Thursday 28 February 2013

Misteri Dibalik Singkatnya Waktu

PARA orang tua banyak yang mengatakan bahwa waktu terasa berjalan semakin cepat saja. Dulu , kata mereka waktu tak secepat sekarang . Benarkah waktu memang semakin cepat? Atau hanya perasaan manusia saja hidupan di dunia ini, sehingga tak merasakan perjalanan waktu yang sebenarnya konstan?

Tapi bisa jadi perasaan waktu semakin cepat. Kata ilmuwan NASA, waktu rotasi bumi ternyata sudah berubah lebih cepat sepersekian ribu detik. Tepatnya 1.26 milidetik .

Namun jauh sebelum itu Rasul pernah berkata:

”Hari Kiamat tak akan datang kecuali insiden berikut ini terjadi. Waktu akan semakin singkat, di mana jarak akan semakin pendek dengan digunakannya kendaraan.” (Bukhari, Fitan.25; Ahmad ibn Hanbal, Musnad, 2/313).

Dalam hadis lain disebutkan, Anas RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, ”Hari Kiamat tak akan datang kecuali waktu semakin singkat. Penyingkatan ini terjadi sedemikian cara seperti satu tahun yang berlalu seperti sebulan, dan sebulan yang berlalu seperti seminggu, dan seminggu berlalu seperti satu hari dan satu hari yang berlalu seperti satu jam dan satu jam yang berlalu seperti secepat kilat,” (Tirmidhi, Zuhd: 24, 2333).

Cendekiawan Muslim Harun Yahya mengungkapkan, saat ini waktu memang terasa berputar lebih cepat.

”Pertanda akhir zaman yang telah disebut Rasulullah SAW itu secara ilmiah telah terbukti. Waktu semakin singkat,” papar cendekiawan memiliki nama asli Adnan Oktar itu.

Menurut Harun Yahya, di ruang di antara permukaan bumi dan ionosfer konduktif, terdapat getaran alami. Frekuensi mendasar ini yang juga dikenal sebagai Detak Jantung Dunia, disebut sebagai Resonansi Schumann.

”Hal tersebut telah diramalkan secara matematis oleh fisikawan Jerman Winfried R Schuman pada tahun 1952,” tuturnya.

Resonansi Schumann, kata dia, sangat penting karena membungkus bumi. ”Dengan demikian terus menjaga alam dan semua bentuk kehidupan di bawah efeknya. Hal ini secara terus menerus diukur oleh pusat penelitian fisika terkemuka di dunia.”

Pada 1950, Resonansi Schumann diukur pada skala 7.8 hertz. Nilai ini dianggap tetap konstan. Memang sistem komunikasi global militer ini didirikan di atas frekuensi ini.

Namun, pada 1980-an, terjadi perubahan tiba-tiba. Sebab, pada tahun itu Resonansi Schumann diukur di atas 11 hertz.

”Laporan terbaru telah mengungkapkan bahwa angka ini bahkan akan meningkat lagi. Perubahan dalam Resonansi Schumann; frekuensi menunjukkan mempercepat waktu,” tuturnya.

Dengan demikian, waktu 24 jam terasa seperti 16 jam atau kurang. Ilmu pengetahuan tidak mampu menjelaskan mengapa angka ini mengalami kenaikan, atau faktor yang menyebabkannya meningkat.

”Dengan makin singkatnya waktu, pertanda akhir zaman yang diramalkan oleh Nabi SAW terbukti secara ilmiah saat ini,” tambahnya.

Bumi semakin dipersiapkan untuk hari Kiamat dan oleh kehendak Allah pertanda yang diisyaratkan terjadi secara berturut turut. [Sumber: Harun Yahya]

UU Terorisme (Tidak) Berlaku Untuk OPM ?

Hidayatullah.com--Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) H Amidhan mengingatkan agar pelaksanaan Undang-Undang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme dilaksanakan secara adil dan merata. Hal ini terkait dugaan sikap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88.

“Kenapa hanya umat Islam saja yang dituduh teroris sedangkan di Papua orang telah membunuh 8 anggota TNI tapi hanya disebut kelompok bersenjata,” jelasnya kepadahidayatullah.com usai bertemu dengan Kapolri di kantor Mabes Polri, Kamis (28/02/2013) di Jakarta. [baca: MUI dan Ormas Islam Minta Polri Evaluasi Keberadaan Densus 88]

Amidhan secara tegas menyatakan tindakan terorisme adalah suatu yang haram dalam Islam. Namun, ia berharap itu juga tidak berarti MUI akan diam jika penanganan terorisme menyinggung simbol-simbol Islam tanpa alasan.

“Sikap Densus 88 dalam kasus terorisme merusak bangunan dakwah yang selama ini kami bangun,” tandasnya lagi.

Senada dengan Amidhan, Ketua MUI Pusat KH Cholil Ridwan yang juga ikut dalam kunjungan menegaskan adalah wajar jika akhirnya umat Islam bereaksi membela harga diri agamanya yang merasa difitnah. Sementara menurutnya, para pembunuh aparat di Papua yang dilakukan oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) justru tidak dimasukkan dalam kategori terorisme.

“Itu yang mereka bunuh di Papua adalah aparat negara harusnya mereka disebut teroris juga,” jelasnya kepada hidayatullah.com.

Cholil Ridwan mempertanyakan penerapan UU yang digunakan dalam menangangi kasus terorisme di masyarakat. Dalam kasus terorisme, UU yang diberlakukan dinilai tajam kepada umat Islam tapi tumpul kepada gerakan-gerakan separatis seperti OPM di Papua atau gerakan Republik Maluku Selatan (RMS).

Sementara Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin berharap ada evaluasi terhadap UU yang digunakan dalam kasus terorisme. Ia juga berharap agar maslah ini segera ditindak lanjuti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Polri harus serius membuktikan kredibilitasnya sebagai penegak hukum dalam menindak pelanggaran HAM.

“Tidak terkecuali itu anggota Polri, baik itu Densus maupun Brimob ketika melanggar HAM harus ditindak,” jelasnya.

Evaluasi mengenai keberadaan Densus 88 sendiri menurut Dien harus serius dilakukan. Evaluasi ini menurutnya, harus mengkaji retorika perang melawan terorisme dengan fakta lapangan.

“Jika memang fakta lapangannya Densus 88 kontra produktif dan melanggar HAM ya dibubarkan saja.”

90% Pencetak Mushaf Al Quran di Indonesia adalah Non Muslim

Ketua Umum Asosiasi Penerbit Mushaf Alquran Indonesia (APQI ), Ali Mahdami, ”Sembilan puluh persen pencetak Al Quran bukan kalangan Muslim,” kata dia kepada media di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Mereka mencetak Al Quran dengan orientasi bisnis semata, sehingga mereka tak peduli dengan kualitas kertas, keshahihan isi, dan sebagainya. Bahkan dalam proses pengiriman Al Quran dari percetakan ke tempat penjualan, sering kali petugas pengangkut memperlakukannya dengan kasar, diinjak lah,dijadikan buat tangga lah. Oleh karena itu, maka pencetakan harus dilakukan oleh pihak yang mengerti kemuliaan Al Quran.

Ali menegaskan, mencetak Al Quran bukan sekadar mengejar rupiah belaka. Yang terpenting adalah menyokong misi Ilahi untuk menyebarkan Mushaf Al Quran, katanya.

Perlu Penataan

“Penerbit Al Quran perlu ditata,”demikian diungkapkan oleh Drs. Rubaya Thalib, Sekjen Asosiasi Penerbit Al Quran Indonesia (APQI).

Menurut Thalib, kebutuhan Al Quran di Indonesia sangat besar. Dari total kebutuhan pertahun sebanyak 36 juta eksemplar, baru terpenuhi sekitar 5 juta eksemplar saja. “ Itupun sebagian merupakan Al Quran impor dan sumbangan cuma-cuma dari Timur Tengah, utamanya dari Kerajaan Saudi Arabia,” jelas Thalib, seperti dinukil Hidayatullah.

Merujuk hasil sensus penduduk Indonesia tahun 2010 yang mencapai hampir 237,5 juta jiwa berarti penduduk Muslim di Indonesia sekitar 202 juta jiwa. Menurut Thalib, kebutuhan atas Al Quran yang sangat besar itu, bukan hanya oleh individu rumah tangga Muslim saja tetapi juga diperlukan secara luas di dunia pendidikan khususnya pendidikan Islam seperti: pesantren, madrasah, perguruan tinggi, perpustakaan sekolah/umum dan dalam rumah-rumah ibadah seperti masjid, surau, langgar dan mushalla yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia.

Belum lagi kebutuhan Al Quran untuk mengisi berbagai kegiatan majelis-majelis taklim, untuk keperluan waqaf dan hadiah dikalangan masyarakat Muslim lainnya.

“Mengingat Al Quran merupakan kitab suci, sekaligus pedoman ummat Islam, maka penataan penerbitan dan pencetakan Al Quran diperlukan suatu pemecahan yang harmonis dan saling mendukung terhadap 2 (dua) aspek penting yang melekat pada usaha penerbitan dan pencetakan Al Quran yaitu aspek keamanan (security) dan aspek komersial,” papar pria yang pernah menjadi Konsulat Jenderal RI di Amerika Serikat dan Jeddah, Arab Saudi.

Monday 25 February 2013

Epistemologi Islam: Integrasi Ilmu dan Iman

DALAM paradigma kaum relativis, iman cenderung disempitkan makanya pada masalah hati saja. Sehingga, agama dikerdilkan pada soal pribadi dan dogma belaka. Ilmu pengetahuan tidak masuk ke dalam kajian agama. Seperti pernyataan Sigmund Freud bahwa, agama adalah takhayul. Sehingga sudah semestinya disingkirkan untuk diganti dengan pemikiran dan pengetahuan. Ia mengatakan, “Karena peradaban manusia sudah mencapai usia dewasa, maka sudah saatnya untuk menyingkirkan agama dan kemudian menggantinya dengan bentuk pemikiran yang dewasa” (Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif, hal. 109).

Inilah epistemologi sekular. ‘Mengharamkan’ kaitan antara agama dengan ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu pemikiran orang sekuler tidak menjadikan agama sebagai sumber kebenaran mutlak. Sebabnya, agama diyakini dogma yang berisi keyakinan yang tidak bisa dijangkau oleh pancaindera. Akhirat, pahala, siksa dan lain sebagainya hanyalah dogma belaka. Pada tingkatan yang ekstrim, orang sekuler sampai berkeyakinan bahwa perkara-perkara ghaib tersebut adalah ilusi, yang tidak mungkin menjadi sumber ilmu pengetahuan.

Sementara, dalam sistem pengetahuan Islam, antara perilaku, jiwa, ilmu dan iman saling terkait. Ilmu itu tidak bebas nilai, tapi sarat nilai. Kekeliruan yang terjadi dalam sekelompok umat Islam disebabkan oleh kerusakan ilmu, dimana itu bersumber dari kekeliruan iman. Kegentingan umat Islam oleh al-Attas dikatakan karena problem ilmu. Masalah-masalah yang terjadi dalam diri kaum muslimin dan kerusakan jiwa sesungguhnya diakibatkan oleh kekurangan ilmu dan kekurangan iman (Syed M. Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin, hal. 5).

Karena itu, orang yang bertambah ‘informasi pengetahuannya’, namun tidak bertambah imannya, maka orang tersebut dijauhkan dari petunjuk Allah swt. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah petunjuknya, maka tidak akan bertambah kecuali dia akan makin jauh dari Allah swt.” (HR. al-Dailami). Beriman mensyaratkan untuk berilmu. Seperti firman Allah swt, “Hanya orang-orang berilmu (ulama’) yang betul-betul takut kepada Allah.” (QS. Al-Fathir: 28).

Karena itu, yang dinamakan al-din (agama Islam) adalah gabungan antara iman, Islam, ilmu pengetahuan, dan amal sholeh merupakan bagian yang tak terpisahkan (Wan Mohd Nor Wan Daud, Epistemologi Islam dan Tantangan Pemikiran Umat, hal.55).

Iman, menurut al-Attas lebih dari ilmu. Yang namanya beriman adalah usaha melaksanakan amanah yang dibebankan kepada manusia sebagai perintah Tuhan kepadanya, bukan sekedar ikrar dengan lisan. Tapi harus mengakui kebenaran (tasdiq) dengan hati dan melaksanakan amalan. Pengakuan kebenaran ini dikenal seorang Muslim melalu ilmu. Kejahilan tidak mampu mengetahui kebenaran (Syed M. Naquib al-Attas, Ma’na Kebahagiaan dan Pengamalannya dalam Islam, hal. 6).

Karena itu, ilmu dalam Islam berdimensi duniawi dan ukhrawi. Ilmu itu merangkum keyakinan dan kepercayaan yang benar (iman) (al-Attas, Islam dan Sekularisme, hal.105). Tujuan mencari ilmu adalah untuk menanamkan kebaikan dan keadilan kepada manusia, sebagai manusia dan diri pribadi dalam rangka mencari ridla Allah dan meraih kebahagiaan (sa’adah) di akhirat.

Orang disebut berilmu -- dalam pandangan Islam -- jika ia memandang segala segi kehidupan baik fisik maupun metafisik dengan ilmu. Sekalipun seseorang itu pandai, menyimpan informasi banyak dalam pikiran, akan tetapi jika ia tidak mengenal hakikat diri, tidak mengamalkan ilmunya, tidak beriman dan tidak berakhlak, maka tidak bisa disebut orang berilmu.

Dari sisi ontologis, Tuhan merupakan aspek sentral dalam ilmu pengetahuan Islami. Pengetahuan Tuhan yang absolut ini dibutuhkan ketika indera dan akal manusia tidak mampu menerjemahkan realitas non-fisik. Maka di sini diperlukan pemahaman tentang konsep Tuhan yang benar.

Pemahaman yang keliru tentang konsep Tuhan beserta aspek-aspek teologis lainnya berimplikasi terhadap epistemologi. Jika Tuhan yang diyakini itu hanya aspek transenden saja yang memiliki sifat abolut, sedangkan Tuhan itu tidak immanen, maka tidak akan menghasilkan apa-apa terhadap ilmu pengetahuan Islam. Sebab, Tuhan diyakini tidak lagi berhubungan dengan realitas empirik di dunia dan pengetahuan social dan empiris.

Secara aksiologis, pemahaman tentang konsep Tuhan, wahyu, agama dan lainnya dijadikan sebagai sumber nilai. Sistem nilai tidak diambil dari pengalaman manusia atau fenomena sosial yang selalu berubah-ubah. Nilai dalam Islam tidak ‘on going proses’. Ia bersifat tetap dan harus termanifestasikan dalam setiap kerja-kerja ilmiah. Sehingga, Ilmu pengetahuan Islam yang dihasilkan harus memiliki visi nilai. Nilai ini membimbing ilmuan dari kedzaliman. Ia mengontrol kerja-kerja ilmiahnya dari tujuan dasar dari berpengetahuan adalah untuk kebahagian dunia akhirat.

Karena teologi mengimplikasikan epistemologi, maka teologi beserta aspek-aspeknya mempengaruhi proses berpikir seorang ilmuan. Teologi yang benar akan menghasilan sistem epistemologi yang tepat pula sesuai dengan nilai Islam.

Wahyu Allah swt yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw adalah surat al-‘Alaq: 1-5 merupakan gambaran jelas bahwa Allah swt sebagai al-Khaliq mengajari manusia tentang apa yang tidak diketahui mereka. Pelajaran pentingnya adalah ketika kita membaca (berilmu pengetahuan) hendaklah didasarkan kepada Allah (iqra’ bismirabbikalladzi khalaq).

Imam al-Ghazali membagi orang menuntut ilmu menjadi tiga.

Pertama, belajar semata-mata karena ingin mendapat bekal menuju kebahagiaan akhirat.

Kedua, belajar dengan niat mencari kemuliaan dan popularitas duniawi.

Ketiga, menuntut ilmu sebagai sarana memperbanyak harta (Abu Hamid al-Ghazali, Bidayatul Hidayah, hlm.6).

Golongan pertama merupakan golongan selamat sedangkan tipe kedua dan ketiga termasuk berpotensi menjadi pemimpin dan ilmuan yang dzalim karena dilaknat oleh Allah swt.

Golongan pertama termasuk penuntut ilmu yang memahami konsep ilmu dengan benar, niatannya berilmu untuk menghilangkan kejahilan agar mendapat ridla Allah swt. Keilmuannya diamalkan demi kemaslahatan umat, kebahagiaan akhirat bukan untuk kenikmatan duniawi belaka.

Berkaitan dengan itu, disiplin ilmu pengetahuan dalam Islam, semuanya harus menjadikan akidah sebagai asas dasarnya. Sains Islam adalah sains yang secara epistemologis menjadikan akidah sebagai pondasi dalam pembelajarannya. Belajar ilmu kedokteran, ekonomi, biologi, sosiologi dan lain-lain harus menjadikan syariat sebagai basis, dan mengorientasikan tujuan dasarnya untuk mencapai ridha Allah swt, bukan sekedar demi tuntutan materialistik.*

Saturday 23 February 2013

Australia Tak Ingin Indonesia Swasembada Sapi


Keluhan yang disampaikan oleh sejumlah pengusaha dan pedagang daging sapi sudah melukai hati para peternak lokal. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ikut-ikutan mengamini bahwa harga daging sudah tidak wajar.

Menurut Sekjen DPP Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) Riyono, keluhan ini sungguh memprihatinkan.

Kenaikan harga daging sapi dinilai justru membawa keuntungan bagi peternak lokal. “Kenapa pengusaha teriak-teriak harga daging mahal? Sedangkan di peternak harga sapi anjlok gara-gara impor,” kata Riyono dalam rilis yang diterima Republika, Selasa (19/2)

Harusnya SBY menyerukan agar pengusaha berperilaku adil. Dengan harga daging sapi Rp 120 ribu per kg, jelas Rioyono, jika dibuat steak sapi per porsi Rp 50 ribu di hotel dan kafe-kafe mereka masih untung.

Perhitungannya, 1 kg daging jadi 10 porsi dikalikan Rp 50 ribu didapat angka Rp 500 ribu. Katakan biaya pajak dan produksi paling mahal Rp 100. “Jadi masih ada margin Rp 280 ribu. Masih sangat untung,” kata Riyono.

Alasan bahwa saat ini pasokan sapi lokal ke Jakarta berkurang dan tidak ada, menurutnya, hanyalah omong kosong.

Faktanya hasil kajian dan penelitian Dirjen Peternakan menyebutkan, banyak rumah potong hewan (RPH) di Jakarta yang dilarang memotong sapi lokal jika masih ingin mendapatkan kuota memotong sapi impor. “Ini sungguh keterlaluan,” katanya.

Menurut Riyono, baru tiga tahun terakhir peternak merasakan kenaikan harga sapi yang bagus. Ini terjadi karena pembatasan keran impor daging dan sapi dari Australia yang sampai tahun ini hanya 13 persen dari kebutuhan nasional.

Oleh karena itu, tuturnya, SBY seharusnya berani menjadi pelopor untuk membela peternak lokal, bukan peternak dan negara asing semacam Australia yang tidak ingin negeri ini swasembada.

Daging dan sapi impor Australia menguasai 40 persen pasar domestik atau setara dengan Rp 40 triliun atau hampir 600 ribu ekor sapi. “Jelas ini pasar yang potensial dan mereka tidak akan membiarkan Indonesia.

Wednesday 20 February 2013

Barat Sebut Kata 'Fanatik' Ketika Gagal Menjajah Iman Umat Islam

FANATIK! Sudah kenyang telinga kita mendengar kata itu. Itu bukan lagi hal yang menggelitik. Namun lebih mirip sidang penghakiman sebuah 'kejahatan' bernama ghirah. Fanatik, lebih tepat ‘ketok vonis’ untuk menyudutkan orang-orang yang taat pada Islam.

Jika Nabi dihina terus kita marah, dicap fanatik. Jika ada pemurtadan di tengah saudara-saudara seiman, lantas kita bersura kera, kita fanatik. Bersuara, bersikap berarti fanatik.

Buya Hamka pernah berkata, “Jangan disebut-sebut juga hukum Islam itu di sini, negeri ini bukan negeri Islam. Negeri ini negeri Pancasila.”(Dari Hal Fanatik dalam Dari Hati ke Hati, Buya Hamka, Pustaka Panjimas. 2000 Jakarta). Maksudnya, kalau sebut-sebut hukum Islam, itu juga fanatik. Semburan tuduhan fanatik itu memang barang baru. Seperti lagu usang yang terus diputar berulang-ulang.

Kapan sesungguhnya sebutan itu muncul?

Tuduhan fanatik, kata KH Wahid Hasyim, justru ketika orang Barat merasa tak mampu menembus keteguhan pendirian kaum Muslim dengan hujjah.

“...timbulnya perkataan ta’asshub (fanatisme) di dalam kalangan Islam ialah setelah orang Barat,merasa tidak dapat menembus keteguhan pendirian umat Islam dengan cara hujjah, lalu menuduh ummat Islam adalah fanatic.“ (Fanatisme dan Fanatisme dalam Mengapa Saya Memilih NU?,KH. A. Wahid Hasyim. 1985. Inti Sarana Aksara. Jakarta)

Buya Hamka pun sejalan dengan beliau. Ia mengatakan, “Orang Barat menimbulkan kata fanatik, karena setelah mereka menancapkan penjajahan di negeri-negeri Islam, orang Islam itu melawan. Bergelimpangan bangkai mereka terhantar ditengah medan pertempuran, namun mereka masih tetap melawan. Dan meskipun telah beratus-ratus yang syahid , namun yang tinggal masih meneruskan perlawanan.”

Tuduhan seperti ini –yang semula hanya dilakukan oleh Barat yang dikenakan pada orang Islam-- hanyalah akal-akalan, tipuan semata.

“Bukan mereka sendirikah yang fanatik terhadap kebiasaan, kepercayaan, untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka sungguh luar biasa sekali? Jadi tuduhan orang Barat melemparkan kata-kata fanatik kepada umat Islam semata-mata seperti siasat perang, mengadakan tembakan-tembakan pancingan, dan dengan demikian dapat diketahui mana-mana yang lemah,” tukas KH Wahid Hasyim.

Sayang, justru saat ini sebagian orang Islam suka memakan pancingan ini. Suka mewarisi pusaka tuduhan bernama fanatik ini. Mereka orang-orang yang tak lain menggadaikan imannya. Menukar akidahnya dengan gelar modern, progressif, toleran, atau semacamnya. Menggeser kiblatnya pada Barat.

“…golongan modern ini ma’mum pada orang-orang Barat. dengan pendirian yang teguh pula. Sebenarnya mereka ini juga fanatik, akan tetapi tidak pada Islam, hanya kepada orang-orang Barat. Akan tetapi mereka juga tidak suka dinamakan fanatik, dan menamakan dirinya,’ modern’, ‘progressif,” begitulah sindir KH Wahid Hasyim. Senada dengan Wahid Hasyim, menurut Buya Hamka, mereka adalah yang tak memiliki ghirah dalam beragama.

“…orang yang ghirah agamnya sudah berkurang, yang tidak usah menyebut-nyebut lagi perbedaan halal dengan haram; lalu dia sudah sanggup berdiam diri saja melihat yang munkar menurut ajaran agamanya, dan dia pandai menyesuaiakan diri, barulah orang ini dapat pujian karena pandai menyesuaikan diri.” Padahal, menurut KH Wahid Hasyim, orang yang memegang teguh pendirian dengan pengertian, bukanlahta’assub (fanatik).

“Tetapi yang demikian itu adalah kesatriaan dan memegang dengan perasaan tanggung jawab yang penuh. “

Lantas apakah kita sekarang masih mau menjadi kerbau yang dicocok hidungnya karena takut dituduh fanatik? Masih bangga menjadi pewaris pusaka penjajah dengan turut melemparkan kata fanatik? Masih gamang terombang-ambing di lautan tuduhan fanatik?

“Bagaimana sekarang, wahai mereka yang disudut jiwanya masih ada sisa rasa tanggung jawab agama? Takutkah kalian dituduh fanatik? Kalau takut lebih baik berhenti jadi orang Islam. Lalu terima saja segala yang ada dalam kenyataan, dan jangan mulut mengatakan halal-haram,” tegas Buya Hamka.

Buya Hamka bahkan menyitir perintah Allah kepada Nabi Muhammad, “Katakanlah : Jikalau kamu memang mencintai Allah, hendaklah ikut aku,niscaya kamu akan dicintai Allah pula.” Selama kita mengikuti jalan Allah, pasti kita akan bersimpangan dengan mereka yang menentangnya. Mutlak akan bersinggungan dengan vonis fanatik.“

Sebab alat penuduh yang bernama fanatik itu masih tinggal di negeri ini, "untuk mengemplang kepala kita, (dengan) pusaka penjajah,” tukas Buya Hamka. Buya Hamka kemudian menegaskan, “Tuanku Imam Bonjol melawan Belanda adalah karena fanatik. Tengku Cik Ditiro melawan Belanda adalah karena fanatik, Pangeran Diponegoro melawan Belanda adalah karena fanatik. Semuanya adalah karena fanatik. Yang habis mati bertimbun mayat, menegakkan kemerdekaan adalah orang-orang fanatik. Kalau tak ada lagi orang-orang fanatik di negeri ini, maka segala sampah, segala kurap akan masuk kemari, tidak dapat ditahan-tahan. Sayangnya orang-orang yang mempertahankan yang munkar itulah sekarang yang dengan fanatik menantang tiap orang yang ingin menegakkan kebenaran dan keadilan. “

Maka kita amini doa beliau, “Ya Allah! Kalau lantaran karena cinta kepada-Mu dan Rasul-Mu, dan bercita-cita agar hukum-Mu, jalan dalam dunia ini; Kalau lantaran berani menentang segala yang bathil, kalau itu yang dikatakan fanatik, perdalamlah Ya Allah rasa fanatik itu dalam jiwa kami. Dan matikanlah kami dalam membuktikan cinta kepada Engkau!”

TV Sekuler Kembali Buat Tayangan Kontroversi

Setelah pernah dinilai meresahkan aktivis Kerohanian Islam (Rohis) karena tayangan "Metro Hari Ini" pada 15 September 2012 pukul 18.00 WIB dalam dialog“Awas, Generasi Baru Teroris!”, kini Metro dinilai meresahkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dalam tayangan INSIDE edisi“Berdarah Yahudi, Bernafas Indonesia” edisi Kamis, 14 Februari 2013.

Tayangan berdurasi 5 menit 36 detik yang ditulis Monique Rijkers menggambarkan komunitas Yahudi di Indonesia.

Hanya saja, tayangan ini dirasa mengganggu setelah adanya visualisasi beberapa organisasi massa Islam yang ditampilkan dalam program ini. Misalnya, di 20 detik pertama, dengan sangat jelas digambarkan aksi massa KAMMI sedang berdemonstrasi yang diakhiri pembakaran replika bendera Yahudi, Bintang Davis. Pada 20 detik selanjutnya, menyusul aksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang juga melakukan aksi anti Yahudi.

Memang tak ada pernyataan KAMMI, PKS, HTI atau ormas-ormas Islam lainnya. Hanya saja, saat visualiasi, ikut diselipkan istilah massa intoleran dan anti Semit (anti Yahudi). “Di Indonesia masih banyak sikap anti semit,” demikian ulasan Metro.

Dalam ulasan itu Metro juga mengakui memang Indonesia tak punya hubungan diplomatik dengan Israel dan tak mengakui negeri Yahudi tersebut, namun menurut televisi ini, usaha mendekatkan dengan Yahudi itu sudah lama dimulai di jaman Gus Dur.

"Tetapi di era Gus Dur (Abdurrahman Wahid, red) kedekatan dengan Israel terjalin. Bahkan Gus Dur bersahabat dekat dengan keturunan Yahudi. Sementara dalam hubungan ekonomi, meski tidak resmi, hubungan dagang kerap berlangsung," ujar Metro. Media ini juga menyebut kedatangan George Soros yang pernah menemui Presiden Susilo B Yudhoyono.

George Soros, adalah miliarder Yahudi berkebangsaan AS yang pernah mengantar Indonesia bersama sejumlah negara lainnya ke lembah kelam bernama krisis moneter tahun 1997/1998.

Menurut Metro, komunitas Yahudi di Indonesia kini bahkan makin meningkat, khususnya di kalangan penganut Kristen. Ini ditandangi program-program perjalanan ruhani ke Yerussalem. Selain program-program tersebut, salah satu bukti banyaknya komunitas Yahudi di Indonesia, masih menurut Metro adanya menorah Yahudi terbesar di dunia yang ada di Manado.

"Kenapa kita harus menyangkal jati diri kita hanya karena Indonesia tak punya hubungan diplomatik. Saya kira Indonesia kan negara demokratis, " ujar Fred Resley, seorang keturunan Yahudi saat diwancarai Metro.

Dalam ulasannya Metro juga mengutip dokumentasi hasil wawancara Benyamin Ketang, penganut Yahudi asal Jember Jawa Timur yang juga pendiri Direktur Eksekutif Indonesia - Israel Public Affairs Comitte (IIPAC). Dalam tayangan tersebut, Ketang mengatakan pentingnya Indonesia berhubungan dengan Israel.

"Indonensia akan lebih perkasa jika membangun hubungan diplomatik dengan Israel, " ujar Ketang dalam tayangan 'Kontroversi HUT Israel' dikutip Metro.

Liputan ditutup dengan sholawat Kiai Kanjeng yang dimotori Cak Nun (Emha Ainun Nadjib, red) dalam bahasa Ibrani berjudul “Shalom Aleichem”.

"Sesungguhnya, sikap anti Israel menghilang seiring dengan semakin terbukanya warga Indonesia dengan negara Yahudi itu, “ tutup Metro.

Inilah yang rupanya diberatkan KAMMI. Menurut KAMMI, dalam tayangan tersebut, jelas-jelas lebih dominan membela Yahudi tanpa ada pembanding sama sekali.

“Bisa dikatakan, 70:30 pro Yahudi tanpa pengimbang. Bahkan di ending cerita, justru Benyamin Ketang diposisikan penting dengan menutup kalimat pentingnya Indonesia berhubungan dengan Israel,” ujar Inggra Saputra, Humas KAMMI Pusat.*

Beda Jin, Setan, & Iblis

ALAM jin adalah alam yang berdiri sendiri, ia terpisah dan berbeda dengan alam manusia namun keduanya hidup dalam dunia yang sama, kadang tinggal dalam rumah yang dibangun atau di diami manusia. Keduanya pun mempunyai kesamaan yakni berkewajiban untuk beribadah kepada Allah: “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanyalah untuk beribadah kepadaKu” (QS. Adz-Dzariyat 51:56).

Menurut Ibnu Aqil sebagaimana dikutip asy-Syibli dalam bukunyaAkam al-Marjan fi Ahkam al- Jann, mengatakan bahwa makhluk ini disebut dengan jin karena secara bahasa jin artinya yang tersembunyi, terhalang, tertutup. Disebut jin, karena makhluk ini terhalang (tidak dapat dilihat) dengan kasat mata manusia. Oleh karena itu, bayi yang masih berada di dalam perut ibu, disebut janin (kata janin dan jin memiliki kata dasar yang sama yakni jann) karena ia tidak dapat dilihat dengan mata. Demikian juga orang gila dalam bahasa Arab disebut dengan majnun (dari kata jann juga) karena akal sehatnya sudah tertutup dan terhalang.

Sedangkan kata syaithan, dalam bahasa Arab berasal dari katasyathona yang berarti ba’uda (jauh, yakni yang selalu menjauhkan manusia dari kebenaran). Kemudian kata syaithan ini digunakan untuk setiap mahluk berakal yang durhaka dan membangkang (kullu ‘aat wa mutamarrid). Pada awalnya istilah setan (syaitan) ini diberikan kepada salah satu golongan jin (Iblis) yang beribadah kepada Allah dan tinggal bersama dengan malaikat di dalam surga. Akan tetapi ketika mereka menolak untuk sujud kepada Adam karena membangkang kepada perintah Allah, maka diusirnya dari surga dan sejak itu ia menjadi makhluk yang terkutuk sampai hari kiamat kelak.

Tidak semua jin adalah Setan (syaitan). Karena, jin juga ada yang shaleh, ada yang mukmin. Jadi setan hanyalah ditujukkan untuk jin yang membangkang (kafir, munafik, musyrik dst). Demikian juga tidak semua setan adalah jin. Karena dalam surat an-Nasditegaskan, bahwa setan juga ada dari golongan manusia. Setiap manusia yang membangkang, durhaka dan selalu menjauhkan manusia lainnya dari petunjuk Allah, mereka dinamakan syaithan.

Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang shaleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.(al-Jin 72:11)

Dilihat dari struktur kalimat, atau dalam tinjauan kaidah sharfiyah,setan (syaitan) merupakan bentuk kalimat isim ‘alam (nama sesuatu) dia adalah laqab (gelar) yang diberikan Allah kepada setiap mahluk yang berakal (jin dan manusia) yang membangkang terhadap perintah Allah. Oleh karenanya penyebutan syaitan (setan) dapat dikenakan kepada jin dan manusia sebagaimana tersurat dalam ayat-ayat diatas.

Merujuk kepada kisah Adam dan Iblis dari ayat 12-20 surat al-‘Araf, gelar setan diberikan Allah untuk pertama kalinya kepada Iblis tatkala dia menyatakan alasan penolakan untuk sujud kepada Adam. Dan pada surat Thaha 20:117 , Allah memberi peringatan kepada Adam bahwa mahluk yang terkutuk itu akan menjadi musuh Adam dan Istrinya. Dan pada surat Yasin 36:60 , Allah menegaskan kembali gelar setan diberikan kepada musuh Adam tersebut dan dijadikan peringatan bagi anak cucu Adam. Berikut runtut ayat-ayat dimaksud yang artinya;

1. Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. Allah berfirman: “Turunlah kamu dari surga itu; karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka ke luarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina”. Iblis menjawab: “Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan”. Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh.” Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). Allah berfirman: “Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barang siapa di antara mereka mengikuti kamu, benar-benar Aku akan mengisi neraka Jahanam dengan kamu semuanya”. (Dan Allah berfirman): “Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan istrimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buah-buahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang dzalim”. Maka syaitan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepada keduanya apa yang tertutup dari mereka yaitu auratnya dan syaitan berkata: “Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga)”. (Al-‘Araf 7:12-20)

2. Maka kami berkata: “Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.(Thaha 20:117)

3. Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu”, (Yasin 36: 60)

Adapun Iblis terambil dari kata al-balas yang berarti orang yang tidak mempunyai kebaikan sedikitpun (man la khaira ‘indah), atau terambil dari kata ablasa yang berarti putus asa dan bingung (yaisa wa tahayyara). Disebut iblis (putus asa) karena mereka merasa putus asa dengan rahmat Allah, juga disebut iblis lantaran mereka tidak pernah berbuat kebaikan sedikitpun. Menurut satu riwayat, dahulunya iblis ini bernama Naail, akan tetapi sejak ia membangkang dan menolak perintah Allah untuk sujud kepada Nabi Adam, ia dirubah nama menjadi syaithan.

9 Ciri Dukun Berbaju Ulama


Dukun akan mengunakan semua cara untuk memperdaya paseinnya, terutama yang sangat awam pengetahuan Syariat Islam, bahkan kalau perlu mengunakan gelar kehormatan ulama, seperti Kiyai, Ustadz, Habib, dan sebagainya. Untuk itu kenalilah dukun berbaju mulia ini, diantaranya:

1. Tidak mengunakan nama aslinya, tetapi nama yang dikesankan ada “kedigjayaan”

Inilah ciri khas para dukun dan paranormal. Mereka sangat suka menggelari diri mereka dengan sebutan-sebutan aneh dan menyiratkan kesaktian. Para dukun juga menggelari mereka sendiri dengan julukan ‘Ki’ contoh : Ki Gendeng Pamungkas, Ki Joko Bodo, dan lain-lain. Yang bergelar ‘ustadz’ pun tidak sedikit, padahal nama aslinya bisa jadi adalah ‘Muhammad Susilo Wibowo’

2. Hobbi sekali memamerkan kesaktiaannya

Salah satu contoh yang sering muncul di TVRI dan JakTV adalah ‘Ustadz Fulan’ yang suka memamerkan kesaktiannya, yakni tidak mempan disayat dengan pedang atau alat tajam lainnya. Juga para dukun dan paranormal lainnya suka mendemonstrasikan kesaktian, seperti atraksi kekebalan, debus, tenaga dalam, dan lain-lain.

3. Ilmu Syariat agamanya tidak mumpuni

Dukun yang berkedok ustadz selalu membawa ciri khas dukun, yaitu sama sekali kurang dalam dalil baik dari Al-Qur’an dan sunnah. Dakwahnya mengajak pada kesyirikan dan kesesatan.

4. Memanfaat para tokoh untuk melegalisir prakteknya, yang sebenarnya tokoh tersebut belum tahu persis praktek tersembunyinya karena sang dukun menampilkan kesan seakan seusai “syariat”

‘Ustadz Fulan’ yang sering muncul di TVRI dan JakTV, misalnya, sering mengundang ustadz-ustadz selebritis seperti Ustadz Jefri Al Bukhori, Ustadz Solmed, dan lainnya untuk duduk bersama pada acara mengiklankan pengobatan padepokannya.

5. Prakteknya ikhtilaath menjamah bukan mahramnya

Peruqyah syar’i sangat anti menyentuh secara langsung pasiennya, jikapun harus memakai sarung tangan itupun untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan. Sedangkan ‘Ustadz Fulan yang sering muncul di TV, sangat suka menyentuh non mahram hingga bersentuhan kulit. Dan di padepokannya terlihat berikhtilat bercampur baur antara laki-laki dan perempuan tidak dipisah sama sekali.

6. Berani bayar media untuk promosinya

Sebagian orang menyangka stasiun televisi yang menanyangkan acara ustad-ustadz dukun tersebut yang mengundang sang ustadz. Jangan dikira kemunculan itu gratis dan dibayar! Justru dukun berbaju ustadz inilah yang membayar TV agar bisa tampil promosi pengobatan perdukunannya.

7. Dengan bahasa mahar, infak, namun jelas tarifnya “wah”, disertai ancaman kalau tidak segera diobati akan mati, kalau tidak segera ditransfer doanya tidak sampai, penyakit tidak sembuh, dan sebagainya

Ciri khas dukun ialah sangat suka menakut-nakuti pasiennya bahwa sakitnya berat, maka pengobatannya lama dan harus bayar mahar yang tinggi sampai puluhan juta mengalahkan pengobatan kedokteran. Ustadz Fulan yang sering muncul di TV suka mengancam pasiennya jika tidak melunasi hutangnya maka penyakitnya tidak sembuh dan tidak akan didoakan oleh dia.

8. Disertai aksi tipudaya menakuti seperti bekam darahnya ada cacingnya, rumah ada hantunya, kena santet, dan sebagainya.

Dukun sangat suka menipu, setiap ada pasien yang datang selalu dikatakan kena santet dan pasti akan keluar benda-benda aneh dari dalam telur atau ketika dibekam yang semuanya itu cuma trik sulap belaka.

9. Memberi azimat atau amalan yang tidak berdasar

Ciri khas dukun yaitu memberi azimat, termasuk dalam hal ini Ustadz Fulan yang sering muncul di TV memberi azimat pada pasiennya, atau menggunakan media azimat ketika mengobati.

Tuesday 19 February 2013

HAMKA, Ulama yang Teguh Memegang Tauhid Meski Ditekan Pemerintah


Bila Mohammad Natsir lebih terkenal sebagai seorang politisi Muslim yang hidupnya sederhana, HAMKA terkenal sebagai ulama besar Nusantara yang kepribadiannya kuat dan hidupnya bersahaja. Ia pun tidak suka menumpuk kekayaan harta benda, meski kesempatan itu terbentang luas baginya.

Karena keulamaannya dan pribadinya yang bersahaja, HAMKA tiap hari tidak kurang menerima tamu 10 sampai 15 orang. Mereka datang kepadanya untuk curhat dan menanyakan berbagai hal. Mereka menanyakan tentang problematika keluarga, anak, seputar ajaran Islam dan lain-lainnya. Di meja ruang khusus berkonsultasi itu, menurut anaknya Afif HAMKA, tersedia tissue yang sering dipakai oleh para tamu untuk menyeka air mata karena tidak tahan dengan curhatnya. Selain itu tak sedikit juga yang datang untuk menjadi mualaf, masuk Islam.

Yang banyak membuat orang terperangah, meski tiap hari HAMKA membuka konsultasi ‘psikologi agama’ ini, ia tidak pernah meminta imbalan uang jasa sama sekali. Bahkan ia pun tidak meletakkan kotak amal di ruangan itu dengan maksud agar para tamu dapat sukarela merogoh kantongnya memasukkan uangnya di sana. Ia melakukan itu karena panggilan jiwa dan keikhlasannya yang tinggi. Bahkan tak jarang ia justru memberi ongkos kepada orang yang datang karena sangat butuh uang untuk ongkos perjalanan atau balik kampung.

Begitulah HAMKA ulama besar ini dalam kehidupannya sehari-hari. Tidak seperti banyak ulama sekarang, bagi HAMKA uang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan saja. Tidak terbesit sama sekali dalam hatinya untuk menumpuk uang di rumahnya, apalagi dari jalan yang haram (suap misalnya).

Wartawan ya Sastrawan dan Ulama


Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau HAMKA lahir di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981. Ayahnya Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, merupakan pelopor Gerakan Islam di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

HAMKA dididik agama dengan bagus oleh ayahnya sejak kecil. Ketika usia 10 tahun, ayahnya mendirikan Sekolah Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Sejak muda, dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu agama lebih mendalam. Ia menjalin hubungan dan berguru dengan HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin.

Setelah setahun lamanya berada di Jawa, pada bulan Juli 1925 HAMKA kembali ke Padang Panjang. Di Padang Panjang, ia menulis majalah pertamanya berjudul Chatibul Ummah, yang berisikan kumpulan pidato yang didengarkannya di Surau Jembatan Besi, dan Majalah Tabligh Muhammadiyah. Ia juga sempat beberapa kali ceramah di sana, tapi pidatonya itu dikritik tajam oleh ayahnya, "Pidato-pidato saja adalah percuma, isi dahulu dengan pengetahuan, barulah ada arti dan manfaatnya pidato-pidatomu itu".

Pada bulan Februari 1927, ia mengambil keputusan pergi ke Makkah untuk memperdalam ilmu pengetahuan kegamaannya. Ia pergi tanpa pamit kepada ayahnya dan berangkat dengan biaya sendiri. Selama di Makkah, ia merangkap menjadi koresponden Harian Pelita Andalas sekaligus bekerja di sebuah perusahaan percetakan. Di tempat ia bekerja itu, ia rajin membaca kitab-kitab klasik, buku-buku, dan buletin Islam dalam bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya.

Setelah menunaikan haji, dan beberapa lama tinggal di Tanah Suci, ia berjumpa dengan Agus Salim dan sempat menyampaikan hasratnya untuk menetap di Makkah, tetapi Agus Salim justru menasihatinya untuk segera pulang. "Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan lebih baik mengembangkan diri di tanah airmu sendiri", ujar Agus Salim. Ia pun segera kembali ke tanah air setelah tujuh bulan bermukim di Makkah.

Sekembalinya dari Makkah, HAMKA dinikahkan ayahnya dengan seorang gadis bernama Siti Raham. Di Padang Panjang ini, ia bersama pengurus Muhammadiyah mendirikan sekolah bernama “Kuliiyatul Muballighin”. HAMKA sebagai pemimpin dan salah seorang pengajarnya. Namanya pun mulai dikenal, sehingga ia diminta PP Muhammadiyah untuk menjadi dai di Makassar. Setelah tiga tahun, teman-temannya meminta ia tinggal di Medan. Di kota ini ia memimpin majalah Pedoman Masyarakat.

Majalah Islam ini dibawah pimpinannya maju pesat. Melalui majalah ini, lahirlah karya-karya besarnya sepertiTasauf Modern, Falsafah Hidup, Lembaga Hidup dan Lembaga Budi. Juga karya sastranya yaitu Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan Di Dalam Lembah Kehidupan.

Sekitar tahun 1959, di Jakarta HAMKA bersama kawan-kawannya Masyumi, menerbitkan Majalah Panji Masyarakat. Majalah ini mirip dengan majalah Pedoman Masyarakat. Selain memimpin majalah, HAMKA juga aktif mengasuh Masjid al Azhar, Kebayoran Baru, dengan memberikan ceramah tafsir Al Qur’an bakda subuh dan mengimami shalat. Nama Al Azhar diberikan Syekh Mahmud Syaltut ketika berkunjung ke masjid itu. Karena HAMKA tahun sebelumnya, 1958 telah mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al Azhar, Kairo.

Melihat ramainya peminat Panji Masyarakat dan Masjid Al Azhar, koran-koran komunis gerah. Harian Rakyat dan Bintang Timur dan Koran-koran nasionalis pendukung Soekarno mengecamnya tiap hari. Menurut Rusydi HAMKA, diberitakan saat itu misalnya : Neo Masyumi muncul di Masjid Al Azhar Kebayoran Baru, Jakarta.

Majalah Panji Masyarakat akhirnya dibredel Soekarno. Karena saat itu memuat tulisan Bung Hatta, Demokrasi Kita, yang mengkritik habis-habisan kebijakan Presiden Soekarno. Pada 27 Agustus 1964, HAMKA ditangkap oleh aparat presiden Soekarno dan dimasukkan dalam penjara. Lebih dari dua tahun ia mendekam di penjara sampai akhirnya Soekarno jatuh dan komunis dibubarkan. Ulama besar ini dituduh mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia untuk membunuh Soekarno dan menerima uang dari Tunku Abdul Rahman, Perdana Menteri Malaysia saat itu.

Tahun 1975, HAMKA diminta Mukti Ali Menteri Agama saat itu untuk menjadi Ketua MUI. HAMKA menerimanya. Tapi jabatan itu hanya bertahan lima tahun. Pada tahun 1978, HAMKA mengritik keras keputusan pemerintah tentang penghapusan libur Ramadhan. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.

Tahun 1980, ia lagi-lagi konflik dengan pemerintah. Kali ini ia tidak tahan dan memilih mengundurkan diri setelah mengeluarkan fatwa haramnya Natal Bersama. Fatwa itu keluar karena saat itu MUI banyak menerima laporan-laporan dari daerah adanya anjuran atau setengah paksaan pada tokoh-tokoh Islam untuk mengadakan perayaan hari-hari besar bersama. Misalnya Idul Fitri dilaksanakan bersama umat Islam dan Nasrani, begitu pula Natal.

HAMKA kemudian mengadakan kajian mendalam dan mengeluarkan fatwa haramnya Natal Bersama. Pemerintah terkejut saat itu. Menteri Agama Alamsyah Ratuprawiranegara, memanggil HAMKA dan pimpinan MUI agar menarik fatwa itu. HAMKA menolak dan kemudian ia mengajukan surat pengunduran diri kepada Alamsyah.

Beberapa bulan kemudian, setelah tidak lagi menjabat MUI, dan menderita berbagai penyakit seperti Diabetes dan penyakit jantung, HAMKA meninggal dunia. Tepatnya pada 24 Juli 1981.

Meski ulama hebat ini telah meninggal, kata-katanya tetap berkesan bila karyanya kita baca. Dalam bukunya, Dari Hati ke Hati, HAMKA berpesan:

“Menurut keyakinan kita, suatu kemajuan, pembangunan, ketinggian dan martabat yang mulia diantara bangsa-bangsa, bagi kita umat Islam, tidaklah dapat dicapai kalau tidak berdasar kepada akidah dan akhlak Islam! Orang Barat bisa saja berjuang mempertahankan tanah airnya, tampil ke medan perang, bertempur melawan musuh sambil minum vodka dan whisky, sambil menyanyi, dan berdansa dan sambil istirahat pergi ke tempat perempuan lacur yang sudah disediakan untuk pelepaskan dahaga mereka.”

Sunday 17 February 2013

Tata Tertib NU dan Muhammadiyah Melarang Orang Liberal Menjadi Pengurus

Hidayatullah.com--Bedah buku “Membongkar Kedok Liberalisme di Indonesia” karya Qosim Nurseha Dzulhadi, di Masjid Nuruzzaman Unair Sabtu kemarin (17/02/2013) rupanya menjadi ajang para mahasiswa mempertanyakan masih adanya oknum liberal yang masuk ormas Islam.

KH. Abdurrahman Navis, Ketua Aswaja Center PWNU Jawa Timur yang ikut menjadi pembicara kedua bahwa dalam aturan organisasi NU, tidak boleh orang liberal menjadi pengurus.

“Qonun Asasi dan AD/ART Nahdhatul Ulama (NU) tidak mengajarkan paham liberalisme. Justru bertujuan mengamalkan syariat Islam,” tegas Kiai Navis saat menjawab pertanyaan salah satu peserta tentang masih bercokolnya oknum liberal di tubuh NU.

KH. Abdurrahman Navis yang juga ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Timur ini menolak jika NU menjadi wadahnya anak-anak liberal.

Ia menjelaskan, pada Muktamar NU di Makassar lalu misalnya, bahkan telah disusun tata tertip organisasi yang mensyaratkan bahwa pengurus NU tidak boleh ada yang liberal.

“Adapun jika masih ada, itu adalah oknum NU. Maka tugas kita adalah membersihkan,” tambahnya.

Kiai Navis menyebut oknum-oknum berpaham liberal itu dinilai gerakan ekstrim kiri yang menerima bantuan dana asing yang tidak sedikit.

Oknum tersebut bahkan dinilai telah masuk pada institusi perguruan tinggi dengan cara menggencarkan gerakan sekularisasi di kampus-kampus Islam yang dinilainya bermula saat IAIN mengubah haluan studinya pada tahun 70-an.

“Dulu berhaluan ke Universitas al-Azhar, tapi kemudian belok ke universitas di Barat,” terangnya.

Bedah buku yang diselenggarakan oleh Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya ini juga menghadirkan penulisnya, Qosim Nurseha Dzulhadi.

Qosim, yang juga almunus Al-Azhar Kairo dan ISID Gontor, sepakat dengan apa yang disampaikan Kiai Navis tentang gerakan liberalisme di Indonesia.

Menurutnya, ormas Islam memang harus bersih dari oknum-oknum liberal berkepentingan sesaat.

“Dalam Tatib di Muhammadiyah juga sama. Melarang orang liberal menjadi pengurus,” ujar Qosim yang pernah menjadi pengurus Muhamadiyah Cabang Kairo Mesir.

Ia juga meminta kaum Muslim Indoesia harus mengkaji pemikiran-pemikiran para pendiri ormas, agar jamaahnya paham bahwa pendiri ormas Islam anti-liberal.

“Kita perlu pemahaman lebih lanjut ke akar rumput tentang pemikiran KH. Hasyim Asyari pendiri NU dan KH. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah. Mereka tidak pernah mengajarkan liberalisme,” terang pria asal Medan itu.

Dalam keterangannya, paham liberalisme di Indonesia yang menjiplak dari kaum Shopist di Barat, itu sudah masuk ke akar rumput. Isunya bahkan terus bergulir dan tak berhenti hingga kini.

“Maka tugas ormas dan ulama kita memberi penjelasan lebih lanjut dengan bahasa yang bisa dipahami masyarakat akar rumput,” pungkasnya.*

Wednesday 13 February 2013

Sebuah Lagu Motivasi...

Hidup memang tak selamanya sesuai dengan apa yang kita inginkan. Kadang ada tangis, tawa, kegagalan, kesuksesan, penghianatan, kesetiaan yang menyertai jalan hidup manusia. Itulah dinamika hidup. Dibalik itu semua, ada hikmah yang bisa kita petik, pelajaran yang bisa membuat kita berpikir lebih bijak dalam menghadapi segala persoalan hidup, membuat kita lebih bersabar, dan pantang menyerah.

Orang Asing (Al Ghurabaa) Dan Nasionalisme


Masyarakat Semenanjung Arab terdiri dari banyak qabilah (suku). Ikatan ke-qabilahan sangat kuat membentuk kepribadian orang Arab. Seorang yang berasal dari qabilah tertentu tidak mudah melepaskan diri dari pengaruh dan dominasi nilai-nilai ke-qabilah-an kelompoknya. Realitas ini pada masa modern tidak terlampau kental dibandingkan pada masa lalu, terutama di masa hidupnya Nabi Muhammad saw lima belas abad yang lalu. Di masa kehidupan Rasulullah saw terdapat banyak sekali jumlah qabilah di jazirah Arab. Diantaranya banu Ghathafan, banu Asad, banu Kalb, banu Syaiban, banu Sulaim, banu Bakr, banu Khuza’ah, banu Tamiim, banu Aslam, banu Mustholiq dll.

Kental dan dominannya nilai-nilai ke-qobilahan di masa Rasulullah saw dahulu kala barangkali dapat disejajarkan dengan nilai-nilai kebangsaan yang dewasa ini tumbuh dan berkembang di setiap nation-state yang ada di dunia. Seiring masuknya dunia ke dalam era globalisasi maka fanatisme ke-qobilahan atau kesukuan menjadi sulit bertahan. Kemudian diganti dengan fanatisme pada skala yang lebih luas yaitu ke-bangsa-an atau Nasionalisme. Sehingga kita menyaksikan bagaimana masing-masing bangsa berusaha memperjuangkan keunggulan bangsanya di tengah pertarungan global antar-bangsa. Sedemikian hebatnya faham dan ideologi Nasionalisme berkembang dewasa ini, sampai-sampai muncul ungkapan Right or Wrong is My Country. Suatu ungkapan yang berarti saya akan bela negara saya, baik ketika benar maupun ketika salah. Pokoknya saya akan bela mati-matian negara dan bangsa saya, bagaimanapun keadaannya. Apakah ajaran seperti ini dibenarkan oleh Islam? Apakah ini merupakan ajaran yang mendatangkan keridhaan Allah SWT?

Kalau kita perhatikan pada zaman Nabi saw hidup dahulu kala, maka kita temukan fanatisme ke-qobilahan atau kesukuan demikian dominan dan menggejala. Pada masa itu setiap orang Arab sangat bangga dan rela mati demi membela qobilahnya. Lalu datanglah Nabi Muhammad saw membawa seruan untuk meninggikan Kalimat Allah. Suatu kalimat yang dijunjung tinggi oleh setiap orang beriman. Kalimat tersebut ialah Laa ilaha illa Allah (tiada ilah selain daripada Allah). Dengan Tauhid diharapkan setiap orang yang menyambutnya akan memuliakan kalimat Allah dan merendahkan serta meninggalkan seruan orang-orang kafir.

”…dan Allah menjadikan seruan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS At-Taubah 40)

Seruan orang-orang kafir adalah membanggakan segala hal yang bersifat duniawi-material dan bersifat primordial. Salah satunya ialah mengutamakan kesamaan qobilah atau suku daripada ikatan hubungan dengan Pencipta Alam Raya, yaitu Allah SWT. Hubungan dengan Allah ialah seperti ikatan iman dan taqwa. Oleh karenanya Allah mencela bentuk persahabatan duniawi-material sebagai ikatan yang hanya memberikan keakraban sebatas hidup di dunia. Sedangkan di akhirat kelak nanti persahabatan seperti itu akan berubah menjadi bentuk permusuhan. Adapun mereka yang menjalin persahabatan di dunia berlandaskan taqwa, maka ikatan kasih-sayangnya akan berlaku di dunia hingga ke akhirat.

”Teman-teman akrab pada hari itu (hari berbangkit) sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS Az-Zukhruf 67)

Demikian pula Allah menyuruh kita menjalin hubungan silaturrahim dengan berharap terpeliharanya hubungan silaturrahim itu melalui cara memanggil Nama Allah di dalam doa-doa kita. Allah sangat senang bila kita menjadikan-Nya sebagai sebab ikatan di antara kita satu sama lain.

“Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An-Nisa 1)

Sesungguhnya Al-Qur’an mengakui eksistensi bangsa dan suku sebagai realitas nyata bentuk berkelompoknya ummat manusia. Namun Allah tidak pernah menyuruh manusia untuk menjadikanfaktor bangsa atau suku sebagai sumber perekat apalagi kebanggaan dan kemuliaan. Allah jelas menekankan bahwa yang sepatutnya menjadi sebab kemuliaan ialah berlombanya seseorang atau suatu kelompok masyarakat dalam hal bertaqwa kepada Allah swt.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS Al-Hujurat 13)

Allah tidak menghendaki kecuali agar orang-orang beriman menjadikan Zat-Nya sebagai pemersatu hubungan satu sama lain. Dan hendaknya janganlah kita berfikir bahwa kekayaan dunia dapat menyebabkan bersatunya hati di antara sesama mu’min. Artinya, marilah kita jadikan semangat beribadah, ber-’amal sholeh, berkomitmen dan loyal kepada ajaran Islam sebagai satu-satunya faktor yang mempersatukan kita, bukan selain itu. Jangan hendaknya menyangka bahwa faktor kekayaan, kekuasaan, kesamaan qobilah, suku atau bangsa dapat menjadi faktor pengikat hubungan hati sesama orang beriman. Itu semua hanyalah bentuk pengikat yang bersifat fatamorgana dan palsu. Kalaupun bisa terlihat menyatu, maka itu hanyalah bentuk persatuan artifisial, sebatas keakraban selagi masih di dunia atau selagi berbagai faktor duniawi tersebut masih ada. Namun begitu faktor-faktor duniawi tersebut sudah meninggalkan mereka, maka segera akan terjadi konflik bahkan saling salah menyalahkan satu sama lain. Wa na’udzubillaahi min dzaalika…!

”… dan (Allah) Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Anfal 63)

”Dan berkata Ibrahim: “Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu mela’nati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun.” (QS Al-Ankabut 25)


Pantaslah bilamana Nabi Muhammad saw menggambarkan bahwa da’wah Islam pada mulanya menjadi seruan yang asing di tengah dominannya tradisi dan fanatisme ke-qabilahan. Masyarakat Arab di masa itu memandang bahwa ajaran Islam merupakan hal yang aneh bahkan berselisih dengan tradisi dan nilai-nilai ke-qabilahan yang berkembang. Namun setelah ajaran Islam tumbuh-subur di jazirah Arab, berkat suksesnya da’wah Nabi saw dan para sahabat radhiyallahu ’anhum, maka nilai-nilai Tauhid menggantikan fanatisme ke-qabilahan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Islam diawali dalam keadaan asing.” (HR Ahmad 3596)
Tauhid menjadi perekat sejati keanekaragaman suku bahkan bangsa yang menerima Islam sebagai jalan hidup. Ukhuwwah Islamiyyah (persaudaraan Islam) dan Al-Mahabbatu fillah (kasih-sayang karena Allah) meliputi Suhaib Ar-Rumi yang orang Romawi, Salman Al-Farisi yang orang Persia, Bilal bin Rabah yang orang Etiopia serta Abu Bakar Ash-Shiddiq yang merupakan orang Arab dari qabilah Quraisy asli. Begitu pula kalimat Allah telah merajut kaum Muhajirin yang berasal dari aneka qabilah di Mekkah dengan Kaum Anshor yang berasal dari aneka qabilah diMadinah. Pendek kata tumbuhlah sebuah peradaban baru yang dilandasi oleh penghambaan kepada Allah sebagai pengikat utama keaneka-ragaman masyarakat di jazirah Arab pada masa itu.

Peradaban berlandaskan ikatan Islam dan Iman tersebut berlanjut selama belasan abad hingga dunia menyaksikan betapa luasnya wilayah dimana berkibar bendera Tauhid sebagai perekat aneka suku dan bangsa. Wilayah Islam membentang dari Maroko di ujung barat benua Afrika hingga kepulauan Maluku di ujung timur Indonesia. Tanah Iman membentang dari Semenanjung Balkan Eropa di ujung utara hingga Madagaskar Afrika di ujung selatan. Pada masa itu bila seorang muslim mengadakan safar dari suatu wilayah ke wilayah lainnya, maka ia tidak perlu memperlihatkan paspor maupun visa karena seluruh wilayah merupakan bagian dari negerinya sendiri, yaitu negeri Islam dan kaum muslimin.

Namun seiring berjalannya waktu dekandensi nilai-nilai keimanan merebak, lalu diperburuk dengan terjadinya penjajahan fihak kolonialis Barat ke negeri-negeri Islam sehingga terjadilah set-back. Kaum muslimin yang berjuang membebaskan negerinya dari penjajah kafir Barat berhasil dipersuasi oleh para penjajahnya masing-masing untuk mengedepankan nilai-nilai kebangsaan daripadaaqidah Tauhid sebagai identitas kemerdekaan kaumnya. Para penjajah kafir Barat hanya mau hengkang dari negeri jajahannya bila telah dipastikan bahwanegeri yang bakal ditinggalkannya telah menjadikan faham Nasionalisme sebagai pengikat utama kaum tersebut, dan bukan Kalimat Tauhid.

Sejarahpun berulang. Fanatisme kelompok yang bersifat primordial muncul kembali menggantikan ikatan Tauhid. Perbedaannya hanyalah bahwa di masa Rasulullah saw fanatisme tersebut berskala qabilah, sedangkan pada era modern ia berskala bangsa. Faham dan ideologi ke-qabilah-an alias sya’biyyah di masa lalu menjadi faham ke-bangsa-an (Nasionalisme) alias qaumiyyah di masa kini. Hal ini seiring dengan dunia memasuki era globalisasi. Skala boleh meluas, namun inti ikatannya tetap sama. Apa yang mengikat dan membentuk perasaan kasih-sayang dan persatuan bukanlah ikatan hubungan dengan Pencipta alam raya, Allah swt, melainkan ikatan duniawi-material atau bersifat primordial. Sehingga dewasa ini barangsiapa mengusung ikatan Islam dan Iman sebagai perekat masyarakat dipandang asing dan aneh. Kalimat Tauhid dibatasi pada urusan pribadi semata. Segala upaya menjadikan Kalimat Tauhid sebagai perekat masyarakat dipandang mengancam persatuan dan kestabilan nasional.

Pantaslah bilamana Nabi Muhammad saw menggambarkan bahwa da’wah Islam pada mulanya menjadi seruan yang asing di tengah dominannya tradisi dan fanatisme ke-qabilahan. Lalu Nabi saw memprediksikan bahwa keterasingan seperti sediakala akan terulang kembali di akhir zaman. Persis sebagaimana yang kita alami dewasa ini. Ketika dimana-mana ideologi Nasionalisme telah diterima bahkan diusung, maka siapa saja yang kemudian menyuarakan agar Islam dijadikan pengikat masyarakat ia akan segera dipandang aneh dan ketinggalan zaman. Namun Rasulullah saw menegaskan bahwa di masa seperti ini justeru berbahagialah orang-orang asing. Siapakah mereka? Simaklah hadits di bawah ini selengkapnya:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Islam diawali dalam keadaan asing, akan kembali dalam keadaan asing seperti awal mulanya, maka berbahagialah bagi orang-orang asing.” Dikatakan; Siapakah orang-orang asing itu? Beliau menjawab: “Yaitu orang-orang yang memisahkan diri dari kabilah-kabilah.” (HR Ahmad 3596)

Berdasarkan sabda Nabi saw di atas dapat kita simpulkan bahwa orang-orang asing yang berbahagia ialah mereka yang tidak terperangkap ke dalam fanatisme ke-qabilahan di masa Rasulullah saw dahulu kala. Padahal nilai-nilai ke-qabilahan sedemikian dominannya di masa itu. Sedangkan dewasa ini berarti yang Nabi saw maksudkan sebagai orang-orang asing yang berbahagia ialah mereka yang tidak terperangkap ke dalam fanatisme ke-bangsaan ketika nilai-nilai ke-bangsa-an sedemikian dominannya di masa kini. Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan Al-Ghurabaa. Pertemukanlah kami dengan sesama Al-Ghurabaa. Peliharalah kami dari fitnah sya’biyyah maupun qaumiyyah di Akhir Zaman ini.













Ini Dia Hadits Nabi SAW Tentang Sebagian Umatnya Yang Tidak Masuk Surga


Alhamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.

Lumrahnya setiap orang ingin masuk surga. Bahkan bisa jadi seorang penjahat saat ditanya, "maukah kamu masuk surga," maka jawabannya juga mau. Namun RasulullahShallallahu 'Alaihi Wasallam mengabarkan ada orang yang tidak mau masuk surga.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,

"Setiap umatku akan masuk surga kecuali orang yang enggan. Mereka (para sahabat) bertanya, 'Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan masuk surga itu?' beliau menjawab, "Siapa yang mentaatiku ia masuk surga dan siapa yang mendurhakaiku suggu ia telah enggan masuk surga." (HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya, dari hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'Anhu)

Maknanya, setiap umat beliau Shallallahu 'Alaihi Wasallam –kita termasuk di dalamnya- yang menaati beliau dan mengikuti jalan hidupnya pasti akan masuk surga. Sedangkan siapa yang tidak mau mengikuti beliau sungguh ia orang yang enggan masuk surga. Hal ini karena surga ada jalannya dan memiliki sebab-sebab yang harus diusahakan. Siapa yang menempuh jalannya dan mengusahakan sebabnya maka ia akan sampai kepada surga. Jalan dan sebab tersebut adalah mengikuti jalan hidup Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan menaati beliau.

Orang yang mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam adalah orang yang mentauhidkan Allah, istiqamah di atas syariat yang beliau bawa, mendirikan shalat, menunaikan zakat, bepuasa Ramadhan, birrul walidain, menjauhi larangan-larangan Allah berupa zina, minum minuman memabukkan, dan selainnya; maka orang seperti ini akan masuk surga. Kenapa, karena ia telah mengikuti Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Adapun orang yang tidak bersedia mengikuti jalan hidup Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan tidak mau mentaatinya serta tidak mau tunduk kepada ajaran yang beliau bawa maka orang ini telah menolak atau enggan masuk surga. Artinya, orang ini telah enggan masuk surga dengan amal-amal buruknya. Inilah makna hadits yang dijelaskan Syaikh Ibnu Bazzrahimahullah.

Orang yang Akan Masuk Surga

Menaati Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan mengikuti jalan hidupnya akan menghantarkan seseorang kepada jannah Allah Ta'ala. Karena siapa yang mentaati beliau pasti ia mentaati Allah Ta'ala. Sebabnya, karena beliau hanya menyampaikan wahyu dari Allah dan bukan dari hawa nafsunya sendiri. Maka Allah firmankan,

"Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah." (QS. Al-Nisa': 80

Kita temukan dalam banyak ayat, orang-orang yang akan masuk ke jannah. Yaitu orang yang menyerahkan diri kepada Allah untuk tunduk patuh kepada-Nya dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Semua ini merupakan inti dari dakwah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

"Dan siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun." (QS. Al-Nisa': 124)

"Dan barang siapa mengerjakan amal yang saleh baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tanpa hisab." (QS. Ghaafir: 40)

"Kecuali orang yang bertobat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikit pun." (QS. Maryam: 60)

"Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-Ahqaaf: 13-14), ayat-ayat serupa masih sangat banyak.

Maka siapa yang mau tunduk ibadah kepada Allah semata, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya maka mereka itulah yang benar-benar menaati RasulullahShallallahu 'Alaihi Wasallam sehingga mereka akan menjadi penghuni surga. Semoga Allah memasukkan kita semua dalam bagian ini. Wallahu Ta'ala A'lam.

Tuesday 12 February 2013

Natsir, Perdana Menteri Santun yang Berpola Hidup Zuhud

MOHAMMAD Natsir lahir di Minangkabau, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Wafat di Jakarta 6 Februari 1993. Pendidikan Islam sejak kecil dengan orang tua dan lingkungannya. Pendidikan formal di HIS Solok, MULO (1923-1927), AMS di Bandung (1930). Ketika di Bandung itulah ia berkenalan dan menjadi murid sekaligus sahabat dari ulama pergerakan Islam, A Hassan.

Natsir pernah menjadi Menteri Penerangan Kabinet Sjahrir I (3 Januari 1946 - 12 Maret 1946), Menteri Penerangan Kabinet (12 Maret 1946 - 2 Oktober 1946), Menteri Penerangan Kabinet (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947), Menteri Penerangan Kabinet Hatta I (29 Januari 1948 - 4 Agustus 1949), dan Perdana Menteri ’Kabinet Natsir’ (6 September 1950 – 26 April 1951).

Natsir memegang sebagai Ketua Pimpinan Pusat Masyumi pada 1949, 1951, 1952, 1954 dan 1956. Tahun 1945, ia tercatat sebagai anggota, sementara ketua Masyumi saat itu adalah Dr. Sukiman Wirjosandjojo. Tahun 1949, Natsir menjadi ketua, sebagai presiden partai adalah Dr. Sukiman (struktur partai berubah). [Lihat buku Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional,Grafiti Pers, 1987, hal. 100-105]

Setelah Masyumi dibubarkan, Buya Natsir dengan kawan-kawannya –tokoh-tokoh Islam Masyumi—mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia pada 1967. Ketika berkiprah di Dewan Dakwah, Natsir melakukan pendidikan dai secara nasional dan sistematis, mendirikan perguruan tinggi-perguruan tinggi Islam di luar IAIN, memelopori pendirian pesantren-pesantren di sekitar kampus-kampus umum, mengirimkan dai-dai sekolah ke Timur-Tengah dan lain-lain.

Ketokohan Natsir bukan hanya pada tulisan-tulisannya, tapi juga sejarah hidup dan perjuangan dakwahnya. Mulai remaja, dewasa sampai dengan tuanya, kehidupan Natsir penuh dengan keteladanan.

Saat remajanya, dia digambarkan bagus oleh penulis Ajip Rosidi, bahwa setelah lulus AMS (Algemene Middelbare School/setingkar SMA), Natsir telah hidup mandiri. Ia tidak mau bekerja di pemerintahan. Padahal bila bekerja di pemerintahan, ia bisa dapat gaji cukup besar saat itu (paling kecil F. 130; harga beras saat itu tidak sampai F. 0,05/lima sen satu kilogram). Natsir juga tidak merasa sreg untuk melanjutkan ke Fakultas Hukum (RH) di Jakarta atau Fakultas Ekonomi di Belanda, meskipun kesempatan beasiswa terbuka lebar.

”Aneh!” kata Natsir hampir tiga puluh tahun kemudian (1958) dalam suratnya kepada istri dan anak-anaknya tatkala mengenangkan lagi saat ia berhasil mencapai cita-cita yang sudah lama diidamkannya sendiri, dan yang juga diharap-harapkan oleh ayahbundanya selama ini, yaitu mendapat beasiswa untuk melanjutkan pelajaran setelah tamat AMS sehingga jalan untuk menyandang gelar ”Mr” terbuka. ”Aneh! Semua itu tidak menerbitkan selera Aba sama sekali. Aba merasa ada satu lapangan yang paling penting daripada itu semua. Aba ingin mencoba menempuh jalan lain. Aba ingin berkhitmad kepada Islam dengan langsung. Belum terang benar Aba pada permulaannya, apa yang harus dikerjakan sesungguhnya. Tapi dengan tidak banyak pikir-pikir Aba putuskanlah bahwa tidak akan melanjutkan pelajaran ke Fakultas manapun juga. Aba hendak memperdalam pengetahuan tentang Islam lebih dahulu. Sudah itu bagaimana nanti.”

Dalam biografinya ”M Natsir Sebuah Biografi”, Ajip Rosidi melanjutkan:

”Lalu, dimulainyalah hidup sebagai seorang bebas yang bermaksud membaktikan dirinya buat Islam. Setiap hari dia pergi ke rumah Tuan Hassandi Gang Belakang Pakgade dengan sepeda untuk mengurus penerbitan majalah Pembela Islam dan pada malam hari ditelaahnya Tafsir al-Qur’an dan kitab-kitab lainnya yang dianggap perlu, termasuk yang ditulis dalam bahasa Inggris atau bahasa Eropa lainnya. Dibacanya majalah-majalah tentang Islam dalam berbagai bahasa, seperti Islamic Reviewdalam bahasa Inggris, Moslemische Revue dalam bahasa Jerman, dan juga majalah al Manar dalam bahasa Arab yang terbit di Kairo. Penguasaannya atas bahasa Arab sebenarnya belum sebaik terhadap bahasa Inggris, Perancis atau Jerman-jangan dikata lagi bahasa Belanda- tetapi Tuan Hassan selalu mendesaknya agar dia membaca kitab-kitab atau majalah-majalah dalam bahasa Arab.

Hal-hal yang menarik hati dari majalah yang dibacanya itu, disarikannya untuk dimuat dalam Pembela Islam, dengan demikian dibukanya semacam jendela sehingga para pembacanya dapat mengetahui juga keadaan dan pendapat sesama Muslim di bagian dunia yang lain. Pikiran-pikiran Amir Syakieb Arsalan misalnya mendapat tempat yang luas dalam halaman-halaman Pembela Islam, karyanya yang terkenal menelaah mengapa umat Islam mundur, dimuat bersambung di dalamnya.”


Pilihan Natsir untuk tidak melanjutkan studi ke universitas-universitas terkemuka sama sekali tidak menyurutkan dan menghentikan langkahnya untuk mengkaji ilmu. Pilihannya untuk menerjuni bidang keilmuan dan pendidikan Islam membuktikan kesungguhannya dalam bidang ini. Inilah sebuah pilihan berani dari seorang pemuda cerdas dan berani seperti Natsir. Dia mencari ilmu bukan untuk ”tujuan-tujuan mencari keuntungan duniawi”, bukan untuk menjadi pegawai negeri, dan sebagainya. Dia mencintai ilmu. Dia menjadikan aktivitas mencari ilmu sebagai bagian dari jihad fi sabilillah. Karena itulah Natsir tidak tergiur dengan berbagai tawaran pekerjaan yang sangat menguntungkan pribadinya.

Natsir kemudian memasuki studi Islam di ‘Persatuan Islam’ di bawah asuhan Ustad A. Hassan. Siang hari, bersama A. Hassan, Natsir bekerja menerbitkan majalah ”Pembela Islam”.

Malamnya, dia mengaji al-Quran dan membaca kitab-kitab berbahasa Arab dan Inggris. Tahun 1931-1932, Natsir mengambil kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs). Maka, tahun 1932-1942 Natsir dipercaya sebagai Direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung.

Di sekolah Pendidikan Islam inilah, para siswa digembleng ilmu-ilmu agama dan sikap perjuangan. Alumninya kemudian mendirikan sekolah-sekolah sejenis di berbagai daerah.

Pilihan Natsir terkadang menghadapkannya pada situasi sulit. Dalam surat-suratnya kepada anak-anaknya saat dalam kondisi gerilya di hutan Sumatera Barat, Natsir menceritakan secara rinci kiprahnya dalam mengelola Pendis ini. Natsir bukan hanya mengkonsep kurikulum, mengajar, mengelola guru-gurunya, tapi Natsir juga harus berjuang mencari dana untuk sekolahnya. Bahkan, untuk menghidupi sekolah ini, menurut Natsir, kadang dia harus menggadaikan gelang istrinya. Para siswanya juga diajar hidup mandiri agar tidak bergantung kepada pemerintah.

Di samping bergelut dengan persoalan-persoalan nyata dalam dunia pendidikan dan keumatan, Natsir juga terus menerus menggali dan mengembangkan keilmuannya. Ia memang seorang yang haus ilmu dan tidak pernah berhenti belajar. Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Syuhada Bahri, menceritakan pengalamannya selama bertahun-tahun bersama Natsir. Hingga menjelang akhir hayatnya, Natsir selalu mengkaji Tafsir al-Quran. Tiga Kitab Tafsir yang biasa dibacanya, yaitu Tafsir Fii Dzilalil Quran karya Sayyid Quthb, Tafsir Ibn Katsir, dan Tafsir al-Furqan karya A. Hassan.

Kecintaan Natsir di bidang keilmuan dan pendidikan dibuktikannya dengan upayanya untuk mendirikan sejumlah universitas Islam. Setidaknya ada sembilan kampus yang Natsir berperan dalam pendiriannya, seperti Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, Universitas Riau, Universitas Ibn Khaldun Bogor, dan sebagainya.

Setelah disisihkan dari dunia politik di masa Orde Baru, Natsir kemudian benar-benar mengoptimalkan peran dakwah dalam masyarakat melalui lembaga dakwah yang didirikannya bersama berbagai tokoh Islam, yakni Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia.

Ketika menjadi menteri penerangan, Natsir juga menunjukkan keteladanannya. Ia tidak aji mumpungmemanfaatkan jabatannya untuk menumpuk kekayaan dan bahkan ia tidak memerdulikan pakaiannya baru atau usang.

“Saat pertama kali berjumpa dengannya di tahun 1948, pada waktu itu ia Menteri Penerangan RI, saya menjumpai sosok orang yang berpakaian paling camping (mended) di antara semua pejabat di Yogyakarta. Itulah satu-satunya pakaian yang dimilikinya, dan beberapa minggu kemudian staf yang bekerja di kantornya berpatungan membelikannya sehelai baju yang lebih pantas, mereka katakan pada saya, bahwa pemimpin mereka itu akan kelihatan seperti ‘menteri betulan’,” kata George McT Kahin, Guru Besar Cornell University.

Ketika diangkat menjadi Perdana Menteri RI September 1950, ia tinggal di sebuah gang hingga seseorang menghadiahkan sebuah rumah di Jalan Jawa (kini Jalan H.O.S. Cokroaminoto), Jakarta Pusat. Natsir juga menolak hadiah mobil Chevy Impala dari seorang cukong.

Tak Malu menegakkan Syariat Islam

Natsir juga satu-satunya pejabat pemerintah yang pulang dari Istana dengan membonceng sepeda sopirnya, sesudah menyerahkan jabatan perdana menteri kepada Presiden Soekarno. Tepatnya 21 Maret 1951, Natsir menyerahkan jabatan dan mengembalikan mobil dinasnya. Ia berboncengan sepeda dengan sopirnya menuju rumah dinasnya di Jalan Proklamasi. Setelah mampir sebentar di rumah dinasnya, Natsir kemudian segera mengajak istri dan anaknya pindah. Mereka kembali menempati rumah pribadi yang sempit di Jalan Jawa.

Ketika bergerak di Masyumi, Natsir dan kawan-kawan konsisten dan terus menerus memperjuangkan tegaknya syariat Islam di Indonesia. Natsir tidak segan-segan mengusulkan Islam sebagai dasar negara, diantaranya dengan Piagam Jakarta. Argumen-argumen Natsir dan tokoh-tokoh Masyumi sangat kuat. Ditambah kecakapan ilmiah, baik tertulis maupun orasi, kejujuran dan kesederhanaannya, maka Natsir sangat dihormati bahwa oleh kawan maupun lawan.

Dalam pidatonya di Dewan Konstituante, 12 November 1957, Natsir mengatakan bahwa faham sekulerisme mengandung bahaya-bahaya. Sekulerisme adalah suatu pandangan hidup, opini-opini, tujuan-tujuan dan sifat-sifat yang dibatasi oleh batas-batas keberadaan duniawi.

“Meskipun mungkin pada suatu saat kaum sekuleris itu mengakui keberadaan Tuhan, di dalam kehidupan kesehariannya sebagai pribadi-pribadi sekuleris, tidak mengakui kebutuhan terhadap suatu hubungan itu dalam kehidupan sehari-hari dinyatakan dalam sikap-sikap, tingkah laku dan tindakan-tindakan atau dalam doa dan ibadah,” demikian ujar M Natsir.[ Mohammad Natsir dalam Feith, dalam Ahmad Suhelmi, Soekarno versus Natsir hal. 75.]

“Juga kaum sekuleris memandang konsep-konsep mengenai Tuhan dan agama hanya sebagai hasil ciptaan manusia, yang ditentukan oleh kondsi-kondisi sosial, bukan ditentukan oleh kebenaran wahyu. Bagi kaum sekuleris doktrin agama dan Tuhan relatif dan tergantung pada penemuan-penemuan umat manusia. Dan tolok ukur kebenaran dan kebahagiaan atau ukuran keberhasilan manusia semata-mata ditentukan oleh materi (benda), Di negara sekuler, masalah-masalah ekonomi, hukum, pendidikan, sosial dan lain-lainnya semata-mata ditentukan oleh kepentingan material, bukan oleh nilai-nilai spiritual,” tambah Natsir.

Bisakah para politisi Islam yang ada saat ini bisa belajar dalam sikap dan tindakan sebagaimana tokoh Masyumi itu?

8 Tips Jitu Atasi Flu

Tidak ada obat instan untuk menyingkirkan demam dan flu, namun dengan pengobatan di rumah dan cara sederhana bisa membantu Anda meredakan flu. Yang harus kita lakukan adalah meningkatkan kekebalan tubuh kita dengan mengonsumsi makanan yang tepat dan sehat.

Berikut adalah beberapa cara sederhana dan efektif untuk menyingkirkan flu, dari Boldsky.com :

1. Teh herbal : Cobalah buat teh herbal sendiri dengan menambahkan sedikit daun selasih dan jahe bersama dengan lada hitam. Ramuan ini mampu meredakan demam disertai flu.

2. Buah jeruk : Kandungan utama dari buah jeruk adalah vitamin C. Jadi, kita perlu mengonsumsi buah jeruk karena membantu dalam meningkatkan kekebalan tubuh kita. Meningkatkan asupan vitamin C sangat penting jika Anda merokok, karena merokok meningkatkan risiko Anda terkena flu. Buah jeruk bukan satu-satunya makanan yang kaya akan vitamin C. Kentang, paprika hijau, strawberry, dan nenas juga mampu membantu dalam penyembuhan pilek dan flu.

3. Bawang putih : Sayuran ini merupakan sumber antioksidan dan dipercaya dapat mencegah penyakit jantung. Untuk mendapatkan manfaatnya, bawang putih harus digunakan dalam setiap makanan favorit Anda.

4. Sup ayam : Banyak yang percaya bahwa sup ayam mengandung sifat penisilin alami. Sup ayam panas membantu melegakan saluran udara yang tersumbat dan memberikan lebih banyak energi. Untuk membuatnya lebih manjur, masukkanlah beberapa sayuran favorit Anda, termasuk bawang putih untuk kekuatan penyembuhan ekstra.

5. Makanan panas dan pedas : Banyak penderita flu mengonsumsi makanan pedas hanya untuk mengaktifkan pengecap rasa di lidah. Jadi, cobalah untuk memasak makanan pedas atau makanan lainnya yang mengandung bawang putih dan cabe lebih banyak.

6. Jahe : Khasiat obat dalam jahe sangat besar termasuk membantu mengobati batuk dan demam yang sering menyertai pilek dan flu. Cara terbaik menggunakan jahe dengan menambahkannya ke dalam secangkir teh.

7. Tingkatkan asupan Zinc : Menambahkan lebih banyak makanan yang kaya akan Zinc atau seng pada pola makan adalah satu cara yang baik untuk mencegah flu. Zinc juga mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Tiram, daging merah, dan unggas merupakan sumber terbaik. Bahkan kacang-kacangan dan biji-bijian juga sumber zinc yang besar.

7. Tidur : Ya, tidur tidak hanya membuat kita merasa segar, tetapi juga menyembuhkan demam. Tidur yang baik selama 8 jam membantu Anda dalam menyingkirkan demam.

Saturday 9 February 2013

Menyapa Mereka Yang Lemah Iman

Jadi, untuk bergaul secara baik dengan tetangga kamu, caranya harus betul. Bila tetangga mampir untuk ngobrol denganmu, sambutlah dia dan ngobrollah. Jika dia belum shalat, tidak apa-apa. Kamu jangan mengolok-olok dia. Kamu jangan mengejek dia. Jika dia jatuh sakit, tengoklah, jika dia dalam kesusahan, bantulah, jika dia masuk angin, supaya dikeroki. Baiklah terserah bagaimana kamu akan benar-benar membantu. Akan tetapi itulah yang disebut sesrawungan ingkang sae. Ibu-ibu Aisyiyah dan bapak-bapak Muhammadiyah harus bisa melaksanakan ini - Pidato Bapak A.R. Fakhruddin, Ketua Muhammadiyah, 28 November 1971 di Kotagede – Yogyakarta ((Nakamura : 1983, hlm. 170).

Pidato Pak A.R. Fakhruddin yang diabadikan oleh seorang peneliti Jepang, Dr. Mitsuo Nakamura di atas menunjukkan bagaimana seharusnya orang Islam mendakwahkan agamanya melalui akhlak dan pergaulan yang santun dengan lingkungan sekitarnya. Pak A.R. Fakhruddin sangat paham, bahwa proses dakwah Islam di Indonesia, khususnya di Jawa adalah proses yang belum selesai. Pola bottom up Islamization telah menjadikan dakwah dan pengajaran sebagai ujung tombak penyiaran Islam di Jawa. Proses ini memang memerlukan waktu yang panjang, sehingga dikenal istilah kelompok abangan dalam masyarakat muslim di Jawa, yaitu mereka yang belum tersentuh dakwah secara instensif.

Perbedaan tingkat pemahaman ini di tengah masyarakat seringkali menjadi penyebab perpecahan sosial yang terkadang berujung pada konflik dan saling ejek satu sama lain. Atmosfir yang tidak kondusif bagi persatuan umat Islam ini, mungkin cukup terasa di kota Surakarta dan sekitarnya pada dekade belakangan ini. Seolah terjadi semacam pemisahan kultural yang tegas, antara mereka yang santri dengan yang abangan, tidak hanya dalam dunia ide dan gagasan tapi sudah sampai ke ranah sosial.

Oleh karena itu para ulama sepuh seperti Pak A.R. Fakhruddin, yang telah kenyang makan asam garam kehidupan dan terjun langsung ke dunia dakwah, senantiasa mengingatkan supaya ke Islaman kaum santri harus diwujudkan dalam keteladanan dalam pergaulan, bukan sebagai sarana kesombongan Iman yang justru menjauhkan dari mereka yang pemahaman keagamaannya masih lemah. Sebab pada dasarnya, untuk mewujudkan ajaran Islam yang begitu lengkap dan sempurna, tidak akan pernah ada suatu “journey’s end”. Tak akan pernah ada “kunjung berhenti” dan “kunjung akhir” dalam perjalanannya (Abdoelgani : 1980, hlm. 136). Sehingga dakwah adalah tugas abadi dalam sebuah masyarakat muslim.

Dalam hal cara berdakwah, Al Qur’an mengajarkan kepada kita untuk mengedepankan kelembutan, sebagaiman tercermin dalam firman-Nya, “Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” [QS Ali Imran: 159]. Dalam kultur masyarakat muslim Jawa pada masa lalu, seorang ulama atau lazim disebut kyai adalah centre of excellence di tengah masyarakat. Ia dijadikan tempat bertanya tentang aneka permasalahan hidup, sampai melayani masyarakat untuk prosesi pernikahan, pengurusan jenazah dan berdo’a untuk aneka hajatan di tengah masyarakat. Sosoknya hadir melayani dan mengayomi semua lapisan masyarakat. Sehingga masyarakat Jawa baik itu priyayi maupun abangan di masa tuanya akan berubah menjadi santri yang rajin ke masjid. Sebab menjadi santri adalah bentuk ideal yang diinginkan setiap muslim di Jawa. Wallahu a’lamu bish Shawab

Thursday 7 February 2013

Pentingnya Meluruskan Sejarah yang Dipelintir Kurikulum Sekuler

Intelektual Muslim yang juga dikenal penulis produktif, Dr Adian Husaini kembali meluncurkan buku baru. Buku baru berjudul “Pendidikan Islam: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab” diluncurkan di Masjid Darussalam Depok baru-baru ini.

Dalam buku barunya, Adian menjelaskan tentang mendesaknya kurikulum pendidikan di Indonesia dibenahi. Ia menjelaskan hal-hal mendetail tentang beberapa aspek dalam pendidikan Islam saat ini yang perlu dibenahi. Di antaranya aspek kurikulum sejarah.

Menurut cendekiawan muda ini, kurikulum sejarah Indonesia yang benar mesti diajarkan kepada murid-murid. Saat ini kurikulum sejarah tidak menjadikan murid-murid Muslim Indonesia bangga dengan sejarahnya.

Salah satu contoh yang mendapat kritik Adian adalah sejarah tentang Pangeran Diponegoro. Dalam sejarah yang banyak ditulis, Pangeran Diponegoro bukanlah berperang karena penjajah, tetapi merebut tanah makam leluhurnya atau iri hati karena tahta Mataram diserahkan kepada adiknya.

“Diponegoro berperang dengan niat jihad melawan tentara Belanda yang menzalimi rakyat dan menghalang-halangi pelaksanaan syariat Islam di Jawa. Saat itu dalam menghadapi Belanda, Diponegoro dibantu 108 kiai , 31 haji, 15 syeikh, 12 penghulu Jogyakarta dan 4 kiai guru yang turut berperang bersama Diponegoro,” ujarnya.

Karenanya, perang Diponegoro menjadi perang yang sangat menyita keuangan pemerintah kolonial bahkan hampir membangkrutkan negeri Belanda.

Korban perang Diponegoro mencapai orang 8.000 jiwa (korban orang Eropa), pihak Belanda 7.000 jiwa, biaya perang 20 juta gulden dan korban rakyat pribumi yang tidak sedikit.

“Total orang Jawa yang meninggal, baik rakyat jelata maupun pengikut Diponegoro 200.000 orang. Padahal total penduduk Hindia Belanda waktu itu baru tujuh juta orang, separuh penduduk Yogyakarta terbunuh.”

Menurut Adian dalam bukunya, sejarah adalah hal penting dalam kehidupan manusia. Untuk melihat masa depannya, seseorang perlu memahami masa lalunya.

Al-Quran banyak memuat berbagai cerita umat-umat terdahulu. Dan umat Islam diminta bisa mengambil hikmah dari kisah-kisah masa lalu, untuk menjadi bekal dalam menyongsong masa depannya.

“Maka, jangan heran, jika setiap bangsa senantiasa merumuskan sejarah masa lalunya. Sejarah juga sangat penting bagi kebangkitan suatu bangsa atau peradaban. Muhammad Asad (Leopold Weiss) dalam bukunya, Islam at the Crossroads, menulis: “No civilization can prosper – or even exist, after having lost this pride and the connection with its own past…”
Menurut Adian, menyadari arti penting sejarah ini, maka kaum penjajah juga secara serius merekayasa sejarah Indonesia. Khususnya yang menyangkut peran Islam dalam sejarah Indonesia.

Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.

Dalam bukunya, “Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu” yang diterbitkan tahun 1990), Prof. Naquib al-Attas sudah menulis tentang masalah ini.

“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini,” ujar Adian menirukan Al Attas.

Menurut Adian, anak-anak kita sejak kecil dicekoki paham salah semacam ini. Bahwa, Indonesia dulu mengalami kejayaan di masa Majapahit, yang hancur karena diserang Islam. Jadi, Islam justru yang menghancurkan kejayaan Indonesia. Karena itulah, untuk mengembalikan kejayaan Indonesia, jangan membawa-bawa Islam, tetapi kembalikan kejayaan Majapahit dengan mengadopsi nilai-nilai Hindu.

Inilah yang oleh M. Natsir sebagai upaya nativisasi, yakni upaya penyingkiran Islam dari aspek kemasyarakatan dan kenegaraan, dan mengembalikan Indonesia pada budaya “asli” dan jatidiri manusia Indonesia yang menurut mereka bercorak hindu, budha dan animis.*

Saturday 2 February 2013

Love Story di Medan Jihad Suriah

Mahmoud al-Halabi pernah menjadi sopir istri menteri Suriah. Sedangkan isterinya , Nour al-Hassan adalah seorang penata rambut.

Pada hari-hari awal pemberontakan Suriah, keprihatinan dan jiwa yang berontak terhadap situasi yang ada membawa mereka bersama-sama, dan sejak itu mendorong mereka berdua untuk menjadi pejuang dalam pertempuran di kota Aleppo melawan pasukan Bashar pasukan al-Assad.

Mahmoud, lelaki berumur 28 tahun ikut serta dalam pertempuran di garis depan di lingkungan Sheikh Saeed, dia dipecat dari pekerjaannya tiga tahun lalu. Dia mengatakan dia dipenjara dan disiksa oleh rezim selama satu tahun, dan kemudian dipaksa untuk meninggalkan Suriah.

Tahukah apa kejahatannya? Hanyalah karena dia telah jatuh cinta dengan putri menteri.

Ia melarikan diri ke Libya, di mana ia disana mengambil seni ukir batu. Tapi ketika revolusi Libya pecah pada bulan Februari 2011, ia bergabung dengan teman-temannya dalam pertempuran melawan pasukan Muammar Gaddafi.

“Di sinilah saya belajar sebagian besar keterampilan pertempuran hingga sekarang saya gunakan dalam memerangi Assad,” kata Mahmoud di Sheikh Saeed, sekarang kelompok ini adalah garis depan oposisi paling aktif di kota Aleppo.

Nour, 22, adalah seorang penata rambut di sebuah salon di pusat Aleppo. Dia juga putri seorang pejabat senior di Partai Baath yang berkuasa.

Beberapa bulan pemberontakan Suriah, Mahmoud kembali ke Aleppo untuk bergabung dengan sebangsanya dalam perjuangan melawan Assad. Sementara itu,Nour telah membuat akun Facebook dengan nama samaran dan menjadi aktivis di media sosial, mengorganisir protes dan kabarkan berita tentang penindasan rezim.

Ketika ayah dan kakaknya, pendukung setia Assad, setelah mereka mengetahui tentang kegiatan oposisi nya, mereka memukulinya sampai-sampai ia berakhir menetap di rumah sakit. Kisahnya menjadi pembicaraan di kota, dan Mahmoud mendengar tentang sesuatu yang menimpa dia.

“Setelah saya dibebaskan dari rumah sakit, aku terjebak di rumah. Mahmoud datang untuk membantu saya lari dari rumah tersebut,” katanya. “Aku tidak mengenalnya dengan baik, tapi saya masih percaya bersamanya. Aku benar-benar membelot dari keluarga saya.”

Di garis depan Perjuangan

Keduanya mulai mengatur protes dan mendistribusikan anti-rezim pamflet. Berawal dari pemberontakan berubah menjadi perjuangan bersenjata, mereka berduapun mendukung itu.

“Kami mulai mengangkut senjata ke lingkungan Salaheddin bersama-sama, aku mengajarinya bagaimana menggunakan senjata.. Awalnya, saya mengajar dia hanya untuk perlindungan diri karena ayah merencanakan penculikan yang terorganisir padanya dan mencoba untuk membawa pulang kembali,” kata Mahmoud.

Nour adalah seorang wanita penembak jitu di garis depan di lingkungan Sheikh Saeed of Aleppo .

“Kemudian ia ingin berpartisipasi dalam pertempuran kami para lelaki , tetapi pertempuran kami memiliki banyak perkelahian karena itu dia akhirnya hanya mengikuti perjalanannya saja,” katanya ..

Nour telah menjadi penembak jitu di garis depan di Sheikh Saeed, di mana posisi pejuang mencoba untuk memukul mundur kembali pasukan rezim dan memblokir jalan utama menuju Bandara Internasional Aleppo.

Baru-baru ini, dia bilang dia telah menembak jatuh seorang sniper dari rezim yang ingin menargetkan pejuang di lingkungannya.

Rekan-rekannya memanggilnya Abu al-Nour – sebuah julukan maskulin.

“Saya tidak melihat dia sebagai perempuan Dia adalah salah satu penembak jitu terbaik yang kita miliki di batalyon tersebut.. Begitulah cara saya melihatnya,” kata Ahmad, seorang pejuang Suriah,.

Nour mengatakan dia meninggalkan feminitas semua di belakang ketika dia pergi ke garis depan.

“Saya tidak merasa seperti seorang wanita apapun ketika saya di sini,” katanya.

‘Demi Allah’

Pada pandangan pertama, Nour tidak dapat dibedakan dari pejuang laki-laki. Mengenakan lebar, pakaian hitam, bersama dengan syal hitam yang menutupi kepala dan wajah dan ikat kepala yang bertuliskan “tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah nabi-Nya,” dia bisa lulus tes pejuang sebagai anggota laki-laki dari Jabhat al-Nusra, memproklamirkan diri jihad kelompok mujahidin, yang biasanya mengadopsi kode berpakaian yang sama.

Tapi melihat lebih dekat pada mata cokelatnya yang besar – satu-satunya bagian yang dibuka dari tubuhnya – mengungkapkan bulu mata panjang layaknya wanita feminin.

Dalam cakupan mendalam dari meningkatnya kekerasan di Suriah,

Nour mengatakan tidak ada yang menghentikan wanita dari bergabung dengan pertempuran bersenjata, “tetapi mereka yang tidak memiliki dan lemah imanlah yang menghambat untuk tidak berjuang.

Nour dan Mahmoud menikah pada Juli 2012, satu tahun setelah mereka bertemu.

“Ketika saya terluka di medan perang, ia menutupi dan menyeret saya dari garis tempur, dan tiada pejuang lain di batalion akan berani melakukan resiko itu.,” Kata Mahmoud.

“Ini adalah ketika saya memutuskan dia adalah orang yang tepat Kami menikah hanya beberapa hari kemudian..”

Nour mengatakan dia berjuang “demi Allah”, dan tidak akan kembali ke keluarganya. “Orang tua saya memiliki perisai atas mata mereka Mereka tidak dapat melihat kebenaran dan tidak ada yang bisa saya lakukan tentang hal itu..”

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews