Thursday, 17 April 2014

Libatkan Vatikan, Blunder Fatal Jokowi di Istana Jacob


Kesalahan pertama adalah terlibatnya Amerika Serikat, melalui duta besarnya Robert O. Blake dalam pertemuan itu. Dalam pandangan saya, kalau pun PDI Perjuangan memandang faktor AS itu begitu signifikan, sikap ‘sumerah’ tersebut tidaklah harus dibuat setelanjang itu ke publik.

Menjadikannya hanya sebagai ‘rahasia dapur’ tentu saja lebih elok untuk nama besar PDIP yang biasa menampilkan retorika-retorika kemandirian dan anti-asing khas Bung Karno itu di mata public.

Bagi saya, sebagaimana ‘faktor militer’, ‘faktor AS’ hanyalah mitos yang entah mengapa tanpa reserve kita pertahankan. Seolah, tanpa dukungan AS, tak mungkin seseorang bisa menjadi presiden Indonesia.

Mungkin ada benarnya, mengingat fakta sejarah seputar penurunan Bung Karno, naiknya Soeharto dan seterusnya yang selalu melibatkan pembicaraan tentang ‘faktor AS’ itu. Bahkan tak kurang yang terbuka, seperti terungkap dalam biografi mantan Menteri Luar Negeri AS, Condoleeza Rice.

Dalam ‘No Higher Honor: A Memoir of My Years in Washington’ itu Rice tanpa sungkan menilai para presiden Indonesia yang sempat dikenalnya. Misalnya, sebagai tanda persetujuannya atas kemenangan SBY dalam Pemilu 2014--Rice tak satu kata pun menyebut mitra SBY, Jusuf Kalla, Rice mengatakan SBY telah membawa era baru bagi Indonesia.

Tetapi sukar untuk menolak bahwa dalam politik Indonesia, ‘faktor AS’ pun tak lebih dari sekadar mitos. Sama halnya dengan ‘militer’ yang dianggap lebih kapabel, yang dalam banyak hal hanya merujuk Soeharto. Yang lain, maaf kata, justru membuktikan sebaliknya.

Sementara sebaliknya, yang faktual adalah bahwa kepemimpinan mana pun yang mengedepankan mitos, bukanlah kepemimpinan yang cocok untuk dinamis dan tak terprediksinya masa depan. Ia telah menjadi masa lalu yang seharusnya ditinggalkan. Sudah tidak masanya lagi melibatkan ‘wahyu keprabon’ atau mitos minum air kelapa pemberi nasib baik ala Sutawijaya dalam Babad Tanah Jawi untuk urusan kepemimpinan saat ini.

Tetapi tentu saja, yang kedua, yakni melibatkan Vatikan ke dalam pertemuan itu jauh lebih fatal. Orang masih bisa memaklumi terlibatnya AS dengan ke dalam pertemuan, mengingat negara adidaya itu faktor penting dalam percaturan dunia saat ini. Apalagi kalau kita membuka data statistik tentang ketergantungan Indonesia, yang tak hanya melulu soal ekonomi, melainkan juga kebudayaan, sosial, hukum dan demokrasi.

Tetapi Vatikan? Nyaris bisa dikatakan, tak ada kepentingan strategis apa pun yang bisa dijadikan alasan pembenar hadirnya dubes Vatikan pada pertemuan itu. Sebaliknya, hadirnya Dubes Vatikan justru memberi ‘noda’ pada pertemuan.

Yang paling jelas, ia menjadi alasan pembenar (justifikasi) bagi banyak kalangan untuk mengorek rumors lama di sekitar pencalonan Jokowi. Isu yang muncul sejak ia mengincar kursi gubernur DKI Jakarta: isu sektarian keagamaan. Isu yang tak juga lekang di masa Pileg kemarin.

Bukankah kita pun tahu, dengan gampang kita bisa menemukan pamflet, selebaran, baik itu dalam bentuk cetakan maupun yang berseliweran di dunia maya lewat internet dan telepon seluler kita? Bukanlah kita tahu betapa repot Jokowi dan PDI Perjuangan menepis isu primordial yang mengembalikan kita ke tahun-tahun awal kemerdekaan, setidaknya era 1950-60-an itu?

Lalu untuk apa isu tidak cerdas yang membawa bangsa kepada sentimen sempit primordial itu justru dihadirkan kembali secara telanjang dengan terlibatnya Vatikan dalam pertemuan?

Unsur PDI Perjuangankah yang alpa memikirkan akibatnya, dan sengaja mengundang Vatikan ke dalam pertemuan? Jujur saja, saya ragu. Jokowi dan PDI Perjuangan tahu betapa kerasnya isu primordial itu menghantam mereka. Mereka juga tahu betapa sulitnya berkelit.

Tetapi begitu saja menunjuk inisiator pertemuan, Jacob Soetoyo, sebagai pengundang pihak Vatikan pun kurang memiliki alasan kuat. Bagaimana mungkin, Jacob, seorang yang sempat menjadi anggota Dewan Pengawas CSIS dan anggota lembaga terkemuka dunia, Trilateral Commision, semudah itu silap memperhitungkan dampak negatif keterlibatan Vatikan ?
Ada dua blunder yang merugikan PDI Perjuangan dalam pertemuan Permata Hijau yang digelar Senin (14/4/2014) malam lalu. Tetapi yang paling fatal adalah terlibatnya Vatikan dalam pertemuan itu.

Atau justru semua telah tertata dalam rencana?



0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews