Thursday 14 November 2013

Penyesalan Ahli Neraka Karena Masalah Ketaatan


Kitab Suci Al-Qur’an seringkali menggambarkan berbagai bentuk penyesalan para penghuni Neraka. Salah satu di antara bentuk penyesalan itu berkaitan dengan urusan ”ketaatan”. Kelak para penghuni Neraka pada saat tengah mengalami penyiksaan yang begitu menyengsarakan berkeluh kesah penuh penyesalan mengapa mereka dahulu sewaktu di dunia tidak mentaati Allah dan RasulNya. Kemudian mereka menyesal karena telah menyerahkan kepatuhan kepada para pembesar, pemimpin, Presiden, Imam, Amir, Qiyadah dan atasan mereka yang ternyata telah menyesatkan mereka dari jalan yang lurus. Akhirnya, karena nasi telah menjadi bubur, mereka hanya bisa mengharapkan agar para mantan pimpinan mereka itu diazab oleh Allah dua kali lipat daripada azab yang mereka terima. Bahkan penghuni Neraka akhirnya mengharapkan agar para mantan pimpinan mereka itu dikutuk dengan kutukan yang sebesar-besarnya. Semoga Allah melindungi kita dari penyesalan demikian. Na’udzubillahi min dzaalika..!

”Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, andaikata kami ta`at kepada Allah dan ta`at (pula) kepada Rasul”. Dan mereka berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”. (QS. Al-Ahzab [33] : 66-68)

Gambaran di atas merupakan suatu gambaran yang sungguh mengenaskan. Bagaimana kumpulan manusia yang sewaktu di dunia begitu menghormati dan mempercayai para pembesar dan pemimpin mereka, tiba-tiba setelah sama-sama dimasukkan Allah ke dalam derita Neraka mereka baru sadar ternyata telah ditipu oleh para pemimpin tersebut sehingga berbalik menjadi pembenci dan pengutuk para mantan pembesar dan pemimpin tersebut. Mereka terlambat menyadari jika telah dikelabui dan disesatkan dari jalan yang benar. Mereka terlambat menyadari bahwa sesungguhnya para pemimpin dan pembesar itu tidak pernah benar-benar mengajak dan mengarahkan mereka ke jalan yang mendatangkan keridhaan dan rahmat Allah.

Itulah sebabnya tatkala Allah menyuruh orang-orang beriman mentaati Allah dan RasulNya serta ”ulil amri minkum” (para pemimpin di antara orang-orang beriman) saat itu juga Allah menjelaskan kriteria ”ulil amri minkum” yang sejati. Yaitu mereka yang di dalam kepemimpinannya bilamana menghadapi perselisihan pendapat maka Allah (Al-Qur’an) dan RasulNya (As-Sunnah/Al-Hadits) menjadi rujukan mereka dalam menyelesaikan dan memutuskan segenap perkara.

”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisaa [4] : 59)

Benar, Islam sangat menganjurkan kita semua supaya taat kepada pemimpin, namun pemimpin yang seperti apa? Apakah patut kita mentaati para pembesar dan pemimpin bilamana mereka tidak pernah menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai rujukan untuk menyelesaikan berbagai problema yang muncul? Mereka lebih percaya kepada hukum dan aturan bikinan manusia, bikinan para legislator, daripada meyakini dan mengamalkan ketentuan-ketentuan Allah dan RasulNya. Pantaslah bilamana masyarakat yang sempat menghormati dan mempercayai para pembesar dan pemimpin seperti ini sewaktu di dunia kelak akan menyesal ketika sudah masuk Neraka. Bahkan mereka akan berbalik menyerang dan memohon kepada Allah agar para ulil amri gadungan tersebut diazab dan dikutuk…!

Tetapi kesadaran dan penyesalan di saat itu sudah tidak bermanfaat sama sekali untuk memperbaiki keadaan. Sehingga Allah menggambarkan bahwa pada saat mereka semuanya telah divonis menjadi penghuni Neraka lalu para pengikut dan pemimpin berselisih di hadapan Allah sewaktu di Padang Mahsyar. Para pengikut menuntut pertanggungjawaban dari para pembesar, namun para pembesar itupun cuci tangan dan tidak mau disalahkan. Para pemimpin saat itu baru mengakui bahwa mereka sendiri tidak mendapat petunjuk dalam hidupnya sewaktu di dunia, sehingga wajar bila merekapun tidak sanggup memberi petunjuk sebenarnya kepada rakyat yang mereka pimpin. Mereka mengatakan bahwa apakah mau berkeluh kesah ataupun bersabar sama saja bagi mereka. Hal itu tidak akan mengubah keadaan mereka barang sedikitpun. Baik pemimpin maupun rakyat sama-sama dimasukkan ke dalam derita Neraka.

”Dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) akan berkumpul menghadap ke hadirat Allah, lalu berkatalah orang-orang yang lemah kepada orang-orang yang sombong: “Sesungguhnya kami dahulu adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan daripada kami azab Allah (walaupun) sedikit saja? Mereka menjawab: “Seandainya Allah memberi petunjuk kepada kami, niscaya kami dapat memberi petunjuk kepadamu. Sama saja bagi kita, apakah kita mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri”. (QS. Ibrahim [14] : 21)

Allah menggambarkan bahwa kumpulan pengikut taqlid dan pemimpin sesat ini adalah kumpulan orang-orang zalim. Para pemimpin sesat akan berlepas diri dari para pengikut taqlidnya. Sedangkan para pengikut taqlid bakal menyesal dan berandai-andai mereka dapat dihidupkan kembal ke dunia sehingga mereka pasti berlepas diri, tidak mau loyal dan taat kepada para pemimpin sesat tersebut. Tetapi semuanya sudah terlambat.

”Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal). (Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan ke luar dari api neraka.” (QS. Al-Baqarah [2] : 165-167)






Benarkah Ada Kewajiban Pajak Dalam Islam ?

Akhir –akhir ini, banyak kalangan membicarakan masalah pajak. Hal ini terkait dengan kasus korupsi yang terjadi di lingkungan Direkorat Pajak. Bagaimana sebenarnya hukum pajak dalam kaca mata syariah ?

Pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang —sehingga dapat dipaksakan— dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.

Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia.( Wikipedia.org )

Dalam ajaran Islam pajak sering diistilahkan dengan adh-Dharibah yang jama’nya adalah adh-Dharaib. Ulama – ulama dahulu menyebutnya juga dengan al Muks. Di sana ada istilah-istilah lain yang mirip dengan pajak atau adh-dharibah diantaranya adalah:

1. al-Jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam )

2. al-Kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh Negara )

3. al-Usyr (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke Negara Islam )

Pendapat Ulama Tentang Pajak

Kalau kita perhatikan istilah-istilah di atas, kita dapatkan bahwa pajak sebenarnya diwajibkan bagi orang-orang non muslim kepada pemerintahan Islam sebagai bayaran jaminan keamanan. Maka ketika pajak tersebut diwajibkan kepada kaum muslimin, para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya.

Pendapat Pertama : menyatakan pajak tidak boleh sama sekali dibebankan kepada kaum muslimin, karena kaum muslimin sudah dibebani kewajiban zakat. Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda :

"Tidak ada kewajiban dalam harta kecuali zakat." (HR Ibnu Majah, no 1779, di dalamnya ada rawi : Abu Hamzah (Maimun), menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dho’if hadist, dan menurut Imam Bukhari : dia tidak cerdas )

Apalagi banyak dalil yang mengecam para pengambil pajak yang dhalim dan semena-mena, diantaranya adalah:

Pertama : Hadist Abdullah bin Buraidah dalam kisah seorang wanita Ghamidiyah yang berzina bahwasanya Rasulullah saw bersabda :

“Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang penarik pajak, niscaya dosanya akan diampuni." (HR Muslim, no: 3208 )

Kedua: Hadist Uqbah bin ‘Amir, berkata saya mendengar Rasulullah saw bersabda :

“Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zhalim).“ ( HR Abu Daud, no : 2548, hadist ini dishohihkan oleh Imam al Hakim ) .

Dari beberapa dalil di atas, banyak para ulama yang menyamakan pajak yang dibebankan kepada kaum muslim secara dhalim sebagai perbuatan dosa besar, seperti yang dinyatakan Imam Ibnu Hazmi di dalam Maratib al Ijma’ hlm : 141 :

”Dan mereka (para ulama) telah sepakat bahwa para pengawas (penjaga) yang ditugaskan untuk mengambil uang denda (yang wajib dibayar) di atas jalan-jalan, pada pintu-pintu (gerbang) kota, dan apa-apa yang (biasa) dipungut dari pasar-pasar dalam bentuk pajak atas barang-barang yang dibawa oleh orang-orang yang sedang melewatinya maupun (barang-barang yang dibawa) oleh para pedagang (semua itu) termasuk perbuatan zhalim yang teramat besar, (hukumnya) haram dan fasik.”

Imam Dzahabi di dalam bukunya Al-Kabair, Imam Ibnu Hajar al Haitami di dalam az- Zawajir ‘an iqtirafi al Kabair, Syekh Sidiq Hasan Khan di dalam ar-Rauda an-Nadiyah, Syek Syamsul al Haq Abadi di dalam Aun al-Ma’bud dan lain-lainnya

Pendapat Kedua: menyatakan kebolehan mengambil pajak dari kaum Muslimin, jika memang negara sangat membutuhkan dana, dan untuk menerapkan kebijaksanaan inipun harus terpenuhi dahulu beberapa syarat. Diantara ulama yang membolehkan pemerintahan Islam mengambil pajak dari kaum muslimin adalah Imam Ghozali, Imam Syatibi dan Imam Ibnu Hazm.

Dan ini sesuai dengan hadist yang diriwayatkan dari Fatimah binti Qais juga, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda :

"Sesungguhnya pada harta ada kewajiban/hak (untuk dikeluarkan) selain zakat." (HR Tirmidzi, no: 595 dan Darimi, no : 1581, di dalamnya ada rawi : Abu Hamzah ( Maimun ), menurut Ahmad bin Hanbal dia adalah dho’if hadist, dan menurut Imam Bukhari : dia tidak cerdas )

Syarat-syarat Pemungutan Pajak

Para ulama yang membolehkan pemerintahan Islam memungut pajak dari umat Islam, meletakkan beberapa syarat yang dipenuhi terlebih dahulu, di antaranya adalah sebagai berikut :

Pertama: Negara benar-benar sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara yang sedang dirongrong oleh Negara musuh.

Kedua : Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara, baik dari zakat, jizyah, al usyur, kecuali dari pajak.

Ketiga: Harus ada persetujuan dari alim ulama, para cendikiawan dan tokoh masyarakat.

Keempat: Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari –orang kaya saja, dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat tertentu atau untuk kepenting an kampaye saja, apalagi tercemar unsur KKN atau korupsi.

Kelima: Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika Negara dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.

Keenam: Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja,

Ketujuh: Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja.

Sebagian besar syarat-syarat tersebut teringkas dalam peristiwa yang terjadi pada zaman Imam Nawawi. Pada waktu itu terjadi penyerangan besar-besaran pasukan Tartar kepada wilayah-wilayah kaum muslimin, hampir semua wilayah kaum muslimin telah ditaklukan oleh pasukan Tatar.

Yang berkuasa di Syam waktu itu adalah Sultan Zhahir Baibas. Beliau mengajak para ulama untuk bermusyawarah dalam menghadapi pasukan Tatar, sedang kas yang ada di Baitul Maal tidak mencukupi untuk biaya perang. Akhirnya mereka menetapkan bahwa Negara akan memungut pajak kepada rakyat, terutama yang kaya untuk membantu biaya perang.

Ternyata Imam Nawawi tidak hadir dalam acara itu, sehingga menimbulkan tanda tanya bagi Sultan itu. Maka akhirnya Imam Nawawi dipanggil. Sultan berkata kepadanya “Berikan tanda tangan anda bersama para ulama lain”. Akan tetapi Imam Nawawi tidak bersedia. Sultan menanyakan kepada Imam Nawawi “ kenapa tuan menolak ?”

Imam Nawawi berkata: “Saya mengetahui bahwa Sultan dahulu adalah hamba sahaya dari Amir Banduqdar, anda tak mempunyai apa – apa, lalu Allah memberikan kekayaan dan dijadikannya Raja, saya dengar anda memiliki seribu orang hamba. Setiap hamba mempunyai pakaian kebesaran dari emas dan andapun mempunyai 200 orang jariah, setiap jariah mempunyai perhiasan. Apabila anda telah nafkahkan itu semua, dan hamba itu hanya memakai kain wol saja sebagai gantinya, demikian pula para jariah hanya memakai pakaian tanpa perhiasan, maka saya berfatwa boleh memungut biaya dari rakyat."

Mendengar pendapat Imam Nawawi ini, Sultan Zhahir pula sangat marah kepadanya dan berkata: “Keluarlah dari negeriku Damaskus”. Imam Nawawi menjawab, “Saya taat dan saya dengar perintah Sultan “, lalu pergilah ia ke kampung Nawa d8 daerah Syam. Para ahli fiqh berkata kepada Sultan, “Beliau itu adalah ulama besar, ikutan kami dan sahabat kami “. Lalu Imam Nawawi diminta kembali ke Damaskus tetapi beliau menolak dan berkata: “Saya tidak akan masuk Damaskus selagi Zhahir ada di sana”. Tak lama kemudian, setelah satu bulan, Sultan pun mati. ( Imam Suyuti, Husnu al Muhadharah : 2/ 66-67 )

Apakah pajak hari ini sesuai dengan Islam?

Apakah pajak hari ini sesuai dengan syarat-syarat yang telah disebutkan ulama atas ? maka jawabannya adalah TIDAK, hal itu dengan beberapa sebab :

1. Pajak hari ini dikenakan juga pada barang dagangan dan barang-barang yang menjadi kebutuhan sehari-hari yang secara tidak langsung akan membebani rakyat kecil

2. Hasil pajak hari ini dipergunakan untuk hal-hal yang bukan termasuk kebutuhan darurat, tetapi justru malah digunakan untuk membiayai tempat-tempat maksiat dan rekreasi, pengembangan budaya yang tidak sesuai dengan ajaran Islam dan sejenisnya, bahkan yang lebih ironisnya lagi sebagian besar pajak yang diambil dari rakyat itu hanya untuk dihambur-hamburkan saja, seperti untuk pembiayaan pemilu, pilkada, renovasi rumah DPR, pembelian mobil mewah untuk anggota dewan dan pejabat, dan lain-lainnya.

3. Pajak hari ini diwajibkan terus menerus secara mutlak dan tidak terbatas.

4. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat, padahal zakat sendiri belum diterapkan secara serius.

5. Pajak yang diwajibkan hari ini belum dimusyawarahkan dengan para ulama dan tokoh masyarakat.

6. Pajak hari ini diwajibkan kepada rakyat kecil, padahal sumber-sumber pendapat Negara yang lain, seperti kekayaan alam tidak diolah dengan baik, bahkan malah diberikan kepada perusahan asing, yang sebenarnya kalau dikelola dengan baik, akan bisa mencukupi kebutuhan Negara dan rakyat.

Perbedaan antara Zakat dan Pajak

Banyak kalangan yang menyamakan secara mutlak antara zakat dan pajak, padahal sebenarnya antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat menyolok, diantara perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :

Pertama (dari sisi nama ), zakat berarti : bersih, tumbuh, berkembang, dan berkah. Sedang pajak berarti : beban atu upeti yang harus dibayarkan.

Kedua, (dari sisi dasar hukum), zakat ditetapkan berdasarkan ayat-ayat Al Qur'an dan hadist-hadits Rasulullah saw yang bersifat tegas dan qath'I, orang yang menolak untuk membayarkannya secara sengaja, wajib diperangi dan sebagian ulama menghukuminya dengan kafir. Sedang pajak ketetapannya bersifat ijtihad para ulama atau bahkan hanya keputusan dari para pejabat untuk kepentingan Negara atau untuk kepentingan mereka sendiri.

Ketiga, (dari sisi waktu ), zakat berlaku sepanjang masa sampai hari kiamat, sehingga kewajibannya bersifat tetap dan terus-menerus. Sedang pajak ketetapannya bersifat sementara, tergantung kepada kebutuhan negara.

Keempat, (dari sisi obyek dan pemanfaatan ), zakat kadarnya baku dan tetap berdasarkan hadist-hadist shahih, dan obyeknya-pun tertentu, tidak semua barang wajib dizakati, serta pemanfaatan dan penggunaannya tidak boleh keluar dari delapan golongan yang ditetapkan di dalam Qs At Taubah, ayat: 60. Sedang pajak kadar dan aturan pemungutannya sangat tergantung kepada aturan yang ditetapkan oleh Negara. Hasil pajakpun bisa digunakan pada seluruh sektor kehidupan ini, bahkan pada hal-hal yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepentingan umum.

___________________________________________________________________
Oleh : Dr. Ahmad Zain An Najah, MA

Dr Snouck Hurgronje Pengaruhi Kebijakan Haji Indonesia


Penerapan kebijakan Politik Etis dalam bidang pendidikan dengan keluarnya Undang-undang Pendidikan tahun 1871, membawa babakan baru dalam perlakuan pemerintah kolonial Hindia-Belanda terhadap Islam dan ummat Islam di Nusantara.

Babakan baru ini berada di bawah pengaruh seorang Orientalis terkemuka pada masa itu, Dr. Christian Snouck Hurgronje,[1] yang menjadi peletak dasarnya. Snouck Hurgronje datang ke Hindia-Belanda pada tahun 1889. Pada tahun yang sama, Snouck Hurgronje ditunjuk sebagai penasehat pada Kantor Urusan Orang Pribumi dan Arab (Kantoor voor Inlandsche Zaken). Kantor yang menurut Karel C. Steenbrink kemudian menjelma menjadi Shumubu di jaman Jepang, dan juga menjadi cikal-bakal Departemen Agama Indonesia ini pun didirikan atas usul dan usaha Snouck Hurgronje.[2]

Berkat pengalamannya di Timur Tengah dan menyelesaikan perang Aceh, Snouck Hurgronje, sarjana Sastra Semit yang mempunyai andil sangat besar dalam penyelesaian perang Aceh ini, kemudian berhasil menemukan suatu pola dasar bagi kebijaksanaan pemerintah Hindia-Belanda untuk menghadapi Islam di wilayah Hindia-Belanda. Pola ini secara resmi tetap merupakan pedoman bagi pemerintah Hindia-Belanda, meskipun dalam tahun-tahun terakhir tidak seluruhnya bisa diterapkan. Pola ini pula yang menjadi pedoman kerja bagi para Adviseur voor Inlandsche Zaken berikutnya, terutama untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang penasehat bagi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, tentang segala sesuatu mengenai pribumi.[3]

Dalam posisi sebagai seorang penasehat (adviseur) di Kantoor voor Inlandsche Zaken ini,Snouck Hurgronje mulai memperkenalkan sebuah pendekatan baru untuk menghadapi persoalan-persoalan Islam. Sebelumnya, kebijaksanaan pemerintah Hindia-Belanda terhadap Islam hanyalah berdasarkan rasa takut dan tidak mau ikut campur. Sebab, saat itu mereka belum banyak menguasai masalah tentang Islam.[4] Snouck Hurgronje kemudian menjelaskan tentang berbagai hal yang tidak diketahui, dan bahkan sangat ditakuti oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda selama ini.

Misalnya bahwa di dalam agama Islam tidak dikenal lapisan kependetaan semacam pendeta, atau bahkan Paus dalam agama Kristen; Kyai tidak apriori fanatik; Penghulu merupakan bawahan pemerintah pribumi, dan bukan atasannya; Ulama independen bukanlah komplotan jahat, sebab mereka hanya menginginkan ibadah haji; Pergi haji ke Mekah pun bukan berarti fanatik dan berjiwa pemberontak.[5] Sekalipun menegaskan bahwa pada hakikatnya orang Islam di Hindia-Belanda memiliki sifat damai, namun Snouck Hurgronje juga tidak menutup mata terhadap kemampuan politik fanatisme Islam. Namun bagi Snouck Hurgronje, musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik.[6]

Sejak dibukanya Terusan Suez di Mesir pada tahun 1869, setiap tahun ribuan kaum muslimin Indonesia menunaikan ibadah haji ke Makkah. Tidak sedikit dari mereka yang kemudian membawa “ajaran ortodoks” setelah naik haji, atau setelah sekian lama bermukim di tanah suci. Ajaran ortodoks adalah sebutan pemerintah Belanda dan Kristen untuk ajaran-ajaran Islam yang menyangkut aqidah, yang dikembalikan kepada tuntunan Al Qur’an dan Hadits. Maka, lambat laun ajaran ini menjadi semakin berkembang dan berhasil menggantikan kedudukan mistik dan sinkretisme yang selama ini telah menguasai Indonesia. Tentu saja, pemerintah Belanda pun tidak melupakan kenyataan bahwa berbagai perlawanan ummat Islam di Hindia-Belanda memang banyak dimotori oleh para haji dan ulama. Kenyataan ini menimbulkan banyak suara di kalangan pejabat pemerintah Hindia-Belanda yang menginginkan agar pemerintah melarang orang Islam berangkat ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji. Sebab, ibadah haji dinilai akan menyebabkan kaum pribumi menjadi fanatik. Pemerintah Hindia-Belanda pun kemudian mengeluarkan bermacam-macam peraturan yang membatasi dan mempersulit pelaksanaan ibadah haji, sekalipun kemudian dicabut juga.[7]

Dalam situasi itulah, sebagai seorang jagoan Orientalis dan Islamolog, Snouck Hurgronje tampil untuk mendudukkan masalah tentang hubungan antara “ibadah haji” dan “fanatik” ini. Menurut Snouck Hurgronje, “koloni Jawa” di luar negeri memang harus diawasi, dan ternyata kemudian –melalui Konsul Belanda di Jeddah— semua sepak terjang para mukimin itu diteliti. Bahkan kemudian bukan hanya di Jeddah saja yang diawasi, tetapi juga di Kairo, di Kalkutta, dan di Singapura, Belanda memasang “radar” untuk mengawasi gerak-gerik kaum pribumi. Sementara itu, salah satu cara untuk menjinakkan kaum pribumi dan menghadapi Islam adalah dengan mengangkat penghulu sebagai pegawai negeri, yang antara lain bertugas membantu Bupati dalam mengawasi ummat Islam. Sedangkan Gubernur Jenderal secara rahasia diinstruksikan oleh raja Belanda untuk mengambil tindakan yang diperlukan dalam rangka memelihara tugas pengawasan yang dilakukan oleh para bupati terhadap para ulama pribumi.[8]

Snouck Hurgronje lalu membedakan Islam dalam arti “ibadah”, dengan Islam sebagai “kekuatan sosial politik”. Dalam hal ini, Snouck Hurgronje membagi masalah Islam atas tiga kategori, yakni: 1. Bidang agama murni atau ibadah; 2. Bidang sosial kemasyarakatan; 3. Bidang politik; di mana masing-masing bidang menuntut alternatif pemecahan yang berbeda. Resep inilah yang kemudian dikenal sebagai Islam Politiek,atau kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Hindia-Belanda.[9]

Snouck Hurgronje kemudian memberikan berbagai saran kepada pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk menyelesaikan berbagai masalah yang menyangkut ketiga kategori di atas. Dalam bidang agama murni, atau ibadah, pemerintah kolonial Hindia-Belanda disarankan untuk bersikap netral dan memberikan kemerdekaan kepada ummat Islam untuk melaksanakan perintah agamanya, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.[10] Khusus tentang masalah meningkatnya pelaksanaan ibadah haji, walaupun pemerintah kolonial Hindia-Belanda sangat takut akan dampak yang ditimbulkan oleh para haji yang memimpin berbagai pemberontakan di Nusantara dan terus mengawasi mereka, Snouck Hurgronje tetap memasukkan persoalan ibadah haji ke dalam kawasan netral, karena ibadah haji masih menyangkut urusan ibadah. Pemberian kebebasan dalam pelaksanaan ibadah haji, menurut Snouck Hurgronje, “akan meyakinkan para ulama tentang niat baik pemerintah Belanda, dan akan menyadarkan pula bahwa mereka tidak perlu takut pada pemerintah kolonial, selama tidak mencampuri urusan politik.”[11]

Dalam bidang sosial kemasyarakatan, Snouck Hurgronje menyarankan agar pemerintah Hindia-Belanda memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku, dengan cara menggalakkan rakyat agar mendekati Belanda, dan bahkan membantu rakyat yang akan menempuh jalan tersebut. Sementara itu, dalam bidang politik dan ketatanegaraan, Snouck Hurgronje telah memperingatkan pemerintah kolonial dengan keras, bahwa: pemerintah harus mencegah setiap usaha yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan-Islam.[12] “Karena itu, setiap ada tanda-tanda kemunculannya, haruslah secara tegas dihadapi dengan kekuatan, dan semua campur tangan yang datang dari luar negeri dalam perkara-perkara Islam haruslah dipatahkan sejak dari tunasnya”.[13]

Pergeseran dalam kebijakan kolonial terhadap Islam ini sesungguhnya merupakan langkah awal dalam visi Snouck Hurgronje, yang membayangkan terciptanya sebuah Hindia-Belanda yang ideal menurut penilaiannya, di masa depan. Snouck Hurgronje percaya bahwa kepemimpinan masyarakat Hindia-Belanda di masa depan, tidak bisa bergantung pada kaum Muslim yang taat maupun pada para tetua adat. Menurut pendapat Snouck Hurgronje, kaum Muslim yang taat tidak bisa terlalu diharapkan untuk bisa mengembangkan sebuah ikatan yang lestari antara Negeri Hindia dan Negeri Belanda. Sementara itu, para tetua adat yang telah lama menjadi penghadang terkuat untuk melawan Islam, juga dianggap terlalu konservatif untuk dapat diharapkan sebagai pengusung tujuan-tujuan jangka panjang pemerintahan kolonial Belanda. Karena sebuah Hindia-Belanda yang modern tidak bisa dipimpin, baik oleh kaum Muslim yang taat maupun oleh para tetua adat, maka Snouck Hurgronje kemudian menyadari tentang pentingnya upaya menciptakan para elit Hindia baru, yang berorientasi Barat.[14]

Menurut pandangan Snouck Hurgronje, para elit Hindia baru yang berorientasi Barat inilah yang diharapkan bisa merawat masyarakat Hindia modern, seiring dengan garis-garis kebijakan ‘asosiasi’ (association policy). ‘Asosiasi’ yang dimaksud oleh Snouck Hurgronje di sini ialah upaya untuk menciptakan ‘sebuah Negara Belanda Raya, yang terdiri atas dua wilayah yang terpisah secara geografis, namun merupakan bagian-bagian yang terkait secara spiritual, di mana yang satu berada di Eropa Barat-Utara, dan yang lain berada di Asia Tenggara’.[15]

Sejalan dengan kebijakan Politik Etis, Snouck Hurgronje juga memberikan rekomendasi yang senada, terutama tentang pendidikan, yakni agar Hindia-Belanda mencapai situasi yang dicita-citakannya. Snouck Hurgronje memberikan rekomendasi kepada pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk mempromosikan organisasi pendidikan berskala-luas, dan menekankan tentang perlunya landasan nilai-nilai universal dan bersifat netral agama dalam pendidikan kaum pribumi, sehingga akan bisa ‘mengemansipasi’ elit baru yang akan muncul nanti. Mengemansipasi’ dalam konteks ini mengandung arti menjauhkan elit baru dari ajaran Islam. Dengan demikian, proses kelahiran kesadaran nasional Hindia-Belanda dipandu melalui kerjasama dengan, dan atas arahan, pihak Belanda, dan tidak diarahkan oleh gerakan Pan-Islamisme yang (dianggap) berbahaya secara politik.[16]

_____________________________________________________________________

[1] Dr. Christian Snouck Hurgronje dilahirkan di Oosterhout, pada tanggal 8 Februari 1857, dan meninggal di Leiden, pada tanggal 26 Juni 1936, dalam usia 79 tahun. Christian Snouck Hurgronje adalah anak keempat dari pasangan Pendeta J.J. Snouck Hurgronje dan Anna Maria, puteri pendeta Ds. Christian de Visser. Perkawinan kedua orang tuanya didahului skandal hubungan gelap, yang menyebabkan pendeta itu kemudian dipecat dari gereja Herformd di Tholen, Zeeland pada 3 Mei 1849, ketika J.J Snouck Hurgronje telah memiliki enam orang anak. C. Snouck Hurgronje lahir jauh sebelum perkawinan resmi kedua orang tuanya pada tanggal 31 Januari 1855. Setelah tamat sekolah menengah, pada usia 18 tahun, Snouck Hurgronje memulai kuliahnya di Universitas Leiden pada tahun 1875. Awalnya ia mengambil kuliah di Fakultas Teologi, namun kemudian pindah ke Fakultas Sastra jurusan Arab. Lima tahun kemudian, tahun 1880, Snouck Hurgronje berasil meraih gelar Doktor dengan predikat cum laude dengan disertasi Het Mekaansche Feest (Perayaan di Mekah). Ia lalu mengajar di Pendidikan Khusus Calon Pegawai di Hindia-Belanda (Indologie), di Leiden. Pada akhir tahun 1884, Snouck Hurgronje datang ke Jeddah dan tinggal di sana selama lima bulan, kemudian memasuki kota suci Makkah dan tinggal di sana selama tujuh bulam (Februari – Agustus 1885). Kunjungan ini dilakukannya di luar musim haji sehingga leluasa menggunakan waktu sehari-hari untuk membicarakan masalah Islam dengan para ulama Makkah. Snouck Hurgronje juga bermaksud melihat koleksi buku-buku dan naskah di sana, sekaligus meneliti situasi dan kondisi ‘warga Negara Belanda’ di kota suci Makkah. Ternyata Snouck Hurgronje menemukan bahwa sesungguhnya Makkahlah letak jantung kehidupan Islam di Hindia Belanda, dan di sini pula urat nadi selalu memompakan darah segar yang tak terhitung berapa jumlahnya ke seluruh penduduk muslim di Hindia-Belanda. Snouck Hurgronje bisa memasuki kota suci Makkah yang terlarang bagi orang-orang non muslim karena berpura-pura menjadi seorang muslim bernama Abdul Gaffar. Sepulang dari Makkah, Snouck kembali mengajar di Universitas Leiden. Pada tahun 1889 Snouck Hurgronje tiba di Hindia-Belanda dengan tugas meneliti masyarakat Aceh, dan kemudian menetap di Batavia untuk meneliti masalah Islam di Jawa. Snouck Hurgronje lalu diangkat menjadi Penasehat Bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam. Beberapa kali ia berangkat ke Aceh untuk memberikan saran-saran yang membantu Jenderal J.B. Van Heutz menakhlukkan Aceh. Pada 11 Januari 1889 Snouck Hurgronje diangkat menjadi Adviseur voor Inlandsche Zaken (penasehat Kantor Urusan Pribumi dan Arab). Sebagai penasehat Gubernur Jenderal tentang kaum pribumi, dialah peletak dasar bagi kebijakan pemerintah kolonial Belanda tentang Islam. Lihat dalam Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. LP3ES. Jakarta. 1985. hlm 115 – 125.

[2] Karel C. Steenbrink. Kawan dalam Pertikaian – Kaum Kolonial dan Islam di Indonesia. (1596 – 1942). Terjemahan. Mizan. Bandung. 1995. hlm 88.

[3] Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. hlm 2.

[4] Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. hlm 2.

[5] Harry J. Benda. The Crescent and The Rising Sun: Indonesian Islam Under The Japanesse Occupation 1942 – 1945. KITLV. Den Haag. Holland. 1958. hlm 21.

[6] Ibid. hlm 22 - 23.

[7] Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. hlm 3.

[8] Ibid. hlm 3.

[9] Ibid. hlm 12.

[10] Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. hlm 12.

[11] Harry J. Benda. The Crescent and The Rising Sun. hlm 87.

[12] Aqib Suminto. Politik Islam Hindia-Belanda. hlm 12.

[13] Harry J. Benda. The Crescent and The Rising Sun. hlm 24.

[14] Harry J. Benda. The Crescent and The Rising Sun. hlm 25 - 27.

[15] Karel C. Steenbrink. Kawan dalam Pertikaian – Kaum Kolonial dan Islam di Indonesia. (1596 – 1942). hlm 88.

[16] Karel C. Steenbrink. Kawan dalam Pertikaian – Kaum Kolonial dan Islam di Indonesia. (1596 – 1942). hlm 89.

Keluarga Asmirandah Merasa Tertipu oleh Mualaf Palsu Jonas Rivano


Depok - DPW FPI Kota Depok melalui Habib Idrus Al Ghadri yang mengecam tindakan Jonas Rivano yang telah melakukan penistaan agama Islam.

Tak hanya Habb Idrus, keluarga Asmirandah pun ternyata juga merasa tertipu atas pernyataan Rivano yang membantah bahwa dirinya telah masuk Islam. Halai ini bertolak belakang dengan pengakuan Jonas sudah menjadi mualaf.

Sebelumnya, Asmirandah dan Jonas diketahui telah menikah pada 17 Oktober 2013 lalu dan keluarga mengetahui bahwa Rivano sudah memeluk agama Islam pada 21 Agustus 2013

"Keluarga Asmirandah merasa tertipu oleh Jonas. Mereka sudah membuat pernyataan yang ditandatangani di atas materai," ujar Habib Idrus saat ditemui di Sekretariat FPI DPW Kota Depok, Rabu (13/11/2013).

"Kami selaku orangtua Asmirandah menyatakan bahwa Jonas Rivano benar adanya telah masuk Islam. Tetapi dengan adanya pernyataan Jonas tersebut membuat kami kecewa dan merasa dibohongi," kata Habib Idrus membacakan surat pernyataan yang dibuat oleh Anton Zantman, pria asal Belanda ayahanda Asmirandah.

Para wanita muslimah, ambil pelajaran dari kasus Zaskia Gotik dan pengusaha 'from Karang Asih City' Vicky Prasetyo yang telah beristri dan kumpul kebo dengan wanita Perancis, Ayu Tingting dan anak mantan petinggi Polri Enji Hendarso dan kini Asmirandah dan Jonas Rivano. Cuek berzina dengan menghamili wanita bukan mahram dan nekat mengelabui keluarga wanita dan agama Allah. Tolak Pria Munafik! Naudzubillah mereka tidak takut siksa Allah.

Jika ingin pria yang baik, kita pun perlu memperbaiki iman kita, atau se-kufu atau sederajat iman kita, kita lah yang memperbaiki jodoh kita itu kelak beriman atau tidak. Yang Baik dengan yang baik, karena ruh mencari pasangannya. Duh, mbok yo di ajak ngaji dulu, jangan milih tampang saja. Pilih karena Iman dan taat pada Allah lebih beruntung.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews