Thursday 30 May 2013

Benarkah Nenek Moyang Bangsa Indonesia adalah Monyet ?


Umumnya, di sekolah-sekolah dasar dan menengah diajarkan bahwa cikal bakal manusia Indonesia adalah manusia purba. Itu disimpulkan berdasarkan penemuan fosil-fosil manusia purba di beberapa lokasi di Jawa -- yang oleh para arkeolog diperkirakan berumur mulai dari 1,7 juta tahun (Sangiran) hingga 50.000 tahun yang lalu (Ngandong).

Anggapan itu sejatinya perlu dikritisi. Fosil ini terdiri atas dua subspesies yang berbeda yaitu Homo Erectus Paleojavanicus yang lebih tua daripada Homo Soloensis. Disebutkan bahwa mereka hidup sezaman dengan manusia modern Homo Sapiens kurang lebih 50.000 tahun lalu. Fosil-fosil manusia purba itu, katanya, merupakan nenek moyang manusia Indonesia saat ini.

Argumentasi yang digunakan adalah dengan menggunakan teori evolusi yang dicetuskan Charles Darwin, ahli biologi asal Inggris dalam bukunya yang sangat terkenal, The Origin of Species. Berdasarkan teori ini, keberadaan manusia sekarang merupakan produk dari evolusi makhluk hidup yang terjadi selama jutaan tahun yang lalu. Pada mulanya manusia berwujud seperti makhluk-makhluk purbakala yang dilukiskan mirip kera. Untuk mendukung argumen ini, dicarilah fosil-fosil manusia purba seperti yang ditemukan di Sangiran dan Ngandong, dan sebagainya.

Namun apakah nenek moyang bangsa Indonesia memang manusia-manusia purba mirip kera dan orang utan itu? Para ahli pendukung teori evolusi manusia mengatakan, bahwa makhluk itu merupakan missing link (mata rantai yang hilang) dari ras manusia. Tetapi, bagi umat Islam dan banyak ilmuwan modern saat ini, keberadaan fosil manusia purba diragukan. Para evolusionis (kaum yang menganut paham teori evolusi Darwin) yang memang atheis tidak punya pijakan siapa manusia pertama sehingga berasumsi bahwa manusia yang sekarang ada merupakan perkembangan dari manusia purba.

Padahal, keberadaan manusia purba, termasuk binatang dinosaurus sudah banyak disangkal oleh para ilmuwan modern. Beberapa temuan terakhir justru menunjukkan bahwa teori manusia purba tidak benar alias tidak pernah ada. Selama ini, banyak orang mendapatkan pemahaman yang salah tentang asal-usul manusia saat pendidikan dasar, ditambah dengan rekayasa film ala Holywood yang memvisualisasi keberadaan makhluk-makhluk zaman purba, di antaranya film Jurrasic Park. Keadaan menjadi bertambah parah tatkala teori tentang manusia purba yang dikemukakan oleh para evolusionis ini diajarkan di sekolah-sekolah dasar dan menengah.

Para ilmuwan Barat yang sebagian besar menganut teori evolusi memasukkan Australopithecus atau ras kera yang telah punah sebagai ras ”nenek moyang manusia”. Padahal ada jurang besar dan tak berhubungan antara kera dan manusia. Perbedaan ini yang tidak bisa dijelaskan oleh mereka dan selanjutnya disebut dengan mata rantai yang hilang (missing link). Mata rantai yang hilang inilah yang sampai hari ini tidak pernah ditemukan bagaimana wujudnya. Kalaupun ada tergambarkan hanyalah khayalan dan angan-angan para pendukung evolusionis.

Tatkala para evolusionis tak juga menemukan satu fosil pun yang bisa mendukung teori mereka, terpaksa mereka melakukan kebohongan. Contoh yang paling terkenal adalah manusia Piltdown yang dibuat dengan memasangkan tulang rahang orang utan pada tengkorak manusia. Fosil ini telah membohongi dunia ilmu pengetahuan selama 40 tahun.

Kisahnya pada tahun 1912 seorang ahli palaentologi amatir bernama Charles Dawson mengklaim bahwa dia telah menemukan sebuah tulang rahang dan fragmen tengkorak di sebuah lubang dekat Piltdown, Inggris. Tulang itu mirip tulang rahang hewan namun gigi dan tengkoraknya seperti milik manusia. Spesimen ini dinamakan Manusia Piltdown dan diduga berumur 500.000 tahun.

Rekonstruksi terhadap manusia Piltdown dilakukan dan telah dipajang di berbagai museum sebagai bukti nyata evolusi manusia. Selama lebih dari 40 tahun sejumlah penafsiran dan gambar dibuat. Banyak artikel ilmiah tentang manusia piltdown ini, termasuk 500 tesis doktor tentangnya.

Namun pada tahun 1953, hasil pengujian secara menyeluruh terhadap fosil tersebut menunjukkan kepalsuannya. Tengkorak tersebut berasal dari manusia yang hidup beberapa ribu tahun yang lalu, sedangkan tulang rahangnya berasal dari bangkai kera yang baru terkubur beberapa tahun. Gigi-giginya ditambahkan kemudian agar terlihat mirip manusia lalu persendiannya disumpal. Setelah itu seluruh fosil diwarnai dengan potasium dokromat agar tampak kuno.

Harun Yahya, melalui bukunya, Atlas of Creation, memaparkan ratusan bukti-bukti penemuan fosil-fosil kuno hewan dan tumbuhan yang berumur jutaan tahun, dan ternyata sama persis dengan spesies sejenisnya, yang masih hidup sekarang.

Visi Islam

Visi Islam tentang sejarah manusia dipaparkan dalam al-Quran. Sebab, dalam pandangan Islam, al-Quran adalah wahyu dari Allah yang pasti kebenarannya. Al-Quran adalah suber sejarah yang diyakini kebenarannya oleh umat Islam. Islam memandang, manusia bukan hanya terdiri dari unsur fisik, tetapi juga unsur jiwa (nafs). Manusia bukan hanya terdiri atas daging dan tulang belulang. Tetapi, manusia juga memiliki RUH yang berasal dari Allah.

Maka, ketika melihat sejarah manusia, seorang Muslim tidak hanya melihat sejarah manusia dari unsur daging dan tulang belulang, sebagaimana dilakukan manusia sekular. Seorang Muslim akan melihat sejarah manusia, bukan hanya ketika ia berada di dunia, tetapi juga ketika manusia masih hidup di alam arwah. Ketika itulah manusia melakukan pernjanjian azali dengan Allah: ”Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ”Bukankah Aku ini Tuhanmu!” Mereka menjawab: ”Benar!” (Engkau Tuhan kami), kami mengambil kesaksian.” (Kami lakukan yang demikian itu), agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: ”Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (Ke-Esaan Allah).” (QS al-A’raf: 172)

Seorang Muslim tidak bersifat sekularis dan dikotomis dalam mempelajari segala sesuatu. Ayat al-Quran tersebut memberikan petunjuk yang jelas, tentang sejarah dan asal-usul manusia. Tentu saja termasuk manusia Indonesia. Maka, dengan memahami sejarah manusia seperti ini, manusia diajarkan oleh Allah agar jangan melupakan asal-usulnya.

Karena itulah, melalui berbagai proses pendidikan, manusia harus mampu mengantarkannya untuk mengenal Tuhannya. Jangan sampai, karena masuknya ilmu-ilmu yang salah, atau karena terjebak oleh godaan hawa nafsu, manusia tidak mampu mengenal Tuhannya. Jadi, ketika belajar sejarah manusia, orang Muslim dibimbing untuk belajar sejarah secara komprehensif; bukan hanya melihat manusia dari unsur fisik tetapi juga unsur RUH-nya. Manusia Muslim diajak menelaah jauh ke belakang, sebagaimana yang diberitakan dalam al-Quran. Maka, tidaklah patut jika dalam melihat asal-usul manusia, yang dilihat hanya sejarah tulang belulang.

Misi Kristen di Buku Sejarah SMP


Dalam sebuah buku Sejarah untuk siswa SMP kelas VIII (Jakarta: Erlangga, 2006), diuraikan satu bab khusus berjudul “Perkembangan Kristen di Indonesia”.  Bab ini dibuka dengan uraian berikut: “Mengapa perlu mempelajari bab ini? Penyebaran Kristen di Indonesia berintikan damai dan cinta kasih. Namun, karena intervensi politik Barat, timbul kesan penyebaran Kristen identik dengan kolonialisme dan imperialisme. Dengan mempelajari bab ini, kita diajak untuk semakin sadar betapa campur tangan politik dapat merusak nilai-nilai luhur yang terkandung pada setiap agama.” 
Pada bagian selanjutnya dijelaskan tentang kendala penyebaran agama  Kristen di Indonesia: “Para penguasa dan penduduk setempat mencurigai para rohaniwan sebagai sekutu Portugis ataupun Belanda. Tindakan penindasan yang dilakukan para pedagang maupun pemerintah kolonial menimbulkan kesan bahwa Kristen identik (sama saja) dengan kolonialisme. Padahal para rohaniwan selalu datang dengan maksud damai.” (hal. 61). 

Inilah salah satu contoh materi sejarah yang diajarkan kepada para pelajar  SMP.  Benarkah isi buku pelajaran sejarah tersebut? Ada baiknya kita simak penjelasan dari kalangan Kristen sendiri!

Pada tahun 2010, juga rangka memperingati 150 tahun Huria Kristen Batak Prostestan, Sekolah Tinggi Teologia Jakarta, bekerjasama dengan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, Ecole francaise d,Extreme-Orient, dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia menerbitkan sebuah buku berjudul Utusan Damai di Kemelut Perang, Peran Zending dalam Perang Toba: Berdasarkan Laporan L.I. Nommensen dan Penginjil RMG Lain, karya Prof. Dr. Uli Kozok, seorang professor kelahiran Jerman. 

Prof. Uli Kozok membuka bukunya dengan sebuah kutipan seorang tokoh Gereja se-Dunia, Ph. Potter: “Gerakan penginjilan […] bermula bertepatan dengan waktu munculnya kolonialisme, imperialisme dan – sebagai akibatnya – rasisme. Oleh sebab itu maka gerakan penginjilan secara hakiki terkait dengan sejarah rasisme.”

Berdasarkan dokumen-dokumen di lembaga misi di Jerman yang mengirimkan Nommensen ke Tanah Batak, yaitu Rheinische Missions-Geselschaft (RMG), Prof. Uli Kozok menemukan fakta pengakuan Ludwig Ingwer (L.I.) Nommensen, tokoh misionaris Jerman di Tanah Batak, bahwa dia bergabung dengan pasukan Belanda untuk melawan gerakan perlawanan para pahlawan Batak yang dipimpin Sisingamangaraja XII. Laporan Berichte Rheinische Missionsgeselschaft (BRMG), menunjukkan, para penginjil justru bersekutu dengan tentara penjajah dalam menumpas perlawanan Sisingamangaraja XII. Lebih jauh Prof. Kozok mencatat:

“Pemerintah Belanda akhirnya mengabulkan permintaan Nommensen, sehingga terbentuk koalisi Injil dan pedang yang sangat sukses karena kedua belah pihak memiliki musuh yang sama: Sisingamangaraja XII yang oleh zending dicap sebagai “musuh bebuyutan pemerintah Belanda dan zending Kristen.” Bersama-sama mereka berangkat untuk mematahkan perjuangan Sisingamangaraja. Pihak pemerintah dibekali dengan persenjataan, organisasi, dan ilmu pengetahuan peperangan modern, sementara pihak zending dibekali dengan pengetahuan adat istiadat dan bahasa. Kedua belah pihak, zending Batak dan pemerintah kolonial, saling membutuhkan dan saling melengkapi, dan tujuan mereka pun pada hakikatnya sama: memastikan bahwa orang Batak “terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa. (BRMG 1882:202)” (hal. 92).

Dalam perang menumpas perjuangan Sisingamangaraja XII, pihak zending Kristen berhasil meyakinkan ratusan raja di tanah Batak agar berhenti mengadakan perlawanan dan menyerah kepada kekuasaan Belanda:

“Dukungan dan bantuan para misionaris yang mendampingi ekspedisi militer hingga ke Danau Toba juga mempunyai tujuan lain, yaitu meyakinkan masyarakat bahwa perlawanan mereka sia-sia saja dan mendesak mereka agar menyerahkan diri.” (JB 1878:31). (hal. 93).

Sementara, para raja yang tidak mau menyerah, didenda dan kampung mereka dibakar. Atas jasa para misionaris, terutama Nommensen dan Simoncit, pemerintah kolonial Belanda memberikan penghargaan resmi, melalui sebuah surat: “Pemerintah mengucapkan terimakasih kepada penginjil Rheinische Missions-Geselschaft di Barmen, terutama Bapak I. Nommensen dan Bapak A. Simoncit yang bertempat tinggal di Silindung, atas jasa yang telah diberikan selama ekspedisi melawan Toba. (BRMG 1879:169-170).” (hal. 93-94).

Selain surat penghargaan, para misionaris juga mendapat hadiah sebesar 1000 Gulden dari pemerintah kolonial yang dapat diambil setiap saat. Kerjasama antara misionaris Kristen dan penjajah Belanda berlangsung sampai Pahlawan Sisingamangaraja XII tewas dalam pertempuran tahun 1907.  Dukungan kaum misionaris kepada pemerintah penjajah juga dimaksudkan untuk mencegah masuknya Islam ke Tanah Batak. (BRMG 1878:94).
Sikap pro-penjajah dari kaum Misionaris bukan hanya saat Perang Toba melawan Sisingamangaraja XII. Sikap para misionaris Kristen ini masih terus berlangsung di kemudian hari. BRMG 1897: 278-279 menulis laporan berjudul “Wie weiter auf Sumatra?” (Bagaimana Kelanjutannya di Sumatra?). Batakmission mengaku mengalami kendala untuk melakukan misi Kristen di Samosir, sebab Samosir masih merupakan “Tanah Batak Merdeka”. Selanjutnya, BRMG mencatat:

“Oleh sebab itu, “dapat dimengerti bahwa penginjil kita sangat menghendaki agar pemerintah Belanda menduduki Samosir.” Lagipula, konferensi penginjil tahun 1897 telah memutuskan bahwa “penginjilan dapat dilakukan dengan lebih tenang dan dengan lebih banyak sukses di bawah perlindungan pemerintah Eropa.” (hal. 103). 

Menurut catatan sejarah, kerjasama misionaris Kristen Batak dengan penjajah Belanda diakui dengan bangga oleh para misionaris Batak. Belanda juga mempersenjatai kaum Kristen Batak dengan 50 bedil. Sebab, jika orang Batak menjadi Muslim, mereka tidak mungkin setia kepada pemerintah penjajah. BRMG 1878:154 mencatat:

“Betapa orang Batak Kristen dapat diandalkan tampak jelas sekarang. Sebagai orang Islam, orang Batak takkan mungkin menjadi rakyat yang patuh pada Belanda. […] memang benar orang Silindung yang Kristen adalah teman setia Belanda, dan pasukan bantuan mereka berperang bersama pasukan Belanda.”. (hal. 106).

Dalam surat-surat yang dikirim tokoh misionaris I. Nommensen, tampak jelas digunakannya istilah “musuh” untuk  Sisingamangaraja XII dan rakyat Batak yang berusaha mempertahankan kemerdekaan mereka. Misalnya, dia tulis: “Setelah kami bekerja dengan tenang selama beberapa hari, musuh kami yang jahat bergerak lagi”… “Kebanyakan musuh berasal dari daerah sekitar Danau Toba, dari Butar dan Lobu Siregar, digerakkan oleh Sisingamangaraja, seorang demagog yang menghasut dan mencelakakan rakyatnya.” (hal. 107).

Dalam suratnya yang lain, Nommensen mencatat:  “Hal yang paling penting adalah bahwa Toba keluar dari isolasinya, terbuka pada pengaruh Eropa dan tunduk pada kekuasaan Eropa sehingga dengan sangat mudah zending kita bisa masuk… (BRMG 1882:302).” (hal. 108).
Sebuah surat tentang pentingnya penaklukan Toba oleh penjajah Belanda dan misi Kristen dalam rangka menghambat masuknya pengaruh Islam, ditulis oleh laporan BRMG 1882 (7): 202-205:

“Perang dan penaklukan Toba sangat mendukung dan mempercepat pembukaan pos penginjilan. Walaupun tidak secara langsung, para penginjil kita di Silindung memainkan peranan yang cukup besar dalam ekspedisi militer Belanda terhadap Toba. Upaya mereka untuk menyebarkan Injil di Silindung mendapatkan perlawanan dari Sisingamangaraja yang dulu maupun Sisingamangaraja yang sekarang. Karena sudah kehilangan sebagian besar kekuasaannya, keduanya  berusaha memperoleh kembali pengaruhnya yang hilang dengan mengusir para penginjil. Sisingamangaraja terutama memusuhi agama Kristen, akan tetapin karena ia bersekutu dengan orang Aceh di Utara maupun dengan Batak Islam di Timur maka kegiatan mereka juga memusuhi pemerintah Belanda. Dengan demikian sangat bijaksana keputusan pemerintah untuk langsung bertindak memperluas dan memperkokoh kekuasaannya, mengingat tindak-tanduk orang Aceh dan jaringan mereka yang makin hari makin ketat dan luas.” (hal. 153-154).

Dalam bukunya, Prof Uli Kozok juga menunjukkan data bahwa hubungan erat antara misi Kristen dan Penjajahan memang sudah menjadi suatu kelaziman. Paus Pius XI, misalnya, melalui surat kabar Vatikan, Osservatore Romano, 24 Februari 1935, pernah secara eksplisit mengeluarkan pernyataan yang mendukung penjajahan:

“Penjajahan merupakan keajaiban yang diwujudkan dengan kesabaran, keberanian dan cinta kasih. Tiada bangsa atau ras yang berhak hidup terisolir. Penjajahan tidak berlandaskan penindasan tetapi berdasarkan prinsip moralitas tertinggi, penuh dengan cinta kasih, kedamaian dan persaudaraan. Gereja Katolik senantiasa mendukung penjajahan, asal dilaksanakan dengan jujur dan manusiawi tanpa menggunakan kekerasan. Oleh sebab itu kami melihatnya sebagai sesuatu yang memiliki daya dan keindahan yang luar biasa.” (hal. 85-86).

Bukan hanya kolonialisme, ideologi rasisme juga ditanamkan kepada  para misionaris dari Rheinische Missions-Geselschaft (RMG). Seorang petinggi RMG, Ludwig von Rohden (1815-1889), berpendapat bahwa semua manusia adalah keturunan Nabi Nuh, yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru dunia. Ada lima warna kulit yang dimiliki keturunan Nabi Nuh itu: putih, kuning, merah, coklat dan hitam. Menurutnya, warna kulit ditentukan oleh kadar dosa masing-masing. Semakin berdosa sebuah bangsa, maka akan semakin hitam warna kulitnya. Kata Ludwig von Rohden dalam sebuah tulisannya:

“Secara bertahap-tahap manusia menjauhkan diri dari sumber kehidupan ilahi. Semakin jauh [sebuah bangsa] menjauhkan diri, semakin merosot moral dan kecerdasan, seiring dengan itu juga postur, bentuk tubuh dan warna kulitnya. Bangsa yang paling dekaden mendapatkan warna kulit paling hitam, dan bentuk tubuhnya menjadi mirip dengan binatang. Namun perbedaan hakiki antara manusia dan binatang masih tetap ada: ialah jiwa yang dihembuskan Allah kepada jasad sebagai bagian kehidupan ilahi.” (hal. 59). 

Menurut Rohden, bangsa berkulit hitam bisa menjadi putih kulitnya jika mereka menjadi Kristen:
“Negro yang paling rendah derajat pun masih bisa diangkat menjadi manusia terdidik bila dididik dengan cara yang tepat melalui pengaruh Kekristenan yang bersifat menyembuhkan. Seiring dengan [proses penyembuhan] itu, maka raut muka yang kebinatangan menghilang, pandangan mata dan tubuhnya akan menjadi lebih sempurna, bahkan warna kulitnya secara turun-temurun bisa menjadi lebih putih.” (hal. 60).

Itulah fakta dan data tentang misi Kristen yang ditampilkan Prof. Uli Kozok – guru besar dan ketua jurusan bahasa Indonesia di Universitas Hawai. Gambaran misi Kristen yang berkolaborasi dengan penjajah itu jauh sekali bedanya dengan isi buku Sejarah yang kini diajarkan kepada anak-anak Muslim di sekolah-sekolah tingkat SMP. 
Seyogyanya, para pimpinan sekolah Islam, para guru, dan orang tua sadar benar akan kekeliruan besar semacam ini. Sungguh ironis, jika ada lembaga pendidikan Islam yang mengajarkan bahan-bahan sejarah semacam ini, yang merusak pemikiran dan jauh sekali dari fakta sejarah sebenarnya. Bukankah Allah SWT sudah memperingatkan: “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!” Wallahu a’lam bil-sshawab. (Depok, 24 Ramadhan 1432 M/24 Agustus 2011).

Tipe Teman yang Perlu Dijauhi


Temen adalah bagian dari hidup kita. Selain bisa sharing tentang banyak hal, temen juga buat  hidup jadi tambah asik banget. Tapi Rasulullah pernah bersabda "Teman yang baik dan teman yang tidak baik itu diumpamakan seperti pembawa kasturi dan peniup api, maka si pembawa kasturi mungkin memberikan kasturi itu kepada kamu atau kamu dapat membelinya, atau kamu dapat mencium baunya yang wangi. Bagaimanapun peniup api mungkin membakar pakaianmu atau kamu dapat mencium baunya yang busuk." [Hadis riwayat al-Bukhari dan Muslim]. Jadi Itu artinya dengan siapapun kita berteman, ya kudu ngebawa efek baik buat teman kita, dan bukan malah sebaliknya. So, temen yang kaya' gimana sih yang harusnya kita hindari?, salah satunya adalah yang kaya'dibawah ini,

Teman tapi setan
Pasti udah pada baca biografinya setan kan? intinya dia pasti bakal ngajak siapapun ke jalan yang salah. Contoh, saat kamu lagi asyik ibadah, dia malah ngajak kamu nongkrong sambil suit suit cewek.  atau saat kamu mau belajar dia malah ngajak main game, dan minta traktir pula. apalagi saat malming kamu yang jomblo malah dipaksa nungguin dia yang lagi pacaran # mimisan. Jelas-jelas species yang begini hanya akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.  Parahnya, kalo setan dari golongan jin baru bisa ilang waktu dibacain ayat Kursi, nah kalo yang ini cuma bakal ilang kalo ditimpuk kursi , hee... makanya jangan ragu-ragu buat jauh-jauh dari temen yang begini yah.

Gampang ngeluh

Kenapa sih aku nggak ganteng?
kenapa sih alisku rata?
Kenapa sih mukaku Sixpack?
Kenapa sih kumis cowokku lebih panjang dari kumisku..???

Hadee.. capek nggak sih dengerin orang yang ngeluuh aja tiap hari? jawabnya pasti iya. gimana nggak, karena  orang ngeluh identik dengan nggak bersyukur. Padahal Allah aja udah berfirman di Alquran "Maka nikmat TUHAN-mu yang manakah lagi yang akan kau dustakan?" (QS. Ar Rahman ayat 13). Itu artinya nikmat Allah tuch nggak ketulungan banyaknya. Kalo aja nich kamu kumpulin satu desa, trus di itung pake jari mereka semua, dijamin juga masih kurang. Karena itulah ngeluh nggak bakalan nyelesaikan apapun kecuali malah makin buat ruwet apapun. Apalagi kalo ngeluh disiarkan secara live dari FB atau twitter kamu. bisa-bisa aib yang udah baik-baik ditutupin sama Allah, malah kebuka dan jadi omongan orang. Jadi makin ribet kan?

Orang yang suka ngeluh juga susah buat move on. Secara mereka sebenarnya menikmati kesusahan dan nggak mau susah mikir tentang jalan keluarnya.  Ya emang sih, yang namanya manusia punya limit alias batas dalam apapun. tapi sekali lagi, mengeluh bukan jalan yang asyik buat nyelesaikan masalah, malah akan menjauhkan temen-temen dari kita.  jadi tambah masalah kan?. Jadi temen yang punya kebiasaan suka banget ngeluh ini otomatis kudu kita jauhin juga biar kita nggak jadi ikut-ikutan negatif.

Datang nggak diundang, pergi suruh nganter

Konsep berteman itu harusnya saling berbagi. Jadi kita pun kudu belajar ringan tangan alias banyak bantu sob. Kita juga harus pintar- pintar nyari temen yang bisa ngajarin kita tentang berbagi.  dengan kata lain, hindari temen yang egois, yang datang nggak diundang, pergi suruh nganter, atau mampir ke kita cuma kalo lagi moodnya gak bagus, gundah gulana, resah, puyeng, kelaperan, pokoknya yang lagi butuh dihibur banget. Lama-lama penyakit kaya' gini juga bakalan mampir ke kita juga, dan ngebuat kita makin nggak dewasa.

Tukang gosip amatir
biasanya emang paling adem kalo udah curhat sama temen, pas kita lagi ada masalah. Tapi akan tambah bermasalah saat ternyata temen kita itu nggak amanah alias malah cerita-cerita kemana-n/mana tentang curhatan kita itu. pasti bakalan BT level akut. # ngikir taring

Monday 20 May 2013

Sejarah Hitam Di Balik 20 Mei Sebagai Harkitnas


Tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional didasarkan atas peristiwa berdirinya Boedi Oetomo. Sedangkan para tokoh BO (Boedi Oetomo)  adalah pengikut Theosofi (sebuah perkumpulan kebatinan yang berlandaskan pada tradisi Kabbalah Yahudi), anggota Freemasonry dan Melecehkan Islam.

Sistem pendidikan yang dianut dalam BO (Boedi Oetomo) sendiri adalah adopsi pendidikan Barat. BO sendiri sangat kooperatif dengan pemerintah Kolonial, hal ini karena para pemimpinya digaji oleh pemerintah Belanda.

Dalam rapat-rapat perkumpulan, Boedi Oetomo menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. “Tidak pernah sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka.

BO tidak memiliki andil sedikit pun unuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935. 

Sebuah majalah yang diterbitkan oleh kelompok Theosofi bernama Majalah Pewarta Theosofie Boeat Indonesia Tahun 1930 menyebut Candi Borobudur sebagai “Baitullah di Tanah Java”. Theosofi menganggap, antara ke Baitullah di Makkah dan Baitullah di Tanah Java sama saja nilainya. Majalah Bangoen yang dikelola oleh aktivis Theosofi, Siti Soemandari, juga pernah memuat pelecehan terhadap istri-istri Rasulullah dan syariat poligami. Selain itu, sebuah surat kabar bernama Djawi Hisworo yang dikelola oleh para penganut kebatinan Theosofi juga melakukan pelecehan terhadap pribadi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Pada 8 dan 11 Januari 1918, Djawi Hisworo yang dipimpin oleh Marthodarshono memuat artikel yang menyebut Nabi Muhammad sebagai pemabuk dan pemadat. 

· “Suara Umum”, sebuah media massa milik Boedi Oetomo di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi, “Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah Ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (Al-Lisan nomor 24, 1938).

Tanggal 20 Mei Negara Republik Indonesia memperingatinya sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Namun sebenarnya penentuan tanggal ini meninggalkan permasalahan yang besar dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam menegakkan kemerdekaannya. Tidak banyak diungkap secara lebih lengkap  dalam buku-buku pendidikan sejarah di sekolah bahwa sebenarnya penentuan tanggal 20 Mei yang didasarkan atas peristiwa berdirinya Boedi Oetomo meninggalkan banyak masalah, khususnya bagi umat Islam di Indonesia. Permasalahan itu antara lain :

Boedi Oetomo adalah organisasi yang bersifat Jawa-Madura sentris, sama sekali bukan organisasi yang bersifat kebangsaan. Tujuan Boedi Oetomo didirikan adalah  untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis. Sistem pendidikan yang dianut dalam BO sendiri adalah adopsi pendidikan Barat. BO sendiri sangat kooperatif dengan pemerintah Kolonial, hal ini karena para pemimpinya digaji oleh pemerintah Belanda.

KH Firdaus AN (Mantan Majelis Syuro Syarikat Islam) mengungkapkan “…Boedi Oetomo adalah organsasi sempit, lokal dan etnis, dimana hanya orang Jawa dan Madura elit yang boleh menjadi anggotanya. Orang betawi saja tidak boleh menjadi anggotanya”. Selain itu dalam rapat-rapat perkumpulan, Boedi Oetomo menggunakan bahasa Belanda, bukan bahasa Indonesia. “Tidak pernah sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri”. KH Firdaus AN juga mengatakan “BO tidak memiliki andil sedikit pun unuk perjuangan kemerdekan, karena mereka para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan yang dilakukan tuannya atas Indonesia. Dan BO tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemedekaan, karena telah bubar pada tahun 1935.”

Asvi Marwan Adam, sejarawan LIPI menilai penetapan tanggal lahir BO sebagai Hari Kebangkitan Nasional tidak layak. Hal ini karena BO tidak bisa disebut sebagai pelopor kebangkitan nasional. Menurutnya, BO bersifat kedaerahan sempit. “Hanya meliputi Jawa dan Madura saja”. Boedi Oetomo yang oleh banyak orang dipercaya sebagai simbol kebangkitan nasional, pada dasarnya merupakan lembaga yang mengutamakan kebudayaan dan pendidikan, dan jarang memainkan peran politik yang aktif. Padahal politik adalah pilar utama sebuah kebangkitan.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh peneliti Robert van Niels yang mengatakan, “Tanggal berdirinya Budi Utomo sering disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional atau Kebangkitan Nasional. Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja. Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah dari dulu terjadi…Orang-orang Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir barat. Bagi dunia luar, organisasi Budi Utomo menunjukkan wajah barat. ”

Para tokoh BO adalah pengikut Theosofi, anggota Freemasonry dan Melecehkan Islam

Penggagas organisasi BO, dr Wahidin Soediro Hoesodo adalah anggota Theosofi, sebuah perkumpulan kebatinan yang berlandaskan pada tradisi Kabbalah Yahudi yang didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky. Theosofi-Freemason tidak mempercayai adanya ritual doa kepada Sang Maha Pencipta. Mereka juga tak mempercayai adanya surga dan neraka. Anggota Theosofi yang mengaku muslim, membuat penafsiran ajaran Islam dengan pemahaman yang menyimpang. Theosofi tidak percaya dengan doa, dan tidak melakukan doa. Theosofi mempercayai “doa kemauan” yang ditujukan kepada Bapak di sorga dalam artian esoteris, yaitu Tuhan yang tidak ada sangkut pautnya dengan bayangan manusia, atau Tuhan yang menjadi intisari ilahiah yang dimiliki semua agama. Berdoa, kata Blavatsky mengandung dua unsur negatif: Pertama, membunuh sifat percaya diri manusia yang ada dalam diri manusia sendiri. Kedua, mengembangkan sifat mementingkan diri sendiri. Sebuah majalah yang diterbitkan oleh kelompok Theosofi bernama Majalah Pewarta Theosofie Boeat Indonesia Tahun 1930 menyebut Candi Borobudur sebagai “Baitullah di Tanah Java”. Theosofi menganggap, antara ke Baitullah di Makkah dan Baitullah di Tanah Java sama saja nilainya. Majalah Bangoenyang dikelola oleh aktivis Theosofi, Siti Soemandari, juga pernah memuat pelecehan terhadap istri-istri Rasulullah dan syariat poligami. Selain itu, sebuah surat kabar bernama Djawi Hisworo yang dikelola oleh para penganut kebatinan Theosofi juga melakukan pelecehan terhadap pribadi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam. Pada 8 dan 11 Januari 1918, Djawi Hisworo yang dipimpin oleh Marthodarshono memuat artikel yang menyebut Nabi Muhammad sebagai pemabuk dan pemadat.

Penghinaan ini yang kemudian memunculkan Tentara Kanjeng Nabi Muhammad di bawah pimpinan HOS Cokroaminoto dimana salah satu anggotanya adalah KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah.

Tokoh utama BO adalah Dokter Soetomo.  Dalam buku “Kenang-kenangan Dokter Soetomo” yang dihimpun oleh Paul W van der Veur, disebutkan bahwa Soetomo pernah mengatakan bahwa pemancaran zat Tuhan, “Itulah sebenarnya keyakinan saya. Itulah keyakinan yang mengalir bersama darah dalam segala urat tubuh saya. Sungguh, sesuai-sesuai benar.” (hal. 30). Soetomo juga mengatakan, “Aku dan Dia satu dalam hakikat, yakni penjelmaan Tuhan. Aku penjelmaan Tuhan yang sadar…” (hal.31). Ini menunjukkan Dokter Soetomo seorang penganut  paham sesat “Manunggaling Kawula Gusti” buatan Syech Siti Jenar. Dokter Soetomo juga seorang penganut Theosofi, sebagaimana pengikut aliran theosofi lainnya, maka dia tidak melakukan shalat lima waktu selayaknya umat Islam lainnya, melainkan melakukan semedi, meditasi, yoga, dan sebagainya. “Soetomo lebih mementingkan “semedi” untuk mendapat ketenangan hidup, ketimbang sholat. Dengan rasa bangga, saat berpidato dalam Kongres Partai Indonesia Raya (Parindra) pada 1937, Soetomo mengatakan,”Kita harus mengambil contoh dari bangsa-bangsa Jahudi, jang menghidupkan kembali bahasa Ibrani. Sedang bangsa Turki dan Tsjech kembali menghormati bangsanya sendiri.”
Tokoh Boedi Oetomo lainnya, dr Tjipto Mangoenkoesomo, juga dengan sinis meminta agar bangsa ini mewaspadai bahaya “Pan-Islamisme”, yaitu bahaya persatuan Islam yang membentang di berbagai belahan dunia, dengan sistem dan pemerintahan Islam di bawah khilafah Islamiyah. Pada 1928, Tjipto Mangoenkoesoemo menulis surat kepada Soekarno yang isinya mengingatkan kaum muda untuk berhati-hati akan bahaya Pan-Islamisme yang menjadi agenda tersembunyi Haji Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto.

Goenawan Mangoenkoesoemo, juga melontarkan pernyataan yang melecehkan Islam. Adik dari dr. Tjipto Mangoekoesomo ini mengatakan, “Dalam banyak hal, agama Islam bahkan kurang akrab dan kurang ramah hingga sering nampak bermusuhan dengan tabiat kebiasaan kita. Pertama-tama ini terbukti dari larangan untuk menyalin Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Rakyat Jawa biasa sekali mungkin memandang itu biasa. Tetapi seorang nasionalis yang berpikir, merasakan hal itu sebagai hinaan yang sangat rendah. Apakah bahasa kita yang indah itu kurang patut, terlalu profan untuk menyampaikan pesan Nabi?”
Dalam buku yang sama, masih dengan nada melecehkan, Goenawan menulis, “Jika kita berlutut dan bersembahyang, maka bahasa yang boleh dipakai adalah bahasanya bangsa Arab…”Bagaimanapun tinggi nilai kebudayaan Islam, ternyata kebudayaan itu tidak mampu menembus hati rakyat. Bapak penghulu boleh saja supaya kita mengucap syahadat“Hanya ada satu Allah dan Muhammad-lah Nabi-Nya”, tetapi dia tidak akan bisa berbuat apa-apa bila cara hidup kita, jalan pikiran kita, masih tetap seperti sewaktu kekuasaan Majapahit dihancurkan secara kasar oleh Demak.”
Salah satu pimpinan BO yaitu Dr. Radjiman Wediodiningrat dengan bangga mengatakan, bakat dan kemampuan orang Jawa yang ada pada para aktivis Boedi Oetomo lebih unggul ketimbang ajaran Islam yang dianut oleh para aktivis Sarekat Islam. Pada kongres Boedi Oetomo tahun 1917, ketika umat Islam yang aktif di Boedi Oetomo meminta agar organisasi ini memperhatikan aspirasi umat Islam, Radjiman dengan tegas menolaknya. Radjiman mengatakan, “Sama sekali tidak bisa dipastikan bahwa orang Jawa di Jawa Tengah sungguh-sungguh dan sepenuhnya menganut agama Islam.” Radjiman yang merupakan ketua BO 1914-1915 adalah anggota Freemasonry dan perhimpunan Theosofi. Beberapa pimpinan BO adalah anggota Freemasonry antara lain : Raden T. Tirtokusumo (Ketua BO pertama), Bupati Karanganyar kemudian  Pangeran Aryo Notodirodjo dari Keraton Paku Alam (Ketua BO yang kedua).
Tokoh yang lain bernama Noto Soeroto, salah seorang tokoh Boedi Oetomo, di dalam satu pidatonya tentang Gedachten van Kartini alsrichtsnoer voor de Indische Vereninging berkata: “Agama islam merupakan batu karang yang sangat berbahaya…sebab itu soal agama harus disingkirkan, agar perahu kita tidak karam dalam gelombang kesulitan.”

Ada fakta lain yang lebih mencengangkan, dalam sebuah artikel di “Suara Umum”, sebuah media massa milik Boedi Oetomo di bawah asuhan Dr. Soetomo terbitan Surabaya, dikutip oleh A. Hassan di dalam Majalah “Al-Lisan” terdapat tulisan yang antara lain berbunyi,“Digul lebih utama daripada Makkah”, “Buanglah ka’bah dan jadikanlah Demak itu Kamu Punya Kiblat!” (Al-Lisan nomor 24, 1938).

Kenapa bukan tanggal 16 Oktober sebagai Hari Kebangkitan Nasional ?
Tanggal 16 Oktober 1905 adalah tanggal berdirinya Sarekat Islam. SI merupakan kawah candradimuka berbagai pemikir Indonesia kelas dunia. Sebutlah H.O.S Tjokroaminoto, Agus Salim, Soekarno sampai dengan Tan Malaka, Muso dan Semaun. Tokoh-tokoh ini memiliki andil besar dalam kemerdekaan bangsa Indonesia. SI tidak membatasi keanggotaannya hanya untuk masyarakat Jawa dan Madura saja. Hal ini terlihat pada susunan para pemimpinnya, Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumater Barat, dan AM. Sangaji dari Maluku. Tujuan SI adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan tolong-menolong di antara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat. Keanggotaan SI terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim. Walaupun organisasi ini berlabel agama, dimana selain kaum muslimin tidak boleh menjadi anggota, bukan berarti SI tidak peka terhadap perbedaan. Alasan menggunakan label Islam, karena hanya itulah harta yang tersisa, selebihnya telah dirampas Belanda. SI berhasil membuka 181 cabang di seluruh Indonesia. Jumlah anggota kurang lebih 700.000 orang. Tahun 1919 melonjak drastis hingga mencapai 2 juta orang. Sebuah angka yang fantastis kala itu. Jika dibandingkan dengan BO pada masa keemasannya saja hanya beranggotan tak lebih dari 10.000 orang. Sejarawan Fred R. von der Mehden (1957: 34) dengan tegas mengatakan bahwa SI-lah organisasi politik nasional pertama di Indonesia.

Pada Kongres Mubaligh Islam Indonesia di Medan (1956), umat Islam mengusulkan kepada pemerintah untuk menjadikan tanggal berdirinya SDI sebagai Harkitnas berdasarkan karakter dan arah perjuangan SDI. Namun sangat disayangkan, seruan ini tidak didengar pemerintah, bahkan sampai saat ini. Pelurusan sejarah mengenai kebangkitan Indonesia nampaknya perlu dilakukan, sangat disayangkan kalau peran umat terbesar di negeri ini dihilangkan begitu saja.

Menjadikan Boedi Oetomo Sebagai Landasan Kebangkitan Nasional Adalah Keliru!


Setiap 20 Mei pemerintah memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Peringatan ini mengacu pada organisasi Boedi Oetomo (BO) yang didirikan pada 20 Mei 1908.

Anehnya, kedekatan BO dengan organisasi Freemason tak pernah diungkap sejarah. Ada apa?

Het Jong Javaasche Verbond Boedi Oetomo atau Ikatan Pemuda Jawa Boedi Oetomo didirikan di Gedung STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen), Batavia, pada 20 Mei 1908.

Tahun berdirinya BO sama dengan tahun munculnya Gerakan Turki Muda (Young Turk Moment). Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement) yang dipimpin oleh Mustafa Kemal At-Taturk juga mengadakan revolusi kebangkitan nasional.

Gerakan ini berhasil menumbangkan kekhilafahan Islam, dan mengganti hukum Islam menjadi hukum sekular. Aktivis Turki Muda banyak didominasi oleh para sekularis. Bahkan, At-Taturk sendiri adalah anggota jaringan Freemason yang sangat anti dengan syariat Islam.

Mengenai Gerakan Revolusi Turki Muda, pendiri Boedi Oetomo yang juga anggota Theosofi, dr Soetomo mengatakan,”Perkembangan yang terjadi di Turki adalah petunjuk jelas bahwa ‘cita-cita Pan-Islamisme’ telah digantikan oleh nasionalisme.”

Soetomo adalah tokoh Boedi Oetomo yang banyak melontarkan pelecehan terhadap Islam dan mengagumi gerakan kebangsaan yang terjadi di Turki.

Nama Boedi Oetomo diambil dari bahasa Sansakerta, ”Bodhi” atau ”Buddhi” yang berarti keterbukaan jiwa, pikiran, kesadaran, akal, dan daya untuk membentuk dan menjunjung konsepsi ide-ide umum. Sedangkan Oetomo berasal dari kata ”Uttama” yang berarti tingkat kebajikan utama.

Jadi, BO bisa disebut sebagai organisasi yang mengedepankan keterbukaan akal sebagai tingkat kebajikan utama. Mereka menyebut ”budi” sebagai puncak kegiatan moral manusia dan mengendalikan akal dan watak seseorang.

Boedi Oetomo adalah organisasi yang kental dengan nilai-nilai kebatinan.Para aktivisnya mengaku ingin menyatukan antara kultur dan tradisi Jawa dengan pendidikan Barat. BO ingin memadukan antara modernisasi Barat dan mistis Timur.

Ki Wiropoestoko, anggota BO Surakarta mengatakan, “Berdirinya Boedi Oetomo semata-mata merupakan hasil elit Jawa yang telah memperoleh pendidikan barat.”

Sementara sejarawan Robert van Niels, penulis buku Munculnya Elit Modern Indonesia menyebut BO sebagai organisasi yang mengikuti garis-garis Barat. Ia juga menyebut BO dan Jong Java sebagai organisasi yang bersifat Theosofis dan agnostik.

Penggagas organisasi BO, dr Wahidin Soediro Hoesoedo adalah anggota Theosofi, sebuah perkumpulan kebatinan yang berlandaskan pada tradisi Kabbalah Yahudi yang didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky.

Selain Theosofi, para ketua dan aktivis BO juga masuk sebagai anggota Freemason. Anehnya, tentang kedekatan organisasi ini dengan kelompok Theosofi dan Freemason tak pernah diungkap dalam buku-buku sejarah di sekolah.

Penulis buku Api Sejarah, sejarawan Ahmad Mansur Suryangera menyebut BO sebagai organisasi yang lebih mencerminkan gerakan kejawen yang anti Islam, ketimbang organisasi yang mengusung nasionalisme.

Sejarawan yang banyak mengoreksi penyimpangan-penyimpangan sejarah di Indonesia ini juga menyebut BO sebagai organisasi yang bersifat kedaerahan. Tapi sayang, dalam Api Sejarah Mansur Suryanegara tak mengungkap hubungan antara BO dengan organisasi Freemason di Hindia Belanda. Padahal, dokumen-dokumen sejarah yang mengungkap soal ini begitu banyak.

Dr Th Stevens penulis buku Vrijmetselarij en Samenlaving in Nederlands Indie en Indonesie 1764-1962 (Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962) menyebutkan bahwa Freemasonry memperoleh aktualitas yang besar dengan munculnya gerakan nasionalis modern di Jawa.

Kata pengantar buku ini menyebutkan dengan jelas, bahwa Freemason menjalin hubungan dengan satu organisasi politik Indonesia pertama ”Budi Utomo” (Lihat, hal.XVIII dan hal. 331).

Raden Adipati Surjo sebagai anggota Freemason, berharap pemimpin muda dari gerakan nasional, seperti Boedi Oetomo dapat dicapai dengan asas-asas Masonik (doktrin-doktrin Freemason, pen). Tak heran, jika Freemason yang mempunyai hubungan erat dan BO, memiliki peran yang cukup signifikan dalam gerak nasionalisme di negeri ini.

Mereka menginginkan nasionalisme yang muncul adalah nasionalisme yang berlandaskan humanisme, suatu paham yang menjadi doktrin tertinggi Freemason.Paham humanisme menempatkan manusia sebagai makhluk ”superior” yang berhak dan bebas menentukan kehendak, termasuk membuat aturan hukum sendiri.

Freemason atau dalam bahasa Belanda disebut Vrijmetselarij, pada masa lalu dikenal oleh masyarakat Jawa dengan sebutan ”Golongan Kemasonan”. Para Yahudi Belanda yang aktif dalam organisasi ini begitu gencar mempropagandakan doktrin-doktrin Freemason terhadap elit-elit di Jawa, khususnya kalangan kraton.

Buku Gedenkboek van de Vrijmetselaren in Nederlandsche Oost Indie 1767-1917 (Buku Kenang-kenangan Freemasonry di Hindia Belanda 1767-1917) yang diterbitkan oleh tiga loge besar; Loge de Ster in het Oosten (Batavia), Loge La Constante et Fidale (Semarang), dan Loge de Vriendschap (Surabaya) memuat tulisan yang mengajak masyarakat Jawa memahami hakikat organisasi Freemason atau Kemasonan.

Bahkan, pemimpin tertinggi Freemason di Hindia Belanda pada 1914-1917, Andre de La Porte, membuat sebuah artikel berjudul”De Javaasche Beweging in het Teeken van de Vrijmetselarij” (Kebangkitan Jawa dalam Gerak Freemason).

Kedekatan BO dengan Freemason terlihat pada masa-masa awal BO didirikan. Kongres pertama BO yang berlangsung pada 3-4 Oktober 1908 di Jogjakarta awalnya ingin dilaksanakan di Loge milik Freemason.

Namun, karena loge tersebut telah lebih dulu dipakai untuk acara pameran lukisan, kongres BO yang rencananya diadakan di loge tersebut urung dilaksanakan.

”Adapoen roemah jang patut akan tempat kongres itu sebetoelnya logegebouw (bangunan loge Freemasonry, pen) orang Banjak di Djokja menamakan dia “roemah setan”, akan tetapi sajang pada waktu itoe roemah soedah diizinkan kepada seorang toean, akan diadakan tentoonstelling (pameran) gambar-gambar…,” demikian seperti dikutip dari buku Pitut Soeharto dan Drs A Zainoel Ihsan, ”Cahaya Di Kegelapan: Capita Selecta Kedua Boedi Oetomo dan Sarekat Islam”.

Kedekatan BO dengan organisasi Freemason dan Theosofi juga bisa dilihat setahun setelah berdirinya organisasi tersebut. Buku Soembangsih Gedenkboek Boedi Oetomo 1908-1918 yang diterbitkan di Amsterdam, Belanda, untuk mengenang 10 tahun berdirinya BO, memuat laporan bahwa pada 16 Januari 1909, di Loge de Ster in het Oosten (Loji Bintang Timur), Batavia, ratusan anggota BO berkumpul untuk mendengarkan pidato umum dari Dirk van Hinloopen Labberton, orang Belanda yang disebut oleh aktivis BO sebagai ”Bapak Kebatinan” yang kemudian menjadi Ketua Nederlandsche Indische Theosofische Vereeniging (Theosofi Cabang Hindia Belanda).

Dalam pidato berjudul ”Theosofische in Verband met Boedi Oetomo” (Theosofi dalam Kaitannya dengan Boedi Oetomo), Labberton bicara tentang masalah agama, tujuan Theosofi, dan hubungannya dengan hari depan bangsa Jawa.

Labberton mampu membuat para anggota BO untuk tertarik masuk sebagai anggota organisasi kebatinan Yahudi tersebut. Labberton pada waktu itu adalah anggota Komisi Bacaan Rakyat (Volks Bibliotheek) yang mempengaruhi berdirnya BO. Labberton menyebut berdirinya BO sebagai ”kesadaran moral”. Mengapa acara ceramah umum (openbare) tersebut diadakan di loge Freemason? Karena antara Freemason dan Theosofi tak jauh beda. Pada masa lalu, anggota Freemason juga aktif di Theosofi, begitupun sebaliknya. Yang cukup mengejutkan, seolah sudah ada yang merencanakan, lokasi tempat diadakannya ceramah umum Labberton yang dulu bernama Vrijmetselarijweg (Jalan Freemasonry), saat ini berganti nama menjadi Jalan Budi Utomo.

Selain Labberton, tokoh lain yang dekat dengan Boedi Oetomo adalah Godard Arend Hazeau, Penasihat Urusan Pribumi Pemerintah Hindia Belanda. Hazeau datang ke Indonesia dengan bekerja sebagai guru Willem III Grammar School dan asisten Snouck Hurgronye. Hal yang menjadi perhatian Hazeau adalah pendidikan yang netral atau bahkan bercorak Kristen untuk para murid Islam.

Selain itu, Hazeau juga banyak memberikan masukan terhadap pemerintah kolonial terkait bagaimana pemerintah bersikap terhadap organisasi pergerakan nasional yang bercorak Islam, seperti Sarekat Islam, dan organisasi Islam lainnya yang dipandang fanatik dan ekstrem. Sikap berbeda ditunjukkan Hazeau terhadap Boedi Oetomo, yang banyak mendapat perhatian lebih, karena kesamaannya dalam memandang pergerakan Islam.

Bukti lain mengenai kedekatan BO dengan Freemason bisa dilihat dari kiprah Paku Alam V, yang merupakan anggota Freemason,. Ia banyak membantu terselenggaranya kongres Boedi Oetomo di Surakarta. Kongres yang pernah diadakan di loge milik Freemason banyak dihadiri oleh para aktivis kebangsaan yang juga anggota Freemason.

Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Abdurachman Surjomihadrjo, dalam Kata Pengantar buku ”Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918”, karya peneliti Jepang, Akira Nagazumi, mengatakan, “Paku Alam memberikan pengaruh pada terselenggaranya kongres-kongres Boedi Oetomo, khususnya mereka yang ada hubungannya dengan gerakan Mason (Freemasonry).”

Penjelasan serupa juga ditulis Abdurrachman Surjomihardjo dalam buku ”Budi Utomo Cabang Betawi” yang menyebut Paku Alam VII mengizinkan Loge Mataram dijadikan tempat kongres BO kedua.

Fakta sejarah lainnya mengenai kedekatan BO dengan Freemason dan Theosofi adalah pertemuan akbar yang dilakukan dalam rangka memperingati 10 tahun berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1918. Acara peringatan tersebut diadakan di Belanda, di sebuah loge milik Theosofi.

Mereka yang berkumpul dalam perayaan tersebut selain para aktivis Freemason Belanda, juga dihadiri oleh tokoh-tokoh nasionalis-Jawa seperti Ki Hadjar Dewantara dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Surat Kabar Oedaya pada 1923 memuat foto para aktivis BO dan Theosofi dengan tulisan ”Masyarakat Indonesia Memperingati 10 Tahun Boedi Oetomo di rumah (loge, red) Theosofi, Mei 1918 di Negeri Belanda”.

Kedekatan BO dengan Freemason juga bisa dilihat dalam paper berjudul The Freemason in Boedi Oetomo yang ditulis oleh C.G Van Wering pada 1979. Van Wering menulis tentang elit power atau intelektual dari kalangan priayi Jawa, yang kebanyakan aktivis BO, sekaligus anggota Freemason. Tulisan Van Wering ini dikutip dalam buku biografi Dr Radjiman Wediodiningrat berjudul ”DR. K.R.T Radjiman Wediodiningrat Perjalanan Seorang Putra Bangsa 1879-1952”.

Para Ketua BO Adalah Anggota Freemason

Ketua BO yang sangat kental dengan pemikiran Freemason dan Theosofi adalah Radjiman Wediodiningrat. Radjiman menjadi ketua BO pada periode 1914-1915. Ia masuk menjadi anggota Freemason pada 1913, selain juga aktif dalam perkumpulan Theosofi.

Radjiman adalah orang pribumi yang mendapat kehormatan dari Freemason Hindia Belanda dengan dimuatnya artikel karyanya berjudul ”Een Broderketen Volks (Persaudaraan Rakyat)” dalam buku ”Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917”.

Tentu, jika bukan bagian dari orang-orang penting dalam jaringan Freemasonry, tulisan Radjiman tak mungkin dimasukkan dalam buku yang menjadi bukti sejarah keberadaan para Mason di Hindia Belanda ini.

Radjiman adalah seorang Mason yang menjadi salah satu the founding fathers negeri ini, tokoh yang pernah memimpin jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Dalam catatan sejarah, persidangan yang dipimpin Radjiman ini tercatat sebagai awal dari lahirnya dasar negara Indonesia, Pancasila, setelah sebelumnya masing-masing kelompok berdebat dan mengajukan usulan soal asas negara. Tokoh-tokoh Islam seperti M Natsir mengajukan Islam sebagai dasar negara, sedangkan tokoh-tokoh nasionalis-sekular mengajukan ideologi Pancasila.

Para ketua BO lainnya juga adalah anggota Freemasonry, seperti R.A. Tirtokoesoemo, ketua BO pertama (1908-1911) yang juga pernah menjadi bupati Karang Anyar, Pangeran Ario Notodirodjo (Ketua BO kedua tahun 1911-1914), dan R.M.A Soerjosoeparto alias Mangkunegara VII (Ketua BO keempat tahun 1915-1916).

RM Tirtokoesoemo dan Pengeran Ario Notodirodjo adalah anggota Freemasonry Loge Mataram Yogyakarta. Ketua BO selanjutnya, meski tak menjadi anggota Freemason, tetapi menjadi anggota Theosofi, seperti M Ng Dwijo Sewojo (1916), dan R.M.A Woerjaningrat (1916-1921).

Dalam perjalanan sejarahnya kemudian, BO makin terlihat tidak berpihak kepada umat Islam. Karena itu, masa-masa yang genting dari organisasi ini adalah ketika berhadapan dengan umat Islam yang merasa sikap BO yang selalu meminggirkan aspirasi umat Islam. Karena itu, di beberapa daerah yang menjadi basis umat Islam seperti Batavia, Boedi Oetomo sulit untuk mendapatkan pengaruh.

Upaya untuk mengajak BO agar berpihak pada umat Islam bukan tak pernah dilakukan. Mohammad Tohir, seorang anggota organisasi ini bahkan pernah mengusulkan kepada BO untuk membantu masjid-masjid agar bisa meraih simpati umat Islam. Namun, usulan itu ditolak dan organisasi ini tetap pada pendiriannya yang “netral agama”. Usaha untuk menarik simpati umat Islam ini ditentang oleh Radjiman Wediodiningrat.

Tokoh BO lainnya, Tjipto Mangoenkoesoemo, juga begitu sinis dalam memandang Pan-Islamisme. Pada 1928, Tjipto berkirim surat kepada Soekarno yang isinya mengingatkan kaum muda untuk berhati-hati akan bahaya Pan-Islamisme yang menjadi agenda tersembunyi H. Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto.

Tjipto khawatir, para aktivis Islam yang disebut akan mengusung Pan-Islamisme itu bisa menguasai Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Jika mereka berhasil masuk ke dalam PPKI, Tjipto mengatakan, cita-cita gerakan kebangsaan akan hancur.

Menggugat Sejarah

Sejarah memang ditentukan oleh mereka yang berkuasa. Jika pada masa lalu, kelompok nasionalis-sekular yang berada dalam pengaruh Freemason dan Theosofi, didukung oleh elit-elit kolonial, berhasil menentukan siapa aktor dan tokoh dalam panggung sejarah di negeri ini, maka sudah saatnya ketika umat Islam memiliki akses ke jantung kekuasaan, mempunyai ikhtiar untuk meluruskan sejarah yang penuh selubung dan distorsi ini. Fakta sejarah harus diungkap dengan tinta emas berlapis kejujuran, bukan dengan tinta hitam yang sarat kepentingan.

Jika BO didirikan pada 1908, maka jauh sebelum itu, pada 1905 sudah berdiri Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta yang didirikan oleh Haji Samanhoedi. SDI jelas mempunyai arah perjuangan memajukan ekonomi pribumi dan melawan hegemoni asing. SDI bercorak Islam dan nasionalis, tidak tersekat-sekat dalam ke daerahan yang sempit.

SDI yang kemudian pada 10 September 1912 menjadi Sarekat Islam (SI), meletakkan dasar perjuangannya atas tiga prinsip dasar, yaitu: Pertama, asas Islam sebagai dasar perjuangan. Kedua, asas kerakyatan sebagai dasar himpunan organisasi. Ketiga, asas sosial ekonomi sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang umumnya berada dalam taraf kemiskinan dan kemelaratan.

Mengenai alasan menjadikan Islam sebagai asas gerakan, baik H. Samanhoedi ataupun para tokoh Sarekat Islam lainnya, beralasan agar ruh Islam menyatu dalam setiap langkah pergerakan. Selain itu, hal ini juga untuk menunjukkan sikap kepada Belanda, yang berupaya menjauhkan Islam dari politik. (Lihat: M.A. Gani, Cita Dasar dan Pola Perjuangan Syarikat Islam, hal. 15).

SDI yang kemudian menjadi SI lebih jelas mengedepankan kepentingan Islam-nasional-pribumi dan tidak dibentuk oleh kepentingan kolonial. Bahkan, SI jelas-jelas menolak segala pelecehan terhadap Islam yang ketika itu marak dilakukan oleh kelompok Boedi Oetomo.

Karena itu, menjadikan BO sebagai organisasi yang melandasi kebangkitan nasional adalah sebuah distorsi sejarah, bahkan bisa disebut sebagai “de-Islamisasi” fakta sejarah.

Usaha untuk menjadikan sejarah berdirinya SDI sebagai Harkitnas pernah diusulkan oleh umat Islam. Pada Kongres Mubaligh Islam Indonesia di Medan tahun 1956, umat Islam mengusulkan kepada pemerintah untuk menjadikan tanggal berdirinya SDI sebagai Harkitnas berdasarkan karakter dan arah perjuangan SDI. Sayang, usulan itu sampai saat ini belum jadi kenyataan.

Kritik terhadap dijadikannya BO sebagai landasan kebangkitan nasional tak hanya datang dari umat Islam. Peneliti Robert Van Niels juga mengatakan, “Tanggal berdirinya Budi utomo sering disebut sebagai Hari Pergerakan Nasional atau Kebangkitan Nasional. Keduanya keliru, karena Budi Utomo hanya memajukan satu kelompok saja. Sedangkan kebangkitan Indonesia sudah dari dulu terjadi…Orang-orang Budi Utomo sangat erat dengan cara berpikir barat. Bagi dunia luar, organisasi Budi Utomo menunjukkan wajah barat.” (Robert Van Niels, Munculnya Elit Modern Indonesia, hal. 82-83).

Doa Kafaratul Majelis


Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.

Islam menuntun umatnya, saat selesai dari bermajelis dan hendak bangkit darinya agar membaca doa kafaratul Majelis. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Sunan Abu Dawud dari Abu Barzah Al-Aslami, beliau berkata: Adalah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam saat hendak berdiri (meninggalkan) majelis berdoa:

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

"Mahasuci Engkau Ya Allah dan segala puji bagi-Mu, Aku bersaksi tiada tuhan (yang berhak diibadahi) kecuali Engkau, aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu."

Lalu ada seseorang yang berkata: Wahai Rasulullah, engkau mengucapkan satu perkataan yang tidak engkau ucapkan sebelumnya? Beliau menjawab, "Sebagai kafarah (penghapus) terhadap apa yang terjadi di majelis"." (HR. Abu Dawud, Al-Tirmidzi, Ahmad, dan selainnya)

Fungsi doa kafarah majelis adalah sebagai penghapus dosa dan kesalahan yang terjadi dalam majelis dari guyonan, kegaduhan, tidak perhatian terhadap penyampaian, kurang memuliakan orang lain, dan tidak terjaganya adab-adab majelis lainnya. Hal ini dikuatkan dalam hadits lain, "Siapa yang duduk di satu majelis dan ia banyak melakukan kekeliruan di dalamnya lalu ia berdoa sebelum berdiri dari majelisnya itu,

  سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ

"Mahasuci Engkau Ya Allah dan segala puji bagi-Mu, Aku bersaksi tiada tuhan (yang berhak diibadahi) kecuali Engkau, aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu." Kecuali akan diampuni kekeliruannya di dalam majelisnya tersebut." (HR. Al-Tirmidzi, Ahmad, dan selainnya. Imam al-Tirmidzi berkata: ini hadits hasan shahih. Al-Albani menshahihkannya)

Dari sini jelas bahwa tempat membaca doa ini adalah sebelum berdiri dari majelis ketika selesai acara di majelis tersebut. Baik majelis tersebut adalah majelis ilmu, rapat, pertemuan untuk ngobrol, dan selainnya. Maka disunnahkan bagi orang yang akan berdiri meninggalkan mejelis tersebut untuk membaca doa ini. Ini merupakan kebiasaan yang sangat baik karena akan bisa menhapuskan perkataan dan perbuatan laghwun (tak berguna) dan kekeliruan selama dalam majelis tersebut.

Bolehkah Seseorang Membacanya Dengan Keras?

Dilihat dari keterangan hadits pertama bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam membaca doa kafaratus majelis dengan suara yang didengar oleh orang lain. Sehingga para sahabat yang ada disekitarnya mendengar bacaan beliau tersebut yang belum pernah di dengar sebelumnya. Namun apakah seseorang disyariatkan menutup resminya acara di majelis tersebut dengan doa ini?

Pada dasarnya tidak ada tuntunan untuk secara serentak dan bersama-sama membaca doa kafartul majelis sebagai penutup suatu acara. Doa ini dibaca sendiri-sendiri, bisa dikerjakan dengan sirr (pelan) atau diperdengarkan kepada yang lain. Namun jika seseorang menyampaikan penutup majelis dengan membaca doa ini secara keras maka tidak bisa disalahkan. Apalagi jika ada niatan untuk mengingatkan orang-orang yang lupa dan mengajari orang jahil sehingga ia bisa mengikutinya, maka ia akan mendapatkan pahala orang yang memulai suatu aktifitas yang baik. Artinya ia mendapatkan tambahan pahala dari orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala orang tersebut.

Namun jika khawatir akan timbul riya' (pamer dan ingin dipuji karenanya) dalam hatinya karena mengeraskan ajakan dan bacaan kafaratus majelis maka lebih baik ia membaca dengan sirr (pelan). Karena tidak diragukan lagi, menutupi amal shalih sangat disuka oleh syariat selama tidak ada mashlahat yang lebih untuk menampakkannya. Sebab, menyemmbunyikan amal shalih lebih bisa menjaga keikhlasan dan jauh dari ujub dan riya'.

Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan,

"Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan sembunyi." (QS. Al-A'raf: 55)

Menampakkan amal menjadi terpuji jika benar-benar bisa merealisasikan mashlahat yang lebih banyak seperti seseorang yang mengerjakan kebaikan akan diikuti kebaikannya tersebut oleh orang lain jika ia menampakkan amalnya tersebut atau karena untuk menghidupkan sunnah.

Ibnu Hajar menjelaskan tentang hadits "Siapa yang berbuat riya' maka Allah akan membalasnya dengan riya' juga,": di dalam hadits ini terdapat anjuran menyembunyikan amal shalih. Tapi terkadang dianjurkan menampakkannya oleh orang yang jadi teladan dengan niatan agar diikuti dan dikerjakan sesuai dengan kebutuhan. Ibnu Abdis Salam berkata: Dikecualikan dari anjuran menyembunyikan amal shalih orang yang menampakkannya agar diikuti atau diambil manfaatnya seperti menuliskan ilmu. ." (Fathul Baari, Bab: Riya' wa al-Sum'ah: 18/338 –dari Maktabah Syamilah-)

Penutup

Ringkasnya, doa kafaratus Majelis adalah salah satu anugerah Allah atas umat ini untuk menghapuskan kesalahan dan dosa kecil yang diperbuat di majelisnya. Sementara dosa besar haruslah dengan taubat yang benar. Dibacanya secara sendiri-sendiri, boleh dengan suara sir (lirih) atau keras saat akan bangkit untuk meninggalkan majelis. Membaca dengan suarat keras harus diikuti niatan untuk menghidupkan sunnah dan supaya diikuti oleh orang lain; untuk mengingatkan orang yang lupa atau mengajari yang belum tahu.

Tuesday 14 May 2013

Kedududukan Hadits Tentang Muslim yang Meninggal di Malam Jum'at


Para ulama menyebutkan bahwa salah satu tanda seorang Muslim meninggal dalam keadaan husnul khatimah adalah ia wafat pada malam Jum’at atau hari Jum’at.

Pendapat tersebut didasarkan kepada beberapa hadits berikut ini.

[1]. Hadits dari jalur Hisyam bin Sa’ad dari Sa’id bin Abi Hilal dari Rabi’ah bin Saif dari Abdullah bin Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhuma berikut ini.

Dari Abdullah bin Amru bin Ash radhiyallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda: “Tidak ada seorang muslim pun yang meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad no. 6582 dan At-Tirmidzi no. 1074)

Setelah meriwayatkan hadits tersebut, imam at-Tirmidzi melemahkannya dengan berkata: “Hadits ini gharib. Sanad hadits ini tidak bersambung, karena perawi Rabi’ah bin Saif sebenarnya hanya meriwayatkan dari Abu Abdurrahman al-Hubuli dari Abdullah bin Amru. Kami tidak mengetahui Rabi’ah bin Saif mendengar langsung dari Abdullah bin Amru.” (Sunan At-Tirmidzi, 3/378, hadits no. 1074)

Imam al-Mundziri dalam At-Targhib wa At-Tarhib juga melemahkan hadits ini.

Syaikh Ahmad Syakir berkata: “Sanadnya lemah, karena sanadnya terputus.” Beliau lalu menyebutkan sanadnya dan penjelasan imam At-Tirmidzi di atas. (Musnad Imam Ahmad, 6/153, hadits no. 6582 dengan tahqiq Syaikh Ahmad Syakir)

Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkata, “Sanadnya lemah, karena perawi Rabi’ah bin Saif tidak mendengar dari Abdullah bin Amru. Dia (Rabi’ah bin Saif) dan perawi Hisyam bin Sa’ad adalah dua perawi yang lemah.” (Musnad Imam Ahmad, 11/147, hadits no. 6582, dengan tahqiq Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)

[2]. Hadits di atas diriwayatkan dari jalur sanad lainnya berikut ini.

Imam Ahmad berkata: Telah menceritakan kepada kami perawi Suraij, telah menceritakan kepada kami (perawi Suraij) perawi Baqiyah, dari Mu’awiyah bin Sa’id dari Abu Qabil dari Abdullah bin Amru bin Ash berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

“Barangsiapa meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at maka ia akan dilindungi dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad no. 6646)

Syaikh Ahmad Syakir berkata: “Sanadnya lemah, karena perawi Baqiyah bin Muslim adalah seorang mudallis (perawi yang memanipulasi sanad) dan dalam sanad ini ia tidak menegaskan mendengar secara langsung (dari Mu’awiyah).” (Musnad Ahmad dengan tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, 6/204)

Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkata: “Sanadnya lemah. Perawi Baqiyah (yaitu Baqiyah bin Muslim al-Himshi) mentadlis dari para perawi yang lemah dan melakukan tadlis taswiyyah, bahkan memperbolehkannya. Perawi Mu’awiyah bin Said bin Syuraij at-Tujaibi al-Fahmi al-Mishri, hanya dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban saja.” (Musnad Ahmad dengan tahqiq Syu’aib al-Arnauth, 11/226-227)

Adapun perawi Abu Qabil (namanya adalah Huyai bin Hani al-Mu’afiri) dinyatakan tsiqah oleh lebih dari seorang ulama, imam Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitabnya Ats-Tsiqat dan berkata: Dia juga seorang perawi yang keliru-keliru. Imam As-Saji menyebutkannya dalam kitabnya Adh-Dhu’afa’ (Para perawi yang lemah). Dan diriwayatkan dari Imam Ibnu Ma’in bahwa ia melemahkannya.” (Musnad Ahmad dengan tahqiq Syu’aib al-Arnauth, 11/225)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani juga melemahkan perawi Abu Qabil dalam kitabnya Ta’jilul Manfa’ah.

[3]. Hadits riwayat imam Abu Ya’la dalam musnadnya dan Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil fi adh-Dhu’afa’.

Imam Abu Ya’la berkata: Menceritakan kepada kami perawi Abu Ma’mar Ismail bin Ibrahim, menceritakan kepada kami perawi Abdullah bin Ja’far dari Waqid bin Salamah dari Yazid ar-Raqasyi, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

“Barangsiapa meninggal pada hari Jum’at maka ia akan dilindungi dari siksa kubur.” (HR. Abu Ya’la no. 4113 dan Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil, 7/2554)

Syaikh Ahmad Syakir berkata: “Makna hadits ini juga diriwayatkan dari jalur Anas bin Malik dlam Musnad Abu Ya’la. Namun sanadnya lemah juga, sebagaimana disebutkan oleh (Al-hafizh Nuruddin al-Haitsami) dalam Majma’uz Zawaid dan (Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani) dalam Fathul Bari.” (Musnad Ahmad dengan tahqiq Ahmad Syakir, 6/204)

Syaikh Syua’aib al-Arnauth berkata: “Di dalam sanadnya ada perawi Waqid bin Salamah dan Yazin bin Abban ar-Raqasyi. Keduanya adalah perawi yang lemah.” (Musnad Ahmad dengan tahqiq Syu’aib al-Arnauth, 11/149)

Syaikh Husain Salim Asad dalam tahqiqnya atas Musnad Abu Ya’la juga melemahkan sanad hadits ini.

[4]. Hadits riwayat imam Abu Nu’aim al-Asbahani dalam Hilyatul Awliya’.

Dari Umar bin Musa bin Wajih dari Muhammad bin Munkadir dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

“Barangsiapa meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at niscaya ia akan dijauhkan dari siksa kubur dan pada hari kiamat ia akan datang dengan memiliki tanda orang mati syahid.” (HR. Abu Nu’aim al-Asbahani dalam Hilyatul Awliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, 3/155)

Setelah meriwayatkan hadits ini, imam Abu Nu’aim al-Asbahani mengatakan: “Hadits ini gharib dari hadits Jabir dan Muhammad bin Munkadir. Hanya diriwayatkan oleh Umar bin Musa, dan ia adalah seorang penduduk Madinah, ia adalah perawi yang lemah.” (Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyatul Awliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’, 3/155)

Syaikh Syu’aib al-Arnauth menulis tentang perawi Umar bin Musa bin Wajih: “Imam Abu Hatim berkata: “Ia adalah pemalsu hadits.” Imam An-Nasai dan Ad-Daraquthni berkata: “Ia matruk (tertuduh memalsu hadits).” Imam Ibnu ‘Adi berkata: “Ia termasuk perawi yang memalsukan hadits, matan maupun sanadnya.” (Musnad Ahmad dengan tahqiq Syaikh Syu’aib al-Arnauth, 11/149)

Syaikh Ahmad Syakir berkata: “Hadits Jabir diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 3/155-156, dan dalam sanadnya ada kelemahan.”(Musnad Ahmad dengan tahqiq Syaikh Ahmad Syakir, 6/204)

Kedudukan hadits:

Inilah Abdullah bin Amru bin Ash tentang keutamaan meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at. Hadits tersebut secara sanad lemah, dan terdapat dua hadits lainnya yang menunjukkan keutamaan yang sama, yaitu hadits Anas bin Malik dan Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu. Secara sanad, kedua hadits tersebut juga lemah, bahkan lebih lemah dari hadits Abdullah bin Amru bin Ash.

Kesimpulan hadits:
1. Hadits tentang keutamaan meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at diriwayatkan dari jalur sahabat Abdullah bin Amru bin Ash, Anas bin Malik dan Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhum.

2. Imam Abul ‘Ala’ Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri dalam bukunya Tuhfatul Ahwadzi Syarh Sunan Tirmidzi menyatakan hadits Anas bin Malik dan Jabir bin Abdullah bisa menguatkan kelemahan hadits Abdullah bin Amru bin Ash. Sehingga dari keseluruhan jalur sanadnya, hadits tersebut naik derajatnya menjadi hadits hasan atau hadits shahih, yang bisa dipegangi sebagai hujjah untuk menyatakan adanya keutamaan khusus bagi orang yang meninggal padda hari Jum’at atau malam Jum’at.

Pendapat ini diikuti oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam bukunya, Ahkamul Janaiz.

3. Sebagian besar ulama hadits menganggap hadits Anas bin Malik dan Jabir bin Abdullah tidak bisa menguatkan kelemahan hadits Abdullah bin Amru bin Ash. Sebab kelemahan sanad kedua hadits tersebut justru lebih parah daripada kelemahan sanad hadits Abdullah bin Amru bin Ash. Dengan demikian, ketiga hadits tersebut tetap berderajat dha’if (lemah) dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk menyatakan ada keutamaan khusus bagi bagi orang yang meninggal padda hari Jum’at atau malam Jum’at. Pendapat ini, wallahu a’lam, adalah pendapat yang lebih kuat dan lebih dekat kepada kebenaran.

4. Andaikata kita mengikuti pendapat ulama yang menyatakan hadits tersebut hasan atau shahih sekalipun, maka bukan berarti setiap muslim dan muslimah yang meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at telah meraih husnul khatimah. Status husnul khatimah lebih kuat berkaitan dengan amal perbuatan orang yang meninggal, daripada dengan tempat dan waktu orang tersebut meninggal.

Misalnya:

a. Seorang muslim atau muslimah meninggal dalam keadaan melakukan kemaksiatan (berzina, mabuk, merampok, meninggalkan shalat, meninggalkan shaum Ramadhan dan lain-lain), maka bisa diyakini ia mati dalam keadaan suul khatimah, meskipun ia meninggal pada malam Jum’at atau hari Jum’at.

b. Seorang muslim atau muslimah meninggal dalam keadaan melakukan ketaatan (melaksanakan shalat, shaum Ramadhan, membaca Al-Qur’an, menengok orang sakit, memuliakan tamu, berperang di jalan Allah, dan lain-lain), maka bisa diyakini ia mati dalam keadaan husnul khatimah, meskipun ia meninggal pada selain hari Jum’at atau selain malam Jum’at.

c. Jika seorang muslim atau muslimah meninggal dalam keadaan melakukan ketaatan pada hari Jum’at atau malam Jum’at, maka bisa diyakini bahwa ia meninggal dalam keadaan husnul khatimah. 5. Kematian adalah rahasia yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala. Kematian datang secara tiba-tiba tanpa bisa disangka waktu dan tempatnya. Oleh karenanya sudah seharusnya kita senantiasa mempersiapkan bekal amal shalih sebaik-baiknya untuk menghadap Allah Ta’ala, sebelum kematian datang menjemput kita. Wallahu a’lam bish-shawab.







Taman Siswa, Wujud Ketakutan Ki Hadjar Dewantara pada Muhammadiyah ?


"Semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad.” Itulah ajaran utama dari KH Ahmad Dahlan.

Ajaran ini terus dipegang oleh anggota Muhammadiyah sampai sekarang.

Ahmad Dahlan mengatakan meminta kepada kuburan dilarang. Ahmad Dahlan juga melarang penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak.

Tapi pihak keraton tetap saja melakukan perbuatan yang dilarang Islam tersebut. Ahmad Dahlan juga hendak membetulkan arah kiblat di Masjid Keraton, tapi pihak keraton menolak.

Ahmad Dahlan lalu berhenti dari pekerjaannya sebagai ‘ketib’ (khatib) keraton. Dahlan pun mereformasi sistem pendidikan pesantren yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya karena mengutamakan hafalan serta tidak merespon “ilmu pengetahuan umum”.

Sekolah-sekolah Muhammadiyah dari segi jumlah dan keragamannya jauh lebih besar daripada Taman Siswa bentukan Ki Hadjar Dewantara yang tanggal lahirnya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas).

Taman Siswa pun baru berdiri 3 Juli 1922. Sementara Muhammadiyah berdiri 18 November 1912, bahkan KH Ahmad Dahlan sudah mendirikan sekolah tanpa badan hukum tahun 1911.

Tak heran, menurut sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara dalam buku Api Sejarah, penetapan Hari Pendidikan Nasional dilakukan ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat oleh Ki Hadjar Dewantara yang menetapkan hari lahirnya sendiri sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Sekolah Muhammadiyah bercorak Islam dan nasionalis, sedangkan Taman Siswa bercorak kebatinan dan Theosofi Barat. Tokoh Theosofi adalah tokoh yang mengusahakan bersatunya pribumi dengan Belanda dalam Uni-Indonesia Belanda, bukan kemerdekaan Indonesia.

Buya Hamka menulis dalam bukunya Perkembangan Kebatinan di Indonesia bahwa Taman Siswa mengamalkan apa yang mereka sebut sebagai Panca Dharma alias Lima Pengabdian, yaitu:Kemerdekaan, Kodrat Alam, Kebudayaan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan.

Taman Siswa tidak menyebutkan Ketuhanan sehingga tidak sesuai dengan Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Juga, tidak sesuai dengan pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yaitu “ Negara Berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Seorang Residen Belanda, Janquire, juga dengan tegas menyatakan bahwa cita-cita Taman Siswa “anti-Tuhan” dan “anti-agama”. (Artawijaya, “Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara”).

Sekolah-sekolah Muhammadiyah secara garis besar dibagi dua:

Sekolah Agama: Muallimin, Muallimat, Diniyah ibtidaiyah, Diniyah Wustho dan sekolah Tabligh Kulliyatul Muballighin.

Sekolah Umum terdiri dari: Volks School Muhammadiyah (sekolah Rakyat/Sekolah Dasar), Vevrolg School (lanjutan Sekolah Rakyat) Normal School, Cursus Voor Volks Onderwiojzer (CVO), kursus untuk calon guru Vervolg School, HIS, SChakel School, MULO, AMS, HIK. Sementara Taman Siswa hanya 1 macam.

Sekolah Muhammadiyah juga berkembang. Cabangnya ke seluruh Indonesia dan masih eksis sampai sekarang. Sedangkan Sekolah Taman Siswa hanya di situ-situ saja dan tidak terlalu eksis hingga sekarang.

MC Ricklefs seorang guru besar dari Monash University Australia menulis bahwa kelahiran Taman Siswa adalah bertujuan untuk membendung dan meredam Pendikan Muhammadiyah yang cenderung radikal dan Non Kooperatif.

Artinya, Pendidikan Muhammadiyah dengan asas Islam lebih jelas menyuarakan kemerdekaan Indoesia dan tanpa kompromi dengan Belanda. Ki Hadjar Dewantara lebih dekat dengan orang Belanda melalui gerakan Freemasonry-nya. Ada beberapa buku yang menjelaskan soal ini seperti buku Tarekat Mason Bebas dan buku Gerakan Theosofi karya Iskandar P. Nugraha.

Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kiai Dahlan, menurut Adaby Darban dalam buku Peran Serta Islam dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia, secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911.

Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kiai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kiai Dahlan secara informal.

Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma (1911), disebutkan kampung Kauman Yogyakarta, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu.

Kegiatan ajar-mengajar justru mengambil tempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kiai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis. Mengajarkan agama dengan cara baru, di samping memberikan pengetahuan ilmu-ilmu umum. Jadi sekarang, layakkah 2 Mei ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional? Sebenarnya Hari Pendidikan adalah pada 1 Agustus, hari lahirnya KH Ahmad Dahlan–bukan 2 Mei, tanggal lahirnya Ki Hadjar Dewantara.

Friday 10 May 2013

E-KTP Penuh Rekayasa dan Kebohongan


Inilah akibatnya jika suatu program diproyekkan, pasti hasilnya penuh dengan rekayasa dan kebohongan. Seperti program pembuatan E-KTP (KTP elektronik) yang saat ini diterapkan ditengah tengah rakyat Indonesia adalah merukan sebuah proyek nasional dimana dana untuk program E-KTP ini menelan dana puluhan triliyunan rupiah. Tapi hasilnya penuh dengan rekayasa dan kebohongan.

Jauh hari sebelum program E-KTI ini diproses, bahwa Program E-KTP ini adalah sebuah proyek, sudah di ungkapkan oleh Nazaruddin Mantan Bendaharawan Partai Demokrat yang kini sedang menjalani masa hukumannya akibat terjerat kasus hukum tindak pidana Korupsi Pembangunan Wisma Atlit Seagames di Palembang. Nazar dalam sebuah persidangannya di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan kalau pembuatan E-KTP adalah proyek para petinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan dana puluhan Triliyun rupiah. Sebagai proyek tentu tidak terlepas dari hasil rekayasa dan kebohongan, agar pihak kontraktor yang menangani pencetakan E-KTP ini mendapatkan keuntungan dari yang telah ditentukan. Dan kini rekayasa dan kebohongan proyek E-KTP itu mulai terungkap.

Pada awalnya proses pembuatan E-KTP ini ditengah tengah rakyat Indonesia mulai dari tingkat Lingkungan, Kelurahan/Desa, kecamatan dan sampai kepada kota/Kabupaten, Provinsi dan sampai kepada tingkat Nasional dalam sosialisasinya dikatakan bahwa pembuatan E-KTP hanya untuk satu kali dalam seumur hidup. Karena E-KTP itu merekam segala data pribadi tentang sipemilik E-KTP. Oleh karena disebutkan bahwa pengurusan E-KTP itu hanya satu kali untuk seumur hidup dan dilakukan pula secara gratis, sehingga membuat warga negeri ini berbondong bonding mendatangi kantor kelurahan/Desa untuk mengambil permulir K-1, kemudian setelah itu membawanya kekantor Kecamatan untuk dilakukan pengambilan data/sidik jari dan fhoto.

Lebih hampir satu bulan warga negeri ini berbondong bonding mendatangi kantor Lurah/desa dan kantor Kecamatan untuk pembuatan E-KTP itu. Mereka menyempatkan diri dan meluangkan waktu agar mereka dapat diproses data dirinya di kantor kecamatan, ada yang terpaksa harus masuk kerja setengah hari, untuk turut antri dalam pembuatan E-KTP itu. Kemudian setelah proses pencatatan data diri selesai di kantor Kecamatan, warga negeri ini dengan sabar pula harus menunggu keluarnya E-KTP itu yang konon katanya di cetak di Jakarta.

Berbulan bulan lamanya warga dengan sabar menunggu hasil dari pencetakan E-KTP itu. Maklum karena diimpormasikan dalam setiap ssosialisasi di tingkat Kelurahan/Desa dan Kecamatan bahwa pembuatan E-KTP itu hanya satu kali dalam seumur hidup. Tentu warga negeri ini beranggapan bahwa E-KPT ini mempunyai keistimewaan yang patut untuk dibanggakan. Setidaknya E-KTP ini mempunyai kelebihan dari KTP KTP Nasional yang hanya cukup dibuat di Daerah daerah. Lagi pula dikatakan E-KTP ini tidak bisa untuk di palsukan.

Nah, begitu E-KTP selesai di cetak dan kemudian diberikan kepada masing masing pemiliknya, masyarakat yang menerima E-KTP itu mulai merasa kaget. Pasalnya apa nyang telag di sosialisasikan, bahwa E-KTP itu berlaku untuk seumur hidup, ternyata hanya bual belaka. Karena apa?, karena masa berlaku E-KTP itu ternyata punya jangka waktu masa berlakunya tetap lima tahun, sama seperti masa berlakunya KTP KTP yang telah pernah ada. Lantas dimana letak keistimewaan E-KTP itu dengan KTP KTP yang lain yang pernah ada?. Tentu rakyat Negeri ini merasa di kibuli. Karena tidak ada keistimewaan dari E-KTP itu jika disbanding dengan KTP KTP yang telah ada.

Belum hilang rasa kaget masyarakat negeri ini tentang E-KTP itu. Kini pihak Pemerintah Indonesia Melalui kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) malah membuat surat edaran bernomor : 47.13/1826/SJ, Tentang adanya pelarangan untuk mem-fhoto cofi E-KTP itu. Menurut surat edaran Kemendagri itu, jika E-KTP itu di Fhoto Cofi akan merusak data yang tersimpan didalam E-KTP itu. Suatu hal yang tidak masuk akal. Malah dalam Edaran itu di sebutkan pula jika ini terjadi maka si pemilik E-KTP akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang undangan yang berlaku.

Dengan adanya pelarangan untuk mem fhoto cofi kan E-KTP, kembali rakyat negeri ini dikibuli. Suatu hal yang tidak masuk akal jika E-KTP tidak boleh di Foto Copy, dengan alasan data didalamnya akan rusak. Berarti alat yang digunakan untuk mencetak E-KTP itu tidak canggih. Hanya gara gara sinar exs yang di pancarkan oleh oleh mesin Fhoto Cofi dapat merusak sistim data yang ada di dalam E-KTP itu. Kalau hanya sinar exs mesin cofi saja dapat merusak sisitim data yang ada di dalam E-KTP itu, apa lagi untuk memalsukannya tentu lebih gampang. Karena bagai manapun si pemalsu E-KTP tentu mempunyai alat yang lebih canggih dari mesin percetakan E-KTP itu.

Jangankan E-KTP, yang tidak laku atau dapat mendatangkan uang. Sedangkan uang sendiri yang mesin percetakannya begitu canggih, toh masih dapat dipalsukan. Bukatinya kita sering dengar baik melalui messmedia surat kabar ataupun media elektronik, tertangkapnya para pelaku pemalsu uang. Konon pula lah pemalsuan E-KTP, yang hanya untuk di foto cofi saja sudah dapat merusak sistim data yang ada di dalam nya.

Setelah ini kebohongan apa lagi yang akan dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini kemendagri yang bertanggung jawab dalam proses pembuatan E-KTP. Pertama dikatakan bahwa pembuatan E-KTP secara gratis itu hanya satu kali dalam seumur hidup. Namun setelah E-KTP beredar ditengah tengah masyarakat, ternyata E-KTP itu sama dengan KTP KTP sebelumnya sama sama punya masa berlaku selama lima tahun. Kemudian yang kedua muncul pula surat edaran Kemndagri yang menyebutkan kalau E-KTP itu tidak boleh di Foto Cofi karena dapat merusak sistim data yang ada didalam E-KTP itu. Tentu setelah ini kemungkinan ada lagi yang akan dilarang dalam penggunaan E-KTP yang dikatakan canggih itu.

Apakah pemerintah tidak merasa malu dengan apa yang dilakukannya saat ini, membohong bohongi rakyatnya. Apa kah pemerintah sudah menganggap bahwa rakyat nya bodoh semua sehingga gampang untuk dibodoh bodohi dan dibohongi, hanya gara gara sebuah paket proyek? Berapa triliyun uang Negara yang dihambur hamburkan hanya untuk mencetak E-KTP yang tidak ada apa apa nya bila dibandingkan dengan KTP KTP seblumnya. Seharusnya pemerintah Indonesia merasa malu kepada rakyatnya yang mengangung agung kan E-KTP sementara pada kenyataannya Tidak ada apa apanya itu. Apakah karena E-KTP adalah sebuah Proyek yang mendatangkan uang, lantas Pemerintah menebalkan wajahnya laksana bagaikan tembok. Sudah saatnya Pemerintah terbuka tentang kebohongan dan rekayasa dalam pembuatan E-KTP itu.
 
Source : Kompasiana

Sampah Jurnalisme Barat yang Sudah Ditinggalkan Justru 'Dipungut' Jurnalis Indonesia


Pemikiran Liberal pun tak luput, juga mencoba mempengaruhi jurnalis Muslim. Karenanya, jika wartawan Islam tak punya dasar iman dan fikrah Islam, si Liberal, sekular dan “saudara-saudara”nya akan mudah bersemayam di otak dan lubuk yang paling dalam.

Adalah wartawan The Jakarta Post Endy Bayuni yang mengatakan, bahwa seorang jurnalis seharusnya melepaskan identitas agama yang dianut ketika hendak menggali dan menulis sebuah berita, sehingga informasi yang disampaikan benar-benar fair, tanpa dipengaruhi oleh keyakinan yang ia miliki. Kalau perlu, mengabaikan iman mereka saat menulis. Astaghfirullah…!

Sekjen JITU Muhammad Pizaro Novelen Tauhidi menegaskan, seharusnya Endy mengkritik jurnalistik yang kerap menyudutkan Islam seperti menyebut istilah Islam fundamentalis, militant, radikal, dan stigma lainnya. Padahal kata fundamentalis tidak pernah dikenal dalam Islam.

“Sebagian jurnalis sekuler pun tidak melakukan coverbothside dalam isu terorisme. Mereka tetap menuduh individu tertentu sebagai teroris, hingga ketika individu tersebut ternyata tidak terbukti, tidak ada dari media tersebut melakukan klarifikasi,” ujar Pizaro.

Dalam kasus Syiah dan Ahmadiyah, seorang jurnalis tetap bisa profesional tanpa harus meninggalkan iman. Jika jurnalis muslim meminta pendapat ulama terhadap pemahaman yang menyimpang, maka tidak bisa dikatakan menghakimi tanpa dasar.

Karena itu, seorang jurnalis tak bisa melepaskan keimanannya ketika menulis sebuah berita. Bahkan, media Barat seperti CNN, Fox News, Christian Science Monitor, The New York Time, The Sydney Morning Herald, adalah contoh dari media massa yang seringkali melibatkan iman dan ideology wartawannya dalam memusuhi Islam. “Disinilah iman dibutuhkan karena akan melahirkan jurnalisme kejujuran. Dan untuk menjadi jurnalis profesional tak perlu melepaskan iman.”

Jurnalis Islam Bersatu (JITU) memandang, jelas pemikiran kacau di atas dipungut dari otak jurnaisme Barat yang sudah mulai ditinggalkan.Tapi dipungut di negara-negara berkembang.

Nah, di saat melepaskan keimanannya, lalu Allah mencabut nyawanya, jadilah ia mati dalam keadaan tak beriman alias meninggal dalam keadaan kafir!

Menurut Sekjen JITU M. Pizaro Novelan Tauhidi, upaya kaum sekuler-liberal yang menuntut para jurnalis untuk mengabaikan keimanannya ketika menulis merupakan bentuk adopsi dari jurnalisme barat yang bebas nilai.

“Seorang jurnalis yang beriman, selalu dituntut untuk berpihak kepada kebenaran,” ujar Pizaro dalam sebuah diskusi terbatas dengan sesama rekan jurnalis Muslim di Jakarta, seperti dikutip an-najah.net, Jumat (10/5/2013).

Karena itu, di sinilah seorang jurnalis dituntut untuk mencerahkan para pembacanya bukannya malah mengaburkan. Mencerahkan di sini berada dalam artian berita benar bukan dusta, berita yang berlandaskan pada fakta bukan khayal dan fitnah. Karena prinsip utama jurnalisme adalah mencari kebenaran.

Dalam kasus Syiah dan Ahmadiyah, dimana jurnalis Muslim selalu dituding gagal berperan, Pizaro menuturkan, bahwa seorang jurnalis tetap bisa bertindak profesional tanpa harus melepaskan keimanannya.

“Apakah ada jurnalis Muslim yang meninggalkan asas cover both side dalam kedua kasus tersebut?” tanya pria yang aktif menulis dan mengisi kajian ke-Islaman ini.

Menanggapi lontaran rancu di atas, salah seorang jurnalis di Islampos.com, Al Furqon, menegaskan bahwa bagi seorang jurnalis Muslim, menulis al-Haq itu bagian dari dakwah.

“Jurnalis Muslim tidak bisa lepas dari pokok ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah,” ujar jurnalis yang aktif menjadi anggota JITU ini.

Sementara DR Adian Husaini menyatakan bahwa seseorang bisa menjadi Muslim sekaligus wartawan yang baik pada saat yang sama. Artinya, untuk menjadi wartawan yang baik tidak perlu jadi kafir atau Atheis.


“Seorang Muslim tidak perlu terjebak oleh cara berpikir seperti itu,” ujar Direktur Institut Jurnalistik Attaqwa ini seperti dikutip hidayatullah.com, Jumat (10/5/2013).

Menurut Adian, orang yang melepas keimanannya itu jelas dihukumi kafir, walau sesaat. Menurutnya, cara pandang netral agama dalam memandang berbagai masalah kehidupan adalah tradisi lokal Barat yang terbentuk akibat proses sejarah yang traumatik terhadap agama (Kristen).

Adian Husaini mengatakan, seseorang tidaklah mungkin pernah netral, sebab semua orang pasti berpihak.

“Seorang tidak mungkin netral dalam arti sebenarnya. Dia pasti berpihak. Misalnya wartawan dengan identitas Muslim pasti tidak memihak koruptor, pembunuh, perampok, pezina, dan penganjur kemunafikan,” ujar pria yang juga penulis buku “Penyesatan Opini : Sebuah Rekayasa mengubah Citra” ini.

Sementara pimpinan redaksi Jurnal Islamia, Dr. Hamid Fahmi Zarkaysi, MA, mengatakan, pemikiran yang disampaikan Endy Bayuni biasanya hanya diambil oleh orang yang berpaham liberal. Sementara dalam Islam, melepas keimanan walau sekejap, sudah termasuk kafir.

“Kalau iman dilepas dia tidak netral juga, karena dia akan akan jadi kafir dan cara pandangnya pun jadi Atheis, “ ujar pria yang baru meluncurkan buku “Misykat: Refleksi Tentang Islam, Westernisasi & Liberalisasi” ini.

“Di dunia ini tidak ada yang netral, karena manusia ada pada ruang dan waktu,” ujar anak kandung dari (alm) KH Imam Zarkasy, salah satu dari tiga pendiri PP Modern Darussalam Gontor ini.

Ukurannya Haq dan Batil

Menurut Sekretaris MUI Jawa Timur Mohammad Yunus, persoalan iman dan kafir itu dalam Islam adalah hal serius dan saling berhadap-hadapan. Iman dalam Islam itu bukan perkara main-main.

Karena itu, menurutnya, jika seseorang ingin melepas iman walau sekejap, tetap saja masuk yang kufur. Selanjutnya ia menyarankan agar jika menjadi wartawan yang dibela ukurannya kebenaran, bukan netralitas. Dalam hal ini, kebenaran (al Haq), bukan netralitas.

Adian : "Orang yang Melepas Iman Jelas Dihukumi Kafir"


Pernyataan ngawur wartawan senior The Jakarta Post Endy Bayuni, mendapat tanggapan dari Pemimpin Redaksi Jurnal Islamia, Dr. Hamid Fahmi Zarkaysi, MA, dan pengajar Universitas Ibnu Khaldun, Bogor, Adian Husaini yang sudah malang melintang di dunia kewartawanan.

Seperti diketahui, Endi Bayuni adalah salah watu wartawan yang pernah mendapat undangan Israel tahun 2007 ini. Menanggapi statemen Endy Bayuni, dikatakan Hamid Fahmy Zarkasyi, wartawan bisa netral dari agama, namun tak akan bisa netral dari paham. “Betul ia bisa netral dari agama tapi tidak netral dari paham, orientasi dan kecenderungan sekular dan liberal,“ ujarnya seperti dilansir hidayatullah.com.

Menurut Hamid, pemikiran seperti ini biasanya hanya diambil oleh orang yang berpaham liberal. Sementara dalam Islam, melepas keimanan walau sekejab, sudah termasuk kafir. “Kalau iman dilepas dia tidak netral juga karena dia akan akan jadi kafir dan cara pandangnya pun jadi Atheis. “

“Di dunia ini tidak ada yg netral, karena manusia ada pada ruang dan waktu,” ujar putra (alm) KH. Imam Zarkasy, salah satu dari tiga pendiri PP Modern Darussalam Gontor.

Sementara itu Dr Adian Husaini mengatakan, seseorang tidaklah mungkin pernah netral, sebab semua orang pasti berpihak.“Seorang tiak mungkin netral dalam arti sebenarnya. Dia pasti berpihak. Misalnya wartawan dengan identitas Muslim pasti tidak memihak koruptor, pembunuh, perampok, pezina, dan penganjur kemunafikan,” ujar pria yang juga penulis buku “Penyesatan Opini : Sebuah Rekayasa mengubah Citra” ini.

Seseorang bisa menjadi Muslim sekaligus wartawan yang baik pada saat yang sama. Artinya, untuk mendai wartawan yang baik tidak perlu jadi kafir atau Atheis. “Seorang Muslim tidak perlu terjebak oleh cara berpikir seperti itu,” demikian ujar Adian Husaini, yang juga Direktur Institut Jurnalistik Attaqwa ini.

Menurut Adian, orang yang melepas keimanannya itu jelas dihukumi kafir, walau sesaat. Menurutnya, cara pandang netral agama dalam memandang berbagai masalah kehidupan adalah tradisi lokal Barat yang terbentuk akibat proses sejarah yang traumatik terhadap agama (Kristen). Adian Husaini mengatakan, seseorang tidaklah mungkin pernah netral, sebab semua orang pasti berpihak.“Seorang tidak mungkin netral dalam arti sebenarnya. Dia pasti berpihak. Misalnya wartawan dengan identitas Muslim pasti tidak memihak koruptor, pembunuh, perampok, pezina, dan penganjur kemunafikan,” ujar Adian.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews