Saturday, 19 April 2014

Ketika 'Jokowi Effect' Gak Ngefek


Seperti yang bisa diduga, Megawati telah meneken jalan kehancuran bagi PDIP dengan deklarasi pencapresan Jokowi. Pada pemilu legislatif 9 April 2014, rakyat memberikan pelajaran telak kepada Lembaga Survei, pengamat dan tokoh-tokoh politik seperti Luhut Pandjaitan, yang selama ini mendorong PDIP segera mencapreskan Jokowi untuk suara 30%-35%. PDIP memang pemenang pemilu, tapi 19% jelas bukan 35%.

Sesaat setelah Quick Count dimulai dan posisi PDIP segera ketahuan, diberitakan bahwa Jokowi duduk termenung-menung di teras. Saat ditanya wartawan, yang pertama keluar dari mulutnya adalah menyalahkan Bappilu, caleg PDIP dan Puan Maharani. Semua, kecuali dirinya. Strategi marketing internal yang tak baik. Caleg-caleg kurang bekerja di akar rumput. Jatah beriklannya yang cuma 3 hari.

Seolah-olah dengan tambahan beriklan 3 hari, seminggu atau 2 minggu, akan menaikkan 19% menjadi 35%. Sementara Nasdem yang sudah beriklan 2 tahun saja hanya 7%. Jokowi sendiri acapkali melakukan hal yang tidak efektif saat berkampanye. Misalnya, kampanye ke Solo, ibarat kampanye di rumah sendiri, buat apa…? Atau saat ditunggu masyarakat Trenggalek sampai 8 jam, begitu remote control dipencet Megawati, langsung balik Jakarta mengecewakan pendukungnya. Atau berkampanye ke Papua, selain perjalanannya menghabiskan waktu, jumlah pemilihnyapun tak seberapa.

Yang menarik adalah ketika Jakarta Post, koran berbahasa Inggris milik Jusuf Wanandi CSIS, yang bersama Cyrus adalah promotor ‘Jokowi Effect’, pada 2 hari yang lalu memuat kisah ‘Infighting Could Ruin Jokowi’s Bid’. Alkisah, Puan, yang sangat kesal karena tidak terjadinya Jokowi Effect, sementara Jokowi di luaran sibuk menyalahkan Bappilu yang dipimpinnya dan PDIP, mengusir Jokowi dari Teuku Umar. Pertengkaran pun pecah antara Puan dan Prananda yang membela Jokowi, sehingga Mega menangis. Tidak terlalu terkejut mendengar Mega menangis, karena saat konpers Quick Count pun sudah tampak berkali-kali menyusut hidung.

Kutipan :

“Puan then told Jokowi to leave. She was very disappointed, as she had expected Jokowi’s popularity to help the PDI-P win at least 30 percent of the vote, paving the way for her to become the party’s vice presidential candidate later on,” the source said, adding that Megawati had broken down in tears during the debate.

“Megawati cried, not because she was sad to see Jokowi ousted from her home by her own daughter, but because she was witnessing a growing gap between Puan and her second son, Prananda Prabowo, who backs Jokowi.”

Artikel tersebut diikuti artikel lain pada hari berikutnya ‘Jokowi Shrugs Off Infighting’, yang isinya adalah kurang lebih sama.

Sejak artikel tersebut terbit, PDIP dan Jokowi mati-matian membantah terjadinya pertengkaran tersebut. Yang lucunya, tampaknya tak ada koordinasi yang baik dalam menjawab. Menurut Eriko Sotarduga, Puan ada di Kebagusan. Sementara Jokowi mengatakan bahwa dirinya tak bertemu Puan Maharani sama sekali sampai hari ini, karena setelah mencoblos, Puan berangkat ke Hong Kong.

Bau kebohongan amat tajam dalam pernyataan Jokowi ini. Karena jelas-jelas Puan mendampingi Megawati saat konpers setelah Quick Count, petang tanggal 9 April. Pada pertemuan evaluasi itu, Puan disebut orang-orang PDIP tidak ada di situ, tapi suaminya Happy Hapsoro hadir. Puan juga ditunjuk bersama Tjahjo Kumolo untuk memimpin negosiasi koalisi. Apakah mungkin, Puan yang merupakan kepala Bappilu, pemimpin negosiasi koalisi, akan meninggalkan partai saat yang demikian genting, pergi sendirian entah untuk urusan apa ke Hong Kong…?

Pada hari Jumat tanggal 11 April, kita menyaksikan aksi safari politik Jokowi ke tiga partai. Pagi bersama Nasdem, yang menghasilkan keputusan mendukung pencapresan Jokowi dengan catatan, cawapres akan diajukan dalam 2-3 hari untuk dibicarakan dengan Megawati. Ini merupakan kelanjutan dari kunjungan Tjahjo Kumolo dan Hasto Kristiyanto sehari sebelumnya.

Dalam safari berikutnya ke Golkar, Jokowi terpaksa menelan kekecewaan. ARB yang tampak santai sehabis berolah-raga, menolak berkoalisi dan menyebut akan tetap capreskan dirinya. Meskipun Luhut Pandjaitan sudah hadir untuk memuluskan, tetap tidak ada kesepakatan.

Sebuah media menyebutkan, Jokowi adalah satu-satunya capres yang sedemikian sibuk berkeliling sana-sini melobby. Sementara capres lain adem-ayem, mengirimkan lapis dua atau tiganya melakukan pendekatan. Kata Jokowi, saya butuh kepastian. Mukanya seribu persen galau, sudah pelit tersenyum, guraupun hambar dan dibuat-buat. Sungguh berat, seorang capres harus berusaha keras memperjuangkan sendiri kepastiannya nyapres, datang seperti salesman door to door, lalu ditolak oleh ARB dan digantung oleh Cak Imin.

Isu perpecahan internal PDIP yang diangkat oleh Jakarta Post, sebenarnya senada dengan tulisan Jeffrey Winters ‘What Went Wrong with the PDI-P and Jokowi?‘ di Financial Times. Tulisan Winters ini bahkan lebih awal dari Jakarta Post, karena dimuat tanggal 10 April 2014 lalu. Jeffrey Winters menggambarkan hubungan Jokowi dan Megawati tidak saling menyukai dan mempercayai : ‘The core problem is that Jokowi and Megawati Sukarnoputri, don’t really like or trust each other’ dan Megawati seperti ditodong senapan yang tidak kelihatan saat mendeklarasikan Jokowi : ‘Megawati sat subdued at a table and held up a hand-written note to the cameras stating, in tortured prose, that Jokowi would be the presidential candidate. She looked as if she had an invisible gun to her head’.

Winters, yang dikenal anti Orba dan pada awal reformasi dekat dengan Megawati, juga menceritakan bagaimana Jokowi tidak mendapat alokasi dana kampanye, juga dibatasi untuk memakai pesawat jet ‘Indonesia Hebat’ yang selalu dibooking Megawati dan Puan. Dan bagaimana seorang kandidat cawapres dari partai lain yang diundang ke studio dimana Jokowi shooting iklan, kaget disodori bonnya.

Menurut Winters, PDIP meminta agar donasi dari para sponsor harus masuk ke Bendahara PDIP, partai-lah yang mengalokasikannya, termasuk ke Timses bentukan Jokowi. Dengan alasan tidak kebagian dana tersebut, timses Jokowi meminta para cukong, yang disebut Winters sebagai ‘tycoons’ alias pengusaha kelas kakap, agar tidak memberikan dana kepada PDIP, dan langsung memberikannya kepada mereka : ‘Some tycoons have been warned by Jokowi’s camp not to donate to the PDI-P and instead give directly to the Jokowi machine’. Apabila membaca semua indikator ini, tampak jelas upaya kudeta yang sedang dilakukan Jokowi dan timsesnya terhadap PDIP dan Megawati.

Pertama, soal Puan. Jokowi digambarkan para promotornya seperti Cyrus sebagai capres setengah dewa. Apabila mencapreskan Jokowi, PDIP akan mendapat suara sampai 35%. Ini yang disebut ‘Jokowi Effect’. Efek-efek yang banyak disebut berhari-hari setelah Pileg oleh pembela Jokowi adalah efek definisi ngga-ngga mereka sendiri untuk membela Jokowi. Dengan mempercayai Jokowi Effect itu, Megawati, Puan dan PDIP setuju deklarasi pencapresan, dengan harapan suara minimum 27% akan mantap untuk memajukan duet Jokowi-Puan. Karena itu pula, tentu tidak ada salahnya Puan mulai menonjolkan diri di billboard dan di iklan, sebagai seseorang yang segera akan menjadi cawapres. Toh selama ini dia setia mendampingi bundanya membangun partai. Itu tak ada artinya dibandingkan penggorengan image Jokowi selama 1,5 tahun terakhir oleh media.

Ternyata Puan dan Megawati tertipu. Hasil pileg jauh di bawah 35%, bahkan jauh di bawah target Puan yang digambarkannya gede-gede di paving block dengan kapur. Tiba-tiba saja, Jokowi Effect jadi banyak syarat. Karena cuma beriklan 3 hari jadi tidak effect. Karena jarang pakai pesawat jet jadi tidak effect. Tetap perlu caleg PDIP untuk kerja keras, bukan seperti yang dikira selama ini : asal memajang foto bersama Jokowi yang nyengir lebar sudah cukup. Lebih mengenaskan lagi, Jokowi selalu ngotot atas kelebihan dirinya dengan menyalahkan Puan dan PDIP.

Kedua, meskipun ditunjuk menjadi pemimpin negosiasi, sejak pengusiran dan pecahnya berita tersebut di Jakarta Post, tiba-tiba saja Puan raib. Ada banyak opini yang ditulis di media, seperti Wimar Witoelar, yang menyebut bahwa sebaiknya Jokowi yang didapuk untuk menego koalisi. Tiba-tiba saja Jumat itu Jokowi yang bersafari ke sana kemari. Pertanyaannya, apakah semudah itu menyisihkan Puan…? Apakah Megawati memang memilih mengesampingkan anak biologis dan ideologisnya, demi si anak angkat dan boneka yang kian hari kian terbongkar topeng ambisi dan ketamakannya…?

Titik saat ini merupakan titik paling kritis baik untuk Megawati maupun Jokowi. Jokowi mungkin berpikir, dengan jebakan deklarasi itu, Megawati telah disudutkan pada ‘point of no return’, tetap mendukung pencapresannya atau beresiko semakin dimusuhi rakyat. Itu bisa terjadi, kalau dia pintar mengelola persepsi publik agar tetap positif terhadapnya, dibantu media-media yang didanai sponsornya. Gerah manut dan dijuluki boneka, pembangkangannya terhadap Megawati meningkat. Seiring dengan kegalauan dan kepanikannya untuk menekan Megawati memastikan tiket pencapresannya. Andaikan pada Jumat itu, Jokowi telah mengamankan dukungan 3 partai : NasDem, Golkar dan PKB, berarti telah memastikan definitif pencapresannya dengan 39%-40% suara. Apa lacur, yang dia dapat hanya 7% dari Paloh, penolakan ARB dan tarik-ulur Cak Imin.

Di pihak lain, Megawati bukan tak punya pilihan. Bahkan kecenderungan untuk membatalkan pencapresan Jokowi itu sudah sangat kencang. Mungkin inilah tujuan Jakarta Post membocorkan pengusiran itu. Untuk memancing reaksi publik, supaya Jokowi tidak dibuang diam-diam. Berita itu juga sukses mencoreng dan mengandangkan Puan, setidaknya untuk sementara.

Sampai dengan batas pendaftaran ke KPU, kendali sebenarnya tetap di tangan Megawati. Manuver dari kader yang menurut Winters, tidak disukainya dan tidak menyukainya ini, sudah semakin tidak terkendali. Boneka sudah hendak memakan tuannya. Sebelum deklarasi, sudah membibitkan ProJo melawan ProMeg. Dan kini berani menyabot donasi cukong agar langsung ke dirinya bukan ke kas partai. Begitu namanya didaftarkan resmi ke KPU, Jokowi tak butuh Megawati lagi. Melihat yang terjadi pada Puan, ini bisa jadi awal pemunahan trah Soekarno di PDIP.

Di tengah kemelut ini, Jokowi boleh dibilang sudah bukan lagi capres setengah dewa tapi capres setengah ronin. Mitos capres setengah dewa sudah rontok oleh hasil pemilu. Jokowi ternyata bukan cukup dengan sandal jepit bisa menang, tapi butuh cawapres yang kuat, butuh babysitter yang bagus, butuh koalisi dengan partai lain. Sementara dengan segala pembangkangan dan manuvernya yang makin telanjang, upayanya memarginalisasi Puan, juga kepanikan dan kegalauan yang merupakan tanda-tanda dari ketidak-matangan berpolitik dan mental yang tidak kuat; bisa semakin menguatkan resolusi Megawati untuk membatalkan pencapresannya.

Ronin artinya samurai tanpa shogun, tanpa tuan, tanpa rumah. Capres ronin artinya capres tanpa partai, yang mengaku punya puluhan juta pendukung sekalipun. Capres setengah ronin artinya apabila tidak hati-hati, selangkah lagi bernasib ronin. Capres ronin akan berkelana sendiri mencari-cari partai yang masih percaya mitos kekuatan dan popularitasnya. Pertanyaannya, siapa yang mau beli barang yang sudah dibuang tuannya…?

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews