Saturday 27 April 2013

Ibu Rumah Tangga, Solusi Efektif Bendung Kenakalan Remaja


TIGA tahun yang lalu, Indonesia dikejutkan dengan sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh BKKBN, di manaseparuh dari perempuan lajang yang tinggal di kota-kota besar di Indonesia telah kehilangan keperawanannya dan mengaku pernah melakukan hubungan seks sebelum menikah. Bahkan, tidak sedikit yang hamil diluar nikah.

Lebih ironisnya, tak sedikit dari mereka yang berumur dibawah 17 tahun. Fakta menyedihkan ini telah mengancam kehidupan para remaja Indonesia di era globalisasi. Tidak bisa kita pungkiri bahwa penyebab utama terjadinya bencana moral bangsa ini adalah maraknya pergaulan bebas khususnya di kalangan remaja. Lalu, langkah preventif apakah yang dapat membendung serangan pergaulan bebas ini?

Menurut hasil survey KOMNAS Perlindungan Anak terhadap 4500 remaja di duabelas kota besar di Indonesia pada tahun empat tahun silam, menunjukkan bahwa 62,7 % remaja SMP/SMA sudah tidak perawan atau tidak perjaka lagi. Sungguh fakta yang sangat memprihatinkan. Dimana pada saat itu, kemajuan teknologi yang menjadi faktor utama terjerumusnya para remaja kedalam pergaulan bebas belum begitu maju jika dibandingkan dengan kemajuan teknologi di tahun 2013 ini.

Menurut Ely Risman Psi, selaku tim survey sekaligus ahli psikologi, mengemukakan bahwa perolehan angka prosentase yang sebenarnya pasti lebih besar dari apa yang telah terpublikasikan tersebut. Pasalnya, dari hasil penelitian di tahun 2007, banyak diantara pelaku yang pernah melakukan hubungan seks yang masih duduk dibangku SD kelas empat dan lima.
Sedangkan prosentase data yang terupdate saat ini, hanya menemukan separuh dari jumlah prosentase seluruhnya. Disamping itu, tidak semua objek survey tersebut akan berterus terang dan mengakui atas perbuatannya ketika diamati.

Sebelum kita mencari langkah preventif memcounter ancaman seks bebas ini, ada baiknya jika kita sedikit mempertajam indera penglihatan kita terhadap faktor-faktor yang memicu para remaja untuk menyelami dunia hitam pergaulan bebas.

Ada beberapa faktor utama, salah satunya yaitu kurangnya perhatian orangtua dalam mendidik anak. Sikap orangtua yang dibilang acuh tak acuh terhadap pergaulan anaknya, tentu sangat mempengaruhi keadaan psikis si anak. Sehingga suatu saat si anak tersebut akan mengalami suatu kondisi dimana perhatian orangtua pada saat itu adalah penentu jalan hidupnya.

Oleh karena itu, Kita dapat dengan mudah melihat perbedaan yang signifikan antara anak yang setiap harinya selalu mendapatkan perhatian dari kedua orangtuanya dengan anak yang jarang dan bahkan tidak pernah mendapatkan perhatian. Akibatnya, anak yang mendapat perhatian akan menghindar dari pergaulan yang tidak diinginkan oleh orangtuanya.

Sebaliknya, anak yang kurang mendapat perhatian akan merasa bebas dan tidak terkontrol dalam membatasi pergaulannya. Kondisi ini akan mendorongnya untuk melakukan hal-hal yang semestinya tidak ia lakukan, karena ia merasa bahwa kedua orangtuanya sudah tidak ingin tahu-menahu terhadap perbuatannya.

Melihat tren yang sedang marak di negeri kita ini dan bahkan di negara-negara berkembang atau negara maju sekalipun, seperti tren wanita bekerja di luar rumah meninggalkan anak.

Banyak dari kalangan wanita khususnya yang sudah berumah tangga menghabiskan waktu sehari-harinya untuk bekerja di luar rumah. Dengan kata lain, waktu untuk pekerjaan di luar rumah melebihi dari waktu pekerjaan yang ada di dalam rumah. Bahkan bagi yang tidak mempedulikan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga, memanfaatkan waktu luangnya di rumah hanya untuk beristirahat dan bersantai dengan alasan beratnya profesi pekerjaan yang harus ia emban di kantor kerjanya sehingga yang tersisa hanyalah setitik tenaga guna menyelesaikan pekerjaan ringan ketika sudah sampai di rumahnya.

Padahal, mendidik seorang anak tidak cukup hanya memberikannya nasihat saja, melainkan pengawasan juga sangat diperlukan.

Tak tergantikan

Sebenarnya, problematika wanita karier sudah tidak asing lagi didengar hingga saat ini.

Sudah tidak diragukan lagi bahwa kepentingan karier seorang ibu rumah tangga akan berbenturan dengan kewajiban utama yang ia pikul sebagai seorang ibu yang mendidik putra-putrinya.

Kontroversi ulama fikih hanya sebatas boleh dan tidaknya seorang wanita bekerja di luar rumahnya. Namun, bilamana pekerjaan tersebut menyebabkan kewajibannya sebagai seorang ibu dari anak atau istri seorang suami terabaikan, maka para ulama sepakat melarang hal ini.

Kita pun menyadari bahwa konsekuensi ini tidak lain demi kebaikan masa depan anak sebagai generasi penerus di era mendatang. Dan itulah amanat dan tanggung jawab utama yang harus ia emban. Sebab, tidak ada seorang pun yang dapat menggantikan peran seorang ibu dalam tugas besarnya ini.

Mengingat besarnya peran seorang ibu dalam mensukseskan masa depan anaknya guna membangun generasi penerus yang bermoral dan maju, maka seorang ibu hendaknya lebih memilih mendidik anak sendiri daripada ia harus menyelami dunia karier demi popularitas nama karena terbawa arus tren.

Seorang penyair yang bernama Hafidz Ibrahim, yang dikenal penyair sungai Nil berkata, “Ibu adalah madrasah, lembaga pendidikan. Jika Anda mempersiapkannya dengan baik, maka Anda telah mempersiapkan bangsa yang baik pokok pangkalnya.”

Bahkan seorang Thomas Alva Edison, penemu lampu listrik pertama di dunia, menjadi seorang yang jenius berkat jasa ibunya, Nancy Matthews Edison. Siapa yang sebelumnya menyangka bahwa bocah tuli yang bodoh sampai-sampai diminta keluar dari sekolah tempat ia belajar, akhirnya bisa menjadi seorang jenius yang berpengaruh besar di dunia? Jawabannya adalah ibunya! Jika di dunia Barat telah menyadari betapa besarnya peran ibu dalam menentukan sikap anaknya, maka dalam islam sendiri pun telah menjelaskan peran seorang ibu terhadap tanggung jawabnya lebih dari apa yang mereka gaungkan.

Seorang ibu yang pintar adalah ia yang mampu mengerti keadaan anaknya. Mendidik anak ada kalanya harus bersikap lembut, dan adakalanya pula harus bersikap tegas dan keras. Hal ini akan menjadi salah satu penguat benteng bagi anaknya agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan yang tidak baik dan terkesan bebas. Terkadang problem yang dialami oleh ibu-ibu zaman sekarang, yaitu ketidaktahuannya tentang perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi (IPTEK). Sehingga metode atau cara yang dipakai oleh sang ibu dalam mendidik anaknya yang hidup di zaman modern, adalah metode yang pernah dipakai oleh orangtua ibunya di zaman klasik.

Seorang ibu yang cerdas adalah ia yang tahu bagaimana cara paling efektif mengelola pergaulan anaknya. Tak salah lagi jika pendidikan seorang ibu merupakan akar kebangkitan sebuah keluarga dan bangsa.

Sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah bahwa wanita adalah tiang negara. Dengan pendidikan, seorang ibu mampu mengentaskan kebodohan dan melahirkan generasi baru yang berkualitas, dan bermoral tinggi.

Oleh sebab itu, seorang ibu sangat dianjurkan untuk mengenyam pendidikan yang tinggi, bukan berarti esensi dari pendidikan bagi seorang wanita hanyalah untuk 3M saja (masak, merias, melahirkan).

Ironis sekali jika pendidikan berhenti sampai disitu. Bukankah di telapak kaki seorang ibu surga itu ada? Jejaknya pun akan menuntun anak dan keluarganya ke surga.

Mulai dari langkah sederhana inilah, kita dapat meminimalisir prosentase angka remaja nakal yang terjerumus ke dalam kubangan hitam pergaulan bebas. Tentunya, hal ini sangat mudah bila diterapkan dan dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar ingin merubah jalan hidupnya. Mulai dari diri sendiri, keluarga dekat, hingga orang-orang di luar rumah. Harapan kita, agar bangsa ini terhindar dari pengaruh negatif budaya luar yang sedikit demi sedikit telah merongrong pondasi moral bangsa ini. Semoga, kita senantiasa diberi kemudahan dalam memikul amanat besar sebagai penopang moral bangsa yang luhur ini, Amien

Friday 26 April 2013

Gimana Cara Sholat Gerhana Sesuai Sunnah ?


Berdasarkan informasi, Jum’at dini hari, 26 April 2013 Insya Allah akan terjadi Gerhana Bulan Sebagian dengan data sebagai berikut :

• Kontak awal gerhana = 2:54:04 WIB
• Pertengahan gerhana = 3:07:29 WIB
• Kontak akhir gerhana = 3:21:04 WIB

Saat Gerhana terlihat disunnahkan untuk shalat gerhana, takbir, dan sodaqah. Rentang waktu untuk melaksanakan shalat gerhana antara pukul 02:55 WIB sampai pukul 3:20 WIB.

Apa itu Shalat Gerhana?

Shalat gerhana adalah shalat yang dilaksanakan ketika terjadi gerhana matahari atau bulan. Seringnya, untuk gerhana matahari diistilahkan dengan shalat kusuf, sedangkan untuk gerhana bulan dengan shalat khusuf. Namun terkadang kedua istilah tersebut memiliki arti yang sama. Artinya kusuf bisa digunakan untuk gerhana matahari dan bulan, begitu juga khusuf.

Fenomena gerhana merupakan dua tanda di antara tanda kebesaran Allah. Terjadi bukan karena lahirnya seseorang, sembuh dari sakit parahnya, atau karena kematiannya. Namun keduanya terjadi semata-mata karena kehendak Allah untuk menunjukkan kebesaran dan kekuasaan-Nya dan untuk menakut-nakuti hamba-Nya.

Diriwayatkan dari Al Mughirah bin Syu'bah radliyallah 'anhuberkata: "Terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam, bertepatan dengan meninggalnya Ibrahim (putra beliau). Lalu orang-orang berkata, "Terjadinya gerhana matahari karena kematian Ibrahim." Kemudian Nabishallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

"Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Maka jika kalian melihatnya bersegeralah berdoa kepada Allah dan shalat sehingga kembali terang." (Muttafaq 'alaih)

"Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak pula karena hidupnya seseorang. Tapi, Allah Ta'ala menakut-nakuti hamba-Nya dengan keduanya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Terjadinya gerhana menjadi sebab turunnya adzab kepada manusia. Dan Allah hanya akan menakut-nakuti hamba-Nya dengan sesuatu ketika mereka durhaka kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya. Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan untuk melakukan sesuatu yang bisa menghilangkan rasa takut dan mencegah turunnya musibah, yaitu beristighfar, berdzikir, bertakbir, bershadaqah, membebaskan budak, dan shalat gerhana.

Para ulama menjelaskan tentang hikmah sabda Nabi di atas, bahwa sebagian kaum jahiliyah yang sesat mengagungkan matahari dan bulan. Lalu beliau menerangkan, keduanya merupakan dua tanda kebesaran Allah Ta'ala dan dua makhluk-Nya yang tak punya kuasa berbuat apa-apa. Tetapi keduanya sebagaimana makhluk lainnya, memiliki kekurangan dan bisa berubah seperti yang lain. Sebagian orang sesat dari kalangan ahli nujum dan selainnya berkata, tidak terjadi gerhana matahari dan bulan kecuali karena kematian orang besar atau semisalnya. Kemudian NabiShallallahu 'Alaihi Wasallam menjelaskan bahwa perkataan mereka ini adalah batil sehingga tidak boleh diyakini. Begitu juga saat terjadinya gerhana yang bebarengan dengan meninggalnya Ibrahim, putra Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. (Lihat: Syarah Muslim li Al-Nawawi)

Bersegera Melakukan Shalat Ketika Melihat Gerhana


Tanda-tanda kebesaran Allah yang dinampakkan di muka bumi tidak semuanya disikapi dengan shalat. Berbeda dengan kejadian gerhana, karena di dalamnya terdapat sesuatu yang menimbulkan rasa takut pada diri manusia, maka Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam memerintahkan untuk mendirikan shalat dengan sifat khusus. Beliau bersabda,

"Sesungguhnya matahari dan bulan tidak mengalami gerhana karena kematian salah seorang manusia. Tapi keduanya adalah bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah, maka jika kamu melihat keduanya segeralah berdiri lalu shalat." (Muttafaq 'Alaih)

"Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah. keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian seseorang dan tidak pula karena hidupnya. Maka jika kamu melihatnya bersegeralah melakukan shalat." (Muttafaq 'Alaih)

Waktu Pelaksanaannya

Waktu shalat gerhana bulan dimulai saat terlihat gerhana sampai gerhana selesai, yakni bulan tersingkap seluruhnya. Dasarnya adalah hadits Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam,

"Maka apabila kalian melihat keduanya (gerhana matahari dan bulan), maka berdoalah kepada Allah dan shalatlah sampai gerhana selesai." (HR. al-Bukhari)

Sementara waktu lewatnya shalat gerhana bulan adalah dengan salah satu dari dua perkara: pertama, bulan sudah tersingkap seluruhnya. Kedua, terbitnya matahari. Ada yang berpendapat, dnegan hilangnya bulan (tenggelamnya). Apabila langit berawan dan ia ragu apakah gerhana sudah selesai atau belum, maka masih dibolehkan untuk mengerjakan shalat, karena pada asalanya gerhana itu masih berlangsung." (Dinukil dari Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal: II/98)

Ringkasan Tatacara Shalat Gerhana

Tidak ada perselisihan di antara ulama, shalat gerhana dikerjakan dua rakaat. Dan pendapat yang masyhur dari pelaksanaannya adalah pada setiap rakaatnya dua kali berdiri, dua kali bacaan, dua kali ruku', dan dua kali sujud. Ini adalah pendapat Imam Malik, Imam al-Syafi'i, dan Imam Ahmad rahimahumullah.

Berikut ini kami ringkaskan tata cara pelaksanaan shalat gerhana berdasarkan hadits-hadits shahih:
Bertakbir, membaca istiftah, Isti'adzah, al-Fatihah, kemudian membaca surat yang panjang, setara surat Al-Baqarah.
Ruku' dengan ruku' yang panjang (lama).
Bangkit dari ruku' dengan mengucapkan Sami'Allahu LIman Hamidah, Rabbanaa wa Lakal Hamd.
Tidak langsung sujud, tetapi membaca kembali surat Al-Fatihah dan surat dari Al-Qur'an namun tidak sepanjang pada bacaan sebelumnya.
Ruku' kembali dengan ruku' yang panjang tapi tidak sepanjang yang pertama.
Bangkit dari ruku' dengan mengucapkan, Sami'Allahu LIman Hamidah, Rabbanaa wa Lakal Hamd.
Sujud, lalu duduk di antara dua sujud, kemudian sujud kembali.
Kemudian berdiri untuk rakaat kedua, dan caranya seperti pada rakaat pertama tadi.

Catatan:
Disunnahkan pelaksanaan shalat gerhana di masjid, tidak ada azan atau iqomah sebelumnya, hanya panggilan “Al-Shalatul Jami'ah.”
Disunnahkan Imam untuk memberikan nasihat kepada manusia dengan berkhutbah setelah shalat, memperingatkan mereka agar tidak lalai dan memerintahkan mereka supaya memperbanyak doa, istighfar, dan amal shalih.

Penutup

Bagi seorang muslim, wajib meyakini bahwa alam raya tidak berjalan dengan sendirinya. Ada Dzat, Maha Kuasa yang megaturnya. Sehingga dalam melihat berbagai perubahan di alam raya, ia tak menilainya semata fenomena alam semata. Tapi lebih dari itu, ada Tuhan yang memerintahkan dan menghendakinya. Tentu dengan hikmah yang diinginkan oleh-Nya. Karena itu, menyikapi gerhana matahari atau bulan, bukan hanya dijadikan sebagai keta'ajuban akan fenomena alam sehingga dijadikan sebagai media rekreasi semata. Tapi seharusnya ditumbuhkan keimanan terhadap ke-Mahakuasa-Nya. Dibuktikan dalam bentuk amal nyata, berupa mendirikan shalat, berdoa, dan banyak beristighfar kepada-Nya. Wallahu Ta'ala A'lam





Ingin Dapet Cowok Shaleh? Jadilah Cewek Shalihah Dulu

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 216).


”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)“. (QS An-Nur: 26).


DUA AYAT ini menjadi ayat wajib untuk direnungi dalam proses pencarian jodoh dan mempertahankan jodoh. Tapi kita terkadang lupa mengukur diri sendiri dan yakin se“pede-pede” nya bahwa diri ini adalah orang baik-baik. Sebagaimana yang dituliskan dalam QS. An-Nur: 26, tanpa belajar apa yang dimaksud Allah dengan wanita baik dan wanita keji atau laki-laki baik dan laki-laki keji?


Mari kita mulai berpikir dan mengukur diri. Sudah baik kah saya sehingga saya pantas dapat pasangan yang baik? Ketika kita sudah memiliki pasangan yang baik, mampukah kita untuk menjaga kebaikan kita sehingga kita tetap “pantas” untuk bersanding dengannya?

Siapa sih perempuan yang tidak ingin suaminya baik, yang sholih, yang bisa menjadi imam dalam keluarga, membimbing dalam ibadah, dan bergandengan tangan menuju surga Allah? Tidak mungkin ada yang menolak suami dengan kualitas seperti ini kan?

Siapa sih laki-laki yang tidak ingin istrinya manis, sholihah, menyenangkan bila dipandang, lembut hatinya, dan mampu menjadi Ibu yang mampu menjadi madrasah bagi anak-anak nantinya? Ada yang tidak mau punya istri seperti ini kah?

Ayat di atas memberitahu kita bahwa Allah memberikan pasangan yang se-kufu dalam tingkat ketakwaan kepada Allah. Kalau ingin laki-laki sholih, harus jadi perempuan yang sholihah. Begitupun sebaliknya.

Dalam prosesnya bisa jadi ada sandungan-sandungan di luar kendali kita karena ketidakmampuan kita menahan diri atau kekurangan kita dalam berilmu. Namun yakinlah, ketika kita bertobat, bangkit dan berusaha selalu memperbaiki diri, maka Allah akan selalu menjaga kita.

Ada kalanya kita mengalami kendala dalam proses menemukan jodoh, entah tidak jadi menikah, atau bahkan memang belum pernah menemukan kunci masuk proses sama sekali. Namun, yakinlah ketika kita tetap berusaha mendekatkan diri pada Allah, bila Allah menunda memberikan jodoh bukan karena Allah, tapi Allah mencintai kita dan ingin kita mendapatkan jodoh yang terbaik. Dengan “waktu tunggu lebih” yang dimiliki, kita diberi kesempatan lebih banyak untuk bisa memperbaiki kualitas diri sehingga bisa mendapatkan pasangan yang jauh lebih baik dari keadaan diri kita saat ini.

Ada kalanya kita menghadapi banyak ombak untuk mempertahankan bahtera rumah tangga. Entah karena keegoisan diri, kecemburuan yang tidak pada tempatnya, atau bahkan yang lebih sulit adalah ketidakseimbangan dalam proses “mendekati” Allah yang mengakibatkan visi misi rumah tangga pun bisa jadi berubah dan terasa tak sejalan.

Ketika sang suami makin sholih, maka didik dan ajak dan gandenglah istri tercinta untuk mengikuti kesholihannya. Ketika sang istri makin sholihah, ajak dan gandeng dengan mesra sang suami untuk bersama makin dekat dengan Allah sehingga bisa selalu seiring sejalan.

Mau dapat pasangan yang baik, jadi baik dulu. Pasangan makin baik, kejar kebaikannya hingga kita selalu pantas bersamanya.

Mau dapat pasangan yang sholih, jadi sholihah dulu. Pasangan makin sholih, raih tangannya, jangan sampai tertinggal jadi orang sholih.

Ukur diri, bertaubat, perbaiki dan berproses menjadi lebih baik tiap waktu. Mendekat dan makin mendekat pada Allah. Mencintai Allah dan menjauhi apa-apa yang tidak disukai Allah.

Maka nikmat Allah apa yang mau kamu dustai? Allah akan selalu memberikan yang terbaik. Itu Pasti! Ya Allah, bimbinglah kami.

Thursday 25 April 2013

Innalillahi Wa Innailaihi Raajiun, Ustaz Jeffry Al Buchory Wafat


Innalillahi Wa Innailaihi Raajiun. Jagad twitter dikejutkan kabar meninggalnya Ustaz Jeffry Al Buchory, atau lebih akrab disapa UJE, Jumat (26/04/2013) dini hari. UJE dikabarkan meninggal akibat kecelakaan setelah mengendarai motor besar dan menabrak pohon pinang di sekitar Pondok Indah.

Kabar UJE meninggal berlangsung cepat setelah beredar melalui jejaring sosial twitter sahabat dekatnya dan akun twitter TMC Polda Metro Jaya.

Dikutip Kompas, kabar meninggalnya Uje dua kali berturut-turut muncul dalam akun twitter @TMCPoldaMetro. Bunyi twit tersebut adalah "03:28 Kecelakaan Pemotor Kawasaki E650 B 3590 SGQ menabrak pohon di Jl. Gedong Hijau 7 Pdk Indah, korban meninggal & msh penanganan." Tak lama berselang, menyusul twit "03:47 Kecelakaan Pemotor Kawasaki B 3590 SGQ di Jl. Gedong Hijau 7 Pdk Indah, korban meninggal dunia a/n Bpk Jefri Al Buchori."

Sementara laman Metrotvnews.com, mengabarkan, UJE meninggal di Rumah Sakit Pondok Indah, Jumat (26/04/2013) tepat pukul 02.00 WIB dini hari.

Ucapan belasungkawa pun berdatangan kepada ustaz tersebut. Dalam twitternya, sahabat Uje, Ustadz Mahdy Alatas pun menulis "telah berpulang kerahmatullah sahabatku tercinta ustd jefri albukhari dini hari", ujarnya dikutip Kompas.com. Twitland pun terus dibanjiri ucapan duka cita untuk Uje.

"Inna lillaaahi wa inna ilaihi roojiuun, sesungguhnya semuanya milik Allah dan sesungguhnya semua kembali kepada Allah. Telah pulang ke Rahmatullah sahabat kita Ustadz Jefry AlBukhori, yg akrab kita panggil Uje. Allahummagfirlahu warhamhu...semoga Allah mengampuni semua dosa almarhum, memaafkan semua kesalahan almarhum...aamiin," tulis Ustad Mohammad Arifin Ilham sebagaimana dikutip di laman Facebook resminya.

UJE yang bernama lengkap Jeffry Al Buchory lahir di Jakarta 12 April 1973 (40 tahun) dikenal sebagai seorang pendakwah atau ustad yang tampil dengan mengemas bahasa dakwahnya dengan bahasa anak muda.

UJE menikahi Pipik Dian Irawati, seorang model gadis sampul majalah Aneka tahun 1995 asal Semarang, Jawa Tengah. Pernikahannya membuahkan tiga orang anak; Adiba Khanza Az-Zahra, Mohammad Abidzar Al-Ghifari, dan Ayla Azuhro.*

Saturday 20 April 2013

5 Tanda bahwa Anda Pecandu Komputer


Komputer merupakan gadget populer saat ini karena mempunyai banyak fungsi. Selain digunakan untuk kalangan pebisnis, komputer juga banyak digunakan sebagai media hiburan dan menjelajah dunia maya.

Saat ini banyak yang menggunakan komputer sekedar untuk membuka jejaring sosial seperti facebook dan twitter, namun tidak sedikit pula yang menggunakannya untuk hal-hal lain. Selain mempermudah pekerjaan dan media hiburan, ternyata komputer juga dapat menjadi sebuah candu bagi penggunanya sehingga ia merasa gelisah apabila seharian tidak menggunakan komputer.

Beberapa tanda-tanda bahwa Anda menjadi seorang pecandu komputer akan kita bahas, berikut uniknya.com merangkum 5 Tanda bahwa Anda Pecandu Komputer.

1. Pergi ke kamar mandi dengan komputer
Tanda yang pertama adalah bahwa Anda tidak dapat meninggalkan komputer tergeletak sendirian di mejanya sehingga Anda perlu membawanya kemanapun Anda pergi tidak terkecuali di kamar mandi. Beberapa dari mereka melakukan aktivitas dunia maya seperti bermain game online, facebook, mengecek email dan mungkin chatting. Namun banyak pula yang melakukan pekerjaan kantornya di ruangan tersebut.

2. Tertidur di depan komputer
Banyak orang yang menghabiskan waktu mereka di depan komputer, entah itu bekerja, bermain atau sekedar menghabiskan waktu. Jika Anda terlalu lama di depan komputer tentu Anda akan merasa bosan. Anda pun akan mengantuk dan tertidur di depannya sehingga Anda tidak memerlukan lagi sebuah tempat tidur yang nyaman, setelah terbangun, beberapa tanda di pipi muncul karena permukaan keyboard yang anda jadikan bantal tidak rata.

3. Bermain Game
Saat ini banyak sekali game online yang populer dikalangan para gamers. Mulai dari yang bergenre aksi, petualangan, olahraga dan peperangan. Beberapa dari mereka merelakan waktu istirahatnya terenggut demi memainkan permainan kesayangan mereka. Umumnya para pecandu game memanfaatkan waktu tengah malam hingga pagi karena mendapat potongan harga di jam-jam tersebut.

4. Menonton film porno
Dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, akses untuk konten pornografi pun menjadi semakin mudah. Beberapa oknum yang rata-rata adalah remaja atau pria yang belum menikah memanfaatkan teknologi ini untuk melakukan hal negatif seperti menonton film porno. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk melakukan hal ini.

5. Chatting
Chatting merupakan kegiatan yang menyenangkan bagi mereka yang membutuhkan tteman untuk berbicara tanpa harus menemui orang tersebut. Saat ini telah banyak situs dan aplikasi yang menyediakan fitur ini. Umumnya mereka menggunakannya untuk mendapatkan teman baru, berbagi cerita, mencari pasangan dan sekedar mengobrol. Oleh karena itu banyak orang menghabiskan banyak waktunya untuk seedar chatting.

Demi Jilbab Putrinya, Salikhov Lawan Pelarangan Jilbab di Stavropol


Keluarga Ali Salikhov harus menerima kenyataan pahit. Pasalnya pejabat lokal Stavropol, wilayah perbatasan Rusia dan Dagestan, mulai menerapkan larangan berjilbab. Khususnya di lembaga-lembaga milik pemerintah seperti sekolah. Raifat, putri Salikhov yang mengenakan jilbab pun harus menerima imbasnya. Demi mempertahankan jilbab putrinya, Salikhov terpaksa mengirim Raifat ke Dagestan.

Remaja putri itu harus berlinang air mata saat harus meninggalkan Stavropol, tanah yang dicintainya. Sementara itu sepupu Raifat, Amina (10 tahun) menghadapi aturan itu dengan cara lain. Orangtuanya memilih home schooling dengan mengundang guru privat ke rumahnya. Adik Amina juga harus belajar secara mandiri.

Di tengah pergolakan ini, Salikhov bersikukuh pada prinsipnya. Dia menolak untuk menyerah dengan aturan pemerintah tersebut. ”Jika mereka pikir karena sesuatu yang terjadi pada anak perempuan saya, membuat saya akan melupakan agama ini, saya katakan tidak! Agama adalah tujuan hidup saya,” tegasnya seperti yang dikutip New York Times.

Penerapan aturan diskriminatif ini berdampak pada 10% dari 2,7 juta warga Stavropol yang beragama Islam. Pihak minoritas Muslim sempat melakukan perlawanan. Kamis (21/3) lalu, kasus masalah jilbab ini dibawa ke meja hijau.

Cobaan bagi pelajar Muslim di wilayah pinggiran Rusia itu berawal dari sikap keras Maria Savchenko. Dia adalah seorang guru yang melarang siswi berjilbab masuk ke kelasnya. Siapa sangka, sikap keras kepala Maria ini diamini pemerintah setempat. Pejabat Stavropol akhirnya membuat aturan seragam yang menghalangi siswi, khususnya yang Muslimah, untuk menutup auratnya.

Akhir tahun lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin menegaskan penolakannya terhadap jilbab. Menurutnya jilbab itu tidak ada dalam budaya orang Rusia, itu merupakan budaya orang Islam tradisional. Pernyataan rasisnya ini bahkan didukung para sejarahwan Rusia, yang turut menolak mengadopsi ‘tradisi asing’ itu.

Tuesday 16 April 2013

Program Khazanah Trans 7 Dikecam Karena Dakwahkan Tauhid


JAKARTA - Sangat jarang didapat acara di televisi yang bersifat mendidik. Kebanyakan dari program acara yang disajikan untuk para pemirsa bersifat melalaikan dan sangat jauh dari ajaran Islam.

Alhamdulillah, belakangan ini mulai ada tayangan-tayangan yang bisa mencerdaskan sekaligus mencerahkan umat dari kebodohan tentang agamanya. Meskipun acara ini diputar dengan durasi yang amat singkat tetapi memiliki efek yang begitu besar, mengingat televisi saat ini adalah salah satu media yang paling banyak dinikmati.

Trans 7, salah satu stasiun televisi swasta terbesar di Indonesia akhir-akhir ini membuat gebrakan luar biasa. Dalam acara Khazanah yang tayang setiap Senin sampai Jumat pukul 5.30-06.00 WIB ini menayangkan pendidikan yang amat bermanfaat. Selasa (9/4/2013) pagi lalu Khazanah mengambil judul ‘Kultus dan Tabarruk’.

Pada acara tersebut dijelaskan bahaya pengultusan kepada individu tertentu. Bukan hanya mengambil dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah tetapi dijelaskan pula awal penyimpangan orang-orang Musyrik disebabkan mereka mengultuskan orang-orang yang dianggap mulia di antara mereka.

Selain pembahasan tentang bahaya pengultusan, dibahas juga dengan singkat, padat dan jelas tentang bahaya tabarruk atau mencari berkah.

Pada dasarnya mencari berkah itu dibolehkan jika sesuai dengan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Tetapi menjadi terlarang dan bahkan jatuh ke dalam kesyirikan jika dilakukan sembarangan seperti kepada benda-benda tertentu yang dianggap memiliki kekuatan. Demikian dijelaskan dalam acara itu.

Sebelumnya acara Khazanah juga membahas bahaya syirik, mulai dari syirik besar hingga syirik kecil.

Apakah Kontroversi?

Pada dasarnya masyarakat sangat membutuhkan acara-acara televisi yang mendidik seperti ini. Terlebih masalah akidah adalah sesuatu yang mesti diketahui oleh setiap Muslim agar tidak terjerumus kepada penyimpangan dan terjatuh ke dalam lumpur kesyirikan.

Meskipun respon positif banyak diungkapkan oleh para pemirsa, ada saja beberapa gelintir orang yang tidak setuju dan bahkan menginginkan acara Khazanah segera dihentikan. Mereka menganggap ajaran kebenaran tersebut telah memecah belah umat.

Satu hal yang amat lucu adalah menganggap bahwa acara Khazanah telah disusupi oleh “Wahabi”, sehingga mereka yang kontra bersepakat untuk melaporkan ke KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) agar menindak tegas acara itu.

Di dunia maya, muncul beberapa grup facebook yang menolak acara tersebut dengan nama ‘Satu Juta Muslim Indonesia Tolak Khazanah di Trans7′ dan juga di forum-forum penghujat seperti ‘Forum Aswaja Memberantas Kebodohan Jemaat Sawah (Salafi/Wahabi)’.

Apakah kebenaran yang datang dari Al-Qur’an dan Sunnah dianggap sebagai kontroversi ataukah mereka menolak acara tersebut karena memang selama ini menjadi pelaku atau bahkan penyeru utama ritual-ritual kesyirikan yang telah dijelaskan kesalahannya oleh Khazanah di Trans7?

Mengapa setiap dakwah yang berisi pemurnian tauhid, memberantas kemusyrikan, menyeru Al-Haq, menjauhi dan menghancurkan yang batil, dengan dalil Qur’an dan Sunnah kerap dikaitkan atau dicap sebagai ‘Wahabi’?

Tampaknya, upaya musuh-musuh Islam untuk mengadu domba dan memecah belah umat agar menjadi lemah, dengan cara menghadirkan kebatilan dan para pendukungnya untuk menggilas Al-Haq (Yang Benar) bukanlah isapan jempol. Tetapi, Allah berfirman:

“Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan ajaran (ad-Din) yang benar (Haq) untuk dimenangkan-Nya terhadap semua ad-Din (sistem, way of life, minhajul hayah, jalan hidup). Dan cukuplah Allah sebagai saksi,” (QS al-Fath: 28).

Dan, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda dalam salah satu hadits shahihnya, bahwa mereka yang selamat hanyalah yang berpegang teguh pada Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul. “Aku tinggalkan padamu dua perkara yang kalian tidak akan tersesat apabila (berpegang teguh) kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku,” demikian sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

"Mengkristenkan Jawa"


Oleh: Dr. Adian Husaini

”Mengkristenkan Jawa: Dukungan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Penetrasi Misi Kristen”. Itulah judul buku karya Muhammad Isa Anshary, alumnus Program Magister Pemikiran Islam—Universitas Muhammadiyah Surakarta. Buku terbitan Pustaka Lir-Ilir, Surakarta, tahun 2013, ini diangkat dari Tesis penulis di Universitas yang sama. Karena kajiannya yang mendalam dan komprehensif, buku ini bisa dijadikan sebagai salah satu rujukan penting dalam studi Misi Kristen di Indonesia, khususnya di Tanah Jawa.

Studi yang dilakukan Muhammad Isa Anshory melengkapi studi sejenis yang pernah dilakukan oleh Aqib Suminto, Deliar Noer, Alwi Shihab, dan sebagainya. Studi ini juga menguatkan kesimpulan para peneliti sebelumnya, bahwa pemerintah penjajah Belanda secara sistematis membantu kegiatan misi Kristen di Indonesia. Disimpulkan: ”Melihat praktiknya, politik etis sebenarnya adalah upaya pemerintah Hindia Belanda untuk

mengkristenkan atau membaratkan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.”

Catatan Akhir Pekan (CAP) kali ini sepenuhnya didasarkan pada data yang disajikan dalam buku ”Mengkristenkan Jawa” tersebut. Untuk bahan-bahan referensi lebih lanjut, pembaca dipersilakan merujuk langsung pada buku tersebut.

Hasil kajian Isa Anshory ini menunjukkan, bahwa laju penyebaran agama Kristen di Hindia Belanda (Indonesia) sangat terkait erat dengan perkembangan politik kolonial. Awal abad ke-20 ditandai dengan peningkatan kegiatan misi Kristen. Pidato Ratu Wihelmina (1901) lebih menegaskan sikap terhadap kebijakan mendukung kegiatan misi Kristen yang telah berjalan.

Politik etis dilaksanakan pada masa kejayaan kolonialisme Belanda di Indonesia dan saat umat Islam mengalami kebangkitan. Arus Kristenisasi mencapai puncaknya saat Abraham Kuyper, pemimpin Partai Kristen Anti-Revolusioner, menduduki kursi Perdana Menteri Belanda pada 1901. Banyak anggota Parlemen Belanda menuntut agar pemerintah membatasi pengaruh Islam di Indonesia. Van Baylant, misalnya, memperingatkan pemerintah akan seriusnya bahaya penyebaran Islam dan menuntut ditingkatkannya misi Kristen. Sementara itu, W.H. Bogat meluncurkan kampanye anti-Islam yang keras dan menuduh agama ini sebagai penyebab ”kurang bermoralnya” masyarakat.”

Diangkatnya Alexander Willem Frederik Idenburg sebagai Menteri Urusan Penjajahan (1902—1909) dan selanjutnya sebagai Gubernur Jenderal di Hindia Belanda (1909—1916) lebih menguatkian arus Kristenisasi. Setelah tahun 1909, kelompok misi Kristen dengan cepat meluaskan kegiatan mereka di kepulauan Indonesia. Gerakan misi Kristen beroperasi dalam ruang lingkup yang luas untuk pembangunan kesejahteraan dan ekonomi. Pembatasan jumlah dan tempat misi dihapuskan, sehingga daerah baru di kepulauan ini pun terbuka bagi kegiatan misi Kristen. Idenburg menjadikan Kristenisasi sebagai tugas politik utama pemerintahannya. Di hadapan Tweede Kamer, dia mengucapkan: De uitbreiding van het Christendom in Indië, als wortel van onze hoogere beschaving, is een zaak van groot politiek belang. (Penyebaran agama Kristen di Hindia Belanda sebagai dasar peradaban yang tinggi adalah tugas politik utama).

Pemerintah Penjajah juga mencoba untuk melanjutkan pokok-pokok ajaran Kristen di dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dan tata pemerintahan Hindia Belanda. Sebagai contoh adalah keluarnya ”Edaran Minggu” atau ”Edaran Pasar” yang diterbitkan oleh Gubernur Jenderal Idenburg, 1910. ”Edaran Minggu” memberi sugesti bahwa tidak pantas untuk mengadakan pesta kenegaraan pada hari Minggu. Edaran ini juga meminta agar seluruh administratur dan pegawai sipil agar menghindari kegiatan-kegiatan resmi atau setengah resmi pada hari Minggu. ”Edaran Pasar” melarang diadakannya hari pasar orang Indonesia apabila ini jatuh pada hari Minggu.

Fakta tentang ”Edaran Minggu” ini menarik untuk kita cermati. Jangan-jangan tradisi libur pada hari Minggu kita saat ini masih melanjutkan kebijakan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Idenburg yang sangat fanatik Kristen dan anti-Islam. Idenburg, misalnya, menyatakan, bahwa satu-satunya jalan untuk melanjutkan penjajahan adalah pengkristenan.

Seperti dikutip Robert E. Speer, Idenburg menegaskan: ”The issue for Mohammedan world is not Mohammed and Christ. Ia not Mohammed or Christ. It is Christ. It is Christ or decay and death.” (Pilihan untuk dunia Islam bukan Muhammad dan Kristus; bukan Muhammad atau Kristus; tetapi pilihannya hanya Kristus. Pilih Kristus atau akan mengalami pembusukan dan kematian).

Misi dengan lembaga

Selain mendapat bantuan dari negara, peningkatan Kristenisasi pada masa politik etis juga diakibatkan adanya perubahan strategi. Abad ke-19, strategi zending Protestan maupun misi Katolik pada umumnya masih diarahkan pada misi secara langsung. Tapi, pada abad ke-20, strategi misi sudah berganti dengan pendirian kelembagaan misi, seperti sekolah, rumah sakit, rumah yatim piatu, dan beberapa kegiatan sosial lainnya. Melalui kegiatan di bidang pendidikan dan kesehatan itu, zending sanggup memikat hati orang yang masih bersikap menolak terhadap Kristenisasi secara langsung.

Strategi ini disebut pre-evangelisation, yaitu suatu usaha yang perlu diadakan untuk mempersiapkan daerah supaya siap menerima Kristen. Di sekolah-sekolah zending, kesetiaan kepada pemerintah dan ratu Belanda ditanamkan ke dalam hati para murid. Meski membutuhkan biaya besar dan waktu lama, Kristenisasi lewat pendidikan ini berhasil mengkonversi banyak pribumi Muslim.

Sebagai contoh, sekolah yang didirikan oleh Frans van Lith di Muntilan, Jawa Tengah. Di desa kecil Semampir dia mendirikan sebuah sekolah desa dan sebuah bangunan gereja. Saat itulah dia memulai kompleks persekolahan Katolik di Muntilan, mulai dari Normaalschool pada 1900, sekolah guru berbahasa Belanda atau Kweekschool pada 1904, kemudian pendidikan guru-guru kepala pada 1906. Anak-anak lelaki yang masuk sekolah ini semuanya Muslim. Akan tetapi, mereka semua tamat sebagai orang Katolik. Beberapa dari kelompok siswa pertama bahkan melanjutkan studi mereka untuk menjadi pastor.

Teman van Lith, Hoevenaars, juga menempuh cara serupa. Dia membangun berbagai sekolah di Mendut dan mengumpulkan para murid yang masih belia. Semua guru sekolah tersebut beragama Katolik, namun para muridnya seluruhnya berasal dari keluarga-keluarga Muslim. Sebagaimana misionaris lainnya, Hoevenaars berpikir bahwa agama Islam yang mereka anut hanyalah kepatuhan superfisial atau nominal sehingga tidak akan menghalangi para murid untuk berpindah ke agama Katolik. Mantan murid sekolah-sekolah Muntilan dan Mendut itu kebanyakan menjadi guru pada jejaring sekolah-sekolah dasar Katolik yang dikembangkan dengan cepat di berbagai kota dan kampung di Jawa. Para guru itu kemudian berupaya menghasilkan jemaat-jemaat Katolik baru. Dengan demikian, sekolah yang dibangun oleh Frans van Lith maupun Hoevenaars adalah sekolah kader.

Sebuah ungkapan penting dari Frans van Lith:

“Tujuan kita adalah memberi pendidikan yang tinggi kepada pemuda-pemuda Jawa sehingga mereka mendapat kedudukan yang baik dalam masyarakat. Kepada mereka kita memberikan pendidikan Kristiani, dan bila mereka nanti tersebar di seluruh Pulau Jawa, kita akan menanti tumbuh dan mekarnya benih-benih yang kita sebar.”

Strategi budaya

Strategi lain dalam menyebarkan agama Kristen di Jawa pada dekade pertama abad ke-20 adalah penyesuaian ajaran Kristen dengan budaya Jawa. Strateginya: memisahkan agama Islam dari budaya Jawa, setidak-tidaknya dalam teori dan juga dalam praktek sejauh hal itu dimungkinkan. Semua konfrontasi langsung dengan agama Islam mesti dihindari.

Untuk itulah di sekolah Muntilan, penggunaan bahasa Melayu dihindari sejauh mungkin. Sebab, bahasa Melayu dianggap identik dengan bahasa kaum Muslim. Penggunaan bahasa Melayu dikhawatirkan akan menyiratkan dukungan terhadap agama Islam. J.D. Wolterbeek mengatakan, “Bahasa Melayu yang erat hubungannya dengan Islam merupakan suatu bahaya besar untuk orang Kristen Jawa yang mencintai Tuhannya dan juga bangsanya.” Senada dengan ini, Pastor Yesuit Frans van Lith berpendapat,

Dua bahasa di sekolah-sekolah dasar (yaitu bahasa Jawa dan Belanda) adalah batasannya. Bahasa ketiga hanya mungkin bila kedua bahasa yang lain dianggap tidak memadai. Melayu tidak pernah bisa menjadi bahasa dasar untuk budaya Jawa di sekolah-sekolah, tetapi hanya berfungsi sebagai parasit. Bahasa Jawa harus menjadi bahasa pertama di Tanah Jawa dan dengan sendirinya ia akan menjadi bahasa pertama di Nusantara.

Dengan bantuan pemerintah kolonial dan strategi pre-evangelisation, kegiatan misi Kristen di Jawa meningkat tajam pada masa politik etis. Walaupun orang Kristen tetap terbilang sebagai minoritas kecil, namun jumlah pribumi Muslim Jawa, terutama di Jawa Tengah, yang murtad ke agama Kristen cukup besar. Mengutip kesimpulan seorang anggota muda Yesuit, Karel Steenbrink mengatakan: ”Barangkali tidak ada wilayah misi lain di seantero dunia dimana pastor pribumi dikembangkan sedemikian cepat dan berhasil seperti di Jawa Tengah.”

Total populasi penduduk Pulau Jawa pada 1906 adalah 28.746.688 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 24.270.600 adalah Muslim. Lapangan yang sangat luas dan sulit ini digarap oleh enam lembaga misionaris. C. Albers, Jr. dan J. Verhoeven, Sr. melaporkan pada tahun tersebut bahwa pengaruh Islam menjadi rintangan berat bagi para misionaris. Akan tetapi, berkat bantuan medis dan penyelenggaraan sekolah, mereka berhasil mengkonversi pribumi Muslim ke agama Kristen. Dengan sokongan pemerintah jajahan, pada era 1930-an, banyak terjadi kasus pelecehan Islam oleh kaum Kristen. Di Pesako Sulawesi Utara, pasukan Bala Keselamatan masuk ke dalam masjid dengan memakai sepatu dan menyanyikan lagu-lagu Kristen dalam masjid dengan alat-alat musik yang mereka bawa. Di Solo, buku-buku Kristen ditulis dalam bahasa Arab, dibagikan secara gratis kepada umat Islam yang sedang melaksanakan shalat Jumat di Masjid Mangkunegaran. Di Tasikmalaya, seekor anjing dibawa masuk ke mushalla. Di Menado, opsir Bala Keselamatan, Ernst Brandt, pada 13 April 1938 dengan terang-terangan menghina Nabi Muhammad SAW, dengan mengatakan: “Muhammad seorang miskin dan penggembala. Ia menikah dengan Khadijah janda kaya dan menghabiskan hartanya. Muhammad mempunyai 14 istri, perampas istri orang, dan menuruti hawa nafsunya. Mana bisa kesucian dari orang begitu. Siapa saja yang tidak mau mengikuti agamanya, ditusuknya dengan pedang terhunus.”

Respon Muslim

Menghadapi serbuan misi Kristen yang dahsyat seperti itu, kaum Muslim tentu saja tidak berdiam diri. Sebuah respon penting dalam menghadapi misi Kristen dilakukan oleh Muhammadiyah, yang berdiri tahun 1912 –di masa Gubernur Jenderal Idenburg. Tahun 1933, Muhammadiyah bersama 30 organisasi Islam, mengadakan rapat akbar di Solo, menentang pemberian izin masuknya dua orang misionaris Kristen Advent dari pemerintah Jajahan di Vorstenlanden (Yogyakarta dan Surakarta).

Tahun 1939, Sidang Tanwir Muhammadiyah di Kudus, juga menolak dicabutnya artikel 177 Indische Staatsregeling yang isinya adalah kewajiban misionaris untuk mendapat izin dari pemerintah Jajahan. Secara individual, mubaligh Muhammadiyah asal Surakarta, R. Moehammad Sardjana, pernah menerbitkan buku “Agama Kristen” sebagai jawaban terhadap dua jilid buku tokoh Gereja, Henderick Kraemer, yang berjudul “Agama Islam”. Secara kelembagaan, Muhammadiyah masih terus menjadi salah satu garda penting umat Islam dalam membendung arus Kristenisasi, sampai hengkangnya penjajah Kristen dari bumi Indonesia. Pendiri organisasi ini, KH Ahmad Dahlan, dikenal sangat serius dalam mengajak umat Islam untuk membandung arus Kristenisasi. Sebuah ucapannya yang terkenal: “Islam tak mungkin lenyap dari seluruh dunia, tetapi tidak mustahil Islam hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang bertanggungjawab?”Walhasil, dalam rangka memahami sejarah, strategi, dan taktik Kristenisasi di Indonesia, buku Muhammad Isa Anshory ini sangat baik untuk dibaca. Wallahu a’lam.*

Mitos Kartini & Rekayasa Sejarah


Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS-Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”

Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik 'pengkultusan' R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”

Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda. Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.

Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:

“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”

Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:

”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!... Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).

Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam. Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24). Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel. Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan.

Source : INSISNET.COM

“Karakter” Versi Ki Hadjar Dewantara


Dalam beberapa buku karya Ki Hadjar Dewantara tidak dijumpai istilah “karakter”, dengan makna “akhlaq” dalam Islam. Tapi, secara inplisit istilah itu muncul dalam berbagai buku karangannya dengan istilah “budi pekerti”. Oleh Ki Hadjar, budi pekerti diletakkan sebagai jiwa atau ruh dari pengajarananya. Sebab, menurutnya, pengajaran dan budi pekerti ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Pengajaran atau pendidikan berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak didik supaya mereka kelak menjadi manusia berpribadi yang beradab dan susila. (Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama (Pendidikan), Yogyakarta: Majlis Luhur Tamansiswa, 1967).

Budi pekerti menurut Ki Hadjar bukan sekedar konsep teoritis sebagaimana yang dipahami masyarakat pada umumnya. Pengajaran budi pekerti juga bukan berarti mengajar teori tentang baik buruk, benar salah dan seterusnya; bukan pula pengajaran dalam bentuk pemberian kuliah atau ceramah tentang hidup kejiwaan atau peri-keadaban manusia dan atau keharusan memberi keterangan-keterangan tentang budi pekerti secara luas dan mendalam. Pengajaran budi pekerti, tegas Ki Hadjar, diterapkan untuk menyokong perkembangan hidup anak-anak, menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang umum, seperti mengajarkan anak bagaimana duduk yang baik, tidak berteriak-teriak agar tidak mengganggu orang lain, bersih badan dan pakaian, hormat terhadap ibu bapak dan orang lain, suka menolong dan lain sebagainya. (Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005).

Ki Hadjar yang dikenal sebagai tokoh pendidikan mengharapkan, anak-anak didik hendaknya diberikan anjuran-anjuran untuk melakukan pelbagai laku yang baik dengan cara disengaja. Dengan begitu maka syarat pendidikan budi pekerti yang dahulu biasa saja disebut metode menyadari, menginsyafi dan melakukan, atau ngerti, ngerasa dan ngelakoni (“tri-nga”) dapat terpenuhi. (Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian A (Kebudayaan), Yogyakarta: Tamansiswa, 1967)

Ki Hadjar menghendaki budi pekerti yang bersifat terintegrasi dengan pengajaran pada setiap bidang studi. Dengan kata lain, Ki Hadjar menginginkan bahwa pada setiap pengajaran bidang studi apapun harus mengintegrasikannya dengan pendidikan budi pekerti, dan tidak berhenti pada pengajaran mata pelajaran tersebut semata-mata. Baginya pengajaran adalah alat bukan tujuan. Pengajaran matematika misalnya adalah alat untuk menghasilkan anak yang memiliki keterampilan dalam memahami dan mempraktikkan rumusan hitungan secara tepat dan akurat. Namun bersamaan dengan itu pengajaran matematika tersebut harus diarahkan pada menghasilkan manusia yang dapat bersikap teliti, cermat, kerja teratur dan jujur. (Abuddin Nata, Tokoh-tokoh Pembaruan, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005).

Budi pekerti -- dalam implementasi di Perguruan Tamansiswa -- bertujuan agar anak-anak didik dapat kemajuan alam hidupnya lahir dan batin menuju ke arah adab kemanusiaan. Budi pekerti di sini juga tidak hanya menghendaki pembentukan intelek, tetapi menghendaki juga pendidikan dalam arti pemeliharaan dan pelatihan susila (budi), karena menurut Ki Hadjar, adab atau keluhuran budi manusia itu menunjukkan sifat batinnya manusia, sedangkan kesusilaan atau kehalusan itu menunjukkan sifat hidup lahiriyah manusia yang serba halus dan indah. Ki Hadjar menyatakan, “Bahwa budi pekerti seseorang itu dapat mewujudkan sifat batinnya seseorang dengan pasti dan tetap”. Ki Hadjar juga menegaskan, “Bahwa tidak ada dua budi pekerti orang yang sama, meskipun sama dua roman wajah seseorang, tidaklah sama kedua budi pekertinya”. (Abdurrahman Surjomiharjo, Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Sinar Harapan, 1986).

Ki Hadjar pun berpendapat bahwa pendidikan budi pekerti harus mempergunakan syarat-syarat yang selaras dengan jiwa kebangsaan menuju kepada kesucian, ketertiban dan kedamaian lahir batin. Menyimak gagasan dan pemikirannya tentang pendidikan budi pekerti, terlihat dengan jelas, konsep budi pekerti Ki Hadjar diarahkan pada pembentukan karakter bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa yang universal. (Ki Hadjar Dewantara, Asas-asas dan Dasar-dasar Tamansiswa, Yogyakarta: Tamansiswa, 1964)

Pendidikan adab

Sebagai ajaran yang berdasarkan pada wahyu Allah, Islam tidak menolak nilai-nilai universal yang baik. Tetapi, Islam meletakkan sifat-sifat baik seperti: jujur, sopan dan toleransi semuanya dalam bingkai dan dasar keimanan, bukan sekedar “rasa kemanusiaan” semata yang lepas dari nilai-nilai Islam. Seorang muslim diajarkan untuk jujur, bukan karena kemanfaatan sifat jujur semata, tetapi karena jujur itu perintah Allah Swt. Sebagaimana diungkapkan Adian Husaini, bahwa semua aktifitas kemanusiaan baik berupa amal shaleh, akhlak, maupun nilai-nilai kebajikan lainnya seperti jujur, kebersihan, dan kerja keras, harus dilandasi dan dalam bingkai keimanan. Jika amal shaleh atau sifat kemanusiaan tidak dilandasi dengan keimanan, maka perbuatan itu akan menjadi berbahaya bahkan melanggar batas-batas ketentuan Allah Swt”.(Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia berkarakter dan Beradab, Jakarta: Cakrawala, 2013).

Dalam perspektif Islam, hubungan antara iman dan budi pekerti adalah hubungan yang tidak bisa dilepaskan, karena iman merupakan sumber akhlak yang luhur. Akhlak inilah yang pada gilirannya menuntun manusia untuk menemukan kebenaran dan hakikat sesuatu. Sedangkan ilmu menuntun manusia untuk menjadi manusia yang beradab. Hal ini sejalan dengan misi kerasulan Nabi Muhammad Saw. yaitu untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. (M. Athiyah al-Abrasyi, Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2003)

Jadi dalam perspektif Islam, pemikiran Ki Hadjar tentang pendidikan budi pekerti, perlu dilandasi keimanan, bukan berdasarkan budaya semata. Dan semua aktivitas yang berpijak pada dasar keimanan akan mendatangkan hasil yang lebih berkualitas, lahir maupun bathin, lantaran iman merupakan hubungan antara hamba dan Sang Khaliq. (Abdurrahman al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: GIP, 2005).

Dengan demikian, menurut penulis, gagasan Ki Hadjar, agar lebih efektif dan “selamat”, maka pendidikan budi pekerti ini perlu didasarkan pada unsur-unsur ketauhidan, sehingga makin selaras dengan tujuan Pendidikan Nasional yang bertujuan meningkatkan iman dan takwa, sesuai UU Sisdiknas No 20 (Pasal 3) tahun 2003. “Budi pekerti” yang tidak dilandasi keimanan, berpotensi menyimpang dari ajaran Tuhan dan merusak esensi kemanusiaan. Allah SWT misalnya menggariskan, hanya boleh tolong menolong dalam kebaikan. Maka toleransi bisa dilakukan, tetapi tidak untuk kemusyrikan dan kejahatan. Cinta kasih sesama manusia perlu dibatasi dengan pijakan iman. Tidak boleh misalnya menikah sesama jenis, meski berdasar kasih sayang antar sesama. Maka, idealnya semboyan Pendidikan Nasional kita diubah menjadi: “Iman, Ilmu, Amal”. Bukan sekedar: tut wuri handayani.

Manfaat Tidur Siang di Kantor


Diasuh oleh Oleh: Yudhistira Adi Maulana, Penggagas rumah sehat Bekam Ruqyah Centre Purwakarta yang berasaskan pengobatan Thibbunnabawi. Alamat: Jl. Veteran No. 106, Kebon Kolot Purwakarta, Jawa Barat, Telf. 0264-205794. Untuk pertanyaan bisa melalui SMS 0817 920 7630 atau PIN BB 26A D4A 15.

________

KEBIASAAN saya dulu yang paling hebat adalah tidur siang. Eh ternyata di balik tidur siang ini ada kelebihan dan manfaatnya bagi kesehatan kita, mari kita simak! Pada tanggal 13 Februari 2007, stasiun televisi berita CNN melansir sebuah rilis pers bertajuk “Tidur Siang di Kantor, Menyehatkan”. Berita itu dipublikasikan kepada pembaca di negara bagian Chicago, AS. Saat ini, orang yang senang tidur siang di kantor memiliki argument kedokteran yang sangat jitu untuk diutarakan pada pimpinannya.

Sebuah penelitian baru menjelaskan bahwa tidur siang saat bekerja dapat mengurangi risiko terkena penyakit jantung yang membahayakan bahkan mematikan. Namun, penelitian ini menuai kekecewaan kaum perempuan. Data menunjukkan bahwa manfaat tidur siang lebih banyak dirasakan oleh kaum pria dalam sampel terbatas daripada kaum wanita. Studi yang dianggap paling fenomenal mengenai problematika tidur ini, memfokuskan penelitian pada aspek kesehatan yang ditimbulkan oleh tidur siang.

Penelitian ini melibatkan 23.681 penduduk usia dewasa di Yunani dan memakan waktu enam tahun seperti dilansir oleh Associated Press (AP).

Studi ini menjelaskan bahwa mereka yang menghabiskan waktu kurang lebih setengah jam untuk tidur siang di kantor, tiga kali dalam seminggu, risiko kematian yang disebabkan oleh timbulnya gejala penyakit jantung berkurang rata-rata 37%, dibandingkan dengan mereka yang tidak tidur siang di kantor.

Studi ilmiah ini menemukan teori baru bahwa tidur siang memiliki pengaruh yang penting dalam meningkatkan produktivitas dan mengurangi tingkat kematian.

Para peneliti berpendapat bahwa tidur siang di kantor sangat bermanfaat bagi jantung, karena dapat mengurangi stres dan detak jantung yang berlebihan, sehingga membuat kerja terhambat.

Dalam kesimpulan lain dinyatakan bahwa, kaum perempuan juga merasakan manfaat yang besar dari tidur siang di kantor. Keterangan ini menyebutkan bahwa laki-laki yang meninggal dunia akibat stres menghadapi pekerjaan lebih banyak daripada perempuan, sebagaimana penjelasan Dr. Dimitrios Trichopoulos, seorang penanggungjawab studi dan penelitian pada Harvard School of Public Health dan University of Athens Medical School.

Studi ini menegaskan bahwa selama masa penelitian berlangsung relawan perempuan yang terlibat dalam penelitian ini dan meninggal berjumlah 48 orang, enam diantaranya adalah wanita karir, dibandingkan dengan jumlah lelaki yang meninggal dunia sebanyak 85 orang, 27 diantaranya adalah pria bekerja.

Dr. Dimitrios Trichopoulos berkomentar, “Saya menyarankan jika memungkinkan lakukanlah tidur siang. Jika anda mempunyai sofa untuk istirahat di kantor atau tempat kerja, manfaatkanlah.”

Usia para relawan yang terlibat pada penelitian ini berkisar antara 20 tahun hingga 86 tahun, danmereka dalam keadaan sehat saat penelitian dimulai. Marvin Wooten, dokter spesialis gangguan tidur (sleep disorders) di Rumah Sakit Saint Mary, Columbia, menjelaskan bahwa mereka yang terlibat dalam penelitian ini adalah orang-orang yang sangat memperhatikan kesehatan, yang bermanfaat terhadap kesehatan jantung.”

Setelah mengetahui hasil penelitian itu, kini beberapa perusahaan memberikan izin kepada pekerja dan karyawan untuk tidur siang. Mereka menganggap bahwa tidur siang dapat meningkatkan produktivitas. Perusahaan pertambangan Amerika Yard Metalz membuat ruangan khusus untuk tidur siang di kantor pusat perusahaannya, sebagai bagian dari program kesehatan karyawan.

Mark Eikenberg, arsitek perusahaan itu, menyebutkan bahwa banyak karyawan yang silih berganti masuk ke dalam ruangan ini untuk tidur selama setengah jam. Ini dilakukan karena adanya anjuran dokter bahwa tidur siang dapat mengurangi stres dan membantu mempertahankan energy seharian penuh.

Terkait dengan tidur siang, Rasulullah Saw bersabda, “Tidur sianglah, karena setan tidak tidur siang,” (HR Ath-Thabrani). Menurut Al-Jauhari, “Tidur siang itu adalah tidur di tengah hari.” Disebut tidur siang jika waktunya hanya sebentar.

Al-Zamakhsyari mengomentari makna hadits ini dengan mengatakan, “Tidur siang adalah tidur sebelum waktu dzuhur.” Al-Azizi sendiri dengan menukil dari kitab Al-Nihayah karya Ibnu Al-Atsir mengatakan, “Tidur siang adalah istirahat tengah hari, meski tidak disertai dengan tidur.”

Sebagian ulama mengatakan, “Dari segi medis, dianjurkan tidur setelah sarapan dan berjalan setelah makan malam meski cuma seratus langkah.” Orang arab mengatakan, “Jangan lupa sarapan dan berjalan santai setelah itu, meskipun penguasa yang menjadi temanmu. Jangan pula lupa makan malam dan berjalan setelah itu, meskipun bulan telah menjadi pelipur laramu.”

Selain itu, menurut Rasulullah Saw, tidur siang juga bermanfaat untuk dapat melakukan shalat tahajud, berzikir, atau untuk dapat belajar di malam hari.

Setelah tidur siang, lakukanlah shalat fardu dzuhur berjamaah yang disertai dengan melakukan shalat sunnah baik sebelum (qabliyah) maupun sesudah shalat dzuhur (bakdiyah). Ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw, “Orang yang selalu rutin menjaga empat rakaat sebelum shalat dzuhur dan setelah shalat dzuhur, maka Allah akan mengharamkan padanya neraka.”

Menurut Al-Minawi, neraka adalah siksa yang kekal. Atau maksud dari neraka adalah neraka yang mengakibatkan siksa lantaran melakukan berbagai dosa. Adapun rakaat-rakaat itu menjadi pelebur dosa.

Kemudian setelah itu, sibukkan diri dengan segala aktivitas yang menjadi tanggung jawab kita. Jika kita seorang yang berilmu atau seorang pelajar, maka sibukkan diri dengan terus belajar, atau menghadiri majelis orang yang berilmu. Jika kita pekerja, maka lanjutkan pekerjaan kita. Jika kita pedagang, maka teruskanlah aktivitas berdagang kita.

Pengetahuan Nabi Muhammad saw tentang keajaiban tidur siang ini dibuktikan dengan pentunjuknya terhadap umat, dimana rahasia itu tidak diketahui sebelumnya oleh peneliti barat dan baru terkuak setelah 1400 tahun hadits ini muncul. Sungguh luar biasa petunjuk Nabi Saw tentang tidur siang serta manfaatnya bagi tubuh dan kesehata

Friday 12 April 2013

Jalan Terjal Dakwah dan Lahirnya Budaya 'Bullying'


ADA cibiran yang pernah dilontarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk kalangan aktivis Islam. Bunyinya, "Blek ketekuk-tekuk, guru tabligh ambune penguk." (kaleng terlipat-lipat, guru mengaji baunya tak sedap). Kalimat itu seolah dijadikan jingle sebagai pencitraan tak sedap kalangan PKI terhadap kaum Muslim.

Kala itu, jangankan menyemarakkan dakwah seperti sekarang, untuk menunjukkan identitas Islam saja kaum Muslimin ketakutan. Citra Islam benar-benar hancur. Islam identik dengan miskin, kotor, tidak punya masa depan cerah dalam pekerjaan kecuali menjadi guru mengaji.

Citra seperti ini terus berlanjut meski Orde Lama berganti Orde Baru. Sampai-sampai, di pertengahan 80-90-an, umat Islam malu menunjukkan identitas, apalagi berjilbab.

Pelan-pelan citra itu berkurang tatkala lahir Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di akhir tahun 90-an. Harian Kompas-yang lahir dari institusi gereja--menyindirnya dengan tulisan berjudul "Ijo Loyo-loyo".

Tampilnya BJ Habibie, sejumlah pejabat negara, dan jenderal Muslim seperti Faisal Tanjung dan R Hartono (yang terang-terangan menggunakan simbol-simbol Islam) punya andil mengubah citra baru Islam di Indonesia. Sementara kelompok harakah Islam yang muncul pasca 1999, seperti tarbiyah (digambarkan dengan PKS), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan sejumlah harakah lain masih "di bawah tanah".

Sekitar tahun 80-90-an, tidak ada perusahaan, institusi pemerintah, atau lingkungan militer yang menerima karyawati atau pegawai berjilbab. Sekarang, itu tidak terjadi lagi. Bahkan istri dan anak Jenderal (purn) Wiranto pun terang-terangan memakai jilbab. Jika itu terjadi di zaman LB Moerdani, bisa jadi Wiranto sudah "masuk kotak" dan tak akan mampu meraih pangkat jenderal.

Kekerasan Kata dan Simbol

Sepintas cibiran yang dilakukan PKI dan Kompas di atas kelihatan sepele. Namun sebenarnya ada pencitraan negatif terhadap Islam dalam kata-kata itu. Jika kriminolog asal Norwegia, Johann Galtung, pernah menggambarkan ada kekerasan struktural yang biasa digunakan penguasa, maka ini adalah "kekerasan kata-kata" (verbalistic violence).

Meminjam istilah Pramono dalam Bahasa dan Sastra Indonesia, Menuju Peran Transformasi Sosial Budaya Abad XXI (Yogyakarta, 2002), verbalistic violence adalah bentuk kekerasan dalam kata-kata atau berbahasa. Bahasa tak hanya digunakan sebagai alat komunikasi, namun juga untuk melakukan kekerasan yang kemudian dikenal dengan istilah kekerasan verbal.

Ada lagi istilah symbolic violence (kekerasan simbolik). Biasanya, kekerasan seperti ini targetnya selalu berkaitan dengan politik. Menurut Michel Foucault, biasanya kekerasan seperti itu difasilitasi media massa, terutama televisi. Menurut ilmuwan pengidap homoseksual itu, kekejaman seperti itu lahir dan langgeng karena memakai sistem kekuatan kata-kata, juga citra, yang sangat halus (soft domination), yang kehadirannya sering tak disadari.

Kekerasan verbal, terutama simbolik, beroperasi melalui ungkapan-ungkapan, baik visual atau kata-kata. Entah itu dalam film, sinetron, games, dan produk visual lain, atau dengan sebutan-sebutan yang kurang mengenakkan. Dan biasanya, kekerasan kata itu lebih menusuk hati dibanding kekerasan fisik.

Ingat, penyebutan "Islam modern", "Islam tradisional", "Islam Kota" dan "Islam Sarungan" di sekitar tahun 70-an, diakui atau tidak melukai perasaan kaum Nadhiyyin hingga memicu ketegangan dengan warga Muhammadiyah (ibaratnya) sampai tujuh turunan. Kalangan Nahdlatul Ulama kurang nyaman disebut "Islam tradisional" yang konotasinya kurang/tidak maju.

Cendekiawan dan Propaganda Kekerasan

Yang perlu dicermati, jika kekerasan verbal seperti itu dilakukan oleh orang-orang di luar Islam, seperti contoh PKI atau Kompas tadi, barangkali lebih jelas dengan siapa kaum Muslimin berhadapan. Masalahnya, seiring dibukanya kran kebebasan pers dan reformasi, produk kekerasan kata dan simbol itu justu datang dari kalangan yang disebut-sebut cendekiawan Muslim.

Beberapa tahun lalu, muncul istilah "preman berjubah". Istilah ini dipopulerkan oleh sekelompok orang yang menyebut dirinya Aliansi Masyarakat Anti Kekerasan, yang dimotori antara lain oleh artis Rieke Dyah Pitaloka dan Badriyah (anggota DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa).

Istilah itu tidak muncul dari kalangan non-Muslim. Bahkan ternyata pencetusnya adalah Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah (kala itu), Prof Dr Ahmad Syafi’i Ma’arif, yang menulis dalam rubrik Resonansi harian Republika (9 Agustus 2005). Istilah ini kemudian dipakai oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal (JIL) untuk melabeli aktivis Islam semisal dari HTI, Front Pembela Islam (FPI), MMI, PKS, atau elemen masyarakat yang ingin menegakkan syariat Islam.

Kekerasan itu kadang dikeluarkan sembarangan untuk mencari rasa aman atau enaknya sendiri. Misalnya, sebagian kalangan seenaknya membuat katagorisasi dengan menyebut dirinya "Islam modernis" dan demokratis, lalu menggolongkan pihak lain sebagai "Islam radikal", "militan", atau "fundamentalis" hanya karena tidak setuju Barat, tidak mau tunduk Barat atau anti paham demokrasi. Bahkan takut disebut "teroris", orang-orang itu ramai-ramai berebut menyebut diri "Islam moderat".

Atas hak siapa orang boleh atau tidak menyebut yang lain modern dan sebagian yang lain radikal? Apakah karena ada orang yang taat beribadah dan meyakini al-Qur`an paling benar lantas begitu saja disebut radikal atau tekstualis? Kalau boleh seenaknya melakukan katagorisasi seperti itu, mengapa yang lain tak boleh menyebut kelompok liberal sebagai Islam STMJ (shalat terus maksiat jalan) atau "Islam Karaoke" (kanan-kiri oke)?

Karena itu, bisa dipahami bila Ketua PP Muhammadiyah sekarang, Din Syamsuddin, menyebut kekerasan kata-kata lebih melukai daripada kekerasan fisik. Din mengatakan hal itu ketika menanggapi obrolan (alm) Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dilansir situs JIL, yang menyebut al-Qur`an sebagai kitab suci paling porno di dunia.

Salah satu bentuk kekerasan verbalistik adalah penyebutan 'wahabisme'. Istilah "wahabisme" juga dipopulerkan lagi oleh kalangan liberal untuk menyebut kelompok-kelompok yang berseberangan dengan mereka seperti Muhamadiyah, FPI, MMI, PKS, MUI, dan pihak-pihak lain. Awalnya, istilah ini dimunculkan oleh dedengkot JIL, Ulil Abshar Abdalla. Ternyata kurang laku, dan kemudian dikeluarkan lagi oleh liberalis lain, Abdul Moqsid Ghozali.

Sebutan itu muncul sesaat setelah berlangsung aksi sejuta umat Islam di bawah koordinasi MUI mendukung RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi. Harap hati-hati, penyebutan "wahabisme" itu bisa dimaksudkan untuk memecah dukungan NU dan Muhammadiyah yang sudah solid menolak pornografi. Tahun 1999, istilah itu menjadi momok kalangan NU ketika Gus Dur dijatuhkan oleh "poros tengah" dari kursi presiden.

Saat ini berbeda, istilah 'wahabi', seolah digunakan kalangan NU untuk ‘menyerang’ komunitas lain di luar NU. Seolah-olah semua di luar NU pasti Wahabi. Gerakan ini, belakangan ‘ditunggangi’ kalangan Syiah yang menumpang karena kepentingannya terganggu. Dengan menggunakan istilah ‘wahabi’, kaum Syiah di mana-mana melontarkan kesan seolah-oleh hanya ‘wahabi’ lah yang mengancam kepentingan Syiah. Padahal, NU dikenal paling keras melawan ideologi Syiah. Jadi di mana bedanya NU dengan Syiah jika masih terus menggunakan istilah ini? [baca wawancara Dr Anis Malik Thoha: Barat Diuntungkan atas Stigma Wahabi]

Menurut Ingris Bengis, ada lima format kekerasan kata-kata. Yaitu berwujud gosip dari rasa dengki (malicious gossip), kekerasan pasif (passive-aggression), sikap tidak konsisten (inconsistency), ketidaksopanan, dan amarah. Semua itu melahirkan kekerasan kata-kata.

Dalam terminologi psikologis, kekerasan kata-kata masuk dalam katagori agresi berupa perilaku bullying. Bullying secara verbal antara lain menuduh atau menyalahkan, mengritik dengan tajam dan menyakitkan, menjuluki, melecehkan, memfitnah, menyebarkan gosip, membentak-bentak, mengecilkan, menghina atau mendiamkan. Secara psikologis, bullying termasuk merendahkan, kasar, tidak sopan, mempermalukan di depan umum, dan mengucilkan.

Biasanya, pelaku bullying adalah orang-orang yang agresif, impulsif, dan kurang memiliki empati. Mereka umumnya juga memiliki kekuatan secara fisik dan emosional (Andrew Mellor). Dengan kata lain, memiliki kelainan psikologis alias kejiwaan.

Boleh jadi, luka akibat lidah justru melahirkan kekerasan baru-termasuk fisik--yang tak pernah henti. Oleh karena itu, sangat tidak layak seorang cendekiawan--apalagi mengaku Muslim-melontarkan istilah-istilah yang membuat pihak lain dan saudara-sauda Muslim lain terlukai. Kecuali seperti pendapat Mellor, bahwa pelakunya memiliki gangguan kejiwaan.*

PBNU: Akar Terorisme Adalah Dendam


Akar berbagai aksi kekerasan oleh sebagian umat Islam yang disebut terorisme lahir akibat dendam dan ketidakadilan.

Demikian dikatakan Wakil Ketua Umum PBNU Slamet Efendi Yusuf dalam diskusi publik Memberantas Terorisme Tanpa Teror dan Melanggar HAM di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, (11/04/2013).

"Mereka bukan teror, tapi dendam karena tontonan yang real time penanganan terorisme (yang melanggar HAM,-red)," katanya.

Menurutnya, terorisme bisa dihentikan dengan menyelesaikan dendam-dendam yang ada di masyarakat. Kata Slamet, harus ada pemotongan stigma terorisme terhadap Islam yang selama ini mengikuti Barat.

Menurutnya keberadaan Densus 88 yang selama ini kerap membunuh masyarakat yang dituduh sebagai teroris tanpa alasan jelas harus ditinjau ulang. Densus juga harus koreksi diri, katanya.

"Umat Islam bela diri karena dizhalimi, kenapa dicap teroris," kata Slamet yang juga salah satu Ketua MUI Pusat ini.

Pembicara lain dalam diskusi tersebut Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Ketua Forum Silaturrahim Masyarakat Poso Ustadz Adnan Arsal, Komisioner Komnas HAM Siane Andriani, dan Brigjen. Boy Rafli Amar dari Mabes Polri.*

Sejarah Kelam Pemaksaan Asas Tunggal Pancasila


MANTAN Perdana Manteri RI Mohammad Natsir mengingatkan,” Kita mengharapkan Pancasila dalam perjalanannya mencari isi semenjak ia dilancarkan itu, tidaklah akan diisi dengan ajaran yang menentang al Qur’an, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar dari bangsa kita ini. Dan janganlah pula ia dipergunakan untuk menentang kaidah-kaidah dan ajaran yang termaktub dalam al Qur’an itu, yaitu induk serba sila, yang bagi umat Muslim Indonesia menjadi pedoman hidup dan pedoman matinya, yang mereka ingin sumbangkan isinya kepada pembinaan bangsa dan negara, dengan jalan-jalan parlementer dan demokratis.”

Entah apa maksud DPR kembali membuka luka lama umat Islam di masa Orde Baru dan Orde Lama. Mempertentangkan Pancasila dan Islam. Dalam draft RUU Ormas yang ingin digolkan DPR tahun ini, kembali masalah asas tunggal dimunculkan. Dalam RUU itu pasal 2 disebutkan; Asas Ormas adalah Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta (Ormas) dapat mencantumkan asas lainnya yang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

RUU Ormas ini tentu mundur dari Orpol. Bila dalam UU Orpol sebuah organisasi membolehkan Islam dicantumkan sebagai asasnya –dan ini perjuangan panjang puluhan tahun- kenapa kini dalam ormas dinafikan adanya Islam sebagai asas dan harus Pancasila?

Karena itu, Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin sangat menyesalkan hal ini. "Janganlah kita kembali membuka luka lama. Betapa lelah dan energi terkuras ketika Undang Undang Ormas tahun 1985 dulu diajukan dan ada pendesakan untuk menerapkan asas tunggal Pancasila. Muhammadiyah sampai mengundurkan muktamarnya dan apalagi waktu itu muncul upaya mempertentangkan Pancasila dengan Islam,” kata Din di kantor PP Muhammadiyah, Jakarta Pusat.

Kita ingat bagaimana tahun 1985 itu –ketika masa awal pemerintahan Soeharto dibackup oleh kelompok think tank Katolik CSIS—umat Islam ditekan terus menerus hingga harus menerima asas tunggal Pancasila. Selain itu pemerintah saat itu juga melarang tokoh-tokoh Masyumi seperti Mohammad Natsir dan Mohammad Roem kembali berpolitik. Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) menjadi mata ajaran wajib di seluruh tingkatan sekolah dan seterusnya.

Ketika asas tunggal Pancasila dipaksakan, HMI menjadi terpecah dua. HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi) dan HMI Dipo. Begitu pula partai politik Islam PPP juga terpecah. Beberapa tokohnya mengundurkan diri ketika Orba memaksa asas tunggal saat itu. Karena saat itu PPP menjadi simbol persatuan umat Islam, dengan Islam sebagai asasnya, yang membedakan dengan Golkar dan PDI.

Sejarah Ringkas Piagam Jakarta dan Pancasila

Kita tentu memahami bahwa isi Pancasila yang tertera dalam Pembukaan UUD 45 (plus amandemen) saat ini adalah hasil dari konsensus tokoh-tokoh pendiri republik ini. Dan ada 4 tokoh Islam di sana. Pancasila yang ada sekarang ini dirumuskan dari Piagam Jakarta dan hanya sila pertama yang diubah. Dari Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. Empat sila lainnya tetap. Pancasila ini dirumuskan oleh Panitia Sembilan. Panitia kecil yang dibentuk menjelang kemerdekaan RI 1945 yang diambil dari anggota-anggota BPUPKI. Anggota Panitia Sembilan ini meliputi wakil kalangan nasionalis sekuler, Kristen dan nasionalis Islam.

Mereka adalah: Soekarno, Mohammad Hatta, AA Maramis, Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosuyoso, Agus Salim, Wahid Hasyim, Mohammad Yamin dan Ahmad Soebardjo. Kahar Muzakkir, Abikusno, Agus Salim dan Wahid Hasyim adalah empat tokoh Islam yang berjuang ‘mati-matian’ saat itu sehingga teks Pancasila saat ini penuh dengan nafas Keislaman. Sayangnya ahali-ahli hukum kita kemudian membelokkan Pancasila ini menjadi sekuler.

Memang istilah Pancasila mungkin dari Soekarno atau Yamin. Tapi isi dari teks Pancasila itu, empat tokoh Islam itu mempunyai andil besar. Kata adil, beradab, kerakyatan, hikmah, kebijaksanaan, permusywaratan dan perwakilan adalah kosa-kosa kata Islam yang hampir mustahil disuarakan oleh tokoh-tokoh sekuler saat itu. Sayangnya hingga kini belum ditemukan (atau jangan-jangan sengaja dihilangkan) pembahasan atau notulen secara rinci perumusan Pancasila itu. Dari 30 anggota BPUPKI yang berbicara, Yamin hanya menuliskan tiga orang saja dalam bukunya.

Kalau kita lihat naskah dari Yamin, yang dipidatokan 29 Mei 1945, naskah Pancasilanya adalah 1. Perikebangsaan. 2. Perikemanusiaan. 3. Periketuhanan 4. Perikerakyatan 5. Kesejahteraan rakyat. Pada 1 Juni 1945 Soekarno mengusulkan 5 rumusan dasar negara, yaitu: 1. Kebangsaan Indonesia. 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan. 3. Mufakat atau demokrasi. 4. Kesejahteraan social 5. Ketuhanan yang berkebudayaan.

Setelah rapat berhari-hari tentang dasar negara itu –Soekarno menyebutnya ‘berkeringat-keringat’—akhirnya pada 22 Juni 1945 Piagam Jakarta disahkan bersama. Dalam persidangan itu –baca buku Piagam Jakarta karya Endang Saifuddin Anshari, terbitan GIP—debat berlangsung sengit. Mulai dari masalah presiden harus orang Islam, dasar Negara harus Islam dan lain-lain. Setelah perdebatan berlangsung lama, maka disetujuilah Piagam Jakarta yang isinya pembukaan UUD 45 yang juga mencakup Pancasila. Dimana sila I berbunyi Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya.

Piagam Jakarta yang dikawal empat tokoh Islam ini bila kita cermati beda dengan Pancasila rumusan Soekarno dan Yamin. Tapi sayangnya Piagam Jakarta yang telah matang disetujui bersama untuk dibacakan pada proklamasi tanggal17 Agustus dan akan disahkan pada 18 Agustus 1945 itu digagalkan Soekarno dan kawan-kawannya. Pagi-pagi buta jam 4, Soekarno mengajak Hatta ke rumah Laksamana Maeda untuk merumuskan teks proklamasi. Naskah dari Panitia Sembilan dimentahkan di rumah perwira Jepang itu dan diganti coret-coretan teks proklamasi yang sangat ringkas.

Dan ujungnya pada tanggal 18 Agustus 1945, Piagam Jakarta juga diubah mendasar. Lewat rapat kilat yang berlangsung tidak sampai tiga jam, hal-hal penting yang berkenaan dengan Islam dicoret dari naskah aslinya. Dalam rapat yang mendadak yang diinisiatif oleh Soekarno (dan Hatta) itu, empat wakil umat Islam yang ikut dalam penyusunan Piagam Jakarta tidak hadir. Yang hadir adalah Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo. Yang lain adalah Soekarno, Hatta, Supomo, Radjiman Wedyodiningrat, Soeroso, Soetardjo, Oto Iskandar Dinata, Abdul Kadir, Soerjomihardjo, Purbojo, Yap Tjwan Bing, Latuharhary, Amir, Abbas, Mohammad Hasan, Hamdhani, Ratulangi, Andi Pangeran dan I Bagus Ketut Pudja.

Dalam rapat yang dipimpin Soekarno yang berlangsung pada jam 11.30-13.45 itu diputuskan : Pertama, Kata Mukaddimah diganti dengan kata Pembukaan. Kedua, Dalam Preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat: “berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret. Keempat, Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Tapi yang menarik dalam lobinya ke Kasman dan Ki Bagus, Hatta menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa, maknanya tauhid. Kasman menulis dalam bukunya: “Bung Hatta sendiri pada bulan Juni dan Agustus 1945 menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, tidak lain kecuali Allah. Dan waktu beliau mengusulkan supaya Ketuhanan itu dengan rumus “Ketuhanan Yang Maha Esa” dijadikan sila pertama (dan bukan seperti maunya Bung Karno sebagai sila kelima dengan rumus “Ketuhanan”), maka Bung Hatta memberi penjelasan supaya Allah dengan NurNya itu kepada sila-sila yang empat lainnya dari Pancasila itu.”

Jadi, meski 17-18 Agustus 1945 Piagam Jakarta dimentahkan oleh Soekarno dkk, dan pada Sidang Majelis Konstituante 1956-1959 mengalami deadlock, tetapi pada 5 Juli 1959 Piagam Jakarta dinyatakan Presiden Soekarno secara tegas bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45 dan merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan. Karena itu, secara prinsip tidak boleh lahir satu undang-undangpun di negeri ini yang bertentangan dengan Islam. Dan itu wajar saja, karena memang negeri ini lahir dari pengorbanan mayoritas jiwa dan raga ulama-umat Islam.

Karena itu Presiden Soekarno saat memperingati Hari Lahir Piagam Jakarta, 22 Juni 1965 menyatakan: “Nah Jakarta Charter ini saudara-saudara sebagai dikatakan dalam Dekrit, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut. Jakarta Charter ini saudara-saudara, ditandatangani 22 Juni 1945. Waktu itu jaman Jepang…Ditandatangani oleh –saya bacakan ya– Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Mr Mohammad Yamin, 9 orang.”

Meski Piagam Jakarta merupakan satu rangkaian kesatuan dengan UUD 45, tapi pihak Kristen sepanjang sejarah kemerdekaan selalu memprotesnya. Cornelius D Ronowidjojo, Ketua Umum DPP PIKI (Persekutuan Intelegensia Kristen Indonesia) seperti dikutip Tabloid Reformata (16-31 Maret 2009) menyatakan bahwa Piagam Jakarta sekarang sudah dilaksanakan dalam realitas Keindonesiaan melalui Perda (Syariah) dan UU. “Sekarang tujuh kata yang telah dihapus itu, bukan hanya tertulis, tapi sungguh nyata sekarang,” tegasnya.

Dalam pengantar redaksinya, Tabloid Reformata menulis: “Hal ini perlu terus kita ingatkan bahwa akhir-akhir ini kelihatannya makin gencar saja upaya orang-orang yang ingin merongrong negara kita yang berfalsafah Pancasila demi memaksakan diberlakukannya syariat agama tertentu dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana kita saksikan, sudah banyak produk perundang-undangan maupun peraturan daerah (Perda) yang diberlakukan diberbagai tempat sekalipun banyak rakyat yang menentangnya. Para pihak yang memaksakan kehendaknya dengan dalih membawa aspirasi kelompok mayoritas, saat ini telah berpestapora di atas kesedihan kelompok masyarakat lain, karena ambisi mereka, satu demi satu berhasil dipaksakan. Entah apa jadinya negara ini nanti, hanya Tuhan yang tahu.”

Alim Ulama

Melihat posisi Pancasila yang terkait erat dengan Piagam Jakarta itu, maka pada 21 Desember 1983, Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur memutuskan sebuah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, yaitu:

1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.

2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.

3. Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.

4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.

5. Sebagai konsekuensi dan sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.

Tahun 1985, menanggapi asas tunggal yang diharuskan pemerintah ke orpol dan ormas saat itu, Mohammad Natsir yang saat itu memimpin Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia menerbitkan risalah kecil berjudul “Tempatkan Kembali Pancasila Pada Kedudukannya yang Konstitusional”. Ulama besar ini mengatakan: “Dalam suasana derasnya arus pemikiran dalam masyarakat menyangkut hal-hal yang sedemikian fundamental, pihak pemerintah ternyata tidak bersedia mengatasi persoalan secara mendasar dengan meneliti masalah dari segi sebab dan akibat, melainkan lebih banyak mencari-cari kesalahan pihak lain, seolah-olah masih ada golongan-golongan “anti Pancasila” (tanda kutip), ditujukan ke tiap golongan dan siapa saja yang tidak menyetujui cara menafsirkan dan menfungsikan Pancasila, sebagaimana yang sekarang diinginkan oleh pihak penguasa. Diseru-serukan,”Demi Kesatuan dan Persatuan.” Yang kita alami: Gejala-gejala Islamo-phobi terus meningkat dari mengakibatkan frustasi di satu pihak dan radikalisasi di lain pihak. “Demi stabilitas dan kemantapan!” Yang kita alami: stabilitas semu, diliputi rasa takut di satu pihak dan sikap masa bodoh di lain pihak. “Demi Pengamalan Pancasila! Yang kita alami: terisngkirnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI yang melahirkannya di tahun 1945.” (lihat Adian Husaini, Pancasila bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, GIP).

Karena itu mantan Perdana Menteri RI Mohammad Natsir mengingatkan,” Kita mengharapkan Pancasila dalam perjalanannya mencari isi semenjak ia dilancarkan itu, tidaklah akan diisi dengan ajaran yang menentang Al Qur’an, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar dari bangsa kita ini. Dan janganlah pula ia dipergunakan untuk menentang kaidah-kaidah dan ajaran yang termaktub dalam Al Qur’an itu, yaitu induk serba sila, yang bagi umat Muslim Indonesia menjadi pedoman hidup dan pedoman matinya, yang mereka ingin sumbangkan isinya kepada pembinaan bangsa dan negara, dengan jalan-jalan parlementer dan demokratis.”

Karena itu, biarlah organisasi politik dan organisasi massa Islam, yang ingin mencantumkan Islam sebagai asasnya. Karena mereka menganggap Islam adalah induk serba sila. Pancasila hanya ‘sebagian kecil’ dari prinsip Islam. Juga, biarlah organisasi lain di luar Islam atau organisasi sekuler sekalipun, mencantumkan Pancasila sebagai asasnya, mungkin karena mereka kurang atau tidak yakin dengan agamanya. Wallahu a’lam.*

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews