Monday 27 February 2012

Ketika Ayat Rahmatan Lil Alamin disalahgunakan


“Tidaklah Aku mengutusmu kecuali untuk menjadi rahmaan lil ‘alamin.”(Al-Anbiya’/21: 107)

Ayat Rahmatan lil ‘alamin kerapkali disalahgunakan sebagai tameng berbuat kemaksiatan dan kemunkaran. Banyak yang memanfaatkan ayat ini, diantaranya adalah Jaringan Islam Liberal, kaum homoseksual, feminis, bahkan dosen-dosen di sejumlah universitas Islam yang menganut liberalism agama seperti UIN /IAIN. Seringkali ketika ada ormas Islam yang hendak menegakkan amar ma’ruf nahi munkar seperti miras, sang penjual/ pemabuk menyatakan, jangan ganggu kami dong, Islam kan rahmatan lil ‘alamin.

Menjadikan QS Al Anbiya ayat 107 sebagai dalil pluralism  agama (menganggap semua agama sama, baik itu dalam bentuk ucapan/pemikiran) juga merupakan pemahaman yang menyimpang. Karena ayat-ayat Al Qur’an tidak mungkin saling bertentangan. Bukankah Allah Ta’ala sendiri yang berfirman:
“Agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam” (QS. Al Imran: 19)

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Al Imran: 85)

Orang yang mengusung isu pluralisme menafsirkan ‘Islam’ dalam ayat-ayat ini dengan ‘berserah diri’. Menurut mereka semua agama benar asalkan berserah diri kepada Tuhan. Argumentasi ini terbantahkan oleh hadits :

”Islam itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya” (HR. Muslim)

Rahmatan lil 'alamin merupakan akibat dari dipraktekkannya ajaran Islam yaitu Aqidah, Syari’ah, dan Akhlak secara komprehensif serta sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW di dunia oleh hamba Allah, baik dalam kehidupan sosial, pendidikan, dan ibadah. Apabila tiga komponen (Aqidah, Syari’ah, dan Akhlak) tersebut diterapkan dampaknya adalah Rahmatan lil ‘alamin.

Dalam menerapkan ajaran Islam yang universal secara komprehensif dan agar menjadi solusi di setiap persoalan kehidupan,  seorang muslim harus memiliki solidaritas untuk mewujudkannya. Umat Muhammad SAW harus punya kepedulian untuk memperjuangkan Islam.

Perjuangan tersebut, mempunyai tiga medan yang memiliki sifat berbeda, pertama yaitu, Ad-Dakwah yang berimplikasi harus simpati, mengajak dengan lembut, dan sejuk. Kedua, Al Hisbah yang merupakan amar makruf nahy munkar bersifat tegas dalam tindakannya. Dan, ketiga, Al Jihad Fi sabilillah yang memiliki karakter harus  keras dalam melakukannya, yang mana semua aspek tersebut harus dilakukan dan tidak ditinggalkan.

Ketiganya mempunyai karakter masing-masing, setiap muslim melakukannya sesuai kemampuanya. Yang penting jangan saling mencela saudaranya yang belum mampu pada medan yang lain.

Kajian Kritis Film "?" Besutan Hanung Bramantyo

Oleh: Dr. Adian Husaini
“Soal akidah, di antara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.”  (Prof. Hamka, dalam Tafsir al-Azhar).



Alkisah, Rika, seorang istri yang kecewa terhadap suami. Rika memutuskan pindah agama, dari Islam menjadi Katolik. Ia berujar, bahwa kepindahan agamanya bukan berarti mengkhianati Tuhan. Meskipun Katolik, Rika sangat toleran. Anaknya , – masih kecil, bernama Abi –dibiarkannya tetap Muslim. Bahkan, ia mengantarjemput anaknya ke masjid, belajar mengaji al-Quran. Di bulan puasa, dia temani dan dia ajar Abi berdoa makan sahur.

Di Film “?” (Tanda Tanya), Rika ditampilkan sebagai sosok ideal: murtad dari Islam, tapi toleran dan suka kerukunan. Pada segmen lain, secara verbatim Rika mengatakan,  BAHWA agama-agama ibarat jalan setapak yang berbeda-beda tetapi menuju tujuan yang sama, yaitu Tuhan.  Kata Rika mengutip ungkapan sebuah buku,  “… semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke  arah yang sama; mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.”

Mulanya, kemurtadan Rika tidak direstui ibunya. Anaknya yang Muslim pun  awalnya menggugat. Tapi, di ujung film, Rika sudah diterima sebagai “orang murtad” dari Islam. Bahkan, ada juga yang memujinya telah mengambil langkah besar dalam hidupnya.

Kisah dan sosok Rika cukup mendominasi alur cerita dalam film “?” garapan Hanung Bramantyo ini.  Rika tidak dipersoalkan kemurtadannya.  Padahal, dalam pandangan Islam, murtad adalah kesalahan besar.  Saat duduk di bangku SMP, saya sudah menamatkan satu Kitab berjudul Sullamut Tawfiq karya Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim. Kitab ini termasuk yang mendapatkan perhatian serius dari Imam Nawawi al-Bantani, sehingga beliau memberikan syarah atas kitab yang biasanya dipasangkan dengan Kitab Safinatun Najah.

Dalam kitab inilah, sebenarnya umat Islam diingatkan agar menjaga Islamnya dari hal-hal yang membatalkannya, yakni murtad (riddah). Dijelaskan juga dalam kitab ini, bahwa ada tiga jenis riddah,  yaitu murtad dengan I’tiqad, murtad dengan lisan, dan murtad dengan perbuatan. Contoh murtad dari segi I’tiqad, misalnya, ragu-ragu terhadap wujud Allah, atau ragu terhadap kenabian Muhammad saw, atau ragu terhadap al-Quran, atau ragu terhadap Hari Akhir, sorga, neraka, pahala, siksa, dan sejenisnya.

Masalah kemurtadan ini senantiasa mendapatkan perhatian serius dari setiap Muslim, sebab ini sudah menyangkut aspek yang sangat mendasar dalam pandangan Islam, yaitu masalah iman. Dalam pandangan Islam, murtad (batalnya keimanan) seseorang, bukanlah hal yang kecil. Jika iman batal, maka hilanglah pondasi keislamannya. Banyak ayat al-Quran yang menyebutkan bahaya dan resiko pemurtadan bagi seorang Muslim.

”Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS 2:217).

“Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS 24:39).

Jadi, riddah/kemurtadan adalah masalah besar dalam pandangan Islam. Entahlah dimata kaum Pluralis! Tindakan murtad bukan untuk dipertontonkan dan dibangga-banggakan! Dalam perspektif Islam, patutkah seorang bangga dengan kekafirannya?
*****
Masih menyorot sosok Rika dalam film “?”. Rika pindah agama, dari Islam menjadi Katolik. Dalam konsepsi Islam, Rika bisa dikatakan telah melakukan dosa syirik, karena mengakui Yesus sebagai Tuhan atau salah satu Oknum dalam Trinitas. Padahal, dalam al-Quran Nabi Isa a.s. jelas-jelas menegaskan dirinya sebagai  Rasul Allah. Nabi Isa adalah manusia, dan bukan Tuhan, atau anak Tuhan.  Ini pandangan Islam. Tentu, ini bukan pandangan Kristen.

Dalam perspektif  Islam, menurunkan derajat al-Khaliq ke derajat makhluk adalah tindakan tidak beradab. Begitu juga sebaliknya, menaikkan derajat makhluk ke derajat al-Khaliq juga tidak beradab. Itu musyrik namanya. Seorang presiden saja tidak mau disamakan dengan rakyat biasa. Jika lewat, dia minta diistimewakan. Kita diminta minggir. Binatang juga dibeda-bedakan tempat atau  kandangnya. Adab -- dalam konsepsi Islam -- mewajibkan seorang Muslim meletakkan segala sesuatu sesuai dengan harkat dan martabat yang sebenarnya, sesuai ketentuan Allah. Nabi Isa a.s. adalah utusan Allah.

Tugasnya menyampaikan kepada Bani Israel, siapa Tuhan yang sebenarnya, dan bagaimana cara menyembah-Nya. Nabi Isa a.s. melanjutkan syariat Nabi Musa a.s.

Menuduh Allah mempunyai anak – menurut al-Quran – adalah sebuah kesalahan yang sangat serius. “Dan mereka berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.” (QS 19: 88-91).

Islam memandang keimanan sebagai hal terpenting dan mendasar dalam kehidupan. Iman akan dibawa mati. Iman lebih dari soal suku, bangsa, bahkan hubungan darah. Iman bukan “baju”, yang bisa ditukar dan dilepas kapan saja si empunya suka.  Iman juga tidak patut diperjualbelikan: ditukar dengan godaan-godaan duniawi. Ada perbedaan prinsip antara mukmin dan kafir.  “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya.” (QS 98:6).

Demi mempertahankan iman, Nabi Ibrahim a.s. rela berpisah dengan ayah dan kaumnya. Melihat tradisi penyembahan berhala pada keluarga dan kaumnya, Ibrahim a.s. tidak berpikir sebagai seorang Pluralis yang menyatakan, bahwa semua agama  menyembah Tuhan yang sama, dan punya tujuan yang sama. Tapi, Nabi Ibrahim berdiri kokoh pada prinsip Tauhid, mengajak kaumnya untuk meningalkan tradisi syirik.

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar, pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala ini sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaum engkau dalam kesesatan yang nyata.” (QS 6:74).
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikan negeri ini (Makkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku dan anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Ya Tuhanku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS 14:35-36)

“Ibrahim bukanlah Yahudi atau Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang hanif dan Muslim, dan dia bukanlah orang musyrik.” (QS 3:67).

Dan kini, dalam setiap shalat, kaum Muslim membacakan doa untuk Nabi Muhammad saw dan sekaligus dirangkaikan dengan doa untuk Nabi Ibrahim a.s. Itu tentu karena kegigihan Nabi Ibrahim dalam menegakkan ajaran Tauhid dan bukan karena Nabi Ibrahim seorang musyrik!

Maka, sebagai Muslim, saya tentu boleh merasa heran, dan penuh Tanda Tanya, mengapa dalam film “?” -- yang diproduksi dan digarap seorang yang beragama Islam --  soal ganti agama, soal keluar dari Islam,  soal pergantian mukmin menjadi kafir, dianggap perkara kecil dan remeh?
*****
Syahdan, para pemikir ateis, seperti Karl Marx, Friedrich Nietzsche, Sigmund Freud, Jean Paul Sartre dan sejenisnya, terkenal dengan gagasan-gagasan yang memandang agama dan Tuhan sudah tidak diperlukan lagi di era zaman modern ini.  Mereka beramai-ramai mempermainkan Tuhan. Jean-Paul Sartre (1905-1980) menyatakan: “even if God existed, it will still necessary to reject him, since the idea of God negates our freedom.” (Karem Armstrong, History of God, 1993). Thomas J. Altizer,   dalam “The Gospel of Christian Atheism” (1966) menyatakan: “Only by accepting and even willing the death of God in our experience can we be liberated from slavery…” (Karen Armstrong, History of God)
Friedrich Nietzsche, dalam karyanya, Also Sprach Zarathustra, mengungkap gagasan bahwa “Tuhan sudah mati”. Karena Tuhan sudah mati, dan tidak diperlukan lagi, Nietzsche berpendapat, “Kepercayaan adalah musuh yang lebih berbahaya bagi kebenaran, dibanding kebohongam.”  Nietzsche ingin bebas dari segala aturan moral, ingin bebas dari Tuhan. Ujungnya, pada 25 Agustus 1900, ia mati setelah menderita kelainan jiwa dan penyakit kelamin. (Lihat, B.E. Matindas, Meruntuhkan Benteng Ateisme Modern, 2010).

Jika direnungkan secara serius,  Pluralisme Agama sejatinya bisa begitu dekat dengan ateisme. Ketika orang menyatakan, “semua agama benar”, sejatinya bersemayam juga satu ide  dalam dirinya, bahwa “semua agama salah”.  Sebab, “Tuhan” (God), yang dipersepsikan kaum Pluralis adalah Tuhan yang abstrak. Tuhan kaum Pluralis adalah Tuhan dalam angan-angan, yang boleh diberi nama siapa saja, diberi sifat apa saja, dan cara menyembahnya pun  boleh suka-suka. Kapan suka disembah, kapan-kapan tidak suka, bisa diganti dengan Tuhan lain. Cara menyembah Tuhan, menurut mereka, juga sesuka selera manusia. Bosan dengan cara satu, bisa diganti dengan cara lain. Sebab, dalam konsep mereka, tidak ada satu cara yang pasti benar dalam ibadah, sesuai petunjuk seorang Nabi.

Tuhan dalam Islam mengharamkan babi. Pada saat yang sama, Tuhan dalam agama Kristen menghalalkan babi. Tuhan,  dalam agama Bhairawa Tantra,  memerintahkan agar menyembelih wanita dan darahnya kemudian diminum bersama-sama. Tuhan dalam agama Children of God menganjurkan seks bebas, sebagai wujud rasa kasih sayang antar-sesama manusia.  Kini, di daratan Amerika dan Eropa bermunculan gereja-gereja nudis. Baik pendeta maupun jemaatnya, semuanya telanjang bulat saat melakukan kebaktian.  Jika semua jenis “Tuhan” itu diangga sama saja, maka “Tuhan” yang mana yang disembah kaum Pluralis?

Jadi, saat  seorang yang mengaku Pluralis  berkata, “Semua agama menyembah Tuhan yang sama”,  maka secara hakiki, dia telah berdiri di luar Islam.  Sebab, dia tidak lagi menuhankan Allah.  “Tuhan”, baginya, bisa siapa saja, berupa apa saja, dan berwujud apa saja. Bisa disebut Yehweh, bisa Allah, bisa Yesus, bisa Brahmin, dan bisa juga Iblis!  Yang penting dikatakan “Tuhan”, yang penting God!  Padahal, seorang Muslim sudah mengikrarkan syahadat: “Tidak ada Tuhan selain Allah”.

Meskipun menyebut Tuhan mereka dengan “Allah”, tetapi  kaum Quraisy ketika itu dikatakan sebagai “musyrik”,  sebab mereka menyekutukan Allah dengan Tuhan-tuhan lain.  Allah hanyalah salah satu dari Tuhan-tuhan mereka; bukan Tuhan satu-satunya. Sebutan bisa sama, yakni “Allah”, tetapi konsepnya  berbeda-beda.  Sebagian  besar kaum Kristen di Indonesia menyebut juga Tuhan mereka dengan sebutan “Allah”, tetapi konsepnya berbeda dengan “Allah” dalam Islam.

Lain lagi dengan aliran  “Darmogandul” di Tanah Jawa, yang mengartikan Allah dengan “ala” (bahasa Jawa, artinya jelek). Dalam salah satu  bait Pangkur-nya, Kitab Darmogandul,  menyatakan: “Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan zikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, dalam hakekatnya mereka itu terasa pahit dan masin.” 

Jadi, Tuhan yang mana yang disembah kaum Pluralis?  Jika Tuhan apa pun sama saja, lalu apa artinya Tuhan bagi mereka?  Ujung-ujungnya bisa jadi: Tuhan tidak penting! Sebab, dalam pandangan kaum ini, Tuhan yang sejati (Allah), atau manusia, atau setan dianggap sama saja. Semua bisa menjadi Tuhan dan dituhankan.  Ujung-ujungnya, Tuhan dianggap tidak penting. Bandingkan dengan sosok Sigmund Freud, psikolog dan salah satu perintis ateisme modern, yang berteori bahwa “Bertuhan, hanyalah wujud gejala penyakit jiwa infantilisme (penyakit kekanak-kanakan). (B.E. Matindas, ibid).

Ketidakjelasan posisi teologis kaum Pluralis Agama, digambarkan oleh Dr. Stevri Lumintang, seorang pendeta Kristen di Malang,  dalam bukunya, Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004).

Dicatat dalam ilustrasi sampul buku ini, bahwa Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis ; bahwa teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama. Ditegaskan dalam buku ini: ‘’Inti Teologi Abu-Abu (Pluralisme) merupakan penyangkalan terhadap intisari atau jatidiri semua agama yang ada. Karena, perjuangan mereka membangun Teologi Abu-Abu atau teologi agama-agama, harus dimulai dari usaha untuk menghancurkan batu sandungan yang menghalangi perwujudan teologi mereka. Batu sandungan utama yang harus mereka hancurkan atau paling tidak yang harus digulingkan ialah klaim kabsolutan dan kefinalitas(an) kebenaran yang ada di masing-masing agama.’’
*****
Sosok lain yang secara dominan ditampilkan dalam   Film “?” adalah seorang bernama Surya. Ia  seorang laki-laki Muslim, berprofesi sebagai aktor figuran.  Dia berteman dengan Rika. Karena miskin, ia terusir dari rumah kosnya. Lihatlah, dalam film ini, Ibu Kos yang “bakhil” itu ditampilkan dalam sosok berjilbab, dan mengajari anak Rika agar membaca buku-buku Islam!

Surya  memuji-muji Rika telah melakukan sesuatu yang berarti dalam hidupnya. Mereka berkawan akrab. Surya ditampilkan sebagai sosok yang polos, kocak dan naif.  Untuk uang, dan mungkin untuk mempertontonkan fenomena “kerukunan umat beragama”,  Surya menerima tawaran Rika agar berperan sebagai Yesus. Ia rela beradegan – seolah-olah -- dipaku di tiang salib di sebuah Gereja Katolik saat perayaan Paskah. Pada kali lain, ia berperan sebagai Santa Claus. Sebagian jemaat Gereja sempat memprotes sosok Yesus diperankan seorang Muslim. Terjadi perdebatan. Muncul Pastor yang menyetujui penunjukan Surya sebagai tokoh Yesus.

Seperti halnya Rika, tampaknya sosok Surya ditampilkan sebagai representasi fenomena toleransi dan “kerukunan”.   Setelah merelakan dirinya berperan sebagai Yesus, Surya kembali ke masjid membaca surat al-Ikhlas, sebuah surat dalam al-Quran yang menegaskan kemurnian Tauhid. “Katakan, Allah itu satu. Allah tempat meminta. Allah tidak beranak dan diperanakkan. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” Allah itu satu! Allah tidak punya anak!  Ini gambaran dalam Film “?” karya Hanung ini.

Padahal, surat al-Ikhlas seperti mengoreksi doktrin pokok dalam agama Kristen, yang dirumuskan sekitar 300 tahun sebelumnya, di Konsili Nicea (325 M), sebagaimana disebutkan dalam Nicene Creed:   “Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa…” (Norman P. Tanner, Konsili-konsili Gereja).

Padahal, al-Quran sudah menjelaskan: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).” (QS 61:6). Dalam al-Quran, ada cerita Lukmanul Hakim yang menesehati anaknya: “Syirik adalah kezaliman besar.” (QS 31:13).

Beratus tahun, sejak kelahirannya, Islam membuktikan sebagai agama yang sangat toleran. Sejak awal, Islam mengakui dan menghargai perbedaan, tanpa harus kehilangan keyakinan.  Saat Nabi Muhammad s.a.w. diutus, di wilayah Timur  Tengah, sudah eksis pemeluk Yahudi, Kristen, dan kaum musyrik Arab. Nabi Muhammad  mengajak mereka untuk memeluk Islam, mengakui Allah satu-satunya Tuhan dan dirinya adalah utusan Allah.  Nabi tidak menyatakan, “Semua agama sama-sama jalan yang sah menuju Tuhan!”   Bahkan, ada perintah al-Quran dalam surat al-Kafirun (109): “Katakan, hai orang-orang kafir, aku tidak menyembah apa yang kamu sembah! Dan tidak pula kamu menyembah apa yang aku sembah! Dan aku bukanlah penyembah sebagaimana kamu menyembah! Dan kamu bukanlah pula penyembah sebagaimana aku menyembah!

Dalam Tafsirnya, Al-Azhar, Prof. Hamka menjelaskan, asbabun nuzul surat al-Kafirun ini berkaitan dengan tawaran damai empat tokoh kafir Quraisy yang resah dengan dakwah Tauhid Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Mereka adalah al-Walid bin al-Mughirah, al-Ash bin Wail, al-Aswad bin al-Muthalib dan Umaiyah bin Khalaf. Mereka mengajukan usulan: “Ya Muhammad! Mari kita berdamai. Kami bersedia menyembah apa yang engkau sembah, tetapi engkau pun hendaknya bersedia pula menyembah yang kami sembah….”

Buya Hamka mencatat:  “Soal akidah, diantara Tauhid Mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat dikompromikan atau dicampur-adukkan dengan syirik. Tauhid kalau telah didamaikan dengan syirik, artinya ialah kemenangan syirik.”
Lebih jauh Buya Hamka menjelaskan: “Surat ini memberi pedoman yang tegas bagi kita pengikut Nabi Muhammad bahwasanya akidah tidaklah dapat diperdamaikan. Tauhid dan syirik tak dapat dipertemukan. Kalau yang haq hendak dipersatukan dengan yang batil, maka yang batil jualah yang menang.”

Itulah paparan Buya Hamka, ulama terkenal dan salah satu Pahlawan Nasional di Indonesia.  Kita bisa menyimpulkan, jika ada yang menyatakan, bahwa  “semua agama adalah jalan kebenaran”,  saat itu dikepalanya telah hilang  konsep iman dan kufur, konsep tauhid dan syirik. Baginya, tiada  penting lagi, apakah seorang bertauhid atau musyrik; tak perlu dipersoalkan makan babi atau ayam, minum khamr  atau jus kurma; tidak penting lagi berjilbab atau telanjang;  tiada beda antara nikah atau zina; yang penting – katanya – adalah mengasihi sesama manusia.  Saat itu, sejatinya, agama-agama sudah tidak ada; sudah diganti dengan SATU AGAMA: “agama global”, “agama universal”, “agama kemanusiaan”, atau “agama cinta”.

Persaudaraan global antar-sesama tanpa memandang agama menjadi misi terpenting dari kelompok lintas-agama semacam Theosofi dan Freemason.  Ketua Theosofische Vereeniging Hindia Belanda, D. Van Hinloopen Labberton pada majalah Teosofi bulan Desember 1912 menulis:  "Kemajuan manusia itu dengan atau tidak dengan agama? Saya kira bila beragama tanpa alasan, dan bila beragama tidak dengan pengetahuan agama yang sejati, mustahil bisa maju batinnya. Tidak usah peduli agama apa yang dianutnya. Sebab yang disebut agama itu sifatnya: cinta pada sesama, ringan memberi pertolongan, dan sopan budinya. Jadi yang disebut agama yang sejati itu bukannya perkara lahir, tetapi perkara dalam hati, batin.
Inikah yang dituju oleh Film “?” Jangan menuduh! Silakan dicermati dan direnungkan!
*****
Masih ada sosok lain yang diidolakan dalam film “?”. Namanya, Menuk.  Dia seorang muslimah, berjilbab pula.  Menuk bekerja di sebuah retoran Cina.  Bermacam makanan dijual di sana, termasuk  babi.  Dengan mencolok kepala babi ditampilkan. Kata si empunya restoran, bahan babi dan bahan lain dipisahkan.

Menuk diterima bekerja dengan baik di restoran ini.   Ia diberi kebebasan ibadah. Dalam salah satu segmen, ditayangkan Menuk sedang shalat, disampingnya Nyonya pemilik restoran juga sedang bersembahyang sesuai dengan agamanya.

Pesan dari pemunculan sosok Menuk ini cukup jelas:  inilah contoh toleransi! Muslimah berjilbab rela bekerja di sebuah restoran yang menjual babi.

Syukurlah, di akhir cerita, anak pemilik restoran bersedia memeluk Islam. Ini tentu baik, dalam perspektif  Islam. Tetapi, apakah perlu harus melalui proses bekerja di sebuah restoran yang menjual babi? Tujuan baik tidak boleh menghalalkan segala cara. Tujuan memberi nafkah keluarga adalah baik. Tetapi, cara yang ditempuh pun harus baik. Banyak muslimah yang gigih membantu ekonomi keluarganya dengan bekerja keras dalam berbagai bidang profesi, dan juga toleran dengan yang lain. Tapi, apakah Menuk  sosok Muslimah yang ideal untuk ditampilkan?

Walhasil, Film “?” karya Hanung Bramantyo ini membawa pesan besar yang terlalu jelas: agama apa saja, sebenarnya sama saja! Agama-agama dipandang sebagai jalan setapak menuju Tuhan yang sama.   Juga, agama-agama dianggap barang remeh; laksana baju, agama boleh ditukar dan -- kalau perlu -- dibuang kapan saja!  Katanya, demi kerukunan, demi toleransi, dan demi perdamaian.

Akhirul kalam, di era globalisasi dan kebebasan informasi, saat kemusyrikan dan kemurtadan ditampilkan dalam wujud  yang menawan dan menghibur,  ada baiknya kita merenungkan satu ayat al-Quran: "Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan setan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian lainnya perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu." (QS 6:112)

Juga, Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) pernah bersabda: “Bersegaralah mengerjakan amal shalih, (sebab) akan datang banyak fitnah laksana malam yang gelap gulita. Pada pagi hari, seseorang berada dalam keadaan mukmin, tetapi sore harinya menjadi kafir. (Atau) sore harinya dia mukmin, pagi harinya menjadi kafir. Dia menjual agamanya dengan harta-benda dunia.” (HR Muslim).
Wallahu a’lam bil-shawab.*/Depok, 10 April 2011

Friday 24 February 2012

Fauzi Baadila : Indonesia Tanpa JIL

Ternyata tidak semua artis bermental nyeleneh ataupun liberal, seperti yang sering kita lihat, tidak jarang artis-artis terlibat dalam aksi-aksi demonstrasi yang mengangkat isu liberalisme. Artis kita yang satu ini punya pendapat yang berbeda dengan liberalisme.

Fauzi Baadilla, seorang pemain film dan sinetron serta model iklan dan model video klip melakukan penolakan terhadap liberalisme dengan mengatakan “Indonesia Tanpa JIL”, dalam sebuah video yang diunggah di jejaring social.

Video yang berdurasi 32 detik tersebut diunggah dalam sebuah Fans Page Facebook dengan nama #IndonesiaTanpaJIL dan diberi judul “Fauzi Baadila for #IndonesiaTanpaJIL !“. Video diawali dengan kemunculan Fauzi Baadila yang mengucapkan “Indonesia Tanpa JIL” seraya mengacungkan jari telunjuknya.
Kemudian video dengan latarbelakang suasana jalanan tersebut memunculkan tulisan “Karena Indonesia Lebih Asik Tanpa JIL (Jaringan Islam Liberal)”, dan ditutup dengan tulisan #IndonesiaTanpaJIL serta logo Twitter dan Facebook.

Dalam keterangan video tersebut tertulis:
Meski mengakui dirinya masih ‘begajulan’, Fauzi memiliki komitmen yang kuat dalam membela Islam dan melawan pemikiran liberal, terutama melalui aktivitasnya di Twitter. Kontribusi dan semangatnya luar biasa, dan kerendahhatiannya pun perlu dicontoh oleh semua orang.

Fauzi Baadila berani bersuara, kamu ?

Fauzi Baadilla sendiri adalah seorang artis yang pernah bermain di film layar lebar Mengejar Matahari, 9 Naga (2006), Tentang Dia (2005), Rindu Kami Padamu (2004), Coklat Stroberi (2007), The Sexy City (2010), Lost in Papua (2011), dsb. Selain itu juga pernah bermain di beberapa sinetron antara lain Keajaiban Cinta dan Dunia Tanpa Koma.
Belum diketahui dengan pasti, siapa yang mengunggah video tersebut dan siapa yang membuat Fans Page Facebook tersebut.

Hanung Bramantyo "Sang Provokator Kekerasan"

JAKARTA Siapa yang tak kenal Hanung Bramantyo? Semua pecinta dunia perfilman Indonesia pasti mengenalnya. Hanung adalah seorang sutradara yang dikenal berfaham Liberal, meski ia tak mengakui bahwa dirinya Liberal.

Namun faktanya, Hanung membuat film yang masih berjudul Tanda Tanya (?) yang penuh dengan nuansa Sekulerisme, Pluralisme, Liberalisme (Sepilis). Hanung berdalih “ingin mengangkat tema toleransi antar umat beragama, tanpa maksud hati mencitraburukkan satu agama tertentu,” tapi anehnya film Tanda Tanya (?) karya Hanung itu adalah salah satu film yang mengindetikkan bahwa pelaku kekerasan adalah umat Islam.

Hanung juga unjuk gigi pada (14/2/2012), turun ke jalanan di depan Plaza Indonesia, Grand Hyatt, Jl Kebon Kacang, Jakarta Pusat , bersama dengan Gerombolan JIL yang diantaranya terdiri dari kaum bencong, rambut gimbal, dan cewek perokok.
Setelah mendengar orasi singkat itu, orang yang waras akan beranggapan bahwa Hanung sebenarnya orang radikal dan pendukung kekerasan. Buktinya, kalimat-kalimat yang keluar dari mulut sutradara film "?" itu dalam aksi yang mengatasnamakan “Gerakan Indonesia Tanpa FPI Tanpa ‘Kekerasan’” itu, mengajak orang untuk mencontoh aksi kekerasan para preman rasisme fasisme anarkisme di Palangkaraya.

Diselingi sorakan dukungan dan tepuk tangan pendukungnya, Hanung memulai orasi. "Terimakasih. Sudah saatnya, kita harus menunjukkan siapa sebenarnya yang mayoritas dan siapa yang minoritas. Jangan sampai kita melihat, anak-anak kita melihat, saudara-saudara kita melihat, bahwa yang minoritas itu adalah yang merasa mayoritas dan mayoritas hanya diam saja", kata Hanung.

 
Kemudian Hanung memprovokasi orang-orang yang selama ini dianggap sebagai “intelektual, demokrat atau moderat” agar sedikit menjadi militan. Militan seperti kelompok preman anarkis yang mengepung empat orang pimpinan FPI Pusat di Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, Kalimantan Selatan. Seperti yang telah tersebar di media-media massa sebelumnya, dimana kelompok preman itu telah membobol apron bandara. Mereka mengepung bandara dengan membawa mandau dan tombak, seolah telah siap membunuh orang-orang FPI.

"Dan kepada mereka yang mengaku intelektual, mereka yang mengaku demokrat atau moderat tolong sedikitlah menjadi militan. Tolonglah...militanlahlah sedikit. Gitu loh... Sebagaimana temen-temen kita, saudara-saudara kita yang ada di Palangkaraya. Mereka bisa militan, mereka bisa menentukan kapan saya bisa bersikap, kita bisa bersikap, kita bisa diganggu atau tidak diganggu,” ujar Hanung. dikutip Suara Islam Online.

Hanung mengaku resah. Karena selama ini dia tidak dapat tenang dan bebas dalam berkarya karena selalu dianggap salah. Maka dari itu dia mengajak pada “jamaah” JIL yang terdiri dari kaum bencong, cewek perolok dan lelaki bertatto rambut gimbal itu untuk menunjukkan siapa yang mayoritas di negeri ini.
"Sekarang ini kita selalu resah, karena kita melakukan apa-apa selalu dianggap salah. Maka dari itu tolong pada temen-temen semua yang ada di sini mari kita tunjukkan siapa sebenarnya yang mayoritas., gitu aja. Terimakasih-terimakasih," pungkasnya diringi tepuk tangan para pengikut JIL.

Menurut Sekjen Forum Umat Islam (FUI), KH Muhammad AlKhaththath bahwa orasi Hanung Bramantyo itu secara langsung menunjukkan bahwa ia mendukung tindakan kekerasan. Hanung juga memprovokasi agar orang-orang yang selama ini dikenal “intelektual, demokrat dan moderat” agar menjadi militan sebagaimana militannya orang-orang di Palangkaraya saat mengepung dan mengancam membunuh empat orang pimpinan FPI Pusat di Palangkaraya, seperti yang dilaporkan Suara Islam Online.

Di depan Menteri Agama Suryadharma Ali, Al-Khaththath menyampaikan bahwa berdasarkan rekaman video yang diperolehnya, Hanung telah memprovokasi kalangan liberal, moderat dan demokrat untuk menjadi sedikit lebih militan agar seperti orang-orang di Palangkaraya. "Ini kan berarti mendukung anarkisme di Palangkaraya. Kita punya videonya, kalau Pak Menteri butuh bisa kita kasih", kata AlKhaththath saat itu.

Video tersebut rencananya akan disampaikan kepada manajemen SCTV yang berencana memutar kembali film "?". FUI dan FPI akan membuktikan, bahwa omongan Hanung ternyata berbeda dengan tujuan filmnya yang katanya ingin menyampaikan pesan “anti kekerasan dan anti radikalisme.”

SCTV akan memutar kembali film “?” pada malam ini (24/2). Menurut AlKhaththath rencana pemutaran film itu dinilai akan menambah provokasi kepada Front Pembela Islam

Ulama Masyhur yang Dituduh “Penghianat” Rezim Soekarno

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan sebutan HAMKA, beliau dilahirkan di Maninjau Sumatera Barat pada 17 Februari 1908. Jadi sehingga kini sudah seabad lebih lamanya. Untuk itu bagi kita generasi sekarang ini perlu mengenal lebih dekat sosok ulama besar tersebut sekaligus mengenang jasa yang telah diberikan kepada bangsa dan agama di tanah air.

Ayah Hamka adalah H. Abdul Karim Amrullah atau Haji Rasul seorang tokoh ulama Sumatera. Dikenal sebagai pelopor “golongan muda”, murid Syekh Ahmad Khatib yang bermukim di Makkah. Ibunya bernama Syafiyah istri kedua ayahnya.

Pendidikan awal buya Hamka di sekolah Diniyah 1916 kemudian di sekolah Sumatera Thawalib 1918. Diantara gurunya disana ialah Zainuddin Labai El Yunusi, H.Rasul Hamidi, H. Jalaluddin Thaib, Angku Mudo Abdulhamid dan lain-lain. Selain itu Hamka mengaji kepada Syekh Ibrahim Musa Parabek pada tahun 1922.

Beliau belajar Tafsir Al Qur'an dan Fikih dengan kitab Al Muhazzab dari Angku Mudo Abdulhamid. (Ayahku hal 318) Setelah itu beliau merantau ke Jawa. Disana beliau belajar kepada HOS. Cokroaminoto tentang islam dan sosialisme, kepada Soeryopranoto tentang sosiologi dan kepada H. Fakhruddin dalam ilmu Tauhid. Selanjutnya beliau banyak belajar kepada A.R.St. Mansur.

Guru yang memiliki pengaruh besar pada dirinya ialah ayahnya sendiri dan A.R.St. Mansur yang tak lain adalah iparnya. Dari ayahnya Hamka belajar langsung tentang Ushul Fiqh dan Mantiq. Selama enam bulan beliau belajar kepada ayahnya di kutub khanah sampai kedua ilmu tersebut beliau kuasai. Alasan ayahnya mengajarkan dua ilmu tersebut ialah kegemaran Hamka berfilsafat dan membawa sejarah ketika berceramah, sehingga dengan menguasai kedua ilmu tersebut tidak dikuatirkan akan tersesat.

Buya Hamka banyak berperan dalam gerakan dakwah. Beliau tidak memaknai dakwah secara sempit. Banyak bidang yang telah beliau lakukan dalam memperjuangkan agama Islam.

Dalam bidang organisasi beliau aktif di Muhammadiyah. Dalam bidang pendidikan selama hidupnya beliau banyak mengajar kepada masyarakat. Baik di sekolah, masjid, surau, universitas dan lainnya. Ketika mudanya beliau pernah mendirikan sekolah Tarbiyatul Muballighin sekaligus menjadi direkturnya. Beliau juga mengajar masyarakat Indonesia melalui kuliah di Radio Republik Indonesia (RRI)  selama lebih dari tiga puluh tahun.

Dalam bidang keilmuan dan penulisan beliau telah menulis buku-buku dari berbagai bidang. Mulai dari pendidikan, tasawuf, filsafat, tafsir, akhlak, sejarah roman dan lainnya. Diantara judul-judul bukunya yang banyak tersebut antara lain: Tasauf Modern, Filsafat Hidup, Lembaga hidup, Tafsir Al Azhar, Lembaga Budi, Ayahku, Sejarah Umat Islam, Revolusi Agama, Revolusi Pemikiran, Studi Islam, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Dibawah Lindungan Ka’bah dan Pandangan Hidup Muslim.
Metode dakwah yang dibawakan oleh Buya Hamka sangat bijaksana sehingga diterima banyak kalangan. Misalnya beliau menulis roman islami yang pada masa itu sangat “aneh” bagi seorang ulama menulis roman. Namun cara tersebut justru sangat digemari masyarakat.

Beliau sangat mahir dalam menulis dan bahasanya sangat sederhana sehingga mudah difahami. Meskipun menjelaskan sesuatu pembahasan yang sulit seperti filsafat. Namun melalui sentuhannya filsafat menjadi mudah dimengerti oleh banyak orang. Beliau juga diantara tokoh yang yang turut meningkatkan seni kesusasteraan di tanah air. kemahirannya dalam menulis diawali dengan menulis ringkasan pidato dan diskusi bersama rekan-rekannya pada masa mudanya.

Dalam bidang penerbitan beliau menjadi editor sekaligus pimpinan majalah Pedoman Manyarakat dan Panji Masyarakat (Panjimas). Melalui majalah tersebut beliau menyampaikan pemikirannya.

Disegani Dunia

Atas keluasan ilmu yang dimiliki serta kontribusinya yang besar dalam berdakwah di Indonesia beliau di anugerahi Doktor Honoris  Causa dari Universitas Al Azhar Kairo pada tahun 1958. Surat pengakuan gelar tersebut ditanda-tangani langsung oleh Syeikh Al Azhar ketika itu yaitu Syeikh Mahmud Syaltut. Hal ini mengulang sejarah ayahnya yang diberikan gelar yang sama pada tahun 1926 ketika kongres yang dianjurkan oleh ulama Al Azhar. Ketika itu ayahnya bersama H. Abdulllah Ahmad, masing-masing mendapat gelar kehormatan melalui kesepakatan ulama yang hadir.

Hamka juga memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) pada tahun 1974. Pada tahun 1977 beliau diangkat sebagai Ketua Majlis Ulama Indonesia (MUI) kemudian mengundurkan diri pada tahun 1981 dikarenakan tekanan pemerintah yang tidak sesuai dengan pendiriannya.

Pada zaman Soekarno, beliau pernah dipenjarakan selama dua tahun karena dituduh “pengkhianat” dan menjual negara kepada Malaysia. Tentu beliau sangat sakit hati atas tuduhan keji rezim yang pernah bertangan besi kepada tokoh-tokoh Islam tersebut. Namun beliau bersabar dan memanfaatkan waktu tersebut untuk menyelesaikan karyanya  yang monumental bernama Tafsir Al Azhar (30 jilid).

Selama hidupnya beliau menjadi panutan masyarakat dan tempat banyak orang bertanya tentang masalah agama. Atas usaha beliaulah masjid Al Azhar selesai dibangun dan beliau menjadi imam masjid tersebut hingga akhir hayatnya.

Beliau menutup usia pada 24 Juli 1981. Dengan meninggalkan warisan karya-karya penting yang masih selalu dipelajari orang sehingga hari ini. Ketokohan beliau bukan saja diakui oleh masyarakat Indonesia namun di Malaysia dan Singapura kedudukan beliau dangat dihormati. Mereka juga turut bangga kepada buya Hamka. Buku-buku karangan beliau banyak dipelajari dan diterbitkan di kedua Negara tersebut. Di Singapura misalnya, maka Pustaka Nasional yang banyak menerbitkan. Di Malaysia terdapat beberapa tesis dalam bahasa Melayu, Arab atau pun Inggris yang membahas pandangan beliau dalam berbagai disiplin ilmu.

Demikianlah sedikit kisah tentang sosok buya Hamka. Tujuan ditulisnya kisah ini, selain untuk memperingati masa kelahirannya juga untuk memberikan semangat kepada generasi baru muslim di Negara ini agar mengikuti jejak beliau. Dengan cara menguasai ilmu serta beramal untuk memajukan bangsa dan agama.

Monday 13 February 2012

Jangan Karena V-Day, Amal Kita Lenyap


Dalam banyak catatan sejarah, V-Day merupakan warisan paganisme (Dewa-Dewi) zaman Romawi kuno. Mereka meyakini pertengahan bulan Februari merupakan bulan cinta dan kesuburan. Kepercayaan ini kemudian diwarnai oleh kaum Kristen Katolik Roma dengan nuansa Kristiani. Salah satu bentuk ‘akuisisi’ atas mitos paganisme ini adalah dengan mengganti nama anak-anak gadis mereka dengan nama Paus atau Pastor dan mendapat dukungan Kaisar Konstantine dan Paus Gregory I.

Seiring berjalannya waktu, ketika Kaum Barat berhasil melakukan simbolisasi terhadap tokoh Valentino, ditunjang pula dengan penguasaan media dan informasi, sejak saat itu V-Day menyebar ke seluruh penjuru dunia. Ia menjadi ajang menyatakan “cinta dan kasih sayang” kepada pasangan. Kekuatan media dimanfaatkan betul untuk memborbardir massa tentang personalisasi Valentino sebagai tokoh yang layak dikenang sepanjang masa oleh siapa saja yang berjuang demi “cinta.”

Betulkah propaganda mereka tentang cinta itu? Tidak usah jauh-jauh, lihatlah ke sebelah Timur. Iraq porak-poranda akibat gempuran tentara Salibis, Muslimah-nya diperkosa oleh tentara-tentara hidung belang, orangtua dan anak-anak menjadi korban pembantain, ribuan lainnya terpaksa menjadi pengungsi di negeri sendiri.

Betulkah cinta yang mereka ekspor ke generasi ini? Lihatlah, angka perceraian yang tinggi, anak-anak menjadi rusak karena keluarga broken home, prostitusi yang merajelela bahkan dilegalkan oleh negara, aborsi, orangtua dititipkan dip anti jompo. Inikah cinta yang mereka pekikkan?

Bandingkan dengan titian cinta nabi kepada kita, umatnya. Di kala Thaif dan Uhud menjadi hari-hari terberat sang Nabi. Pengorbanannya bagi umat tiada berbanding. Teguh terhadap dakwah mewarnai hari-hari Rasul akhir zaman ini. Kecemasannya pada nasib umat selalu mengemuka. Ia adalah Rasul yang penuh cinta kepada umatnya. Cinta itu berbalas, generasi sahabat (generasi pertama) adalah generasi yang juga sangat mencintainya.

Sesungguhnya, V-Day tidak lain merupakan wajah buruk budaya Barat. Di satu sisi, mereka memasihkan kata cinta dengan bunga di tangan sebelah, tangan satunya menikam dan menjerumuskan ke dalam jurang kerusakan moral.

Betul, tidak semua hal yang bersumber dari Barat berakibat buruk. Namun, dalam hal perayaan hari Valentine’s ini jelas-jelas buruk dan merusak generasi muda.
Ada dua hal yang menandai keburukan hari ini.

Pertama, kaburnya sumber perayaan itu sehingga tidak laik umat Islam untuk ikut merayakannya.
Kedua, umumnya, perayaan Valentine’s dilakukan dengan pasangan alias kekasih atau pacar yang jelas ditentang dalam agama kita. Ketika telah bersinggungan dengan pacaran, tak pelak akan menyeret pada perbuatan yang tidak semestinya, gaul bebas, hubungan intim, dan sebagainya.

Setahun silam, berita memiriskan datang dari Kediri, Jawa Timur tahun lalu. Di kota tersebut dan mungkin di kota-kota lainnya, penjualan kondom mengalami peningkatan tajam menjelang tanggal 14 Februari. Kondom tersebut didistribusikan ke hotel-hotel sekitar untuk melayani permintaan dari penyewa kamar hotel.  Bagaimana dengan tahun sekarang ini?

Terjadinya kasus seperti di atas tak lain karena pemahaman remaja yang menyimpang dalam mengartikan hari kasih sayang. Anggapan sementara sebagian para remaja, hari kasih sayang adalah hari bercinta, bercumbu, memberikan seluruh raga kepada sang kekasih, meskipun belum ada ikatan suci yaitu pernikahan.
Ketika hari Valentine’s tiba, mereka meninggalkan orangtua mereka dengan pacar-pacar mereka, pergi ke tempat wisata atau sekedar pergi ke hotel-hotel kelas melati. Parahnya lagi, hotel pun sudah siap memfasilitasi perbuatan-perbuatan mesum mereka dengan menyediakan stok kondom yang mencukupi.

Sayangnya banyak para remaja kita yang justru mengimitasinya. Keikutsertaan ini tidak dibersamai tindakan reflektif yang mencerminkan akibat dan dampak dari apa yang mereka lakukan. Seakan, membuktikan cinta itu hanya ada di hari yang satu ini, bahwa ia mencintai setulus hati, dengan beragam tanda-tanda yang menyertainya sebagai penguat ungkapan cintanya. Tidak sedikit di antaranya, dari kata-kata menuju “tindakan” yang seharusnya baru dilakukan oleh pasangan yang telah sah menjadi suami-istri.
Padahal, Allah telah menjelaskan dalam al-Qur`an perihal para “pembebek” suatu perbuatan tanpa dasar ilmu.

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُول
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Israa [17]: 36).

Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)  bersabda: “Kamu telah mengikuti sunnah orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sehingga jika mereka masuk ke dalam lubang biawak, kamu tetap mengikuti mereka.” Kami bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau maksudkan itu adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang Nasrani?” Baginda bersabda: “Kalau bukan mereka, siapa lagi? (HR. Bukhari Muslim).

Lewat sabdanya, Nabi menunjukkan kekhawatiran yang sangat atas nasib generasi sepeninggalnya yang melepaskan atribut dan identitas keislamannya dengan mengikuti tradisi dan budaya yang bertentangan dengan Islam itu sendiri. Kebodohan menjadi penyebab utama di balik sikap mengekor budaya ‘orang lain’ tanpa menimbang dampaknya.

Tiga Dampak V-Day
Dalam Islam, konsep cinta telah diletakkan pada tempat yang semestinya, tidak menyimpang dari naluri manusia itu sendiri, juga selaras dengan titian ilahi sebagai nilai-nilai moralnya. Menjadi seorang muslim itu berbeda. Kita tidak butuh cinta semu berbalut nafsu atas nama maksiat. Kita butuh bukti bukan janji. Kita tidak butuh slogan-slogan cinta bila faktanya tak ada.

Cinta dan kasih sayang yang diobral, ibarat baju yang diobral seribu tiga. Cinta dan kasih sayang itu jadi murahan dan kehilangan nilai serta rasanya. Cinta dalam Islam diperlakukan dengan agung. Cara memperoleh pasangan juga sudah diatur sedemikian rupa agar tidak melanggar harkat dan martabat manusia sebagai manusia. Harga diri masing-masing individu juga dijaga, bukan untuk diobral yang dapat menimbulkan fitnah.
Sementara, Valentine`s Day akan memunculkan dan membentuk pola perilaku tercela.

Pertama, munculnya akhlak tasyabbuh yaitu akhlak yang meniru orang lain tanpa mengetahui ihwal dilakukannya hari V-Day tersebut. Dengan meniru dan merayakan praktek kasih sayang yang tidak benar itu, membuat keluhuran kasih sayang dalam Islam, perlahan tapi pasti, menjadi pudar, tak lagi populer, dan pada akhirnya dapat punah ditelan masa.

Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) telah memagari umat dengan sabdanya, “Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk kaum tersebut.” (HR. Tirmidzi).
Kedua, dengan meniru orang lain menunjukkan ketidakberdayaan umat Islam yang pada gilirannya akan meninggalkan ciri-ciri ketinggian nilai Islam, menanggalkan identitas keislaman. Pada akhirnya, membuat umat Islam berperilaku mengikuti trend yang sedang berkembang di tengah-tengah masyarakat.

Dengan mengikuti V-Day, bukan saja mengikuti pesta untuk menyatakan kasih sayang namun juga mengikutsertakan seks bebas, fashion, pakaian minim, dansa dansi, dan mengumbar nafsu lainnya.
Ketiga, V-Day secara tidak langsung memberi keuntungan kepada pihak kapitalis dan menjadikan umat Islam sebagai konsumennya. Mereka yang membuat, memproduksi barang untuk kepentingan perayaan, sementara pembelinya adalah umat Islam.

Karenanya, sikap kita mestilah berbanding lurus dengan sikap yang mencerminkan jati diri seorang muslim. Perayaan hari kasih sayang atau V-Day tidak lebih sekedar upaya peringatan kematian seorang pendeta yang dipandang sebagai ‘martir’ cinta. Berbicara tentang cinta dan kasih sayang, Islam tidak kehabisan bahan untuk itu. Terlebih salah satu pondasi berdiri tegaknya ajaran Islam karena Rahmatan lil Alamin yang salah satunya memprioritaskan hak (cinta) kepada Allah dari yang lain.

Hanya saja, alih-alih menjajal cinta kepada Allah justru cinta kepada sesama manusia sering disalahtafsirkan dengan berpacaran, ber-kholwah (berdua-duaan) di tempat-tempat ramai atau sepi, melakukan hubungan biologis pra-nikah. Akibat dari peringatan V-Day ini lahirlah anak-anak tanpa bapak disertai merajalelanya aborsi.

V-Day adalah bencana budaya buat kita semua. Peringatan V-Day sudah waktunya kita eliminasi lalu kita jadikan sebagai monumen kecelakaan sejarah yang tidak perlu ditangisi apalagi diikuti. Peringatan ini, sekaligus untuk para orangtua yang memiliki anak remaja.

Memaknai Hari Kasih Sayang Tanpa Valentine's Day

“Demi Allah wahai Rasulullah, engkau adalah orang yang paling kucintai dari segalanya kecuali dari diriku sendiri.”

“Tidak wahai Umar, sampai aku menjadi orang yang paling kau cintai dari dirimu sendiri.”

“Wahai Rasulullah, kini engkau adalah orang yang paling kucintai lebih dari diriku sendiri.”

“Benar Umar, kini kau telah mencintaiku.”


Percakapan antara Rasulullah dengan Umar bin Khattab di atas telah terekam dan diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya. Mulanya Umar ingin mengekspresikan rasa cintanya kepada Rasulullah dengan menyatakan bahwa Rasulullah adalah orang yang paling ia cintai dari segalanya; dari anak-istrinya, hartanya, nenek-moyangya, semuanya, kecuali dari dirinya sendiri.


Namun Rasulullah mengingkarinya dan menegaskan bahwa “cinta sejati” takkan terwujud hingga Umar meletakkan Rasulullah sebagai orang nomor satu yang harus ia cintai melebihi cintanya kepada diri sendiri, persis sebagaimana yang ditegaskan dalam surat al-Ahzab ayat-6 bahwa “Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri.”


Al-Khatthabi menegaskan bahwa cinta terhadap diri sendiri merupakan fitrah setiap manusia, namun mencintai orang lain adalah sebuah pilihan yang membutuhkan sebab dan proses. Sedangkan Ibnu Hajar Al-Asqalany menerangkan bahwa pengingkaran Rasulullah terhadap Umar yang menomor-duakan cintanya kepada Rasulullah tidaklah cukup untuk menempatkan dirinya dalam derajat yang tinggi. Artinya, mencintai Rasulullah adalah bagian inti dari agama suci ini.


Cinta adalah perasaan istimewa yang merupakan fitrah semua manusia. Cinta mungkin lebih tepat jika dirasakan dengan intuisi jiwa ketimbang didefinisikan dengan ukiran kata yang dapat mereduksi makna aslinya.

Sedari dulu para penyair, penulis, pemusik, sastrawan dan seluruh aktivis seni cukup disibukkan dalam mendefinisikan kata yang terangkai dari lima huruf ini, “c-i-n-t-a”. Tapi bagi umat Islam, dalam memaknai “cinta sejati” cukup dengan merujuk kepada kitab utama pedoman umat; yaitu Al-Qur’an.


Ibnu Abbas bahkan pernah mengatakan, “Jika aku kehilangan kekangan onta, maka aku akan mendapatkannya di dalam Al-Qur’an.” Maksudnya, bahwa kandungan ilmu dalam Al-Qur’an sangatlah luas, seluruh aspek kehidupan dapat ditemukan dalam Al-Qur’an. Baik dari yang sekecil semut (an-Naml) hingga yang sebesar gajah (al-Fiil). Baik itu terkandung secara eksplisit maupun implisit. Demikian halnya masalah cinta yang pada tahap tertentu dapat menjadi pondasi iman paling utama.


Hal tersebut sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah, “Katakanlah: "jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik” (Qs. At-Taubah: 24).


Dengan mencintai utusan Allah, berarti seorang mukmin telah mencintai Sang Pengutus itu sendiri. dan itulah tafsiran dari syahadatain yang merupakan konsep fundamental dalam Islam; yaitu berikrar dengan lisan bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, lalu meyakininya dengan sepenuh hati hingga akhirnya dengan seluruh kemampuan fisik memenuhi segala perintah dan meninggalkan segala larangan-Nya.


Itulah mengapa seorang pecinta sejati memiliki gejolak jiwa yang sangat besar dan bahkan bersedia mengorbankan segalanya demi sesuatu yang ia cintai. Maka tak ayal jika Romeo memilih mati bersama Juliet, tak heran jika Qais menjadi majnun (gila) karena Laila, tak aneh jika Stevan merasa hancur tatkala Magdalena menghianati cintanya, dan tak mustahil jika Noura tega memfitnah Fahri demi mendapatkan cintanya.


Tapi singkirkan dulu novel-novel fiktif di atas, lalu saksikan bagaimana “cinta sejati” pernah terjadi dalam sebuah kisah nyata; Lihat bagaimana Abu Bakar lebih mencemaskan keselamatan Rasulullah daripada dirinya sendiri tatkala mereka dikejar kaum kafir hingga harus bersembunyi di gua Tsur. Perhatikan bagaimana Bilal bin Rabbah lebih memilih dadanya ditindih oleh batu besar yang diletakkan Ummayah bin Khalaf di bawah sengatan terik mentari daripada meninggalkan ajaran Rasulullah.


Lalu saksikan bagaimana Abdullah bin Mughaffal bercucuran air mata saat Rasulullah tidak mengikut-sertakan dirinya dalam medan jihad lantaran tiada kendaraan perang yang tersisa untuknya. Serta cermati bagaimana Utsman bin Affan memenuhi panggilan Rasulullah dengan mendermakan hartanya sebanyak 900 onta dan 100 kuda (belum termasuk uang) untuk jihad fi sabilillah.


Mereka bukanlah para pecinta buta yang mengobral cintanya untuk perkara duniawi. Mereka juga bukan tokoh fiktif yang hanya ditemukan dalam novel-novel belaka. Namun mereka adalah manusia mulia dengan peran nyata yang pernah hadir dalam sejarah dunia.


Kasih Sayang yang Sejati

Para sahabat Rasulullah sangat paham bagaimana harus mencintai agama mereka di atas segalanya, pun demikian mereka tetap proporsional dalam mencintai diri mereka sendiri, mencintai sesama manusia dan bahkan mencintai binatang dan lingkungan sekalipun.


Mencintai diri sendiri berarti menjaga jiwa dari segala hal yang dapat merusak secara lahiriyah maupun batiniyah. Dan itu dapat terwujud dengan tidak mengkonsumsi barang haram serta tidak “mengkonsumsi” segala penyakit hati. Mencintai diri sendiri bisa terlahir juga dengan menjaga keseimbangan amal duniawi dan ukhrawi, sehingga tidak terjebak dalam pemikiran material namun melupakan aspek esensial.


Sedangkan mencintai sesama manusia dapat terlihat tatkala seorang mukmin mengulurkan tangannya kepada siapapun yang membutuhkan bantuannya dalam kebaikan. Konsep Zakat merupakan contoh konkret yang memiliki unsur tolong-menolong dan merupakan salah satu rukun Islam dalam ibadah sosial. Oleh karenanya khalifah pertama Abu Bakar selama dua tahun masa kepemimpinannya sangat tegas dalam memerangi orang-orang yang enggan membayar Zakat. Inilah bukti riil seorang pemimpin yang cinta terhadap rakyatnya.


Lalu yang terakhir adalah cinta terhadap semua makhluk ciptaan Allah termasuk hewan dan tumbuhan. Itu sebabnya, alangkah sempurnanya ajaran Islam bahkan untuk sekedar menyembelih seekor kambing saja terdapat adab dan aturannya sendiri. Hingga dalam kondisi perang sekalipun seorang tentara muslim dilarang untuk melakukan perusakan instalasi umum seperti membakar pohon dan merusak ladang maupun peternakan.


Dengan demikian, seseorang bukanlah pecinta sejati jika masih menyiksa diri sendiri dengan mengkonsumsi narkotika. Bukanlah pecinta sejati jika seseorang masih menikmati empuk-nya kursi "Banggar" namun lupa terhadap nasib rakyatnya yang tengah kelaparan. Dan bukanlah pecinta sejati jika seseorang masih hobi menggunduli hutan serta mengeksploitasi segala kekayaan alam –baik yang di darat maupun di laut– demi kepentingan perut pribadi.


Kasih Sayang yang Universal

Cinta sejati yang digagas oleh Islam adalah cinta yang universal. Yaitu cinta yang ditujukan kepada Sang Khaliq namun juga kepada si makhluk, mengajarkan cinta kepada diri sendiri tapi juga kepada orang lain. Penafsiran cinta secara generik inilah yang dapat menghilangkan kesenjangan sosial dan mendatangkan kedamaian di manapun ajaran Islam ditegakkan.

Oleh karena itu, dalam memaknai kata “cinta dan kasih sayang” tidak dapat menggunakan teropong secara terbalik yang menyebabkan penyempitan makna terhadap obyek yang dilihat, sehingga apa yang seharusnya luas dan besar terlihat menjadi sempit dan kecil.


Sehingga kata cinta yang sejatinya mengandung makna begitu mulia menjadi sebatas coklat dan bunga mawar saja. Cinta yang seharusnya mengandung nilai filosofi sangat dalam, lantas menjadi dangkal sebatas pemuasan hasrat sesaat yang tak sebanding dengan nikmat yang didapat. Cinta yang seharusnya memiliki jutaan warna akan berubah menjadi warna merah jambu saja. Cinta yang seharusnya terjalin dengan ikatan suci akan menjadi murahan dengan janji gombal tak berarti.


Dan lebih parah lagi, kasih sayang yang meskinya ada setiap saat, setiap waktu dan setiap hari, akan raib dan hanya didapatkan pada hari tertentu saja, akan diperingati pada tanggal 14 Februari saja, kemudian berlangsung secara formalitas dengan perayaan valentine saja. Jelas, ini adalah penyelewengan sekaligus penodaan terhadap kesucian cinta itu sendiri.

Sebagai seorang muslim, tentu kita takkan ikut-serta merayakan pesta yang telah ditetapkan sejak tahun 496 Masehi oleh Paus Gelasius-I ini. Dan tentu, sebagai orang yang mengaku cinta Rasulullah kita takkan pernah sudi ikut memeriahkan ritual yang mengenang seorang pendeta bernama Santo Valentinus itu. Minimal, dalam hati kita masih terbesit rasa tidak suka tatkala melihat pagelaran merah jambu yang diiringi "pengobralan harga diri" itu merebak. Ya, minimal dalam hati saja, karena itu adalah selemah-lemahnya iman yang tetap harus ada dalam sanubari setiap mukmin.  Wallahu A’lam Bis-Shawab.

Dokter dan Pasien

Seorang dokter di rumah sakit jiwa memberikan terapi lagu pada pasiennya. Berhari-hari si pasien selalu murung dan seolah tak menghiraukan kata-kata si dokter. Si dokter pun mulai stres lalu keluar ruang untuk menghirup udara segar.
Tak lama kemudian ia dengar ada orang bernyanyi. Setelah dia cari ternyata suara seorang pasien yang dia terapi.
Cuma anehnya, si pasien menyanyikannya dengan tidur telentang. Dengan heran sang dokter terus mengamati pasien tersebut. Dia berpikir,  sepertinya si pasien sudah sembuh. Lebih kaget lagi, kemudian pasien tersebut tengkurap dan menyanyikan lagu yang lain.
Karena penasaran, dokter menghampiri sang pasien dan bertanya,”Hai, mengapa kamu tadi menyanyi dengan tidur telentang dan sekarang tengkurap?”

Dengan kalem si pasien menjawab, ” Ya Dok, karena tadi side A, sekarang side B.”

Guru Killer vs Murid

Kelas yang tadi ribut-ribut tanpa guru, kini menjadi sunyi. Guru Bahasa Indonesia yang paling ditakuti dan disegani oleh semua murid telah masuk ke dalam kelas. Wajahnya garang seperti harimau kelaparan.
Murid-murid : Selamat pagi, Bu Guru!

Bu Guru (dengan suara melengking) : Mengapa bilang selamat pagi saja, Kalau begitu siang, sore dan malam kalian mendoakan saya tidak selamat ya?
Murid-murid : Selamat pagi, siang dan sore Bu Guru…
Bu guru : Kenapa panjang sekali? Tidak pernah orang mengucapkan selamat seperti itu! Katakan saja selamat sejahtera, bukankah lebih bagus didengar dan penuh makna? Lagipula ucapan ini meliputi semua masa dan keadaan.
Murid-murid : Selamat sejahtera Bu Guru!
Bu guru : Sama-sama, duduk!
Dengar sini baik-baik!! Hari ini Bu Guru mau menguji kalian semua tentang perlawanan kata atau antonim kata. Kalau Bu Guru sebutkan perkataannya, kamu semua harus cepat menjawabnya dengan lawan katanya, mengerti?
Murid-murid : Mengerti Bu Guru…
Guru : Pandai!
Murid-murid : Bodoh!
Guru : Tinggi!
Murid-murid : Rendah!
Guru : Jauh!
Murid-murid : Dekat!
Guru : Berjaya!
Murid-murid : Menang! (mulai ngaco)
Guru : Salah itu!
Murid-murid : Betul ini!
Guru (geram) : Bodoh!
Murid-murid : Pandai!
Guru : Bukan!
Murid-murid : Ya!
Guru (mulai pusing) : Oh Tuhan!
Murid-murid : Oh Hamba!
Guru : Dengar ini…
Murid-murid : Dengar itu…
Guru : Diam!!!!!
Murid-murid : Ribut!!!!!
Guru : Itu bukan pertanyaan, bodoh!!!
Murid-murid : Ini adalah jawaban, pandai!!!
Guru : Mati aku!
Murid-murid : Hidup kami!
Guru : Saya rotan baru tau rasa!!
Murid-murid : Kita akar lama tak tau rasa!!
Guru : Malas aku ngajar kalian!
Murid-murid : Rajin kami belajar bu guru…
Guru: Kalian gila semua!!!
Murid-murid : Kami waras sebagian!!!
Guru : Cukup! Cukup!
Murid-murid : Kurang! Kurang!
Guru : Sudah! Sudah!
Murid-murid : Belum! Belum!
Guru : Mengapa kamu semua bodoh sekali?
Murid-murid : Sebab saya seorang pandai!
Guru : Oh! Melawan, ya??!!
Murid-murid : Oh! Mengalah, tidak??!!
Guru : Kurang ajar!
Murid-murid : Cukup ajar!
Guru : Habis aku!
Murid-murid : Kekal kamu!
Guru (putus asa) : O.K. Pelajaran sudah habis!
Murid-murid : K.O. Pelajaran belum mulai!
Guru : Sudah, bodoh!
Murid-murid : Belum, pandai!
Guru : Berdiri!
Murid-murid : Duduk!
Guru : Bego kalian ini!
Murid-murid : Cerdik kami itu!
Guru : Rusak!
Murid-murid : Baik!
Guru (stres) : Kamu semua ditahan siang hari ini!!!
Murid-murid : Dilepaskan tengah malam itu!!!

Bu Guru mukanya merah padam dan tanpa bicara lagi mengambil buku-bukunya dan keluar ruangan. Sebentar kemudian, loceng pun berdering. Murid-murid merasa lega karena guru yang paling ditakuti oleh mereka telah keluar. Walau bagaimanapun, mereka merasa bangga karena telah dapat menjawab semua pertanyaan tadi. Tetapi masih ada hari esok. Guru itu pasti akan datang lagi.

'Air Mata' untuk Sang Imam

Seorang Imam mengejutkan masyarakat di lingkungannya ketika ia mengumumkan bahwa ia mengundurkan diri dari Imam Masjid dan pindah ke desa terpencil. Setelah selesai sholat, seorang jamaah anak kecil yang sangat putus asa datang kepada Imam dengan air mata di matanya, "Oh, Imam, kita akan sangat merindukanmu Kami tidak ingin kau pergi!". Imam tsb berkata, "Jangan kuatir,nak. Imam pengganti saya nantinya tentunya lebih baik dari saya."

"Ya", katanya, dengan nada kecewa dalam suaranya, "Itulah yang mereka katakan pada saya, Imam pengganti Bapak bacaan sholatnya lebih lama dari Bapak ...

Islamophobia di America

Seorang pria berjalan-jalan di taman Tengah di New York. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis kecil diserang oleh seekor anjing pit bull. Dia bergegas menghampiri dan mulai berkelahi dengan anjing. Ia berhasil membunuh anjing dan menyelamatkan nyawa gadis itu. Seorang polisi yang menyaksikan adegan itu berhenti dan mengatakan: "Anda adalah pahlawan, besok kamu bisa membacanya di semua surat kabar:" Seorang warga New York pemberani menyelamatkan kehidupan gadis kecil".  

Pria itu berkata: -" Tapi saya bukan orang New York". Polisi tsb berkata," Oh, kalo begitu di surat kabar besok pagi headlinenya: 'Seorang Pria Amerika pemberani menyelamatkan nyawa gadis kecil' "! Pria tadi pun menjawab lgi, " Tapi saya bukan orang Amerika " Polisi itu pun bingung, lalu bertanya" Oh, lalu siapa kau itu? "Pria pemberani itu berkata:" Saya seorang Saudi ". Hari berikutnya surat kabar mengatakan:" Ekstrimis Islam membunuh anjing Amerika yang tidak bersalah!.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Faried - Premium Blogger Themesf | Affiliate Network Reviews