Saturday 31 May 2014

Tak Ingin RI Dikuasai Preman, Komunitas Salafi 'Terpaksa' Pilih Prabowo

Ustadz M Abbduh Tuasikal saat memberikan kuliah ramadan

Yogyakarta - Seperti dilansir situs gema islam, ada yang berbeda dengan suasana Pemilu tahun ini. Komunitas Salafi yang biasanya Golput kini sebagian besar akan berpartisipasi dalam pemilihan Presiden pada Juli mendatang.

Tokoh muda Salafi Yogyakarta, Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal mengajak kaum muslimin untuk memilih pasangan Capres-Cawapres Prabowo-Hatta. Dia lakukan karena hanya pasangan ini yang bisa memberikan harapan kepada umat Islam.

“Ya Allah, mudah-mudahan kemenangan berpihak pada Prabowo - Hatta yang disokong oleh partai-partai Islam,” kata Abduh Tuasikal dalam laman Facebooknya, Senin (19/5/2014).

Alumni S2 Jurusan Kimia di King Saud University ini menilai pasangan Prabowo-Hatta lebih kecil madhorotnya dibanding pasangan Jokowi-JK jika jadi presiden nanti. Dengan tegas dia mengungkapkan, negara ini tidak ingin dikuasai oleh para preman.

“Dibanding negara ini dikuasai partai preman,” ujarnya.

Penyebutan partai preman bagi pengusung Jokowi-JK oleh Murid Syaikh Sholih Al Fauzan ini bukan tanpa alasan. Pasalnya dia mengalami diperlakukan buruk oleh simpatisan PDI P saat kampanye Pileg bulan lalu.

“Kami pernah dizalimi oleh partai tersebut saat masa kampanye kemarin. Saat kepulangan ke Gunungkidul dari Jogja, di tengah-tengah jalan di Bantul, kami mendapatkan masa partai tersebut menghambat jalan, membuat macet sepanjang beberapa kilometer,” ungkapnya.

Bukan hanya membuat macet, rombongan massa kampanye itu merusak mobil yang ditumpanginya.

“Mereka sengaja memukul mobil kami di saat kami sudah berusaha berjalan rindik (pelan), padahal kami sudah sengaja ngambil jalan di pinggir. Tetapi terkena juga bagian atas mobil dengan pukulan bambu mereka,” terangnya.

Meski demikian, pemimpin Pondok Pesantren Darus Sholihin Gunung Kidul Yogyakarta ini meminta maaf dengan penyebutan partai preman.

“Jadi maaf saja kami gelari partainya dengan partai PREMAN. Karena pendukungnya pun semua akui kebanyakan dari kalangan Preman, pengacau dan perusuh yang anarkis dan brutal. Kami warga muslim pun tidak mau negara ini dipimpin oleh kalangan PREMAN,” tukasnya.

Alasan lain yang dilontarkan oleh bapak dua anak ini adalah karena PDI-P terang-terangan anti Islam.

“Anti Islam (hampir semua RUU yang berbau Islam mereka tolak), pro prostitusi (menentang penutupan Dolly) dan Pro miras (tolak perda larangan miras), Pilihlah yang mudhorotnya lebih ringan dibanding preman, nasionalis dan sekuleris yang berkuasa,” tegasnya.

Diapun menukil ucapan ulama besar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. “Kami ingat kata Ibnu Taimiyah: Orang yang cerdas bukanlah orang yang tahu mana yang baik dari yang buruk. Akan tetapi, orang yg cerdas adalah orang yang tahu mana yang terbaik dari dua kebaikan dan mana yang lebih buruk dari dua keburukan.”

Sebagai penguat dari pendapatnya, pemimpin redaksi web muslim.or.id ini menukil sya’ir yang pernah dilantunkan Ibnu Taimiyah: “Orang yang cerdas ketika terkena dua penyakit yang berbeda, ia pun akan mengobati yang lebih berbahaya.”

Memang, kondisinya sekarang sudah darurat dan bahaya, dan ancaman sangat nyata dari kafir musyrikin.

Wednesday 28 May 2014

Sempatkan Kesibukan Anda untuk Tilawah


SESIBUK apa kita hari ini? Berapa jam kita beraktifitas? Dan berapa jam kita sempatkan untuk bukan Facebook, Twitter-an, SMS-an atau chatting dengan kawan dan orang terdekat kita? Bandingkan kesediaan diri kita untuk meluangkan sedikit waktu membuka mushaf al-Quran, sempatkah?

Sesungguhnya tidak ada alasan untuk tidak bisa mengaji setiap hari, barang semenit-dua menit. Karena sebenarnya mengaji adalah kebutuhan yang paling penting di antara kebutuhan yang lain. Padahal kita hanya butuh waktu sedikit saja dari persediaan waktu kerja kita.

Untuk mengkhatamkan satu juz per 24 jam saja mungkin hanya butuh waktu 30 menit, atau setengah juz lah minimal, sehingga al-Quran yang 30 Juz itu bias kita khatamkan dalam setiap bulan sekali, atau dalam 2 bulan sekali dan ini masih terlalu lama untuk 30 juz.

Ada kesalahan besar yang tidak kita sadari, kita merasa bahwa pekerjaan adalah kesibukan yang paling berharga, paling penting dan tidak bisa diganggu oleh kegiatan apapun. Dan karena alas an inilah kemudian hal-hal lain yang diluar pekerjaan dianggap tidak penting bahkan terkadang dijadikan sebagai penghambat kelancaran pekerjaan itu.

Sangat disayang, jika ternyata al-Quran yang penuh dengan keberkahan itu kita abaikan karena kepentingan pekerjaan, al-Quran dianggap tidak lebih penting dari pekerjaan, Na’udzubillah.

Padahal, seandainya Kebrkahan al-Quran itu ditampakkan mungkin yang bisa kita lihat adalah keberkahan itu megalir kesemua arah, tidak hanya berupa pahala yang dijanjikan pada pembacanya, tapi reaksi berkah yang didapat dari al-Quran itu mengalir juga keurusan dunia kita, termasuk urusan pekerjaan kita. Allah berfirman;

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرّاً وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian dari rizqi yang kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS: Fathir [35]: 29)

Sebaliknya, sangat beruntung sekali mereka yang masih bisa meluangkan sebagian waktunya untuk mengaji, mengejar target untuk menyelesaikan satu juz dalam sehari, maka bagi merekalah keberkahan itu tertuang, berkah dalam keluarganya, pekerjaannya, dan berkah pada semuanya.

Kenapa bisa beruntung..? Jawabannya sudah sangat jelas, dibaca saja al-Quran itu mendatangkan keuntungan, apalagi jika sampai diamalkan.

Efek positifnya sangat berpengaruh besar terhadap manusia.

Hal ini telah dibuktikan oleh hasil penelitian Ilmiah bahwa saraf mata manusia itu jumlahnya sama dengan jumlah huruf al-Quran, sehingga dari hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa siapapun yang sering membaca al-Quran maka akan dijauhkan dari penyakit mata.

Tidak cuma sekedar itu, golombang energi yang dihasilkan dari getaran lantunan ayat al-Quran mampu meningkatkan daya ingat dan memberikan ketenangan yang sangat luar biasa, hal inilah yang menjadi kesimpulan akhir dari hasil penelitian seorang ilmuan hebat di Amerika.

Adalah Dr. Al-Qadhi, melalui penelitiannya yang panjang dan serius di klinik di Florida Amerika Serikat, berhasil membuktikan hanya dengan mendengarkan ayat al-Quran, seorang Muslim, baik mereka yang berbahasa arab maupun bukan, dapat merasakan peruabahan fisiologi yang sangat besar, luar biasa bukan?

Kemudian, jika kita hubungkan hasil penelitian tersebut dengan pekerjaan, maka pengaruh positif yang dberikan oleh al-Quran sangat banyak sekali, kerjaannya fokus dan penuh konsentrasi, dan inilah yang jarang sekali difikirkan oleh mereka yang sibuk dengan pekerjaannya, atau memang sengaja di abaikan karena alasan malas tersebut.

Masih mau memakai alasan apalagi untuk tidak menyempatkan buka al-Quran dan mengaji?

Sungguh rugi jika sebagai Muslim tidak menyempatkan membaca al-Quran yang merupakan sumber energi yang sangat luar biasa.

“Sesungguhnya orang yang tidak ada dalam dirinya sesuatupun dari al-Quran laksana sebuah rumah yang runtuh.” (HR. Tirmidzi).

Dalam hadits lain Nabi mengatakan, “Bacalah al-Quran sesungguhnya ia akan datang di hari kiamat menjadi syafaat (penolong) bagi pembacanya.” (HR. Muslim). Nah, mulai hari ini, hindari sok sibuk dengan menyempatkan baca al-Quran dan tilawah.

Saturday 24 May 2014

Para Jenderal Kotor Eks Orba Dukung Jokowi


Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mempersoalkan keberadaan jenderal-jenderal di tim pemenangan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla.

Ada sejumlah jenderal eks-orde baru di dalam tim sukses Jokowi. Beberapa nama yang ditemukan adalah :

Jenderal TNI (Purn) AM Hendropriyono (mantan kepala BIN),

As’ad Said Ali (BIN),

Jenderal TNI (Purn) Luhut Pandjaitan,

Laksamana (Purn) Tedjo Edi,

Letjen TNI (Purn) Farid Zainudin,

Marsekal Madya (Purn) Ian Santoso,

Jenderal TNI (Purn) Farchrul Rozi, dan

Jenderal Polisi Dai Bachtiar.

Karena mereka berasal dari masa Orde Baru, beberapa jenderal tersebut pernah terlibat kasus-kasus HAM. Jenderal TNI (Purn) Hendropriyono, misalnya, disebut berbagai kalangan pernah terlibat dalam kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir. Sedangkan Jen Pol Dai Bachtiar adalah mantan kepala Polri di jaman Megawati yang menyeret Ustad Abu Bakar Ba’asyir ke dalam penjara padahal sang ustadz sepuh itu sedang dirawat di PKU Muhammadiyah Solo .

Tuesday 20 May 2014

20 Mei: Kebangkitan Feodalisme Jawa ?


Jika kita memang harus adil kepada sejarah, sesungguhnya harus ada yang dipertanyakan setiap kali menapak 20 Mei. Layakkah tanggal pendirian organisasi Boedi Oetomo itu dianggap sebagai awal kebangkitan nasional bangsa Indonesia?

Bila kita cukup kritis dan tak hanya menerima semua warisan kaum tua sebagai sesuatu yang taken for granted, barangkali kita layak berkata “Tidak!”. Penolakan itu bahkan telah lama diajukan cucu dr Soetomo sendiri. Melalui sebuah tesis sejarah yang ditulis untuk Universitas Cornell, Amerika Serikat, pada tahun 1975 Savitri Prastiti Scherer menolak anggapan tersebut.

Tulisan yang kemudian diterjemahkan menjadi sebuah buku ‘Keselarasan dan Kejanggalan’, pada 1985 itu menggambarkan Boedi Oetomo pada intinya hanyalah gerakan sosial yang mengartikulasikan kepentingan kelompok priyayi non birokrat yang lokal saja sifatnya. Savitri menulis, berdirinya BO tak lain karena adanyadisharmoni antara priyayi birokrat dengan priyayi profesional, khususnya para dokter Jawa. Savitri mengungkapkan bahwa priyayi-priyayi Jawa, terutama priyayi birokratis menerima pejabat-pejabat kesehatan dengan rasa permusuhan. Achmad Jayadiningrat, regent (bupati) Serang mengungkapkan, “…dokter-dokter itu diperlakukan seolah-olah mereka adalah mantri irigasi…” Sang Regent juga mengakui betapa buruknya ia memperlakukan seorang dokter yang datang ke rumahnya untuk menolong istrinya yang sedang sakit.

Jadi, kemunculan Boedi Oetomo sebenarnya lebih karena keinginan untuk menolong diri sendiri yang berda dalam posisi rendah dibanding priyayi birokratis. “…Kalau kita tidak menolong diri kita sendiri tidak akan ada orang lain yang menolong kita, dan tolonglah diri kalian sendiri” kata Goenawan Mangoenkoesoemo tentang alasan mahasiswa STOVIA mendirikan BO, sebagaimana tertulis dalam buku Paul W van der veur, ed., Kenang-kenangan Dokter Soetomo,.

Dalam konteks yang sama, Savitri mengungkapkan, aspirasi utama perjuangan Boedi Oetomo ialah keserasian di kalangan masyarakat Jawa. Sewaktu Soewarno diangkat menjadi sekretaris BO cabang Batavia, ia mengeluarkan edaran yang menjelaskan maksud dan tujuan berdirinya Bom yakni merintis terciptanya Persatuan Jawa Umum (Algemeene Javaansche Bond).

Lihatlah pidato dr Wahidin Soedirohoesodo dalam Kongres pertama BO di Yogyakarta, 3-5 Oktober 1908. Wahidin membuka kongres dengan pidato yang mengagungkan sejarah Jawa dan menekankan pentingnya pendidikan barat bagi kemajuan Jawa, khususnya bagi priyayi Jawa, bukan pendidikan bagi rakyat desa secara umum. Memang ada Goenawan, tokoh muda BO. Ia dan kakaknya, dr Tjipto dengan keras mengemukakan pentingnya pendidikan yang bukan hanya untuk priyayi dan Jawa, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Hindia Belanda.

Sayang ide-ide mereka mentok. Savitrimenulis, usulan Goenawan-Tjipto itu lenyap dalam perdebatan panas, segera setelah ia selesai berbicara. Kongres menolak usulan Tjipto untuk menjadikan BO sebagai organisasi politik dan memperluas keanggotaannya bagi seluruh penduduk Hindia Belanda.

Sejalan dengan itu, dalam pasal 2 anggaran dasar BO kemudian tertulis “Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis”. Itulah tujuan BO, yang kacamatanya hanya melihat cakrawala sebatas Jawa-Madura.

Karena itu pula, wajar bila perkumpulan BO dipimpin para ambtenaar, yakni para pegawai negeri yang setia dan selalu membungkuk-bungkuk kepada pemerintah kolonial Belanda. Usai kongres, BO diketuai Raden T. Tirtokusumo, bupati Karanganyar kepercayaan Belanda, yang memimpin hingga tahun 1911. Kemudian dia diganti Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam Yogyakarta, seorang yang digaji Belanda dan karena itu sangat setia dan patuh pada induk semangnya.

Yang lebih parah adalah hubungan BO dengan Islam, agama mayoritas pejuang kemerdekaan, juga buruk. Seorang tokoh Masyumi dan mantan ketua majelis Syuro Syarikat Islam, KH. Firdaus AN, dalam ‘Syarikat Islam Bukan Budi Utomo : Meluruskan Sejarah Pergerakan Bangsa’, menulis bahwa sejatinya organisasi pertama yang berdasarkan paham kebangsaan adalah Syarikat Dagang Islam, yang kemudian menjadi Syarikat Islam. KH Firdaus mengungkapkan, adanya indikasi kebencian terhadap Islam di kalangan tokoh-tokoh BO.

Noto Soeroto, salah seorang tokoh Boedi Oetomo, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereninging berkata: “Agama Islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya…sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.”

Tokoh Persatuan Islam yang sempat berkorespondensi dengan Bung Karno selama pembuangan sang Proklamator di Flores, A Hassan, menuliskan di majalah Persis Al Lisan seraya mengutip sebuah artikel di ‘Suara Umum’, sebuah media massa milik BO. Menurut A Hassan, di majalah BO itu terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (dari Al-Lisan nomor 24, 1938). Sebenarnya, banyak lagi contoh lain seputar itu.

Lalu mengapa dipilih 20 Mei 1908, bukan hari lahir Syarikat Dagang Islam yang terbentuk 16 Oktober 1905 untuk menjadi penanda kebangkitan nasional? Padahal, SDI yang kemudian jadi SI itulah yang sejak awal didirikan untuk menentang masuknya pedagang asing untuk menguasai ekonomi Indonesia saat itu?

Prof Deliar Noer sendiri, lewat bukunya ‘Gerakan Modern Islam di Indonesia’, menulis,” Nasionalisme Indonesia dimulai sebenarnya dengan nasionalisme Islam.Mereka yang bergerak di bawah panji-panji yang bukan Islam kebanyakannya terdiri dari mereka yang telah meninggalkan tempat buaian mereka semula, tempat mereka mula-mula sekali mengecap asam garam pergerakan.”

Istilah kebangkitan nasional’ pertama kali dikemukakan Perdana Menteri Hatta pada tahun 1948. Selain situasi politik dalam negeri diwarnai perang kemerdekaan, ada pula gerakan mantan Perdana Menteri Amir Sjarifudin yang pada bulan Februari 1948 membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR). Ia melakukan berbagai provokasi yang memancing reaksi dari partai lain seperti Masyumi.

Melihat kondisi negara yang begitu mengkhawatirkan, Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantoro) dan dr. Radjiman Wediodiningrat mengusulkan kepada Presiden Soekarno, Perdana Menteri Hatta, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mr Ali Sastroamidjojo agar memperingati peristiwa berdirinya Boedi Oetomo, 20 Mei 1908, sebagai pengingat semua orang bahwa persatuan kebangsaan itu sudah diperjuangkan begitu lama.

Usulan itu disetujui pemerintah RI. Maka dilaksanakanlah peringatan "Kebangunan Nasional" yang ke-40 pada tahun 1948 itu.

Tetapi memang ada catatan tersendiri tentang Ki Hajar. Dalam ‘Tapak-tapak Pejuang: dari Reformis ke Revisionis’, yang didasarkan atas tulisan Savitri, A Suryana Sudrajat menulis, selepas dari penjara Ki Hajar memang berubah.

Ia mendirikan Taman Siswa, yang menurut Ruth McVey,”Jawaban abangan kepada sekolah Muhammadiyahnya golongan santri.”

Praktis setelah itu Ki Hajar berhenti dari kegiatan politik. Ia mengganti pandangan pembaruan sosialnya yang radikal dengan kegiatan yang menjurus pengagungan budaya Jawa. Pandangannya pun menjadi sangat elitis. Ia cenderung menjadi pembela status quo.

Tak heran, bila pada 1931, saat HUT ke-25 pemerintahan Paku Alam VII, Ki Hajar menyambutnya dengan tulisan-tulisan yang membanggakan prestasi kebudayaan keluarganya.

Lihatlah, wajar bila Ki Hajar mengusulkan Boedi Oetomo untuk penanda kebangkitan nasional. Boedi Oetomo yang Jawa sentris. Bukan yang lain.

Sementara, peneliti Robert Van Niels dalam ‘Munculnya Elit Modern Indonesia ‘ justru menulis, “Tanggal berdirinya Budi utomo sering disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional atau Kebangkitan Nasional. Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja. Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah dari dulu terjadi…Orang-orang Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir barat. Bagi dunia luar, organisasi Budi Utomo menunjukkan wajah barat.”

Monday 19 May 2014

Pernah Janjikan Koalisi Tanpa Syarat, Jokowi Bohong Lagi ?


Masih percaya koalisi PDIP tanpa syarat dan tidak bagi-bagi kekuasaan? Masih belum kapok dikibulin oleh mulut manis Jokowi? Bahkan politisi NasDem, mitra koalisi saja tidak percaya dan menyebut koalisi PDIP sebagai koalisi banci dan pernyataan koalisi tanpa syarat dikeluarkan hanya untuk menipu masyarakat sebab faktanya tidak ada makan siang gratis di dunia ini.

Darimana logikanya koalisi tanpa syarat bila masuknya NasDem adalah untuk memajukan JK sebagai cawapres Jokowi. Menurut keterangan Sabam Sirait, politisi senior sekaligus pendiri PDIP hari ini bahwa mahar JK untuk penunjukan tersebut adalah Rp. 10trilyun. Politik dagang sapi ini membuat Sabam kecewa dan mengancam mundur dari PDIP bila Golkar masuk dalam koalisi atau JK menjadi cawapres, dan bila ini terjadi diasumsikan Maruarar Sirait, anaknya akan ikut serta.

Terkait Golkar Sabam tidak perlu kuatir sebab konvensi Golkar memutuskan bahwa hanya Ical yang menjadi capres/cawapres dari Golkar, sedangkan kader lain yang mau maju dari partai lain harus melepas atribut Golkar. Dengan kata lain JK sudah bisa menjadi cawapres Jokowi tanpa keterlibatan Golkar. Sebelum ini negosiasi mandek sebab Ical ingin JK mengganti biaya kampanye yang sudah dia keluarkan, tapi JK hanya mau setengah karena sudah bayar Megawati Rp. 10trilyun sedangkan sisanya ditanggung Megawati. Mana mau si Megawati keluar uang?

Bila bukan JK, yang artinya mahar Rp. 10trilyun dikembalikan Megawati maka pilihan Mega adalah Puan Maharani, nama yang juga membawa perpecahan di dalam kubu PDIP sebagaimana terbukti Ketua DPC PDIP Solo, FX Hadi mengundurkan diri dari PDIP sebagai protes menguatnya wacana Puan menjadi cawapres. Selain itu beberapa kelompok ProJo juga menyatakan hal yang sama, akan mundur bila Puan yang maju.

Nah, sekarang masalahnya karena JK sudah keluar Rp. 10trilyun hanya untuk menjadi cawapres, ketika dia terpilih apakah JK tidak akan mencari cara untuk balik modal melalui pengaturan proyek pemerintah jatuh ke tangan perusahaannya, Bukaka dan Bosowa? Tentu saja pasti kekayaan negara akan dikeruk sebesar-besarnya supaya bisa mendapatkan kembali Rp. 10trilyun yang sudah terlanjur keluar.

Pengusaha dan Tokoh CSIS Dukung Jokowi-JK


Salah satu Dewan Pengawas Dewan Pengawas Center of Strategic and International Studies (CSIS) Sofyan Wanandi (Liem Bian Koen), menyatakan dukungannya kepada Joko Widodo sebagai Calon Presiden dalam Pemilihan Presiden (Pilpres), Juli mendatang. Namun dengan catatan, Jokowi harus menggandeng Jusuf Kalla sebagai pasangannya.

Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi PengusahaIndonesia (Apindo) itu menegaskan dukungannya tersebut bukanlah sikap Apindo secara kelembagaan, melainkan hanya sikap pribadi. Baginya, sosok JK paling tepat untuk mendampingi Jokowi sebagai Calon Wakil Presiden.

Hal itu bukan dikarenakan latar belakang JK sebagai pengusaha, melainkan pengalamannya dalam memimpin pemerintahan selamalimatahun kala masih bersanding dengan Susilo Bambang Yudhoyono.

“Saya percaya bahwa JK paling baik, bukan karena dia itu pengusaha tapi kualitasnya. Jokowikan juga pengusaha furniture, Prabowo pun begitu, punya usaha Kiani Kertas toh,” tambahnya.

“Saya tidak melihat kemungkinan itu akan terjadi. Setelah dipertimbangkan, mereka (Aburizal-Pramono) pasti kalah juga, jadi enggak akan maju. Makanya saya yakin Pilpres ini cuma satu putaran, dengan calon Jokowi dan Prabowo,” paparnya.

Apindo, kata Sofjan, akan berkomitmen membantu pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan memberikan pekerjaan buat rakyat. Pengusaha menurutnya akan menjadi tulang punggung bagi pembangunan esok, oleh karena itu perusahaan harus digerakkan untuk mau berinvestasi lebih banyak serta mendatangkan investasi dari luar.

“Kita juga harus menjadi partner dengan tetap melibatkan pengusaha lokal untuk membangun sama-sama,” pungkasnya.

CSIS adalah lembaga pengkajian kebijakan sosial, politik, dan ekonomi Indonesia. CSIS moncer di era Orde Baru dan sering disebut sebagai tanki pemikirnya.

CSIS terbentuk pada 1971 ketika Hadi Susastro dan beberapa kawan-kawannya pulang belajar dari Eropa. Merekalah yang mengusulkan dibentuknya sebuah lembaga think tank. Sebelum bergiat di CSIS, para kader Pater Beek –seorang pastor radikal anti komunis yang dibiayai CIA- itu sudah berkiprah dalam operasi khusus (Opsus) pimpinan Ali Murtopo. Di lembaga ini pulalah Panglima ABRI Leonardus Benny Moerdani, seorang Katolik abangan yang sangat anti Islam, berkantor setelah pensiun dari jabatannya. Moerdani, tulis Salim Said dalam bukunya “Dari Gestapu ke Reformasi” bahkan menempati kursi dan meja yang digunakan Ali Murtopo.

Dua orang bersaudara, Yusuf Wanandi (Lim Bian Kie) dan Sofyan Wanandi (Liem Bian Koen), hingga kini masih menjadi anggota Dewan Pengawas CSIS. Sedangkan Hary Tjan Sillalahi, mantan Sekjen Partai Katolik di masa Orde Lama dan sekaligus pendiri CSIS menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas.

Sunday 18 May 2014

Mengapa Muslim Sekarang Terlalu Jujur dengan Kemunafikannya ?





Ciri-ciri orang Munafik yaitu orang yang "KTP-nya Islam" tapi akhlaqnya bertolak belakang di jaman modern sebenarnya sangat mudah dijumpai disekitar kita, khususnya jika kita sedang membicarakan soal "Hal-hal yang dilarang dalam Islam" dengan mereka, antara lain :

1. Selalu berkilah (baca : NGELES) alias cari alasan untuk MENGHALALKAN apa yang diharamkan oleh Allah.

contoh simple saja : Khamr (minuman keras) sedikit banyak hukumnya HARAM tidak ada kecuali, tapi mereka selalu bersikeras "kalau untuk penghangat tidak apa-apa" , "kalau untuk obat tidak apa-apa" , "kalau tidak sampai mabuk tidak apa-apa", begiupula masalah Zina, apapun alasannya ZINA ITU HARAM, tapi mereka juga punya alasan "TAPI kalau bertangung jawab ngak apa-apa" , "TAPI kalau pakai pengaman tidak apa-apa" dan lain sebagainya, kata "KALAU" dan "TAPI" adalah senjata andalan mereka, jika kalian mendapati orang yang seperti itu (doyan ngeles) bisa dipastikan bahwa yang menjadi lawan bicara kalian adalah seorang Munafiqiin.

2. sebaliknya dari point 1 yaitu MENGHARAMKAN yang HALAL.

contoh : Syariat Islam tidak cocok diterapkan di Indonesia ! pantasnya di Arab saja, padahal jauh sebelum Indonesia merdeka, negeri-negeri Islam nusantara seperti kerajaan Demak dan Samudera Pasai sudah menerapkan Syariat Islam di bumi Indonesia, bahkan saat Indonesia dijajah oleh Belanda, pemerintah kolonial belanda MEMPERBOLEHKAN Inlander (pribumi) untuk menerapkan HUKUM ISLAM dalam memecahkan masalah yang menghadapi mereka, karena KUHP dan KUHPerdata pada waktu itu hanya berlaku bagi warga golongan I (eropa), dan sebagian pasalnya juga berlaku bagi warga Golongan II (timur asing / non-pribumi), itu semua sudah ditetapkan via Koninklijk Besluit atau keputusan kerajaan belanda.

Alasan "Itu cuma budaya Arab" adalah alasan yang paling sering mereka katakan padahal alasan tersebut semata-mata karena kebencian mereka kepada Islam yang amat-sangat mendalam, ANDAIKATA Islam itu lahir di Amerika, Eropa, atau bahkan Antartika sekalipun, niscaya mereka juga akan mengatakan hal yang sama yaitu "Itu cuma budaya X, bukan budaya kita".

Ucapan tersebut bukanlah isapan jempol semata, justru ucapan itu banyak muncul di madrasah/pesantren yang erat memegang kultur nenek moyangnya, bukan berdasar Al Qur'an & hadits sahih.

Jika kalian bertemu dengan orang yang mengatakan demikian, saya yakin bahwa orang yang kalian hadapi adalah kaum munafik.

Berbeda dengan Jaman Rasulullah (saw) masih hidup, kaum Munafiquun sangat menutupi kemunafikan mereka, diluar mereka terlihat sebagaimana Muslim lainnya bahkan jika dipandang sebelah mata, sholat mereka LEBIH GIAT daripada sholatnya muslim kebanyakan, puasa mereka LEBIH HEBAT daripada puasanya muslim kebanyakan, tapi hati mereka masih INGKAR kepada Allah, mereka berpura-pura menjadi Muslim semata-mata "supaya si Muhammad itu senang" saja, sungguh celaka kaum-kaum munafiq tersebut, naudzubillahimindzalik

Saturday 17 May 2014

Resmi Jadi Ketua Lesbumi NU, Ahmad Dhani Disebut Ustadz


Ahmad Dhani resmi diangkat sebagai salah satu ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama (Lesbumi NU). Usai dilantik, Dhani bertekad akan berusaha keras melaksanakan amanah yang diberikan kepadanya.

"Islam di Indonesia ini mengikuti NU. Kalau NU-nya bagus, Islam di Indonesia akan bagus. Saya akan berusaha amanah, melaksanakan apa yang ditugaskan ke saya dengan sebaik-baiknya," kata Dhani di Gedung PBNU, Jakarta.

Saat pelantikan pentolan band Dewa 19 itu. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menyebut Dhani dengan sebutan ustadz. Pelantikan Ahmad Dhani sebagai bagian dari kepengurusan di PBNU bersamaan dengan tasyakur hari lahir NU ke 91 tahun yang dilaksanakan malam ini.

"Bismillahirrohmannirrahim, saudara ustadz Ahmad Dhani resmi saya lantik menjadi salah satu Ketua Lesbumi NU," kata KH Said Aqil Siroj, sambil menyematkan pin NU di kemeja Dhani.

Dalam sambutannya, Said meminta bos Republik Cinta Manajemen (RCM) itu bisa mengembalikan kejayaan NU melalui jalur seni. Apalagi, banyak juga pekerja seni yang dulu aktif di NU.

"Dulu NU memiliki seniman-seniman handal. Ada Asrul Sani, Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, dan masih banyak lagi. Nah, Mas Dhani ini seniman yang hebat, semoga keikutsertaannya dalam NU bisa mengembalikan kejayaan NU di bidang seni,” urai Said.

Friday 16 May 2014

Korupsi di Era Soekarno


Korupsi memang bukan barang baru di negeri ini. Sejak diwariskan oleh pemerintah kolonial, korupsi menjangkiti kaum pribumi. Bahkan ketika kemerdekaan telah kita raih dari tangan penjajah, bau amis korupsi ternyata ikut melekat di tangan para politisi kita sejak dini. Karya semacam Korupsi (Pramoedya Ananta Toer) dan Senja di Jakarta (Mochtar Lubis) menggambarkannya melalui untaian cerita. Ketika itu praktek korupsi begitu menggurita, penuh manipulasi. Modus yang dikenal pada periode 1950-an adalah ‘Importir aksentas’ atau pengusaha ‘Ali-Baba’. Kebijakan nasionalisasi saat itu diakali para ‘Importir aksesntas.’ Sebuah akal-akalan perusahaan nasional (dalam negeri) yang menjual kembali izin impor kepada perusahaan asing. Begitu pula taktik ‘Ali-Baba’, sebuah modus yang berkedok importir pribumi untuk mendapatkan fasilitas impor dari pemerintah. Padahal di balik importer ini hanyalah pengusaha Cina atau Belanda.[1] Maka hal semacam ini lazim disebut ‘Ali-Baba’ atau Ali-Willem.[2]

Ketika itu, negara di bawah pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955). Pemerintah kala itu memang menggelorakan ekonomi nasional (termasuk nasionalisasi) dengan memberikan kredit-kredit pada pengusaha nasional.[3] Namun, Menteri Keuangan saat itu, Iskaq Tjokrohadisoerjo (1953-1955), melakukan politik nasional dalam ekonomi dengan banyak diskriminasi. Ia mengutamakan pengusaha dari partai PNI saja, atau yang menyokong pemerintahan PNI (Ali) sehingga diberi kemudahan tanpa memperhatikan kemampuan. Termasuk salah satunya, perusahaan importir kertas baru, Inter Kertas, yang setengah dari sahamnya dimiliki oleh Sidik Djojosukarto.[4] Menteri Iskaq berbuat seperti ini, bukan tanpa alasan. Tampaknya PNI mengejar persiapan untuk pemilu tahun 1955.[5] Bahkan mengambil kebijaksanaan untuk menyokong dana partai. Bersama Ong Eng Die (keduanya dari PNI), mereka memerintahkan dana kementerian untuk disimpan di Bank Umum Nasional, suatu bank PNI. Mereka juga merombak personalia dana administrasi kementerian terutama yang berhubungan dengan perdagangan dan perindustrian. Menteri Iskaq juga pernah membatalkan Koperasi Batik Indonesia sebagai satu-satunya importir cambrics, dan memberi lisensi ini kepada beberapa importir tak berpengalaman. Selain itu dia juga memberikan izin impor kertas untuk pemilu kepada suatu perusahaan yang sahamnya dimiliki orang-orang PNI.[6]

Kebijakan-kebijakan seperti ini mendapat tentangan keras dari partai Masyumi. Ketua Seksi Ekonomi dari parlemen, KH Tjikwan (Masyumi) mengajukan mosi di parlemen untuk interpelasi, guna mempertanyakan kebijakan Menteri tersebut. Mosi untuk interpelasi diterima dengan suara bulat. Namun mosi tak percaya berakhir dengan kegagalan. Kegagalan ini lebih bersifat politis, yaitu pemihakan kekuatan antara oposisi dan partai yang ikut dalam kabinet. Walaupun begitu, Partai NU yang ikut serta dalam kabinet turut mengirimkan nota politik yang berisi kekhawatiran tentang masalah ekonomi. Begitu pula PSII yang juga ikut dalam kabinet menyatakan tidak bertanggungjawab atas kelanjutan kebijakan menteri-menteri dari PNI itu.[7]

Kabinet Ali Sastroamidjojo menyerahkan kekuasaannya kepada Boerhanoeddin Harahap pada 12 Agustus 1955. Di sinilah kemudian Kabinet Boerhanoeddin yang berasal dari Masyumi membuktikan dirinya memerangi korupsi dengan lantang. Kabinet Boerhanoeddin langsung melancarkan kampanye anti korupsi. Pasal lima dari program kabinet ini adalah memberantas korupsi.[8] Kabinet ini langsung menyikat orang-orang yang terindikasi korupsi. Beberapa hari setelah dilantik, Mr. Djodi Gondokusumo, bekas Menteri Kehakiman ditangkap. Begitu pula Menteri Keuangan Ong Eng Die.[9] Rumah Iskaq Tjokroahdisurjo digeledah. Saat itu Iskaq sendiri sedang berada diluar negeri. Ia berkali-kali dipanggil pulang. Tetapi perjalanannya di luar negeri diperpanjang. Dalam biografinya, ia mengakui, sebetulnya ia hendak pulang, tetapi di Singapura ia dijemput Lim Kay, yang diutus pimpinan pusat PNI.[10] Iskaq sendiri tahun 1960 divonis bersalah oleh pengadilan, namun kemudian diselamatkan Soekarno dengan grasinya. Daftar orang-orang yang ditahan termasuk beberapa orang di badan penyelidik negara, pejabat kantor impor, serta pengusaha (importir). Penangkapan merebak di mana-mana. Bandung, Surabaya, Sumatera tengah, Jawa tengah hingga Penang. Termasuk di Singapura, Konsul Jenderal Arsad Astra juga dipanggil pulang dan ditahan.[11]

Delapan hari setelah dilantik, Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap – yang saat dilantik baru berusia 38 tahun- menjelaskan kebijakannya melawan korupsi,

Untuk memperbaiki kembali keadaan yang tak sehat dalam masyarakat, dan juga di dalam kalangan pemerintahan sebagai akibat dari tindakan-tindakan korup oleh berbagai orang, maka pemerintah menganggap perlu untuk menjalankan tindakan-tindakan yang keras dan tegas.

Ia juga menegaskan tak pandang bulu membasmi korupsi, tanpa peduli partai, golongan atau agamanya.[12]Ia kemudian juga menggencarakan perlawanan dengan memperluas kekuasaan Jaksa Agung. Ia membebaskan Jaksa Agung dari tiap pembatasan sehingga dapat bertindak terhadap siapa saja atas dasar hukum.[13]

Gebrakan yang lebih keras dari kabinet beliau adalah, saat kabinetnya mengeluarkan RUU Anti Korupsi yang memuat suatu exorbitant-recht. RUU itu mewajibkan kepada pegawai negeri atau orang lain untuk memberikan bukti-bukti yang menerangkan asal-usul harta benda (kekayaan) yang dimilikinya, yang biasa diistilahkan de bewijslast-omkeren.[14]

RUU anti korupsi itu terdiri dari dua bagian, pertama, mengatur berbagai tindakan di dalam peradilan yang ketentuannya berlainan dengan peradilan biasa. Yaitu mengadakan pengadilan tersendiri -seperti juga untuk tindakan pidana ekonomi- dan terdakwa harus dapat menjawab dengan sejujurnya terhadap berbagai tuduhan kepadanya.[15]

Bagian kedua dari RUU tersebut adalah mengatur berbagai tindakan di luar peradilan. Bagian ini memungkinkan penyelidikan harta benda seseorang oleh Biro Penilik Harta Benda, untuk menyelidik besarnya harta dan kelegalan kepemilikan harta tersebut. Suatu praktek pencegahan korupsi yang akhirnya baru dimulai beberapa waktu belakangan ini.

RUU ini pun dibawa ke parlemen. Namun sayangnya RUU ini kandas setelah tidak mendapatkan dukungan memadai dari partai berpengaruh seperti Partai NU. Boerhanoeddin sendiri tidak mengetahui sebab penolakan itu oleh Partai NU.[16] Rangkaian usaha kabinet ini memberantas korupsi, seringkali dituduh sebagai aksi balas dendam, termasuk oleh PNI. Namun Perdana Menteri Boerhanoeddin Harahap menolaknya, ia menegaskan pemberantasan korupsi dilakukan secara, obyektif, hati-hati, dan tidak asal tangkap.[17]

Sesungguhnya kita tidak perlu merasa heran dengan sikap para tokoh Masyumi yang anti korupsi. Karena sikap itu telah ditunjukkan oleh para tokohnya dengan kasat mata dalam kesehariannya. Mereka adalah pemimpin yang seringkali dikenal hidup sederhana dan taat beragama. Jika kita menilik kembali pada saat Masyumi beserta tokoh-tokohnya, umumnya kita akan mendapatkan kesan kehidupan mereka yang jauh dari kemewahan. Meskipun memegang jabatan tinggi di pemerintahan, hidup mereka tak lekat dengan gelimang harta. Sebut saja kisah kesederhanaan M. Natsir, yang diakui oleh Indonesianis, George McTurnan Kahin. Nama Natsir dikenal oleh Kahin, lewat H. Agus Salim. Beliau (H. Agus Salim) merekomendasikan nama Natsir sebagai narasumber untuk Republik.

“Dia tidak bakal berpakaian seperti seorang Menteri. Namun demikian dia adalah seorang yang amat cakap dan penuh kejujuran; jadi kalau anda hendak memahami apa yang sedang terjadi dalam Republik, anda seharusnya bicara dengannya,” jelas H. Agus salim.

Kahin membuktikan dengan matanya sendiri, ia melihat Natsir sebagai Menteri Penerangan, berdinas dengan kemeja bertambal. Sesuatu yang belum pernah Kahin lihat di menteri pemerintahan manapun.[18] Bahkan ketika menjabat sebagai Perdana Menteri pun, Natsir tak mampu membeli rumah untuk keluarganya. Hidupnya selalu di isi dengan kisah pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya.

Kisah kesederhanaan Natsir terus berlanjut, tahun 1956, ketika telah berhenti menjadi Perdana Menteri dan menjadi pemimpin partai Masyumi, Natsir pernah akan diberikan mobil oleh seseorang dari Medan. Ia ditawariChevrolet Impala, sebuah mobil ‘wah’, yang sudah diparkir di depan rumahnya. Namun Natsir menolaknya. Padahal saat itu mobil Natsir hanya mobil kusam merek DeSoto.[19]

Jabatan yang tinggi menghindarkan mereka dari penyalahgunaan amanah. Hal ini berlaku juga pada Sjafrudin Prawiranegara, seorang tokoh Masyumi yang kental dengan dunia ekonomi. Tahun 1951, setelah menjabat sebagai Menteri Keuangan, Sjafruddin ingin terjun di sektor swasta. Nafkahnya sebagai menteri, sangat pas-pasan, bahkan kurang. Bagi menteri Sjafruddin, haram baginya menyalahgunakan kekuasaan, termasuk sambil berbisnis ketika menjabat, atau menerima komisi. Setelah tak menjabat, ketika itu datang tawaran untuk menjadi Presiden De Javasche Bank (kemudian dikenal dengan Bank Indonesia). Tawaran ini diberikan langsung oleh salah seorang direksinya, Paul Spies. Sjafruddin menolaknya, dengan berbagai alasan, termasuk keinginannya mendapatkan penghasilan lebih. Ia merasa De Javasche Bank, yang akan dinasionalisasi oleh pemerintah, pasti akan turut mengalami penurunan gaji. Ia merasa keberatan karena harus mendapatkan penghasilan pas-pasan, seperti menjadi menteri dahulu. Namun justru prinsip kejujuran inilah yang dicari oleh Paul Spies. Hingga akhirnya pemerintah menyetujui tak akan menurunkan gajinya. Akhirnya jabatan itu pun diterimanya.[20]

Gejala lain dari hidup para tokoh ini adalah, kondisi mereka serupa saja, baik saat sebelum menjabat, saat menjabat, atau pun setelah menjabat. Tetap sederhana. Hidup mereka hanya mengandalkan gaji saat menjadi pejabat. Hidup para tokoh Masyumi yang sederhana semakin terlihat tatkala mereka ramai-ramai dipenjara oleh rezim Soekarno, tentu saja bukan karena tuduhan korupsi. Tetapi melawan pemerintahan. Ketika masing-masing masuk bui, para istri mereka yang mengambil alih posisi mencari nafkah. Tak ada tabungan, atau harta melimpah yang disimpan suami mereka. Isteri dari Buya Hamka merasakan betul keadaan itu. Semenjak Buya Hamka di tahan, ia sering berkunjung ke pegadaian. Seringkali perhiasannya tak dapat lagi ditebus.[21]Nasib serupa dialami Ibu Lily, istri dari Sjafruddin Prawiranegara, hidup menumpang di rumah kerabat dan menjual perhiasan. Rumah mereka yang dibeli dengan mencicil ke De Javasche Bank, pun turut di sita.[22]Kisah-kisah para tokoh Masyumi yang tak punya rumah seringkali terdengar. Setelah bebas dari penjara, Natsir akhirnya bisa memiliki rumah, setelah membeli rumah milik kawannya, itu pun dengan cara mencicil dan meminjam sana-sini. Begitu pula dengan Boerhanoeddin Harahap, ketika baru bebas, ia hidup menumpang di rumah adiknya yang sempit, di sebuah gang kecil, di Manggarai Selatan. Boerhanoeddin akhirnya memiliki rumah, dengan cara mencicil rumah yang dipinjamkan seseorang di daerah Tebet, Jakarta Selatan.[23]

Teladan hidup sederhana ini menghindarkan mereka dari godaan hidup mewah, dan kemungkinan tuduhan korupsi. Bagaimana mungkin akan dituduh korupsi, jika rumah pun tak punya? Kesadaran tinggi akan amanah dan kesalehan merekalah yang menghindarkan mereka dari gaya hidup mewah yang seringkali memicu korupsi. Mereka lebih memilih hidup sederhana, ketimbang hidup mewah dengan mengumbar berbagai dalil sebagai dalih.

Teringatlah kita akan pesan Buya Hamka bagi para pejabat, untuk menghindai gaya hidup mewah,

“Sejak dari kepala negara sampai kepada menteri-menteri dan pejabat-pejabat tinggi telah ditulari oleh kecurangan korupsi. Sehingga yang berkuasa hidup mewah dan mengumpulkan kekayaan untuk diri sendiri, sedangkan rakyat banyak mati kelaparan, telah kurus-kering badannya.”

Buya pun melanjutkan dengan gamblang, ketika menjelaskan surat Ali Imran ayat 161 ini dalam Tafsir Al Azhar,

“…Nyatalah bahwa komisi yang diterima oleh seorang menteri, karena menandatangani suatu kontrak dengan satu penguasa luar negeri dalam pembelian barang-barang keperluan menurut rasa halus iman dan Islam adalah korupsi juga namanya. Kita katakan menurut rasa halus imandan Islam adalah guna jadi pedoman bagi pejabat-pejabat tinggi suatu negara, bahwa lebihbaik bersih dari kecurigaan ummat.”[24]

Maka cerminan dari masa lampau tak pernah bisa kita hapuskan jika ingin melangkah. Sebaiknya para pengusung, pendukung dan terutama partai-partai berbendera Islam, mulai memikirkan kembali amanah mereka dan mulai bersikap hidup sederhana, menghempaskan gaya hidup bergelimang harta-dengan berbagai dalih-, seperti yang telah ditunjukkan oleh para pendahulu kita.
Oleh : Beggy [dipublikasikan ulang dari jejakislam.net]

[1]Herbert, Feith. The Deciline of Constitutional Democracy in Indonesia. Equinox Publihshing. 2007. Singapura.
[2]Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional. Pustaka Utama Grafiti. 1987. Jakarta.
[3]idem
[4]Herbert, Feith.
[5]Noer Deliar
[6]ibid
[7]Noer, Deliar.
[8]ibid
[9]ibid
[10]Busyairi, Badruzzaman. Boerhanoeddin Harahap. Pilar Demokrasi. Bulan Bintang. 1989. Jakarta.
[11]Noer, Deliar.
[12]ibid
[13]ibid
[14]Busyairi, Badruzzaman.
[15]ibid
[16]ibid.
[17]ibid
[18]Panitya Buku Peringatan Mohammad Natsir / Mohamad Roem 70 Tahun. Muhammad Natsir. 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan. Pustaka Antara. 1978. Jakarta.
[19]Politik Santun Diantara Dua Rezim. Majalah Tempo. 20 Juli 2008.
[20]Rosidi, Ajip. Sjafruddin Prawiranegara. Lebih Takut Kepada Allah SWT. Pustaka Jaya. 2011. Jakarta.
[21]Hamka, Irfan. Ayah.Penerbit Republika. 2013. Jakarta.
[22]Rosidi, Ajip.
[23]Busyairi, Badruzzaman.
[24]Hamka, Prof. Dr. Tafsir Al Azhar Juz IV.Pustaka Panjimas. 2004. Jakarta.

Mengapa PDIP Ngotot Pertahankan Lokalisasi Dolly ?

Preman paksa camat & lurah untuk tolak penutupan dolly

Adanya penolakan resmi dari PDIP tentang ditutupnya sarang pelacuran Dolly, Surabaya sangat disayangkan oleh berbagai pihak, namun apabila melihat sepak terjang para politikus PDIP menjadi sebuah kewajaran mengapa mereka menolak.

Media online terkemuka di Indonesia yaitu detik.com pernah merelease sebuah berita pada Kamis, 31/03/2005 tentang apa yang terjadi ketika PDIP menggelar Konggres di Bali. Detik.com menuliskan judul : "Kongres PDIP Untungkan Pelacur".

Berikut isi lengkap beritanya :

Kongres PDIP di Bali membawa berkah. Setidaknya, untuk para pelacur. Para wanita malam itu mendapatkan rupiah lebih banyak dibanding hari biasa, karena banyaknya penggembira dan utusan kongres PDIP yang melakukan transaksi sekk dengan para pelacur.

Sejak hari pertama kongres, sebagian penggembira dan utusan kongres PDIP memang tampak menyerbu kawasan pelacuran tak resmi di beberapa kawasan Sanur, Bali. Antara lain di Padang Galak, Pasiran, Belanjong, dan Semawang.

Kawasan pelacuran ini terkenal dengan tarif hemat. Sementara beberapa utusan kongres PDIP yang berkantong tebal memilih mendatangi kawasan pelacuran di kawasan wisata Kuta. Tempat ini dikenal sebagai kawasan pelacuran yang bertarif mahal.

Para penggembira kongres PDIP yang bermalam di lapangan Matahari Terbit, biasanya menghabiskan malam-malam indahnya di Pulau Dewata ini dengan mendatangi rumah-rumah pelacur di Padang Galak, yang berada di pinggir pantai Sanur itu. Mereka minum-minum, ngobrol, dan juga yang sampai melakukan transaksi dengan pelacur. Umumnya, mereka mencari ayam kampung (gadis Bali). Sayang, gadis Bali susah didapatkan. Soalnya, sebagian besar pelacur di daerah ini memang berasal dari daerah Banyuwangi dan sejumlah daerah dari Jawa Timur lainnya.

Menurut seorang pelacur di Padang Galak, Susi, kepada detikcom, Kamis (31/3/2005), dirinya telah melayani tiga orang yang merupakan tiga penggembira kongres PDIP. Sebenarnya banyak penggembira PDIP yang mendatangi dirinya. Tapi, banyak penggembira yang tidak membayar, karena pura-pura mabuk. Maklum, penggembira memang tidak berduit banyak.

Di kawasan pelacuran Padang Galak dan Pasiran, biasanya penggembira kongres berdatangan secara perorangan atau bergerombol. Karena sama-sama orang Jawa, transaksi pun lebih mudah.

Sementara penggembira di kawasan by pass Sanur memilih menyerbu beberapa rumah bordil di kawasan Semawang dan Belanjong. Mereka tidak perlu bersusah payah untuk mendapatkan para wanita malam itu. Setiap rumah yang memiliki alamat berakhir huruf X, maka itu dipastikan rumah bordil.

Salah seorang pelacur di Semawang, Linda, mengaku melakukan transaksi dengan sejumlah penggembira dan utusan kongres. Bahkan, dia mengaku juga mendapat order untuk datang ke hotel tempat menginap para utusan. "Pokoknya ini berkahlah, karena lebih ramai dari hari-hari biasa," ungkapnya.

Sedangkan beberapa satgas Kongres PDIP yang berpakaian ala pecalang juga ketiban rezeki dari sejumlah utusan kongres. Seorang satgas, Putu Wardana, mengaku sempat beberapa kali menerima order dari para utusan kongres untuk mencarikan rumah bordil itu.

Putu pun mendapatkan rupiah yang lumayan. Sebagian utusan juga mencari kawasan pelacuran elit yang berada di kawasan Kuta. Bahkan, sejumlah utusan masih mengenakan ID card kongres saat mendatangi kawasan pelacuran elit di Kuta itu. Bagaiamana dengan moralita yangn sangat bobrok begitu mau membangun negara dan bangsa ?

Dukung Jokowi, Bos TEMPO akhirnya Keluar dari PAN


Pendiri Majalah Tempo, Goenawan Muhammad, menyatakan dirinya mundur dari keanggotaannya di Partai Amanat Nasional (PAN) sebagai protes atas dukungan partai itu pada bakal calon presiden Prabowo Subianto.

Wakil Ketua Umum PAN Dradjad H.Wibowo menyatakan Goenawan (GM) memang salah satu pendiri PAN.

"Tapi soal tetap sebagai anggota dan membayar iuran? Wah saya cuma bisa tertawa," kata Dradjad di Jakarta, Kamis (15/5).

"Sebagai Waketum PAN, saya tidak pernah melihat yang bersangkutan ke DPP PAN untuk menyampaikan masukan atau apapun yang lazim dilakukan oleh seorang anggota partai."

Dia melanjutkan, di dalam pileg 2014 kemarin, GM tidak dirasakan ikut berjuang mengkampanyekan PAN.

"Bahkan ketika PAN dihajar lembaga-lembaga survei penjual diri sebagai partai yang tidak lolos parliamentary threshold, saya tidak merasa yang bersangkutan membela PAN," tegas Dradjad.

Dia juga mengkritik GM yang seakan menuduh Prabowo Subianto sebagai pelaku kekerasan. Menurutnya, GM sebaiknya tidak asal tuduh.

"Buktikan saja. Kalau memang anti kekerasan, bagaimana dengan kekerasan seksual yang dilakukan oleh penyair yang juga temannya?" Kata Dradjad.

Yang dia maksud tentunya adalah kasus dugaan kekerasan seksual menyebabkan kehamilan oleh rekan penyair GM, Sitok Srengenge.

Dikecam Barat karena Terapkan Syariah, Ini Jawaban Cerdas Sultan Brunei



Diserang Dunia Barat, Ini Jawaban Cerdas Sultan Brunei tentang Penegakan Syariat Islam

Derasnya tekanan publik dunia barat terhadap penerapan Hukum Islam di Brunei Darussalam membuat Sultan Bolkiah angkat bicara.

“Di negara Anda, Anda mengklaim menerapkan kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan beragama, dan sebagainya. Hal tersebut ada dalam konstitusi Anda dan sistem politik Anda, identitas nasional Anda, hak Anda dan cara hidup Anda. Di negara kami, kami mempraktekkan budaya Melayu, Islam, Sistem Monarki, dan kita akan menerapkan hukum dan Syariah Islam. Islam adalah konstitusi kami, identitas nasional kami, hak kami, dan cara hidup kami,” tegasnya pada Kamis (8/5) seperti dilansir My News Hub.

“Kita bisa menemukan lubang besar (kelemahan, -red.) pada hukum dan keadilan dan Anda mungkin bisa menemukan hal tersebut ada pada diri kami, namun ini adalah negara kami. Seperti halnya Anda yang mempraktekkan hak menjadi gay, mencaci maki agama dan sebagainya. Untuk negara dimana kami tinggal sekarang, kami mempraktekkan hak kami untuk menjadi Muslim sekarang dan selamanya. Ini adalah negara Islam yang mempraktekkan hukum Islam,” ujar Sultan.

“Mengapa Anda harus mengkhawatirkan kami? Mengapa Anda tidak mengkhawatirkan anak-anak Anda yang ditembak mati di sekolah, atau penjara yang tak mampu lagi menampung banyaknya narapidana, atau tingginya tingkat kriminal, atau tingginya tingkat bunuh diri dan aborsi, dan segala hal yang harusnya Anda khawatirkan di negara Anda? Sebagian besar agama juga mengecam homoseksual, itu bukan hal yang baru. Anda menyalahkan dan memboikot Muslim saat Anda mendengar Islam dan Muslim menyatakan kepercayaannya. Anda menyatakan bahwa itu keliru, itu bodoh, itu barbar,” kata Sultan.

“Sekali lagi, kembalilah pada hal-hal pada diri Anda sendiri yang seharusnya Anda khawatirkan! Khawatirkan kebijakan Anda tentang legalisasi senjata api, aborsi, dan gaya hidup yang menyebabkan AIDS dan terputusnya generasi selanjutnya,” tambahnya.

“Mengapa Anda sangat perhatian sekali terhadap apa yang terjadi di sini dalam negara Islam yang Anda bahkan tidak membuka mata Anda terhadap apa yang terjadi di Syria, Bosnia, Rohingya, Palestina, Mesir dan sebagainya? Ribuan orang terbunuh dan Anda tidak perhatian sama sekali! Tidak ada satupun orang yang terbunuh disini dibawah hukum Islam ini. Bahkan saat ini Anda membuat omong kosong besar tentang Syariah Islam di negara kami, padahal saat ini penduduk kami mau menerima pemberlakuan Syariah Islam itu dengan damai. Kalaupun adanya hukuman yang mungkin lebih kejam dari sistem Islam bukan berarti hal tersebut sangat mudah untuk dilakukan. Ada proses panjang sebelum eksekusi hukuman. Kami setuju saja dan kami senang dengan hal tersebut, namun, sekali lagi, mengapa Anda perlu mengkhawatirkan kami? Khawatirkan diri Anda sendiri,” pungkasnya

Thursday 15 May 2014

Abaikan Korupsi Busway, Ketua KPK Lindungi Jokowi ?


Guru Besar ilmu politik dari Universitas Indonesia, Muhammad Budyatna mengatakan praktek korupsi akan tetap berjalan meskipun Indonesia memiliki 10 institusi pemberantasan korupsi.

Pernyataan Muhammad Buyatna ini untuk menanggapi pertemuan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan calon presiden dari PDIP Joko Widodo. Menurutnya, Indonesia sulit bebas dari korupsi jika pimpinan lembaga antikorupsi ikut bermain politik.

“Andai ada sepuluh lembaga pemberantasan korupsi di negeri ini dan para pimpinannya ikut bermain politik, maka praktek korupsi akan tetap mendera bangsa ini,” kata Muhammad Budyatna, seperti yang diberitakan JPNN, Rabu (14/5).

Menurut Budyatna, indikasi bahwa pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ikut bermain politik terlihat dari penangangan korupsi yang masih diwarnai dengan intrik politik sehingga kasus korupsi besar dikecilkan sementara kasus korupsi kecil, dibesar-besarkan.

Ia kemudian mencotohkan kasus korupsi Hambalang yang melibatkan Anas Urbaningrum. Meski sudah ratusan saksi dipanggil tapi tak kunjung tuntas.

Sementara kasus korupsi busway yang nilainya triliunan rupiah, KPK tidak pegang dan justru diserahkan kepada Kejagung. Lalu, kata dia, kasus e-KTP yang menyebut nama para petinggi Partai Golkar juga tidak jelas.

“Kasus Century pun sama saja. Sementara kasus kecil macam korupsi sapi oleh PKS atau yang terakhir yang menimpa Bupati Bogor Rahmat Yasin yang nilainya hanya Rp 1,5 miliar dibesar-besarkan,” ungkap Buyatna di Jakarta, Rabu (14/5).

Lebih lanjut, Budyatna menilai para pimpinan KPK juga memiliki syahwat politik sehingga penangangan korupsi diwarnai oleh kepentingan politik para pimpinan KPK itu sendiri.

“Contohnya, wacana Ketua KPK Abraham Samad yang mau dijadikan wapres Jokowi yang tidak pernah dibantah oleh KPK ataupun Samad. Padahal kasus korupsi Busway seharusnya ditangani KPK dan KPK minimal harus memanggil Jokowi sebagai Gubernur. Ini kan aneh, terkesan Samad ingin melindungi Jokowi sebagai capres dan Samad mau jadi wapresnya,” ujar dia.

Sunday 11 May 2014

Wajah Mengerikan Anggota DPR Mendatang


DPR hasil Pemilu 2014 nampaknya akan semakin mengerikan. Di samping karena sebagian diisi orang-orang yang lolos atas politik uang, juga lolosnya sejumlah politisi liberal bahkan dedengkot Syiah.

Wajah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendatang akan sangat mengerikan. Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif IndoStrategi, Andar Nubowo, pada akhir pekan bulan lalu. Andar beralasan, DPR periode 2014-2019 mendatang sekitar 30 persen diisi oleh anggota Dewan yang terpilih karena mengandalkan money politics (politik uang). "Mereka yang 30 persen ini tidak mengharamkan money politics," kata Andar seperti dikutip Tribunnews.com.

Menurut dia selama ini banyak pihak melihat DPR diidentikkan dengan persoalan korupsi, politik uang, dan sebagainya dalam proses-proses legislasi 2009-2014 kita sudah mempersepsikan DPR sebagai lembaga yang paling korupsi.

"Dengan fakta-fakta Pemilu Legislatif yang kemarin betapa politik uang begitu kuat, maka tantangan DPR ke depan adalah lebih berat daripada DPR sekarang, terutama terkait dengan isu-isu korupsi, money politics dan sebagainya," kata Andar.

Belum lagi, menurut Andar, bicara masalah kompetensi anggota Dewan, karena yang dipilih dari 30 persen kebanyakan mereka adalah orang yang hanya punya uang atau punya popularitas tanpa mempunyai basis pengetahuan atau kompetensi untuk menjalankan fungsinya sebagai anggota DPR nanti.

Bagi umat Islam, selain persoalan yang disampaikan Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah di atas, ada persoalan lain yang juga tak kalah serius dari anggota DPR periode mendatang. Masuknya dedengkot Syiah, politisi liberal dan juga sejumlah politisi yang diketahui pro-Komunis. Mayoritas orang-orang yang diduga kuat akan menghambat bahkan menentang aspirasi Islam itu kebetulan bersarang di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Sejarah penentangan PDIP terhadap aspirasi umat Islam telah terbukti dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Berbagai UU yang diketaui pro terhadap umat Islam selalu diganjal oleh partai ini. Tercatat UU Sistem Pendidikan Nasional, UU Pornografi, UU Perbankan Syariah, UU Zakat, dan belakangan UU Jaminan Produk Halal semua itu diperjuangkan dengan tantangan yang luar biasa besar dari PDIP.

Karena itu wajar bila Sekretaris DPW Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Jawa Tengah, Suryanto, mengungkapkan bila mayoritas warga PPP di wilayahnya menolak bila partai Islam itu berkoalisi dengan PDIP dan Jokowi dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) mendatang.

"Saya sekretaris DPW yang sering bertemu dengan konstituen di akar rumput hingga para pengurus struktural dari tingkat paling ‎bawah hingga di tingkat pimpinan cabang maupun wilayah. Aspirasi paling kuat yang kami tangkap adalah mereka tidak menginginkan partai ini (PPP -red) berkoalisi dengan PDIP dalam Pilpres mendatang," ujar Suryanto kepada wartawan di Solo, Jumat (2/5/2014) pagi.

Menurut Suryanto, ada berbagai alasan yang disampaikan oleh kader dan simpatisan PPP terkait aspirasi tersebut. Diantara yang sering disampaikan adalah sejumlah fakta bahwa selama ini PDIP dinilai kurang memperjuangkan aspirasi umat Islam, terutama dalam keputusan-keputusan politik yang diambil di DPR. Sikap PDIP di DPR itu dijadikan tolok ukur penting bagi warga PPP karena selama 10 tahun terakhir PDIP berada di luar pemerintahan sehingga kiprah perjuangan politiknya lebih banyak dilakukan di DPR.

"PDIP dinilai banyak mementahkan‎ UU yang mengatur kemaslahatan umat. PDIP sering menyampaikan sikap bertentangan dengan PPP dalam hal pengesahan regulasi bagi kemaslahatan umat. Hal-hal seperti itu menjadi catatan penting dan selalu diingat oleh konstituen kami untuk dijadikan pertimbangan menentukan arah pilihan dalam dukungannya terhadap bakal capres yang mengemuka saat ini," paparnya.

Syiah dan Liberal Masuk Senayan


Pemilu legislatif 2014 bukan hanya pertarungan politik antarpartai. Tetapi juga merupakan pertarungan antara kubu pembela Islam dengan lawannya. Orang-orang yang selama ini dikenal melawan arus besar perjuangan umat Islam, dari kalangan Syiah dan Liberal, tak mau ketinggalan ikut bertanding dalam momentum ini untuk memperjuangkan aspirasi mereka.

Tersebutlah nama Jalaluddin Rahmat, dedengkot Syiah sekaligus Ketua Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), Ulil Abshar Abdalla gembong Jaringan Islam Liberal (JIL), Zuhairi Misrawi seorang tokoh Liberal yang kini bernaung di lembaga underbow PDIP Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), Maman Imanul Haq yang juga dikenal sebagai pembela Liberal. Selain mereka ada politikus incumbent yang kembali berlaga, seperti Eva Kusuma Sundari, Nurul Arifin, Rieke Diah Pitaloka dan Ribka Tjiptaning Proletariyati.

Sebagian dari politikus Liberal itu gagal melenggang ke Senayan. Ulil yang maju melalui Partai Demokrat dari kampung halamannya, Dapil Jawa Tengah III yang meliputi Kabupaten Grobogan, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati tak mendapat suara signifikan. Eva Kusuma Sundari, politikus PDIP yang paling nyiyir terhadap Front Pembela Islam (FPI) dan kalangan Islam, meski mengaku sudah mengeluarkan dana sebesar Rp2 milyar di Dapil Jatim VI (Kabupaten Tulungagung, Kota Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar) juga telah memastikan dirinya tak kembali ke Senayan.

Zuhairi Misrawi, Direktur Moderate Muslim Society (MMS), untuk kedua kalinya mengikuti Pemilu dari Dapil Jatim XI (Bangkalan, Sampang, Sumenep dan Pemekasan) juga gagal. Nasib yang sama dialami artis liberal sekaligus Wakil Sekjen Partai Golkar Nurul Arifin yang gagal kembali ke Senayan dari Dapil Barat VII yang meliputi Kabupaten Bekasi, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Purwakarta.

Meski gagal menjadi anggota DPR, Zuhairi yang besar kepala karena menjadi kader PDIP dan juga Ketua Bidang Antaragama Bamusi, pernah beberapa kali mengeluarkan pernyataan yang menantang umat Islam.

Pada Ahad, 28 Juli 2013 lalu, melalui akun twitternya, @zuhairimisrawi, saat menanggapi perkembangan politik dan pembantaian militer Mesir terhadap aktivis Ikhwanul Muslimin pendukung Presiden Muhammad Mursi., ia mengatakan, "Kaum Islamis di negeri ini patut bersyukur, karena kita tidak akan membunuh mereka. Di Mesir, mereka dibunuh dan dinistakan.”

Pernyataan kontroversial kedua dia lontarkan baru-baru ini menjelang kampanye Pemilu 2014. Pada diskusi yang digelar Freedom Institute di Jakarta (18/2/2014), Zuhairi melontarkan usulan supaya Menteri Agama RI mendatang dijabat gembong Syiah Jalaluddin Rahmat bila PDIP berkuasa. “Saya usulkan tokoh Syiah, Kang Jalal (Jalaluddin Rahmat, red) jadi menteri Agama, kelak kalau  PDIP berkuasa.”

Sementara itu, Eva Kusuma Sundari, yang kini oleh media massa sering disebut sebagai Jubir PDIP sudah tak terhitung lagi ungkapan yang keluar dari mulutnya yang menyerang dan menyakiti umat Islam. Komentar-komentarnya selalu negatif bila berhubungan dengan ormas Islam seperti FPI, Perda Syariah dan aktivitas-aktivitas umat Islam melawan pemurtadan dan aliran sesat. Eva diketahui juga sangat anti terhadap situs-situs berita Islam. Mantan Ketua YLBHI Munarman bahkan menyebut istri Dubes Timor Leste untuk Malaysia Jose Antonio Amorim Dias –seorang Katolik- ini sebagai agen asing yang bertugas merecoki Islam.

Sikap yang sama dengan Eva ditunjukkan oleh Nurul Arifin. Istri Mayong Suryalaksana, juga seorang Katolik, ini juga sangat anti terhadap Islam. Sikap terkini yang menunjukkan ketidaksukaan Nurul terhadap Islam adalah sikapnya yang sewot atas upaya penggalangan koalisi partai Islam dalam Pilpres 2014. Ia menyebut pengelompokan partai berdasarkan ideologi agama merupakan sebuah kemunduran politik.

Sebelumnya, Nurul juga pernah menunjukkan ketidaksukaannya taktala Mendagri Gamawan Fauzi mengimbau supaya kepala daerah bekerja sama dengan FPI untuk hal-hal tertentu yang dinilai baik. 

"Kenapa harus FPI, apa enggak ada yang lain untuk mengawasi? Saya akan pertanyakan lebih lanjut pada Mendagri. Emang enggak ada yang lain, yang kredibilitasnya lebih baik dari FPI," kata Nurul waktu itu.

Bahkan, ketika pemerintah Kota Tasikmalaya berencana menegakkan Perda Nomor 12 tahun 2009, yang berisi tentang tata nilai kehidupan bermasyarakat dengan berlandaskan ajaran agama Islam, dengan lantan Nurul memrotesnya."Apakah kita mendiamkan kasus ini Pak Menteri, Perda Syariah dan Polisi Syariah diberlakukan di Tasikmalaya," katanya.

Kata Nurul, negara tidak boleh membiarkan kelompok intoleran sesuka hatinya melakukan penerapan Perda yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. "Kami perempuan menjadi komoditi politik dalam penerapan Perda ini, atas diberlakukannya Polisi Syariah," ucap mantan artis era 1980-an itu.

Syukur alhamdulillah, sosok-sosok kontroversial anti Islam itu tidak didukung masyarakat dan gagal kembali ke Senayan, menjadi anggota DPR. Artinya akan makin berkurang sosok politikus yang nyinyir terhadap perjuangan umat Islam.

Namun demikian, umat Islam patut waspada dengan lolosnya sejumlah nama lain dari kalangan Liberal, Syiah dan pro-Komunis ke Senayan. Berdasarkan hasil rekapitulasi suara Pemilu Legislatif 2014, nama-nama seperti: Jalaluddin Rahmat, Rieke Diah Pitaloka alias Oneng, Ribka Tjiptaning Proletariyati dan Maman Imanul Haq berhasil lolos ke Senayan. Tiga nama pertama kebetulan dari Partai yang sama, PDIP dan dari wilayah yang sama, Jawa Barat. Sedangkan Maman, berangkat dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan menjadi Caleg dari Dapil Jawa Barat IX. Maman adalah salah satu pendukung aliran sesat Ahmadiyah, yang pada Insiden Monas 1 Juni 2008 lalu sempat babak belur dihajar sejumlah Laskar Islam.

Siapa dan Apa Agenda Mereka?


KH Jalaluddin Rahmat, demikianlah ia menulis dalam banner kampanye Pileg lalu. Jalal adalah Caleg PDIP untuk DPR RI dari Dapil Jabar II nomor urut satu. Ia berhasil lolos ke Senayan dengan meraup suara sekitar 39 ribu. Di dapil yang meliputi Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat ini, PDIP berhasil meraih dua kursi. Satu kursi lainnya diperoleh Yadi Sri Mulyadi dengan perolehan suara sekitar 59 ribu. 

Pria kelahiran Bandung, 29 Agustus 1949 ini dikenal sebagai seorang ahli komunikasi. Bukunya berjudul “Psikologi Komunikasi” (1985) dijadikan sebagai bacaan wajib mahasiswa di bidang ilmu komunikasi. Sebelum akhirnya mengaku sebagai seorang pengikut Syiah tulen, Jalal mengaku bila dirinya seorang “Sunni-Syi’i”. Belakangan ia tak ragu lagi mengakui dirinya sebagai seorang Syi’i dengan menjadi pendiri sekaligus Ketua Dewan Syuro IJABI. Bersama Haidar Bagir -bos penerbit Mizan- dan Umar Shahab,  ia juga menjadi pendiri Islamic Cultural Center (ICC) di Jakarta Selatan.

Lembaga Pengkajian dan Penelitian Islam (LPPI) Makasar secara serius menyoroti gelar akademik yang melekat di depan nama Jalal. Sebagai seorang akademisi, nama Jalal memang kerapkali ditulis beserta gelar akademiknya, Prof Dr Jalaluddin Rahmat. Untuk itu LPPI Makasar melakukan klarifikasi kepada pihak Universitas Padjajaran, tempat Jalal mengajar. Dalam suratnya tertanggal 23 April 2012, Rektor Unpad Prof Ganjar Kurnia secara resmi menyatakan, Jalal belum memiliki gelar Guru Besar di Unpad. Sementara soal gelar doktor, Ganjar mengaku secara administratif pihak kampus belum menerima ijazahnya.

Sementara itu soal gelar doktor yang diklaim berasal dari Program Distance Learning Institut Pengembangan Wiraswasta Indonesia (IPWI) Dili pada 1999, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Dirjen Pendidikan Tinggi mengklarifikasi bila Ditjen Dikti belum pernah memberikan izin penyelenggaraan pendidikan S3 Distance Learning Institut Pengembangan Wiraswasta Indonesia (IPWI) Dili tersebut. Surat jawaban permohonan klarifikasi dari LPPI Makasar itu ditandatangani Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Illah Sailah pada 12 Februari 2014.

Persoalan serius di DPR dan menyangkut mayoritas umat Islam Indonesia adalah bila PDIP memasukkan Jalal ke Komisi VIII DPR yang membidangi persoalan Agama. Bila hal ini terjadi, maka aspirasi Syiah, sebagai sebuah aliran yang saat ini menimbulkan gesekan keras dan memicu konflik di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas Sunni, akan menjadi persoalan serius. PDIP yang sejak dulu dikenal sebagai sarang Kristen dan kaum Kiri, kini akan ditambah dengan sarang pengikut aliran sesat Syiah Rafidhah. Konflik horizontal yang saat ini tengah terjadi bukan tidak mungkin akan terus memanas.

Ribka Tjiptaning Proletariyati dan Rieke Dyah Pitaloka, adalah dua politisi PDIP yang berideologi kiri. Keduanya dipastikan kembali lagi menjadi anggota DPR periode 2014-2019. Rieke terpilih dari Dapil Jabar VII yang meliputi Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Karawang dan Kota Bekasi dengan meraup suara 256.968. Sedangkan Ribka terpilih dari Dapil Jabar IV.

Tidak ada prestasi menonjol dari dua politisi ini saat menjadi anggota DPR pada periode sebelumnya. Ribka adalah Ketua Komisi IX DPR yang membidangi kependudukan, kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi. Rieke juga salah satu anggota di Komisi tersebut.

Ribka mengakui, selama empat tahun memimpin Komisi IX, sejak 2009 hingga 2013 lalu, belum ada satu pun Undang-undang yang dihasilkan oleh komisinya. "Saya sebagai Ketua Komisi IX DPR prihatin karena sampai hari ini Komisi IX DPR RI belum ada yang dihasilkan terkait fungsi DPR, fungsi legislasi," aku Ribka seperti dikutip ANTARA (9/10/2013).

Penulis buku  “Aku Bangga Jadi Anak PKI” dan “Anak PKI Masuk Parlemen” ini mengakui Undang-Undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bukan sepenuhnya dihasilkan oleh Komisi IX DPR karena penyusunannya dilakukan oleh Panitia Khusus (Pansus). "Undang-undang BPJS kan dihasilkan melalui Pansus. Kalau Pansus kan gabungan, lintas komisi dan fraksi. Yang murni hasil dari Komisi IX DPR tidak ada," ungkap dia.

Pada 2010 lalu, Ribka dilaporkan Center for Indonesian Communities Studies (CICS) Banyuwangi ke Mabes Polri atas insiden temu kangen eks-Tapol PKI dengan dirinya dan Rieke di Banyuwangi, Jawa Timur. Ketua CICS Qoidul Anam Alimi menyatakan bahwa Ribka Tjiptaning adalah pembohong besar.

Saat itu, Ribka dan Rieke datang ke Banyuwangi. Dengan kedok melakukan sosialisasi rumah sakit tanpa kelas, keduanya mengumpulkan eks Tapol PKI. Pertemuan ini diendus oleh warga yang anti PKI. Lalu pertemuan tersebut dibubarkan. Di media, keduanya ngoceh dengan menyebut FPI sebagai pelaku pembubaran. Padahal di Banyuwangi saat itu tidak ada aktivitas FPI karena pengurusnya sedang dibekukan oleh pengurus pusat.

“Tujuan utama Ribka Tjiptaning ke Banyuwangi tidak dalam rangka sosialisasi rumah sakit tanpa kelas, akan tetapi mengumpulkan eks PKI atas nama Paguyuban Korban Orde baru. PDIP punya kantor resmi, DPRD punya kantor kenapa pertemuan dilakukan sembunyi-sembunyi", ungkap Anam Alimi di Mabes Polri (7/7/2010).

Ribka Tjiptaning menurut CICS telah melakukan pelanggaran terhadap Tap MPRS No. 25/1966 dan UU No. 27/1999 tentang pelarangan penyebaran ideologi Komunis dan UU Republik Indonesia No. 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.

Selain itu, Ribka juga penah menjadi tersangka kasus penghilangan ayat tembakau dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Badan Reserse Direktorat I Keamanan dan Trans Nasional Mabes Polri menetapkan status tersebut pada Senin (20/9/2010). Dua tersangka lainnya adalah Wakil Ketua Komisi IX DPR Asiyah Salekan dan Wakil Ketua Komisi IX DPR dr Maryani A Baramuli.

Penetapan tersangka tersebut merupakan kelanjutan dari laporan yang diterima Bareskrim Mabes Polri pada 18 Maret 2010. Kala itu Koalisi Anti Korupsi Ayat Rokok (Kakar) melaporkan Ribka cs terkait penghilangan ayat 2 pasal 113 UU Kesehatan. Seperti diketahui selain sebagai ketua Komis IX, Ribka juga menjadi Ketua Pansus RUU Kesehatan. Namun sayang, akhirnya Mabes Polri menghentikan penyidikan kasus tersebut  karena dinilai tidak memenuhi unsur pidana.

Badan Kehormatan (BK) DPR menilai sebagai Ketua Komisi, Ribka harus bertanggungjawab atas penghilangan ayat tersebut. BK kemudian melarang Ribka memimpin panitia khusus (pansus) dan panitia kerja (panja) hingga akhir masa jabatannya di 2014.

Inilah sedikit wajah-wajah mengerikan anggota DPR periode mendatang. Semoga politisi-politisi muslim lintas partai bisa bersatu menghadang agenda-agenda mereka.

Oknum Banser NU di Semarang Jadi Backing Kemaksiatan


Beberapa hari lalu beredar kabar adanya penolakan kedatangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Syihab ke Demak, Jawa Tengah oleh oknum Barisan Ansor Serbaguna (Banser).

Oleh oknum yang mengklaim dirinya sebagai Ketua Banser itu, Habib Rizieq diminta untuk tidak datang dan berceramah di Demak dengan alasan FPI adalah aliran sesat dan pernah bermusuhan dengan Gus Dur. Padahal kedatangan Habib Rizieq ke Demak adalah atas undangan Pesantren Tahfizhul Qur'an An-Nuriyah.

Selidik punya selidik, ternyata oknum Banser yang menolak kedatangan Habib Rizieq itu adalah orang yang selama ini membekingi aktivitas kemaksiatan di salah satu wilayah di Kabupaten Semarang. Rupanya dia resah dan gelisah bila bisnis haramnya itu diusik dengan kedatangan FPI dan Habib Rizieq.

Berikut pernyataan klarifikasi Habib Rizieq atas insiden tersebut seperti dimuat dalam situs pribadinya, www.habibrizieq.com, Sabtu (10/5/2014). Redaksi Suara Islam Online melakukan pengeditan bahasa dan penulisan secukupnya:

Assalamualaikum Wr.Wb.

Bismillaah.

Kamis, 8 Mei 2014 saya terjadwal untuk ceramah siang di Kemuning, Semarang dan malam di Bonang, Demak. Di Kemuning acara sukses dan berkah tanpa halangan apa pun, bahkan Polsek Sumowono dan Polsek Bandungan sangat kooperatif.

Lain halnya di Bonang, Polres Demak yang semula kooperatif, tiba-tiba dapat tekanan dari kelompok yang mengaku sebagai pimpinan Banser dan Anshor Demak. Pada Rabu, 7 Mei 2014, sehari sebelum acara, Polres menggelar pertemuan antara panitia dan kelompok tersebut hingga tengah malam, karena issu di berbagai media sudah seram, hingga ada ancaman penghadangan penceramah dan pembakaran pesantren pengundang. Intinya, semula kelompok tersebut menuntut agar saya tidak boleh hadir, namun akhirnya boleh hadir tapi tidak boleh ceramah.

Menurut informasi Panitia bahwa Pimpinan kelompok tersebut bernama Musta'in dan Abdul Aziz, masing-masing mengaku sebagai Ketua Banser Demak dan Ketua Anshor Demak. Uniknya, dalam pertemuan tersebut keduanya mengklaim bahwa tuntutan mereka adalah instruksi lisan dari Pimpinan Pusat GP Anshor dan salah seorang pimpinan PBNU di Jakarta, dengan dalih saya dan FPI adalah aliran sesat karena dulu bermusuhan dengan Gus Dur. Singkat cerita, ada kesepakatan semu antara Polres dan kelompok tersebut yang dipaksakan ke panitia bahwa saya tidak boleh ceramah.

Aneh !!! Selama ini hubungan saya dengan PBNU dan GP Anshor di Jakarta sangat baik. Bahkan di luar Pulau Jawa, ikhwan Banser sering ikut mengawal dakwah saya. Di Jawa Barat, Banser berkawan akrab dengan Laskar FPI. Di Jawa Timur, PWNU justru mengajak saya dan FPI untuk ikut memperjuangkan penutupan tempat pelacuran Dolly di Surabaya. Di Tegal, justru Banser dan Anshor serta Fatayat NU yang mengundang saya untuk berdakwah.

Sangat aneh !!! Sejak awal berdiri Anshor dan Banser adalah barisan terdepan NU yang jadi benteng ulama dan pembela pesantren serta garda bangsa. Anshor dan Banser lah yang mati-matian melawan PKI untuk membela agama dan negara. Jadi, ada apa dengan Anshor dan Banser Demak ???!!!

Urusan saya dengan Gus Dur sudah lama selesai, apalagi setelah wafatnya beliau. Itu pun bukan urusan sentimen pribadi, tapi urusan saya wajib melawan pemikiran Liberalnya yang sesat dan menyesatkan untuk menyelamatkan akidah umat Islam.

Selidik punya selidik, ternyata salah satu oknum yang memimpin kelompok pengancam tersebut namanya sudah santer terkenal di wilayah Bandungan, Kabupaten Semarang sebagai oknum yang membekingi aneka tempat maksiat di sana. Pantas dia ngotot bahwa saya dan FPI tidak boleh ada di Demak, ternyata terkait masalah bisnis haramnya.

Andaikata, Habaib atau Kyai Aswaja yang istiqomah yang melarang saya ceramah, tentu "sam'an wa thoo'atan" saya patuh untuk tidak ceramah. Namun, jika preman yang menuntut, maka tentu tidak akan saya turuti. Apalagi preman yang mengatasnamakan ormas Islam Aswaja, tentu wajib saya ganyang penjahat begundal pecundang macam itu untuk menghentikan kejahatannya, sekaligus menyelamatkan ormas Islam yang ditungganginya.

Karenanya, saat saya dan istri serta beberapa kawan tiba di Demak, Kamis malam Jumat ba'da Isya, lalu anitia pun melaporkan soal "kesepakatan semu" tersebut. Maka saya minta kepada panitia agar hal tersebut disampaikan secara terbuka kepada ribuan umat Islam yang sudah memadati lokasi acara, lalu tanyakan kepada umat, apakah mereka setuju dengan "kesepakatan semu" tersebut? Setelah disampaikan, ribuan umat Islam secara aklamasi dengan penuh semangat meminta saya untuk tetap ceramah.

Saya pun ceramah sekitar satu jam tentang bahaya takfir. Di penutup ceramah saya berpesan kepada kelompok pengancam agar nanti kalau mau menghadang saya, maka mereka harus bunuh saya agar saya mati syahid dalam berdakwah, sehingga tugas saya selesai. Jangan sampai mereka tidak bunuh saya, karena kalau saya tetap hidup, maka saya khawatir saya akan balas dendam untuk menghabisi mereka, ke lobang semut pun akan saya kejar, sehingga tugas saya jadi lebih panjang dan lebih berat lagi.

Usai ceramah, pihak Polres menawarkan saya menginap di Kota Semarang untuk keamanan, tapi saya menolak, karena saya tetap ingin bermalam di Pesantren Tahfizhul Qur'an An-Nuriyah selaku tuan rumah pengundang, sekaligus saya mau lihat apa yg mau dilakukan oleh para begundal pengancam. Hingga pagi semua berjalan normal. Saya pun berpesan kepada Kapolsek dan Danramil setempat agar menjaga dan melindungi pesantren dari gangguan jahat pihak mana pun. Saya juga bersumpah, kalau pesantren diganggu, maka para pengganggu akan kami kejar untuk dibasmi. Bagi kami, hanya PKI yang selama ini mengganggu habaib dan kyai serta pesantren.

Lalu Jumat pagi jam delapan saya dan istri serta rombongan berangkat ke Bandara Semarang untuk pulang ke Jakarta. Kami pun tiba di rumah dengan selamat. Alhamdulillaah.

Thursday 1 May 2014

Jokowi Ingin Hapus Subsidi BBM Jika Jadi Presiden

Jokowi bersama pengusaha SPBU, Megawati Soekarnoputri

Siapa bilang Joko Widodo pro ekonomi kerakyatan?. Ternyata Jokowi juga seorang penganut ekonomi liberal.

Buktinya, Jokowi berencana jika nantinya dirinya terpilih menjadi presiden akan mengurangi BBM bersubsidi secara bertahap selama empat tahun hingga subsidi untuk BBM benar-benar hilang.

Menurut Jokowi, pengurangan tersebut untuk menghapus BBM bersubsidi yang menjadi beban APBN dan bisa membuat kuota BBM jebol.

"Saya kira empat tahun lah, subsidi BBM tadi empat tahun tapi berjenjang. Kurang-kurang lalu hilang," ujar Jokowi di acara Musrenbangnas 2014, di Jakarta, Rabu (30/4/2014), seperti dikutip Inilah.com.

Menurut Jokowi, pemilihan opsi karena adanya guncangan ekonomi sosial, namun dengan catatan subsidi BBM tersebut harus bisa diberikan kepada yang lebih membutuhkan.

"Ya guncangan ekonomi sosial, tapi harus. Tapi dengan catatan subsidi itu bisa diberikan kepada yang menerima," jelasnya.

Dia mencontohkan subsidi untuk petani, subsidi untuk nelayan harus menerima alokasi penghapusan BBM bersubsidi secara maksimal. "Misalnya subsidi untuk petani, subsidi untuk nelayan yang dibutuhkan oleh mereka," kata Jokowo.

Sekadar perlu diketahui, program penghapusan subsidi merupakan salah satu ciri penganut ekonomi neo-liberal. Ini merupakan salah satu dari apa yang umum disebut sebagai Konsensus Washington.

Istilah Konsensus Washington diperkenalkan oleh John Williamson pada tahun 1989 untuk mendeskripsikan sepuluh kebijakan ekonomi yang menurutnya perlu menjadi standar reformasi bagi negara berkembang yang baru didera krisis.

Konsensus ini merekomendasikan diantaranya disiplin anggaran pemerintah; pengarahan pengeluaran pemerintah dari subsidi ke belanja sektor publik, terutama di sektor pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan, sebagai penunjang pertumbuhan dan pelayanan masyarakat kelas menengah ke bawah. Termasuk dalam poin ini adalah penghapusan subsidi BBM.

Lalu, termasuk bagian dari Konsensus Washington adalah reformasi pajak, dengan memperluas basis pemungutan pajak; tingkat bunga yang ditentukan pasar dan harus dijaga positif secara riil; nilai tukar yang kompetitif; liberalisasi pasar dengan menghapus restriksi kuantitatif; penerapan perlakuan yang sama antara investasi asing dan investasi domestik sebagai insentif untuk menarik investasi asing langsung; privatisasi BUMN; deregulasi untuk menghilangkan hambatan bagi pelaku ekonomi baru dan mendorong pasar agar lebih kompetitif; dan keamanan legal bagi hak kepemilikan.

Mengapa Caleg Koruptor Masih 'Diminati' Rakyat ?

Setelah KPK terbentuk, maka tidak bisa dipungkiri banyak pejabat, politikus maupun orang-orang swasta yang ditangkap karena melakukan tindak pidana korupsi. Koruptor berjibun, tidak pandang laki perempuan, tidak pandang Parpol lama atau Parpol baru. Berita-berita keseriusan KPK pun menjadi lahapan setiap hari di media massa. Saking banyaknya korupsi di lembaga-lembaga negara, maka berita korupsi pejabat maupun politikus kini menjadi tren selain terorisme.

Berbeda dengan kasus narkoba, berbagai rilis justru sudah dikeluarkan oleh beberapa pihak terkait daftar nama-nama pejabat, politikus, maupun nama Partai Politik yang diduga terlibat maupun oknum yang sudah divonis maupun yang sedang menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor maupun Pengadilan lainnya. Diantara daftar-daftar itu, meski bukan dikeluarkan oleh otoritas resmi semacam KPK, namun data itu ternyata juga didapat dari KPK. Oleh karenanya, mereka pun memiliki data yang mirip-mirip dan bahkan susah untuk dibantah. Isinya pun, ternyata memang sesuai dengan apa yang sering kita dapat dari media massa selama ini.

Misalnya apa yang disampaikan oleh Staf Khusus Presiden Andi Arief kepada Rakyat Merdeka pada 10 Maret 2014. Data yang didapat Andi dari KPK ini, sampai saat ini sudah beredar luas berbentuk grafis. Hingga tulisan ini dibuat, tidak satu pun Partai Politik yang protes maupun membantah data tersebut. Asumsinya, karena tidak ada yang membantah, apa yang disampaikan oleh Andi Arief tersebut benar adanya.


Republika Online pada 11 Maret 2014 siang, tampaknya juga mendapatkan data yang sama dari KPK, persis yang didapat Andi. Sehingga, Portal Berita Nasional ini juga merilis data korupsi periode 2005-2013, isinya mirip dengan yang disampaikan Andi. Republika menyebut, ada 40 kader GOLKAR terlibat korupsi, diikuti PDI-P 27, Demokrat 17, PAN 8, PPP 8, PKB 2, GERINDRA 2, PKS 1, PBR 2, PKPI 1, PBB 2.

Metro TV juga melakukan hal yang sama, merilis daftar kasus korupsi yang menjerat Parpol hingga tahun 2013. Hanya saja, MetroTV merilis data kasus korupsi parpol berbentuk grafis dan ditayangkan secara Nasional pada Kamis 13 Maret 2014. Inilah rilis MetroTV selengkapnya:

Sementara itu dari jejaring sosial Twitter, juga tidak kalah menarik. Akun @KPKwatch_RI yang dalam bio-nya mengaku sebagai “Masyarakat Pemantau Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi. Info kegiatan, produk, dan kebijakan KPK 2003 - 2014 dalam upaya pemberantasan korupsi”, merilis hasil riset mereka menggunakan grafis cukup rapi dan jelas. Tidak hanya berhenti di 2013, akun ini menganalisa hingga Maret 2014. Selain menunjukkan data berbentuk grafis, akun yang lagi naik daun ini juga merilis nama-nama lengkap seluruh politisi dan pejabat yang terlibat korupsi.

Dari data-data yang dirilis, baik yang bersumber dari sumber resmi atau bukan, tampaknya memiliki kemiripan. Dari data-data itu, dapat disimpulkan sementara bahwa ternyata Parpol Berbasis Islam seperti PKB, PPP, PAN, PBB maupun PKS ternyata lebih rendah keterlibatannya di dalam kasus pidana Extra Ordinary Crime dibanding Parpol berbasis ideologi lainnya.

Meski begitu, jika dilihat dari hasil Pemilu 2004 dan 2009, tampak sekali bahwa pada dua Pemilu terakhir, kejahatan EOC belum dijadikan sebagai musuh bersama melalui aksi nyata pada saat pencoblosan. Masyarakat belum menghukum Parpol-Parpol bermasalah. Padahal, Pemilu bisa dijadikan momen terbaik masyarakat untuk menghukum Parpol bermasalah tersebut. Sayangnya, masyarakat mungkin tidak sadar menjadi korban pencitraan rutin lima tahunan menjelang Pemilu. Terbukti meski ada Parpol yang rendah keterlibatan kadernya dalam kejahatan EOC, namun perolehan suara mereka tetap saja rendah. Dengan demikian, tidak salah apabila ada yang menuduh bahwa justru masyarakat sendiri yang menginginkan Partai Politik untuk korupsi.

Khusus menjelang Pemilu 2014, fakta ini jelas sangat penting disampaikan kepada masyarakat. Kenapa, karena selama masa kampanye Pemilu, seluruh Parpol telah berlomba-lomba mencari simpati dengan mendekati konstituennya. Beragam cara dilakukan untuk memikat publik, hanya untuk merayu mereka untuk memilihnya di Pemilu nanti. Untuk itu, pemilih harus pandai. Bujuk rayu yang dilakukan banyak Parpol, harus dihadapi dengan teliti dan tidak asal memilih. Masa kampanye yang pendek, sudah pasti akan dimanfaatkan secara pendek pula oleh para Caleg dan kader Parpol untuk berbuat baik. Ada yang tulus, ada juga yang semu. Itulah faktanya. Kebaikan selama masa kampanye kadang tidak lanjutkan pada masa setelah menang di Pemilu.

Untuk menghindari korban penipuan pencitraan, tentu banyak cara bisa dilakukan. Salahsatunya adalah dengan membuka lembar demi lembar catatan hitam setiap Parpol. Ini yang selama ini belum dilakukan masyarakat. Semakin banyak kader dan oknum pengurus atau anggota Parpol terlibat tindak pidana, sebaiknya dihindari. Pemilu hanya sekali dalam lima tahun, sangat beresiko jika asal-asalan saat mencoblos selama tiga di bilik suara. Masihkah kita rela menggadaikan masa depan negara ini di tangan koruptor hanya dengan selembar uang duapuluhribuan ?

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews