’ at-Tauhid halaman 188, I’lam al-Muwaqqi’in: II/ 201 dan Mukhtashor Jami’ Bayan al-Ilmi halaman 116.


[25] Shifat Sholat an-Nabiy Shallallahu alaihi wa sallam halaman 53.


[26] Shahih at-Targhib wa at-Tarhib: 131 dan al-Kaba’ir oleh asy-Syaikh Muhammad at-Tamimiy halaman 65.


[27] Dinukil dari kitab al-Ajwibat al-Mufidah ‘an As’ilat al-Manahij al-Jadidah min Ijabat Ma’aliy Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal. 163-164, Dar al-Minhaj, Cet. 3/1424 H, dengan catatan kaki yang diberikan oleh Jamal bin Furaihan Al-Haritsiy – 14041434/24022013. Lihat http://abul-jauzaa.blogspot.com/2013/02/fanatik-pada-ustadz-atau-ulama.html, dengan dibuang tulisan bahasa Arabnya.


[28] Mukhtashor Shahih Muslim: 72, Shahih Sunan at-Turmudziy: 2120, Shahih Sunan Ibni Majah: 3221, 3222, 3223, Shahih al-Jami’ ash-Shaghir: 1580, 1581, Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1273 dan Misykah al-Mashobih: 159, 170.


[29] Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah: 1273.


[30] Miftah Dar as-Sa’adah halaman 176.

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews