Friday, 14 March 2014

Napoleon Pernah Adakan Maulid Nabi untuk Jajah Mesir

Kaisar Napoleon Bonaparte (lahir di pulau Korsika, 15 Agustus 1769 – meninggal 5 Mei 1821. Napoleon di baptis sebagai katolik beberapa hari sebelum ulang tahunnya yang kedua, tepatnya tanggal 21 Juli 1771 di Katerdal Ajaccio.
Dia adalah peimpin perancis yang besar dalam politik maupun militer. Hampir semua peperangan dia menangkan, kecuali beberapa peperangan dia mengalami kegagalan. Diantaranya dalam menginvasi daratan Mesir yang akibatnya berhadapan dengan kekuatan Inggris, Mamluk dan Utsmani.

Kedatangan Napoleon di Mesir pada 1798 menandai awal kolonialisme Barat atas wilayah-wilayah Islam.
invasi Napoleon ke Mesir ini mengakhiri aliansi Franco-Ottoman yang telah terjalin selama lebih dari 2,5 abad. Aksi militer Napoleon tersebut ditujukan untuk memblokade jalur perdagangan antara Inggris dan wilayah jajahannya, India sekaligus membangun relasi dengan Tipu Sultan, yang menjadi musuh Inggris di India. Menghadapi serangan Perancis, Mesir yang pada saat itu dikuasai oleh kesultanan Utsmani dibantu oleh Inggris. Napoleon memang berhasil menguasai darat Mesir, namun armada lautnya berhasil dihancurkan oleh Inggris di sungai Nil. Berhasil menguasai secara de facto wilayah darat Mesir, Napoleon menghadapi sebuah tantangan baru: “menjinakkan” rakyat Mesir yang tidak setuju dengan pendudukan Perancis.

Mendapat penolakan keras dari rakyat Mesir, Napoleon mulai menggunakan retorika Islam sebagai bagian dari strateginya memerintah rakyat Mesir. Ia mengklaim sebagai orang yang berjasa membebaskan rakyat Mesir dari penindasan kesultanan Utsmani dan Mamluk. Pernyataan Napoleon, “I hope that time is not far off when I shall be able to unite all the wise and educated men of all countries and establish a uniform regime based on the principles of Qur’an which alone can lead men to happiness, merupakan surat Napoleon kepada Syeikh terkemuka di Alexandria, Syeikh Al-Masiri. Syeikh Al-Masiri adalah salah satu ulama yang kooperatif dengan pendudukan Perancis di Alexandria. Dalam surat tersebut, Napoleon menawarkan pertemuan dengan Syeikh Al-Masiri untuk membicarakan kemungkinan penerapan syariat Islam di Mesir sesuai dengan interpretasi para ulama, bukan syariat Islam yang selama ini diinterpretasikan oleh kesultanan Utsmani. (Juan Cole, 2007: 130).

Untuk menaklukkan hati rakyat Mesir, Napoleon juga mengikuti berbagai tradisi-tradisi yang bernuansa Islam. Seperti yang disebutkan oleh Juan Cole dalam bukunya Napoleon’s Egypt: Invading Middle East, Napoleon bahkan membiayai festival Maulid Nabi Muhammad saw (hal. 123). Napoleon memang berhasil mengambil hati sebagian besar rakyat Mesir, sehingga mereka memanggil Napoleon dengan sebutan Ali Bonaparte, yang merujuk pada sepupu Rasulullah saw, Ali bin Abi Thalib. (Juan Cole, 2007: 135).

Edward Said menerangkan bahwa Napoleon benar-benar mengikuti saran mentah-mentah yang tertuang dalam karya-karya Volney -Voyage en Egypte en Syrie dan Considerations- agar menggunakan cara-cara manipulatif untuk menguasai Mesir. Napoleon mengklaim sebagai saudara seiman (itulah yang dilakukannya saat pidato tanggal 2 Juli 1798 di hadapan rakyat Alexandria) dan memanfaatkan kebencian rakyat Mesir kepada kesultanan Mamluk. (Said, 2010: 119). Sikap pragmatisme Napoleon tersebut juga dapat ditelusuri lewat pernyataannya yang terkenal,

“It is by making myself Catholic that I brought peace to Brittany and Vendée. It is by making myself Italian that I won minds in Italy. It is by making myself a Moslem that I established myself in Egypt. If I governed a nation of Jews, I should reestablish the Temple of Solomon.”

Oleh karena itu, Napoleon tidak hanya pragmatis dalam memandang agama, ia juga tidak mendeklarasikan dirinya memeluk Islam. Ulama Al-Azhar, Syeikh Abdullah Al-Sharqawi memang sempat menawarkan kepada Napoleon -lewat panglima jenderalnya- untuk pindah ke agama Islam agar mendapatkan legitimasi sakral atas umat Muslim. Akan tetapi, pada akhirnya, Napoleon tidak pernah masuk Islam, tidak pernah ke masjid, dan tidak pernah sholat dan berdoa seperti Muslim pada umumnya. Kenyataannya, seperti yang dikemukakan oleh de Bourienne, menjelang kematiannya, ia menjalani salah satu proses sakramen oleh uskup sebagai orang Katolik.

Peneliti arkeologi yang mengkhususkan diri dalam masalah Islam dan Koptik Sameh al-Zahar menjelaskan bahwa di awal ekspansi Napoleon ke Mesir merayakan ulang tahun Nabi, karena itu ia mengirim 300 Real ke rumah Naqib al-Asyraf (ketua para Habib) di Mesir , Sheikh al-Bakri dan mengirim jidor besar dan kendil-kendil (lampu gantung) untuk memikat hati orang Mesir agar menerima penjajah Perancis .

Maseh al-Zahar mengatakan bahwa di era keluarga Alawiyyah masalah mauled menjadi tanggung jawab Naqib al-Asyraf yang menerima uang dari kas negara dan manajemen properti Khedive , yang mengalokasikan sejumlah besar beras , daging dan gula untuk dijual di perayaan maulid, seraya menunjukkan bahwa diantara fenomena perayaan mauled tersebut adalah dihiasinya tenda syekh Bakri karena kunjungan Khedive , bersama dengan para ilmuwan dan Senat untuk mendengar cerita tentang ulang tahun Nabi dan pembagian permen serta limun.

Dengan demikian, perlu kita fahami bahwa:

1. Dukungan orang kafir terhadap tradisi masyarakat bukan karena dia mencintai masyarakat tetapi untuk membeli hati masyarakat, atau dengan kata lain untuk menipu masyarakat. Maka sangat jauhlah orang yang menyimpulkan bahwa Napoleon masuk Islam bahkan dia adalah keturunan Sultan Hasanudin dari Makassar!!
2. Berlangsungnya maulid tidak lepas dari kepentingan politik dan penguasa bahkan penjajah. Hal ini tidak mengherankan sebab munculnya mauled pertama kali juga karena faktor politik.

0 comments:

Post a Comment

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews