DPR hasil Pemilu 2014 nampaknya akan semakin mengerikan. Di samping
karena sebagian diisi orang-orang yang lolos atas politik uang, juga
lolosnya sejumlah politisi liberal bahkan dedengkot Syiah.
Wajah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendatang akan sangat mengerikan.
Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif IndoStrategi, Andar Nubowo, pada
akhir pekan bulan lalu. Andar beralasan, DPR periode 2014-2019
mendatang sekitar 30 persen diisi oleh anggota Dewan yang terpilih
karena mengandalkan
money politics (politik uang). "Mereka yang 30 persen ini tidak mengharamkan money politics," kata Andar seperti dikutip
Tribunnews.com.
Menurut dia selama ini banyak pihak melihat DPR diidentikkan dengan
persoalan korupsi, politik uang, dan sebagainya dalam proses-proses
legislasi 2009-2014 kita sudah mempersepsikan DPR sebagai lembaga yang
paling korupsi.
"Dengan fakta-fakta Pemilu Legislatif yang kemarin betapa politik uang
begitu kuat, maka tantangan DPR ke depan adalah lebih berat daripada DPR
sekarang, terutama terkait dengan isu-isu korupsi,
money politics dan sebagainya," kata Andar.
Belum lagi, menurut Andar, bicara masalah kompetensi anggota Dewan,
karena yang dipilih dari 30 persen kebanyakan mereka adalah orang yang
hanya punya uang atau punya popularitas tanpa mempunyai basis
pengetahuan atau kompetensi untuk menjalankan fungsinya sebagai anggota
DPR nanti.
Bagi umat Islam, selain persoalan yang disampaikan Dosen FISIP UIN
Syarif Hidayatullah di atas, ada persoalan lain yang juga tak kalah
serius dari anggota DPR periode mendatang. Masuknya dedengkot Syiah,
politisi liberal dan juga sejumlah politisi yang diketahui pro-Komunis.
Mayoritas orang-orang yang diduga kuat akan menghambat bahkan menentang
aspirasi Islam itu kebetulan bersarang di Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP).
Sejarah penentangan PDIP terhadap aspirasi umat Islam telah terbukti
dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Berbagai UU yang diketaui pro
terhadap umat Islam selalu diganjal oleh partai ini. Tercatat UU Sistem
Pendidikan Nasional, UU Pornografi, UU Perbankan Syariah, UU Zakat, dan
belakangan UU Jaminan Produk Halal semua itu diperjuangkan dengan
tantangan yang luar biasa besar dari PDIP.
Karena itu wajar bila Sekretaris DPW Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Jawa Tengah, Suryanto, mengungkapkan bila mayoritas warga PPP di
wilayahnya menolak bila partai Islam itu berkoalisi dengan PDIP dan
Jokowi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) mendatang.
"Saya sekretaris DPW yang sering bertemu dengan konstituen di akar
rumput hingga para pengurus struktural dari tingkat paling bawah hingga
di tingkat pimpinan cabang maupun wilayah. Aspirasi paling kuat yang
kami tangkap adalah mereka tidak menginginkan partai ini (PPP -red)
berkoalisi dengan PDIP dalam Pilpres mendatang," ujar Suryanto kepada
wartawan di Solo, Jumat (2/5/2014) pagi.
Menurut Suryanto, ada berbagai alasan yang disampaikan oleh kader dan
simpatisan PPP terkait aspirasi tersebut. Diantara yang sering
disampaikan adalah sejumlah fakta bahwa selama ini PDIP dinilai kurang
memperjuangkan aspirasi umat Islam, terutama dalam keputusan-keputusan
politik yang diambil di DPR. Sikap PDIP di DPR itu dijadikan tolok ukur
penting bagi warga PPP karena selama 10 tahun terakhir PDIP berada di
luar pemerintahan sehingga kiprah perjuangan politiknya lebih banyak
dilakukan di DPR.
"PDIP dinilai banyak mementahkan UU yang mengatur kemaslahatan umat.
PDIP sering menyampaikan sikap bertentangan dengan PPP dalam hal
pengesahan regulasi bagi kemaslahatan umat. Hal-hal seperti itu menjadi
catatan penting dan selalu diingat oleh konstituen kami untuk dijadikan
pertimbangan menentukan arah pilihan dalam dukungannya terhadap bakal
capres yang mengemuka saat ini," paparnya.
Syiah dan Liberal Masuk Senayan
Pemilu legislatif 2014 bukan hanya pertarungan politik antarpartai.
Tetapi juga merupakan pertarungan antara kubu pembela Islam dengan
lawannya. Orang-orang yang selama ini dikenal melawan arus besar
perjuangan umat Islam, dari kalangan Syiah dan Liberal, tak mau
ketinggalan ikut bertanding dalam momentum ini untuk memperjuangkan
aspirasi mereka.
Tersebutlah nama Jalaluddin Rahmat, dedengkot Syiah sekaligus Ketua
Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), Ulil Abshar
Abdalla gembong Jaringan Islam Liberal (JIL), Zuhairi Misrawi seorang
tokoh Liberal yang kini bernaung di lembaga underbow PDIP Baitul
Muslimin Indonesia (Bamusi), Maman Imanul Haq yang juga dikenal sebagai
pembela Liberal. Selain mereka ada politikus incumbent yang kembali
berlaga, seperti Eva Kusuma Sundari, Nurul Arifin, Rieke Diah Pitaloka
dan Ribka Tjiptaning Proletariyati.
Sebagian dari politikus Liberal itu gagal melenggang ke Senayan. Ulil
yang maju melalui Partai Demokrat dari kampung halamannya, Dapil Jawa
Tengah III yang meliputi Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten
Rembang dan Kabupaten Pati tak mendapat suara signifikan. Eva Kusuma
Sundari, politikus PDIP yang paling nyiyir terhadap Front Pembela Islam
(FPI) dan kalangan Islam, meski mengaku sudah mengeluarkan dana sebesar
Rp2 milyar di Dapil Jatim VI (Kabupaten Tulungagung, Kota Kediri, Kota
Blitar, Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar) juga telah memastikan
dirinya tak kembali ke Senayan.
Zuhairi Misrawi, Direktur Moderate Muslim Society (MMS), untuk kedua
kalinya mengikuti Pemilu dari Dapil Jatim XI (Bangkalan, Sampang,
Sumenep dan Pemekasan) juga gagal. Nasib yang sama dialami artis liberal
sekaligus Wakil Sekjen Partai Golkar Nurul Arifin yang gagal kembali ke
Senayan dari Dapil Barat VII yang meliputi Kabupaten Bekasi, Kabupaten
Karawang, dan Kabupaten Purwakarta.
Meski gagal menjadi anggota DPR, Zuhairi yang besar kepala karena
menjadi kader PDIP dan juga Ketua Bidang Antaragama Bamusi, pernah
beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang menantang umat Islam.
Pada Ahad, 28 Juli 2013 lalu, melalui akun twitternya,
@zuhairimisrawi,
saat menanggapi perkembangan politik dan pembantaian militer Mesir
terhadap aktivis Ikhwanul Muslimin pendukung Presiden Muhammad Mursi.,
ia mengatakan, "Kaum Islamis di negeri ini patut bersyukur, karena kita
tidak akan membunuh mereka. Di Mesir, mereka dibunuh dan dinistakan.”
Pernyataan kontroversial kedua dia lontarkan baru-baru ini menjelang
kampanye Pemilu 2014. Pada diskusi yang digelar Freedom Institute di
Jakarta (18/2/2014), Zuhairi melontarkan usulan supaya Menteri Agama RI
mendatang dijabat gembong Syiah Jalaluddin Rahmat bila PDIP berkuasa.
“Saya usulkan tokoh Syiah, Kang Jalal (Jalaluddin Rahmat, red) jadi
menteri Agama, kelak kalau PDIP berkuasa.”
Sementara itu, Eva Kusuma Sundari, yang kini oleh media massa sering
disebut sebagai Jubir PDIP sudah tak terhitung lagi ungkapan yang keluar
dari mulutnya yang menyerang dan menyakiti umat Islam.
Komentar-komentarnya selalu negatif bila berhubungan dengan ormas Islam
seperti FPI, Perda Syariah dan aktivitas-aktivitas umat Islam melawan
pemurtadan dan aliran sesat. Eva diketahui juga sangat anti terhadap
situs-situs berita Islam. Mantan Ketua YLBHI Munarman bahkan menyebut
istri Dubes Timor Leste untuk Malaysia Jose Antonio Amorim Dias –seorang
Katolik- ini sebagai agen asing yang bertugas merecoki Islam.
Sikap yang sama dengan Eva ditunjukkan oleh Nurul Arifin. Istri Mayong
Suryalaksana, juga seorang Katolik, ini juga sangat anti terhadap Islam.
Sikap terkini yang menunjukkan ketidaksukaan Nurul terhadap Islam
adalah sikapnya yang sewot atas upaya penggalangan koalisi partai Islam
dalam Pilpres 2014. Ia menyebut pengelompokan partai berdasarkan
ideologi agama merupakan sebuah kemunduran politik.
Sebelumnya, Nurul juga pernah menunjukkan ketidaksukaannya taktala
Mendagri Gamawan Fauzi mengimbau supaya kepala daerah bekerja sama
dengan FPI untuk hal-hal tertentu yang dinilai baik.
"Kenapa harus FPI, apa enggak ada yang lain untuk mengawasi? Saya akan
pertanyakan lebih lanjut pada Mendagri. Emang enggak ada yang lain, yang
kredibilitasnya lebih baik dari FPI," kata Nurul waktu itu.
Bahkan, ketika pemerintah Kota Tasikmalaya berencana menegakkan Perda
Nomor 12 tahun 2009, yang berisi tentang tata nilai kehidupan
bermasyarakat dengan berlandaskan ajaran agama Islam, dengan lantan
Nurul memrotesnya."Apakah kita mendiamkan kasus ini Pak Menteri, Perda
Syariah dan Polisi Syariah diberlakukan di Tasikmalaya," katanya.
Kata Nurul, negara tidak boleh membiarkan kelompok intoleran sesuka
hatinya melakukan penerapan Perda yang bertentangan dengan Pancasila dan
UUD 1945. "Kami perempuan menjadi komoditi politik dalam penerapan
Perda ini, atas diberlakukannya Polisi Syariah," ucap mantan artis era
1980-an itu.
Syukur alhamdulillah, sosok-sosok kontroversial anti Islam itu tidak
didukung masyarakat dan gagal kembali ke Senayan, menjadi anggota DPR.
Artinya akan makin berkurang sosok politikus yang nyinyir terhadap
perjuangan umat Islam.
Namun demikian, umat Islam patut waspada dengan lolosnya sejumlah nama
lain dari kalangan Liberal, Syiah dan pro-Komunis ke Senayan.
Berdasarkan hasil rekapitulasi suara Pemilu Legislatif 2014, nama-nama
seperti: Jalaluddin Rahmat, Rieke Diah Pitaloka alias Oneng, Ribka
Tjiptaning Proletariyati dan Maman Imanul Haq berhasil lolos ke Senayan.
Tiga nama pertama kebetulan dari Partai yang sama, PDIP dan dari
wilayah yang sama, Jawa Barat. Sedangkan Maman, berangkat dari Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) dan menjadi Caleg dari Dapil Jawa Barat IX.
Maman adalah salah satu pendukung aliran sesat Ahmadiyah, yang pada
Insiden Monas 1 Juni 2008 lalu sempat babak belur dihajar sejumlah
Laskar Islam.
Siapa dan Apa Agenda Mereka?
KH Jalaluddin Rahmat, demikianlah ia menulis dalam banner kampanye Pileg
lalu. Jalal adalah Caleg PDIP untuk DPR RI dari Dapil Jabar II nomor
urut satu. Ia berhasil lolos ke Senayan dengan meraup suara sekitar 39
ribu. Di dapil yang meliputi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung
Barat ini, PDIP berhasil meraih dua kursi. Satu kursi lainnya diperoleh
Yadi Sri Mulyadi dengan perolehan suara sekitar 59 ribu.
Pria kelahiran Bandung, 29 Agustus 1949 ini dikenal sebagai seorang ahli
komunikasi. Bukunya berjudul “Psikologi Komunikasi” (1985) dijadikan
sebagai bacaan wajib mahasiswa di bidang ilmu komunikasi. Sebelum
akhirnya mengaku sebagai seorang pengikut Syiah tulen, Jalal mengaku
bila dirinya seorang “Sunni-Syi’i”. Belakangan ia tak ragu lagi mengakui
dirinya sebagai seorang Syi’i dengan menjadi pendiri sekaligus Ketua
Dewan Syuro IJABI. Bersama Haidar Bagir -bos penerbit Mizan- dan Umar
Shahab, ia juga menjadi pendiri
Islamic Cultural Center (ICC) di Jakarta Selatan.
Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI) Makasar secara serius
menyoroti gelar akademik yang melekat di depan nama Jalal. Sebagai
seorang akademisi, nama Jalal memang kerapkali ditulis beserta gelar
akademiknya, Prof Dr Jalaluddin Rahmat. Untuk itu LPPI Makasar melakukan
klarifikasi kepada pihak Universitas Padjajaran, tempat Jalal mengajar.
Dalam suratnya tertanggal 23 April 2012, Rektor Unpad Prof Ganjar
Kurnia secara resmi menyatakan, Jalal belum memiliki gelar Guru Besar di
Unpad. Sementara soal gelar doktor, Ganjar mengaku secara administratif
pihak kampus belum menerima ijazahnya.
Sementara itu soal gelar doktor yang diklaim berasal dari Program
Distance Learning Institut Pengembangan Wiraswasta Indonesia (IPWI) Dili
pada 1999, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Dirjen
Pendidikan Tinggi mengklarifikasi bila Ditjen Dikti belum pernah
memberikan izin penyelenggaraan pendidikan S3
Distance Learning
Institut Pengembangan Wiraswasta Indonesia (IPWI) Dili tersebut. Surat
jawaban permohonan klarifikasi dari LPPI Makasar itu ditandatangani
Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Illah Sailah pada 12 Februari
2014.
Persoalan serius di DPR dan menyangkut mayoritas umat Islam Indonesia
adalah bila PDIP memasukkan Jalal ke Komisi VIII DPR yang membidangi
persoalan Agama. Bila hal ini terjadi, maka aspirasi Syiah, sebagai
sebuah aliran yang saat ini menimbulkan gesekan keras dan memicu konflik
di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas Sunni, akan menjadi
persoalan serius. PDIP yang sejak dulu dikenal sebagai sarang Kristen
dan kaum Kiri, kini akan ditambah dengan sarang pengikut aliran sesat
Syiah Rafidhah. Konflik horizontal yang saat ini tengah terjadi bukan
tidak mungkin akan terus memanas.
Ribka Tjiptaning Proletariyati dan Rieke Dyah Pitaloka, adalah dua
politisi PDIP yang berideologi kiri. Keduanya dipastikan kembali lagi
menjadi anggota DPR periode 2014-2019. Rieke terpilih dari Dapil Jabar
VII yang meliputi Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang dan Kota
Bekasi dengan meraup suara 256.968. Sedangkan Ribka terpilih dari Dapil
Jabar IV.
Tidak ada prestasi menonjol dari dua politisi ini saat menjadi anggota
DPR pada periode sebelumnya. Ribka adalah Ketua Komisi IX DPR yang
membidangi kependudukan, kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi. Rieke
juga salah satu anggota di Komisi tersebut.
Ribka mengakui, selama empat tahun memimpin Komisi IX, sejak 2009 hingga
2013 lalu, belum ada satu pun Undang-undang yang dihasilkan oleh
komisinya. "Saya sebagai Ketua Komisi IX DPR prihatin karena sampai hari
ini Komisi IX DPR RI belum ada yang dihasilkan terkait fungsi DPR,
fungsi legislasi," aku Ribka seperti dikutip ANTARA (9/10/2013).
Penulis buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI” dan “Anak PKI Masuk Parlemen”
ini mengakui Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) bukan sepenuhnya dihasilkan oleh Komisi IX DPR karena
penyusunannya dilakukan oleh Panitia Khusus (Pansus). "Undang-undang
BPJS kan dihasilkan melalui Pansus. Kalau Pansus kan gabungan, lintas
komisi dan fraksi. Yang murni hasil dari Komisi IX DPR tidak ada,"
ungkap dia.
Pada 2010 lalu, Ribka dilaporkan
Center for Indonesian Communities Studies (CICS)
Banyuwangi ke Mabes Polri atas insiden temu kangen eks-Tapol PKI dengan
dirinya dan Rieke di Banyuwangi, Jawa Timur. Ketua CICS Qoidul Anam
Alimi menyatakan bahwa Ribka Tjiptaning adalah pembohong besar.
Saat itu, Ribka dan Rieke datang ke Banyuwangi. Dengan kedok melakukan
sosialisasi rumah sakit tanpa kelas, keduanya mengumpulkan eks Tapol
PKI. Pertemuan ini diendus oleh warga yang anti PKI. Lalu pertemuan
tersebut dibubarkan. Di media, keduanya ngoceh dengan menyebut FPI
sebagai pelaku pembubaran. Padahal di Banyuwangi saat itu tidak ada
aktivitas FPI karena pengurusnya sedang dibekukan oleh pengurus pusat.
“Tujuan utama Ribka Tjiptaning ke Banyuwangi tidak dalam rangka
sosialisasi rumah sakit tanpa kelas, akan tetapi mengumpulkan eks PKI
atas nama Paguyuban Korban Orde baru. PDIP punya kantor resmi, DPRD
punya kantor kenapa pertemuan dilakukan sembunyi-sembunyi", ungkap Anam
Alimi di Mabes Polri (7/7/2010).
Ribka Tjiptaning menurut CICS telah melakukan pelanggaran terhadap Tap
MPRS No. 25/1966 dan UU No. 27/1999 tentang pelarangan penyebaran
ideologi Komunis dan UU Republik Indonesia No. 27 Tahun 1999 tentang
Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan
Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
Selain itu, Ribka juga penah menjadi tersangka kasus penghilangan ayat
tembakau dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Badan Reserse
Direktorat I Keamanan dan Trans Nasional Mabes Polri menetapkan status
tersebut pada Senin (20/9/2010). Dua tersangka lainnya adalah Wakil
Ketua Komisi IX DPR Asiyah Salekan dan Wakil Ketua Komisi IX DPR dr
Maryani A Baramuli.
Penetapan tersangka tersebut merupakan kelanjutan dari laporan yang
diterima Bareskrim Mabes Polri pada 18 Maret 2010. Kala itu Koalisi Anti
Korupsi Ayat Rokok (Kakar) melaporkan Ribka cs terkait penghilangan
ayat 2 pasal 113 UU Kesehatan. Seperti diketahui selain sebagai ketua
Komis IX, Ribka juga menjadi Ketua Pansus RUU Kesehatan. Namun sayang,
akhirnya Mabes Polri menghentikan penyidikan kasus tersebut karena
dinilai tidak memenuhi unsur pidana.
Badan Kehormatan (BK) DPR menilai sebagai Ketua Komisi, Ribka harus
bertanggungjawab atas penghilangan ayat tersebut. BK kemudian melarang
Ribka memimpin panitia khusus (pansus) dan panitia kerja (panja) hingga
akhir masa jabatannya di 2014.
Inilah sedikit wajah-wajah mengerikan anggota DPR periode mendatang.
Semoga politisi-politisi muslim lintas partai bisa bersatu menghadang
agenda-agenda mereka.